Home , , � Lingkaran Setan

Lingkaran Setan

Lingkaran Setan Perundingan Israel-Palestina

Lebih dari 60 tahun sudah, rezim zionis Israel menancapkan penjajahannya di bumi Palestina. Selama masa itu pula, rakyat Palestina berjuang dengan berbagai cara untuk memperoleh kemerdekaan dan merebut kembali tanah air mereka. Namun dukungan negara-negara arogan, terutama Amerika Serikat terhadap Israel dan tidak adanya keseriusan negara-negara Arab untuk menyokong perjuangan Palestina membuat perjuangan itu tak banyak membuahkan hasil.

Kegagalan ini akhirnya menyadarkan kelompok-kelompok pejuang Palestina bahwa berdamai dengan Israel bukanlah solusi untuk mewujudkan Palestina yang merdeka. Mereka berkesimpulan, muqawama dan perlawanan bersenjata merupakan satu-satunya cara untuk bisa lepas dari jeratan penjajahan.

Perundingan damai antara rezim zionis Israel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dimulai sejak tahun 1991 di bawah pengawasan AS yang akhirnya berujung dengan ditandatanganinya Perjanjian Gaza-Jericho pada tahun 1993. Berdasarkan perjanjian tersebut dan kesepakatan berikutnya, disepakati pembentukan pemerintahan Palestina yang berwilayah di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara wilayah lainnya diserahkan kepada Israel.

Namun dalam prakteknya, rezim zionis menyalahi komitmen yang disepakat dan hanya bersedia menerima kehadiran pemerintahan otonomi Palestina yang hanya memiliki cakupan wilayah kurang dari 80 persen dari keseluruhan luas Tepi Barat. Pemerintah otonomi ini dari sisi militer, keamanan, dan ekonomi sangat bergantung pada rezim zionis.

Berdirinya pemerintahan otonomi ini membuat gerakan perjuangan Palestina menjadi lesu untuk sementara waktu. Pasukan keamanan pemerintahan otonomi ternyata justru menjadi alat untuk memberangus gerakan para pejuang Palestina. Proyek pembangunan permukiman yahudi di Tepi Barat juga terus berlanjut sementara Baitul Maqdis yang telah disepakati sebagai ibu kota pemerintahan otonomi Palestina ternyata tak juga terealisasikan. Dengan demikian perundingan damai Israel-Palestina hanya menghasilkan kerugian bagi bangsa Palestina. Keadaan itu menyadarkan rakyat Palestina untuk kembali mengangkat senjata melawan penjajahan rezim zionis. Sehingga pada tahun 2001 muncul kembali gerakan intifadha Masjidil Aqsha.

Semenjak itu banyak kelompok-kelompok pejuang Palestina yang menuntut dicabutnya seluruh kesepakatan dengan rezim zionis dan menghentikan perundingan damai. Namun PLO yang didukung negara-negara Barat dan beberapa negara Arab pro-Israel terus melanjutkan misi perundingan damainya dengan Tel Aviv.

Meski demikian, proses perundingan itu akhirnya terputus ketika rezim zionis melancarkan agresi militer selama 22 hari ke Jalur Gaza pada awal tahun 2009. Terputusnya proses perundingan itu mendorong AS dan sekutunya untuk kembali membujuk pimpinan otonomi Palestina, Mahmoud Abbas kembali ke meja perundingan. Akhirnya perundingan damai itu kembali dihidupkan pada 2 September lalu yang digelar di Washington. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah babak baru perundingan damai akan mampu mengembalikan hak-hak bangsa Palestina dan Israel sudi menaati komitmennya?

Sejatinya, rezim zionis Israel adalah rezim penjajah dan ekspansionis yang tidak pernah rela memberikan keuntungan bagi Palestina. Apalagi selama ini pun rezim zionis tidak pernah menaati hukum dan aturan internasional. Karena itu, kalaupun nantinya pemerintah otonomi Palestina di Ramallah pimpinan Mahmoud Abbas berhasil menjalin kesepakatan dengan Israel, namun kecil kemungkinan Israel bakal menjalankan hasil kesepakatan. Apalagi saat ini, Abbas tak lagi memiliki dukungan publik yang kuat dari rakyat dan posisinya di pucuk pimpinan Otoritas Ramallah juga sudah rapuh. Sementara Benjamin Netanyahu dikenal sebagai sosok pemimpin rezim zionis yang radikal dan tidak pernah rela memberikan keuntungan kepada Palestina.

Menteri Luar Negeri Rezim Zionis Israel Avigdor Lieberman dalam sebuah pertemuan pasca perundingan 2 September, dengan tegas menyatakan bahwa tercapainya perdamaian Israel-Palestina tidak akan mungkin bisa terwujud tahun depan bahkan hingga satu generasi mendatang sekalipun.

Di sisi lain, banyak juga para pemerhati politik yang pesimis dengan keberhasilan perundingan damai Israel dan Otoritas Ramallah yang mengklaim sebagai wakil Palestina. Mereka menilai perundingan itu digelar dalam situasi yang tidak tepat dan tidak memiliki persiapan yang matang. Di mata mereka, perundingan tersebut hanya bagian dari politik pencitraan Barack Obama dan Partai Demokrat menjelang pemilu parlemen November mendatang. Koran Los Angeles Times terbitan AS menuturkan, "Pertemuan ini sejatinya merupakan pertunjukan untuk menyenangkan hati Barack Obama. Karena sejak awal berkuasa, ia berkali-kali mengungkapkan harapannya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina".

Pada dasarnya, bila kita melihat kembali kebijakan rezim zionis Israel belakangan ini tampak nyata bahwa Tel Aviv tak pernah bersedia mengorbankan kepentingannya. Hal itu bisa terlihat pada sikap keras kepala Israel yang tidak ingin menghentikan proyek permukiman zionis di Tepi Barat. Padahal proyek tersebut bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya antara Israel dan otorita Ramallah. Menlu Israel Avigdor Lieberman menegaskan, "Kami bersedia merundingkan apapun, namun kami tidak akan sudi menghentikan pembangunan permukiman walau semenit sekalipun". Sikap radikal ini menunjukkan tujuan nyata kebijakan ekspansionis rezim zionis.

Kembalinya para pengungsi Palestina ke tanah air mereka merupakan isu lain yang menjadi pembahasan dalam perundingan Israel dan Otoritas Ramallah. Tentu saja Israel pun tidak akan pernah mau menerima rencana pemulangan kembali pengungsi Palestina.

Di sisi lain, tuntutan pembentukan negara merdeka Palestina yang diajukan Otoritas Ramallah ternyata hanya model negara yang disepakati dalam Perjanjian Gaza-Jericho. Padahal model negara Palestina semacam itu hanya memiliki luas wilayah 22 persen dari wilayah Palestina yang sebenarnya. Ironisnya, bentuk negara semacam itu pun ditolak mentah-mentah oleh Israel.

Tidak hanya itu saja, rezim zionis Israel juga tidak bersedia mengakui Baitul Maqdis Timur sebagai ibu kota pemerintahan otonomi Palestina. Padahal sebelumnya, isu tersebut telah menjadi kesepakatan bersama. Sebaliknya rezim zionis justru mengklaim bahwa seluruh Baitul Maqdis merupakan ibu kota abadi Israel. Tel Aviv bahkan berusaha mengusir seluruh warga Palestina dari Baitul Maqdis dan menghancurkan Masjidil Aqsha.

Lebarnya friksi yang demikian mencolok ini bahkan membuat para pendukung perundingan damai pun pesimis dengan keberhasilan perundingan. Perdana Menteri Otoritas Ramallah, Salam Fayadh menegaskan, "Faktor-faktor perusak perundingan sangat lebih berpengaruh dan penting ketimbang faktor penyuksesnya". Begitu juga dengan Sekjen Liga Arab Amr Moussa. Ia bahkan meramalkan bahwa perundingan lanjutan Israel-Palestina di Sharm El-Sheikh, Mesir merupakan akhir dari perundingan damai. Sementara jururunding senior Palestina, Saeb Erekat menyebut kegagalan perundingan damai sebagai ajal bagi berakhirnya pemerintahan otoritas Palestina di Ramallah.

Melihat kenyataan ini, tampak nyata bahwa rangkaian perundingan damai Israel-Palestina yang digelar sejak 1991 lalu merupkan lingkaran setan yang hanya menghasilkan kesia-siaan. Lingkaran setan itu hanya memaksa Palestina untuk memberika konsesi bagi Israel dan hanya memperkuat posisi rezim zionis. Tentu saja, mayoritas bangsa Palestina saat ini telah sadar bahwa perundingan tak lagi bisa diharapkan dan muqawama merupakan satu-satunya solusi untuk memperjuangkan cita-cita luhur bangsa Palestina.(irib/9/9/2010)

0 comments to "Lingkaran Setan"

Leave a comment