SEPULUH jari tangan itu terlipat kaku. Tak bisa menggenggam secara sempurna. Tapi lelaki tua berusia 61 tahun itu tetap cekatan dan lincah mengendarai sepeda motor. Senyum ramah pun mengembang di bibirnya.
"Selamat datang di dusun kami, mari silakan masuk," kata Hasbullah sesaat ketika BPost dan Kepala Desa Batalang Sarkani menginjakkan kaki di halaman rumahnya yang terasa sejuk oleh rimbunnya tanaman pisang yang menyelimuti pekarangan, Sabtu (5/6/2010).
Lengang. Rumah warga berjauhan dengan kontruksi kayu yang mulai usang yang dikelilingi pohon karet dan tanaman pisang. Langgar kecil 'Sabilal Janah' yang berada dekat pintu masuk dusun seolah menyambut tiap tamu yang datang. Kondisinya pun mulai kusam.
Itulah dusun I Desa Batalang Kecamatan Jorong yang berjarak tiga kilometer dari pusat pemerintahan desa. Dusun ini adalah permukiman para eks penderita kusta yang berasal dari Banua Enam. Pada 1985 silam pemerintah membangun transmigrasi sosial (transos) di situ khusus untuk menampung penderita kusta yang telah sehat secara klinis dan mampu beraktivitas.
Pada awal penempatan 10 September 1985, jumlah peserta transos penderita kusta 50 KK. Namun kini cuma tersisa 17 KK (52 jiwa) yang masih bertahan. Beratnya beban hidup membuat sebagian dari mereka menyerah dan pulang ke kampung.
Sebagian besar mereka berasal dari Rantau. Sebelumnya mereka menjalani perawatan dan penanganan medis intensif di RS Sungai Besar Rantau. Penuturan Hasbullah, saat itu ada 150 orang penderita kusta termasuk dirinya yang dirawat di rumah sakit itu. Cukup lama perawatan yang mereka jalani.
Pada 1985, Hasbullah dan 24 penderita kusta lainnya dinyatakan telah sembuh dan dinilai bisa menjalani hidup secara normal. Mereka pun didaftarkan menjadi peserta transos di Batalang.
Cukup berat perjuangan hidup eks penderita kusta itu meretas kehidupan baru di perantauan. Tak cuma sulitnya bercocok tanam lantaran banyaknya hama tanaman. Lebih dari itu yang membuat mereka kerap kehilangan semangat adalah terkucil dari pergaulan sosial.
Lima tahunan mereka merasakan keterisolasian itu. Warga sekitar seolah belum siap menerima kehadiran mereka, karena kekhawatiran berlebihan akan tertular kusta. Padahal mereka telah sembuh.
Istri mereka yang sehat--tak pernah menderita kusta--pun kerap menerima dampaknya, seperti, cemoohan dan cibiran. "Saat saya belanja ke pasar Desa Damit dan hendak naik angdes, penumpang lainnya buru-buru turun. Saya sedih ketika itu," kata Halimah (55), istri Hasbullah.
Kini pengalaman getir seperti itu telah sirna. Seiring bergulirnya waktu dan pemahaman masyarakat terhadap penyakit kusta, warga sekitar telah menerima mereka seutuhnya sejak belasan tahun silam. Bahkan tak sedikit anak-anak eks penderita kusta Batalang yang kawin dengan warga setempat.
(roy)
0 comments to "Penduduk Banjar kena Kusta...."