Home , , � Gerbang utama menuju aula shalat Jumat Tehran mengobarkan spirit religius melawan penindasan rezim monarki

Gerbang utama menuju aula shalat Jumat Tehran mengobarkan spirit religius melawan penindasan rezim monarki

Pelatuk Perubahan dari Mimbar

Oleh Purkon Hidayat

Keindahan pertemuan ujung dua segitiga geometris yang membentuk lengkungan mirip kubah itu tepat berpadu dengan kokohnya dua tiang yang berdiri tegak. Gapura Universitas Tehran ini dibiarkan natural, terbuka, tanpa pulasan warna, tanpa atap dan tedeng aling-aling. Bahkan, tanpa tulisan secuilpun.

Gaba-gaba tanpa pintu ini adalah gerbang utama menuju aula shalat Jumat Tehran. Dari tempat inilah, revolusi Islam Iran mengukir kisahnya yang melengking keras ke segenap penjuru dunia. Gerbang universitas, aula dan mimbar Jumat menjadi saksi sejarah perlawanan yang terus menyala hingga kini.

Lebih dari tiga dekade silam, Ayatullah Taleghani meneriakan perlawanan menggulingkan Dinasti Shah Pahlevi, persis di mimbar Jumat ini, di aula yang sama dan masuk dari gapura yang sama pula. Seperti para pastor progresif yang berteriak lantang menentang imperialisme dan perbudakan di Amerika Latin. Para Mullah Iran dengan gigih mengobarkan spirit religius melawan penindasan rezim monarki. Para Akhon tidak hanya duduk manis belajar, mengajar maupun ceramah, tapi turun ke jalan bersama kelompok intelektual dan rakyat jelata.

Taleghani tidak sendirian. Ada ribuan ulama yang menyuarakan perlawanan menentang kezaliman penguasa. Muthahari, Behesti, Bahonar, Navvab Safavi dan deretan nama lainnya mengorbankan nyawa mereka untuk sebuah cita-cita mulia. Bebaskan bangsa dari belenggu tirani. Lebih baik mati mulia dari pada hidup terhina. Terkutuklah hidup terhina, haihat minna dzilat !

Perlawanan rakyat Iran yang dipimpin Imam Khomeini tidak hanya berhasil menggulingkan rezim diktator Reza Shah. Lebih dari itu, gerbong perlawanan rakyat Iran yang ditarik kaum klerik bersama intelektual ini mengibarkan bendera revolusi baru, yang kontras dengan revolusi lainnya di dunia. Sayup-sayup, keunikan revolusi Islam berkumandang lirih di Barat. Nikki R. Keddie dalam bukunya, Roots of Revolution: An Interpretive History of Modern Iran pernah mengungkapkan, revolusi Islam Iran lebih damai dibandingkan revolusi Perancis, Cina dan Rusia.

Revolusi Iran melahirkan Republik Islam yang dipilih secara demokratis melalui referendum.Tidak tanggung-tanggung, 98,2 persen rakyat Iran dengan sukarela memilih Republik Islam. Sebuah angka yang nyaris tiada bandingannya dalam penerapan demokrasi di negara manapun.

Dalam literatur tata negara, Republik Islam Iran juga menawarkan sintesis baru yang kokoh dari konsep Republik Plato, Madinah Fadhilah Farabi dan khazanah tradisi Islam Syiah. Dengan dukungan mayoritas rakyat, yang dibuktikan melalui penyelenggaraan pemilu selama lebih dari tiga dekade, sistem Wilayatul Faqih yang menjadi tonggak Repubk Islam tetap berdiri kokoh. Bahkan kian hari semakin mapan.

Ketika sistem demokrasi liberal Barat nyaris tidak memberikan kesempatan bagi capres alternatif di luar partai untuk memimpin negaranya. Demokrasi religius Iran, justru membuka peluang bagi calon alternatif, dari kelas manapun, untuk memimpin negara. Ironisnya, di Amerika Serikat, negara yang mengaku paling demokratis di dunia ini, hanya mengakui dua partai politik yang berkuasa, Partai Republik dan Demokrat. Siapa pun warga AS tidak bisa menjadi presiden tanpa menembus kanal dua partai ini.

Tidak hanya itu, demokrasi liberal acapkali sukses mengangkat selebriti menjadi pemimpin, seperti Arnold Schwarzenegger.Tapi, menjatuhkan cerdik pandai jadi pecundang.Tocqueville pernah berkata, demokrasi membawa musuh dalam keretanya sendiri.

Sebaliknya, demokrasi religius di Iran memungkinkan siapa saja warganya yang memenuhi syarat mendaftarkan diri sebagai capres. Sistem terbuka ini pula yang yang mengantarkan seorang mullah reformis karismatik seperti Khatami menjadi presiden. Juga, membawa seorang anak keluarga tukang besi ke kursi presiden.Tidak disangka-sangka, tanpa money politics dan tanpa publikasi gede-gedean, Ahmadinejad terpilih menjadi presiden Iran mengalahkan mullah politikus-konglomerat semacam Rafsanjani pada kompetisi pilpres 2005 silam. Sontak, majalah mingguan Jerman, Der Spiegel pernah berseloroh serius, Ahmadinejad, presiden modal dengkul.

Revolusi Islam Iran juga menghidupkan kembali ide teokrasi, setelah Machiavellian menguburnya hidup-hidup selama empat abad silam. Manifesto revolusi Islam memandang agama berperan vital di ranah politik. Setidaknya, Republik Islam, dalam tarap tertentu, berhasil mewujudkan mimpi Rousseau tentang komunitas yang konkret, homogen dan tidak terbawa hanyut arus global kapitalisme yang menggurita saat ini. Padahal di Barat sendiri, pemikiran filosof Geneva ini dianggap sekedar mimpi belaka. Alexander Hamilton, James Madison dan John Jay dalam Federalist Papers menyebut ide Rousseau tidak realistis.

Pasca runtuhnya kejayaan Uni Soviet, revolusi Islam Iran telah membuktikan dirinya menjadi ikon perlawanan baru menghadapi hegemoni adidaya global selama lebih dari tiga dekade.

Revolusi Islam tidak hanya berhasil mengubah sistem negara Iran dari monarki menjadi Republik Islam. Perlawanan masif rakyat juga berhasil memotong tangan dan kaki hegemoni adidaya global di negeri Persia itu. Beberapa bulan pasca kemenangan revolusi Islam, para mahasiswa menduduki kedutaan Besar AS di Tehran. Seruan tandas, tapi singkat seorang mullah telah menggerakan massa menduduki sebuah perwakilan negara yang mengklaim paling kuat di dunia ini. Pelatuk perubahan dari mimbar itu mampu meruntuhkan mitos kedigjayaan AS. Sekali lagi, gerbang universitas, aula dan mimbar Jumat menjadi saksi sejarah perlawanan yang terus menyala hingga kini.

Di usia tiga puluh satu tahun, revolusi Islam semakin dewasa, matang dan menemukan bentuk barunya. Belum lama ini, perlawanan itu membuncah lagi Jumat (16/4). Gerbang universitas, aula dan mimbar Jumat Tehran kembali menyaksikan pelatuk perubahan ditarik kaum mullah. Khatib Jumat Tehran dengan lantang menyatakan, "Negara-negara adidaya global tidak akan bisa menjegal kemajuan Iran. AS tidak mampu menghentikan program nuklir sipil Iran."

Sontak, jemaah berdiri bersemangat, sembari mengacungkan kepalan tangan menyambut seruan khatib. Hujatul Islam Kazem Sadeghi menandaskan, "Agama Islam mendorong manusia mencapai kemajuan setinggi-tingginya.Tapi, Islam melarang manusia menyakiti sesama dan alam semesta. Apalagi membunuhnya. Untuk itu, Islam melarang senjata nuklir."

Tepat sehari setelah seruan perlawanan dari mimbar ini berkumandang, Tehran menjadi tuan rumah konferensi perlucutan senjata nuklir sedunia dengan tema ‘Energi Nuklir Untuk Semua, Senjata Nuklir tidak Untuk Siapapun'. Konferensi ini berlangsung beberapa hari setelah AS menggelar pertemuan serupa di Washington. Pertemuan keamanan nuklir Washington merupakan cara lain Gedung Putih untuk menekan Iran agar menghentikan program nuklirnya.

Alih-alih patuh dan menyerah, Iran justru balik membalas tekanan ini dengan perlawanan baru. Iran akan menyeret AS ke PBB. Konferensi perlucutan senjata nuklir di Tehran mendesak Badan Energi Atom Internasional (IAEA) membentuk komisi pencari fakta, guna menyelidiki pelanggaran yang dilakukan negara pemilik senjata nuklir terhadap pasal 1 dan 2 traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

Tidak hanya itu, konferensi Tehran juga mendesak IAEA menyelidiki kongsi haram sejumlah negara yang mentransfer teknologi senjata nuklir kepada Rezim Zionis Israel. Terang saja, Washington kebakaran jenggot.

Bersama Prancis, AS membantu Israel memproduksi hulu ledak nuklir yang melebihi 200 buah. Setiap tahunnya, Gedung Putih mengucurkan milyaran dolar kepada anak emasnya ini. Dukungan membabi buta Washington kepada Tel Aviv semakin meningkatkan tensi permusuhan AS-Iran.

Kini, permusuhan Washington-Tehran ini kian memanas. Obama yang disebut-sebut sebagai presiden moderat ini justru menggiring opini publik dunia untuk meningkatkan eskalasi sanksi terhadap Iran. Bahkan, di Gedung Putih sempat mengemuka sanksi militer bagi Tehran. Pentagon berulang kali menggulirkan ide kontroversial, opsi militer adalah satu-satunya cara untuk menghentikan program nuklir Iran.

Tampaknya, Jimmy Carter harus dibangunkan dari kuburnya untuk mengingatkan pemerintahan Obama.Tiga dekade silam, ketika kedutaan AS di Tehran diduduki para mahasiswa, Presiden Jimmy Carter pernah sesumbar, "Tehran akan kita kuasai dalam hitungan jam." Sontak, Pentagon mengirimkan tim militer terbaiknya dari kapal induk yang diparkir di salah satu negara Arab.

Operasi militer yang diberi sandi Eagle Claw ini diangkut menggunakan hercules C-130, jenis pesawat tercanggih kala itu. Tapi, tim militer yang dibanggakan tersebut luluh lantak dihantam badai di Tabas, Iran Tengah. Sisanya, melarikan diri tunggang langgang. Carter pucat pasi.

Mengingat peristiwa itu, sepertinya Obama harus berpikir ulang untuk mendendangkan lagu Queen, ‘We are the champions, my friend!' Sebab kini, mitos kedigjayaan Amerika itu mulai tumbang.

Barangkali, Obama harus lebih banyak mendengar pandangan para profesor di negaranya sendiri mengenai Iran. Keddie dalam bukunya, Modern Iran: Roots and Results of Revolution dengan jujur mengatakan, "Laju pembangunan ekonomi, perluasan industri, pertumbuhan kota, peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan meningkatnya emansipasi perempuan adalah deretan alasan bagi saya untuk positif melihat masa depan Iran."

Lebih dari tiga dekade, Amerika menekan Iran dari berbagai sektor. Gedung Putih mengucurkan milyaran dolar. Hasilnya, Iran justru semakin kuat. Iran kini, telah melesat jauh. Dari mimbar itu, pelatuk perubahan terus-menerus ditarik kencang. Faucault benar, revolusi Islam berhasil memporak-porandakan struktur modernisme. Separuh buktinya, kita saksikan saat ini! (Purkon Hidayat/IRIB/12/4/2010)

Berkah Tinta Cendikia dan Darah Syuhada

oleh: Purkon Hidayat

Raut muka para guru lebih sumringah. Cerah dan berseri-seri, melebihi biasanya. Mereka memperingati hari besar profesinya. Menerima ucapan tulus tabik, bunga dan kado dari para pelajar. Di dinding sekolah SMP dekat gang menuju apartemen yang saya tempati, terbentang spanduk besar, Rooz-e Moallim Mobarak bad, ‘Selamat Hari Guru'. Ucapan itu juga bergema di seluruh penjuru Iran.

Persis, di sepanjang jalan utama Tehran terpampang sejumlah spanduk hari guru dengan latar gambar seorang pria bersorban putih. Sosok ulama dalam poster itu adalah sang martir, syahid Murtadha Muthahhari.

Sebagai bentuk lain penghormatan terhadap jasa besar Muthahhari, pemerintah Iran mengabadikan hari kematiannya sebagai hari guru. Selain itu, sebuah jalan utama di Teheran Utara, Takhte Tavoos, Singgasana Merak, diganti menjadi jalan Morteza Motahari. Jalan raya tersebut menghubungkan jalur utama Sohravardi dan Vali Ashr.

Muthahhari muda mengenyam pendidikannya hingga mencapai derajat mujtahid di Hauzah Ilmiah Qom dari tahun 1944 hingga1952. Kemudian, ia hijrah ke ibu kota Iran dan mengajar di Fakultas Teologi Universitas Tehran selama 22 tahun. Muthahari juga memberikan ceramah di Huseiniyah Irsyad, Tehran Utara selama delapan tahun. Bersama Syariati dan pemikir lainnya, Muthahhari mengobarkan spirit perlawanan menghadapi rezim diktator Reza Shah.

Di bawah bimbingan Imam Khameini, Allamah Thabathabai, dan ulama terkemuka masa itu, Muthahhari mendalami khazanah klasik Islam klasik dari fikih, akhlak hingga filsafat. Bahkan, Muthahhari tidak hanya mencerap gagasan sang guru. Ia pun fasih mengkritik pemikiran gurunya dan berhasil menelorkan pemikiran orsinil.
Tidak hanya mahir berorasi di mimbar, pemikir prolifik ini menulis berbagai isu tentang Islam, Iran, dan problem kontemporer. Saat ini, karya-karya Muthahhari yang melebihi 60 buku diterbitkan penerbit Sadra, Tehran.

Keluasan dan ketajaman pemikiran Muthahhari membuat dirinya mampu merespon beragam pemikiran yang berkembang saat itu, bahkan pandangannya mash relevan hingga kini. Dalam berbagai karyanya, Muthahhari terbukti mampu menyelami berbagai disiplin di luar bidang utamanya. Meski bukan ekonom, martir kelahiran Khorasan ini memiliki pandangan cemerlang di bidang ekonomi.

Muthahhari dalam bukunya, ‘Sistem Ekonomi Islam' mengemukakan pandangan mengenai ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi. Bagi Muthahhari, ekonomi Islam adalah bagian integral dari sistem Islam. Salah satu pandangan ekonominya yang menonjol adalah kemandirian ekonomi dan jaminan sosial. Di mata Muthahhari, Islam adalah agama yang sangat konsen terhadap kepentingan sosial publik, sekaligus menghargai hak individu.

Sebagai agama yang menjunjung tinggi kebebasan, Islam menentang kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun. Dewasa ini, ekonomi menjadi sarana paling empuk bagi negara adidaya untuk membenamkan hegemoni sedalam dalamnya kepada negara berkembang dan terbelakang. Negara-negara dunia ketiga terperangkap jaring struktur ketergantungan dan dominasi yang dipasang negara-negara kaya. Untuk keluar dari jeratan ini, Muthahhari menyerukan kemandirian ekonomi. Pandangan Muthahhari ini sejalan dengan seruan Imam Khomeini mengenai kemandirian di segala sektor.

Lebih dari tiga dekade, pandangan Muthahhari mengenai kemandirian ekonomi ini berbuah manis. Kini, Iran yang pernah berada dalam cengkeraman kolonialisisi asing di masa silam seperti Inggris dan Amerika, berganti menjadi negara mandiri. Di tengah badai embargo ekonomi dan pengucilan di arena internasional, Iran justru menjadi negara yang berdiri kokoh di kakinya sendiri.

Buktinya, ketika gelombang krisis ekonomi global menumbangkan korporasi raksasa Amerika dan imbasnya mengombang-ambing ekonomi negara-negara dunia, Iran nyaris tidak terpengaruh.

Korporasi sebesar Lehman Brother, AIG, hingga perusahaan sekuritas semacam Merill Lynch dan Morgan Stanley tumbang. Bahkan, Amerika dengan sistem common law yang dipuja sebagai negara paling stabil ekonominya di dunia ini kedodoran mengatasi krisis ekonomi dalam negeri yang dipicu oleh problem subprime mortgage. Problem ekonomi domestik ini juga membuat popularitas Obama kian hari semakin merosot.

Tapi, berpalinglah sejenak, lihatlah Iran. Dalam pusaran krisis, musuh bebuyutan AS ini justru menunjukan resistensinya. Di sektor finansial, Bursa Efek Tehran nyaris tidak terpengaruh gelombang dasyat tersebut. Ada koreksi, tapi tidak signifikan. Bahkan, beberapa pekan terakhir indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Saham Tehran naik tajam. Penjualan saham sejumlah BUMN yang diprivatisasi malah mendapat respon positif dari pasar domestik.

Tahun ini, di bawah tekanan sanksi negara-negara Barat terutama Amerika, pemerintah Ahmadinejad melakukan terobosan besar. Putra keluarga pandai besi ini merombak fundamental ekonomi Iran dengan meluncurkan program kontroversial, subsidi terarah, Hadafmandi Yaraneh. Program ini puja jelata, dicaci si kaya.

Di tingkat makro, pemerintah Ahmadinejad berhasil menurunkan tingkat inflasi. Belum lama ini, Bank Sentral Iran mengumumkan, tingkat Inflasi turun 15,6 persen dari 25,4 persen pada bulan Farvardin 1388 Hs menjadi 10,8 persen pada bulan Isfand.

Apa resep keberhasilan ini. Muthahhari melontarkan pandangan mengenai keterkaitaan erat antara kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Ekonomi yang sehat akan terwujud ketika perekonomian suatu negara tidak didikte oleh kekuatan asing. Sedangkan kesejahteraan rakyat akan terwujud, jika kesenjangan kelas semakin minimal mendekati nol. Negara harus menciptakan sebuah kondisi bisnis yang sehat, di mana permintaan dan penawaran bertemu dalam titik equilibrium. Namun Di sisi lain, negara juga harus mendongkrak tingkat pendapat orang-orang miskin.

Pemerintah Ahmadinejad mewujudkan pandangan Muthahhari ini dalam bentuk subsidi terarah. Repelita kabinet ke-10 memfokuskan program ekonomi pada upaya meminimalisasi kesenjangan pendapatan. Pemerintah Tehran memprediksi indeks Gini Iran bisa ditekan hingga 0,35 dengan penerapan subsidi terarah ini. Dua tahun lalu, indeks Gini Iran sebesar 0,44. Sedangkan rata-rata indeks Gini pasca kemenangan revolusi Islam Iran berkisar antara 0,40-0,45.

Di luar rentengan angka-angka statatistik ini, kabinet Ahmadinejad tahu persis pesan Douglass C. North. Penerima hadiah Nobel ekonomi tahun 1993 itu pernah menyarankan untuk meninjau konteks sebuah mekanisme pasar. Penggagas institusi ekonomi ini mengingatkan,"Kita tidak hanya perduli pada mekanisme pasar saja. Tapi melihat mekanisme pasar itu dari waktu ke waktu." Kebijakan ini sekaligus bentuk intervensi ex ante dalam menghadapi hegemoni finansial global yang rentan bergejolak.

Ahmadinejad menerjemahkan saran North dengan menerapkan jaring pengaman sosial dan program prioritas distribusi adil di daerah. Bagi Doktor teknik sipil ini, Pasar harus dibebaskan, tapi juga harus dikawal. Mantan Wali Kota Tehran ini menerjunkan petugas yang memantau harga di pasar.

Untuk menggenjot kesejahteraan rakyat di daerah, aliran dana deras dikucurkan ke berbagai provinsi, sesuai kebutuhan daerah masing-masing.Tidak tanggung-tanggung, Ahmadinejad terjun langsung ke daerah, merasakan dari dekat penderitaan rakyat bawah. Ia juga menginstruksikan kucuran anggaran dalam rapat dadakan dengan jawatan pemerintah daerah.

Saat mengunjungi Ahvaz belum lama ini, seorang profesor agrobisnis yang mengantar saya mengelilingi ibu kota provinsi Khuzestan, mengungkapkan, kota ini jauh lebih maju semenjak Ahmadinejad menjabat sebagai presiden Iran. Prof Nashiri bertutur, "Lihat saja sendiri kemajuan kota ini." Benar saja, infrastruktur baru di kota ini jauh meningkat dari periode sebelumnya. Di kota Qom, pertumbuhan kota religius ini berkembang pesat. Begitu juga menimpa daerah lainnya di penjuru Iran.

Sejatinya, semua ini tidak akan pernah terwujud tanpa kerja keras dan pengorbanan. Pembangunan di negara ini juga berkah tinda cendikia dan darah syuhada. Muthahhari menyumbangkan keduanya untuk kemajuan bangsa dan negara ini.(3/5/2010)

Ahmadinejad, Pendulum Ekonomi Iran

Purkon Hidayat

Oleh: Purkon Hidayat

Sejumput rumput menyembul dari bola basket warna merah tua yang dikerat manis, terpampang persis di samping tulisan selamat tahun baru, Sal-e Nou Mobarak. Papan reklame sebuah perusahaan saus terbesar pendukung olahraga Iran ini terbentang lebar di jalan raya Chamran, tepat menuju pintu gerbang utara kantor IRIB, Radio dan Televisi Iran, tempat saya bekerja. Meski bulan pertama tahun baru Iran sudah berjalan dua puluh hari, suasana Tahun Baru Nouruz masih melekat di hati masyarakat Iran.

Seiring merekahnya tangkai bunga dan hijaunya dedaunan di awal musim semi, masyarakat Persia berbinar-binar memasuki tahun baru dengan gunungan harapan. Dentang pergantian tahun menorehkan optimisme baru bagi bangsa Iran, mulai dari supir taksi hingga presiden. Persis seperti sapaan hangat di antara mereka yang sarat harapan, ‘Selamat tahun baru, semoga menjadi tahun yang baik bagimu.'

Bagi Presiden Iran, tahun 1389 Hs menjadi momentum yang tepat untuk merombak struktur ekonomi negeri Persia ini. Ahmadinejad acapkali menyuarakan urgensi reformasi ekonomi Iran. Tidak tanggung-tanggung, doktor transportasi jebolan Universitas Elm va Sanat Tehran ini menggulirkan ide kontroversial, subsidi terarah, hadafmand kardan-e yaraneh.

Pria bersahaja putra tukang besi ini gregetan menyaksikan besarnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk mendanai impor bensin dari negara lain. Belum lagi, negeri para Mullah ini, terus-menerus digencet embargo ekonomi Gedung Putih, termasuk larangan ekspor bensin bagi perusahaan-perusahaan AS ke Iran.

Produksi bensin dalam negeri Iran hingga kini belum mampu memenuhi tingginya kebutuhan bensin di negeri kaya minyak ini. Pasalnya, perang delapan tahun yang dipaksakan rezim Baath Irak terhadap Iran memporak-porandakan instalasi minyak dan produk olahannya. Belum lagi, lonjakan kuantitas mobil-mobil pribadi yang berseliweran memadati ruas-ruas jalan Tehran terus-menerus menguras gelontoran bensin dari pom-pom bensin yang buka 24 jam. Prosentasi kepemilikan mobil di Tehran terbilang fantastis. Konon, satu dari sembilan warga Iran di Tehran memiliki satu buah mobil.Terang saja, kemacetan kian membengkak menghantui kota metropolitan ini.

Lima tahun lalu, bensin adalah komoditas yang lebih murah dari sebotol kecil air mineral. Semenjak Ahmadinejad menjabat sebagai presiden Iran, mantan walikota Tehran ini menerapkan kebijakan kontroversial dengan menaikan harga bensin dari 80 toman menjadi 100 toman (sekitar 1.000 rupiah).

Tidak hanya itu, dua tahun kemudian, Ahmadinejad malah menaikan harga dasar bensin menjadi 400 toman. Meski harga bensin dinaikan, namun setiap warga Iran yang memenuhi syarat diberi jatah subsidi bensin sebesar 100 liter perbulan dalam kartu bensin masing-masing.

Sebagai kompensasi kenaikan harga bensin, pria brewok kurus ini mengalokasikan dana subsidi untuk perbaikan infrastruktur dan jaring pengaman sosial di Iran, terutama di daerah.

Di Tehran utara, wilayah papan atas Iran, kebijakan Ahmadinejad memicu protes dari kalangan menengah ke atas. Imbasnya, pada pilpres 2009 silam, perolehan suara Ahmadinejad di Tehran kota, terutama Tehran Utara kalah tipis dari pesaing utamanya Mousavi. Namun, perolehan suara mantan Walikota Ardabil di Tehran besar, terutama di wilayah menengah ke bawah jauh mengalahkan mantan perdana menteri Iran itu.

Putra keluarga pandai besi ini senantiasa mendapat sambutan hangat rakyat dalam setiap safari provinsinya. Bagi orang daerah, naiknya Ahmadinejad adalah durian runtuh yang ditunggu-tunggu. Lima tahun menjabat sebagai presiden, Ahmadinejad telah menyulap desa-desa Iran. Selama lima tahun, pria yang membuat politisi Gedung Putih mencak-mencak ini, memfokuskan pembangunan di daerah-daerah, terutama perbaikan fasilitas umum, hingga ke desa-desa terpencil. Bagi Ahmadinejad, Iran bukan hanya untuk Tehran, Iran untuk seluruh bangsa Iran.

Lebih dari separuh bulan pertama tahun baru Iran dilalui. Penerapan program subsidi terarah makin bergulir kencang. Koran Donya Eghtesad dalam editorialnya baru-baru ini menyoroti penerapan subsidi terarah di Iran. Harian ekonomi berbahasa Farsi terbesar di Iran ini menyebut penyesuaian harga menjadi harga riil merupakan salah satu agenda utama reformasi Iran. Harga riil komoditas yang dimaksud adalah titik equilibrium, pertemuan antara supplay dan demand. Hingga kini, parlemen dan pemerintah masih membahas penerapan penuh program itu.Pemerintahan Ahmadinejad bertekad menjalankan penuh program subsidi terarah ini.

Saat menumpang metro membelah jantung kota Tehran, tidak sengaja saya mendengarkan percakapan warga Iran yang datang dari daerah tentang Ahmadinejad, Ou, mardom az jins mardom ast, dia adalah rakyat dari kalangan jelata.

Sejatinya, pembangunan, bagaimanapun adalah keberpihakan. Lalu, apa yang sedang diperjuangkan dan yang sedang dibela oleh Ahmadinejad? Bagi jutaan warga Iran di pelosok negara ini, Ahmadinejad adalah hero bagi mereka.

Di tengah pro kontra mengenai penerapan penuh program subsidi terarah, Ahmadinejad tetap optimis, penerapan penuh subsidi terarah adalah terobosan besar bagi Iran yang akan membawa negara ini mengulang masa keemasan dinasti Persia. Mungkinkan Ahmadinejad akan senasib dengan Deng Xiaoping, program ekonominya dikecam sekolompok orang pada masa hidupnya, dan dipuja setelah menutup hayatnya.

Seperti merekahnya Sabzi, hijaunya rumput dan membuncahnya harapan yang sesekali diselipi kecemasan kecil, Iran terus membangun dengan caranya sendiri di tengah himpitan sanksi negara-negara arogan global. Jika Elvis Presley masih hidup, barangkali ia akan menghibur Ahmadinejad dengan mengatakan, It's Now or Never, Tomorrow will be too late.(10/4/2010)

0 comments to "Gerbang utama menuju aula shalat Jumat Tehran mengobarkan spirit religius melawan penindasan rezim monarki"

Leave a comment