Home , , , , , � Islam Vs Sekularisme di Tunisia

Islam Vs Sekularisme di Tunisia

Ben Ali dan istri

Tidak ada yang menyangka aksi bakar diri Mohamed Bouazizi, sarjana Tunisia pada 17 Desember 2010 di kota Sidi Bouzid menjadi pemicu kemarahan besar rakyat dan jatuhnya pemerintahan despostik Ben Ali. Bouazizi, sarjana yang terpaksa menjual sayur lewat gerobak ini nekad membakar diri sebagai protes atas tindakan brutal polisi yang menyita gerobak sayurnya dengan alasan tidak memiliki izin. Ia pun kecewa dan memilih membakar diri untuk meluapkan protesnya. Warga pun mengapresiasi tindakan Bouazizi dengan turun ke jalan-jalan dan menuntut Ben Ali lengser.

Aksi protes warga Tunisia dimulai dari kota Sidi Bouzid, tempat Bouazizi membakar diri dan merembet ke seluruh wilayah Tunisia. Gelombang kemarahan warga yang tertekan oleh kediktatoran Ben Ali selama 24 tahun ini berjalan beberapa pekan. Pemerintahan Ben Ali berusaha mengontrol keadaan dengan menangkapi para demonstran dan membantai warga. Puluhan orang tewas dan ratusan lainnya ditangkap. Namun warga bukannya mundur, tapi kian geram serta meningkatkan aksinya. Dalam gelombang protes warga, gedung pemerintah dan pusat perbelanjaan menjadi korban serta dibakar massa.

Pemberlakukan kondisi darurat militer, peliburan sekolah dan universitas pun tak mempan. Pemerintahan Ben Ali tetap saja gagal meredam kemarahan rakyat. Aliansi Buruh Tunisia memiliki andil besar dalam aksi penumbangan diktator Ben Ali. Aliansi ini giat menyeru warga untuk berdemo dan mendukung aksi turun jalan warga di Sidi Bouzid. Aliansi buruh, guru, mahasiswa, penulis, wartawan, organisasi wanita serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi urat nadi gerakan protes warga.

Ben Ali, presiden seumur hidup Tunisia menyangka gelombang protes warga ini sebagai hal biasa dan dapat dipadamkan seperti aksi-aksi sebelumnya. Namun kemudian, ia baru sadar bahwa kali ini protes warga tidak akan dapat dipadamkan meski dengan aksi kekerasan militer. Kesadaran tersebut sangat terlambat, meski ia menjanjikan untuk mengadakan perubahan menyeluruh. Sikap ini seperti kebanyakan diktator dunia yang baru bangun dari alam mimpinya setelah kekuasaannya berada di ujung tanduk.

Saat muncul di layar televisi, Ben Ali menyatakan mendengar keluhan rakyatnya soal pengangguran dan akan memenuhi tuntutan mereka untuk melakukan berbagai perbaikan di pemerintah. "Reformasi adalah jawaban bagi tuntutan kalian. Saya menyadari hal ini dan sangat menderita," ungkap Ben Ali. Namun rakyat tidak percaya akan janji-janji Ben Ali, mereka tetap melanjutkan protesnya. Akhirnya Ben Ali dan keluarganya dengan membawa puluhan koper yang berisi uang dan emas milik rakyat lari meninggalkan Tunisia.14 Januari, satu bulan setelah dimulainya aksi protes, militer ditempatkan di berbagai titik sensitif dan bandara. Akhirnya berita larinya Ben Ali tersebar ke seluruh Tunisia. Diktator Tunisia ini terpaksa meminta suaka ke Arab Saudi setelah ditolak berbagai sekutu dekatnya, khususnya Perancis.


Mengikuti transformasi di Tunisia, terdapat analisa beragam. Elit politik dan media Barat menyebut Tunisia sebagai negara teraman di Afrika Utara. Tunisia menjadi proyek percontohan sukses bagi perkembangan sistem sekular. Analisa dangkal terkait masyarakat Tunisia membuat media dan politikus Barat keheranan atas revolusi rakyat dan larinya Ben Ali. Media Barat juga menyebut kebangkitan rakyat Tunisia yang diawali aksi bakar diri pemuda penjual sayur sebagai "Revolusi Roti". Anehnya lagi adalah kebangkitan ini terjadi di saat Tunisia selama pemerintahan despostik Ben Ali mengalami pertumbuhan ekonomi yang lumayan. Kini pertanyaannya adalah, Apakah faktor yang mendorong kebangkitan rakyat Tunisia yang disebut media Barat sebagai Revolusi Roti adalah masalah ekonomi ?

Menurut para pengamat, tuntutan ekonomi hanya sekedar alasan dalam kebangkitan rakyat Tunisia untuk mencapai kondisi terbuka di bidang politik. Menurut mereka, peningkatan ekonomi di masa kepemimpinan Ben Ali tidak dibarengi dengan kemajuan politik. Hal inilah yang mendorong rakyat untuk bangkit menentang kekuasaan Ben Ali. Analisa seperti ini wajar karena mandeknya proses politik berarti tekanan pemerintah terhadap kebebasan warga dan partai. Jika warga dan partai di Tunisia mendapat kebebasan, warga pun tak perlu repot-repot turun ke jalan-jalan menggulingkan pemerintahan Ben Ali.

Dari sini dapat dipahami bahwa kebangkitan rakyat Tunisia memiliki dimensi ekonomi dan politik. Kebijakan Ben Ali dibarengi dengan kian dalamnya kesenjangan ekonomi. Jika program Ben Ali ini berhasil maka yang terjadi adalah orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin bertambah melarat. Yang terjadi di Tunisia adalah kekuasaan milik keluarga Ben Ali. Famili dan keluarga Ben Ali termasuk sang istri, Leila Ben Ali menguasai bisnis dan perekonomian Tunisia.

Selain faktor ekonomi dan politik, kebangkitan rakyat Tunisia juga memiliki dimensi budaya dan Islam. Namun media massa berusaha mengecilkan peran dimensi budaya dan Islam dalam kebangkitan warga Tunisia. Pemerintah sementara Tunisia pasca larinya Ben Ali untuk pertama kalinya mengizinkan pengumandangan azan di negara ini. Warga pun melakukan shalat berjamaah di jalan-jalan. 11 juta warga Tunisia beragama Islam yang taat. Selama setengah abad kekuasaan Habib Bourguiba dan Zine El Abidine Ben Ali, pemerintah sekular Tunisia giat menyebarkan budaya Barat dan mencegah tersebarnya Islam. Bagi mereka yang berani menampakkan keislamanannya baik itu berupa memegang tasbih, mendirikan shalat berjamaah dan berpuasa maka siksaan lah yang menjadi bagiannya.

Di masa pemerintahan Bourguiba, dengan alasan menjaga kesehatan para pegawai dan mahasiswa diberi susu, padahal mereka tengah melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bagi mereka yang menolak susu hadiah Bourguiba akan dicantumkan ke dalam daftar hitam. Bourguiba terkenal dengan julukan Ataturk Tunisia dan ia pun seperti Mustafa Kemal Ataturk dari Turki seorang sekular dan didikan Barat. Selama 31 tahun memimpin Tunisia, Bourguiba melandasi politiknya dengan memisahkan Islam dari masyarakat muslim negara ini. Ia mengklaim bahwa Islam adalah ancaman terbesar bagi pemerintah Tunisia. Tak tanggung-tanggung ia pun menjebloskan anggota partai Islam ke penjara.

Sementara itu, Zine El Abidine Ben Ali memulai karir politiknya dengan bergabung ke Partai Neo-Destour. Sebagai militan muda dari Partai Neo-Destour, ia dikirim ke Perancis untuk menjalani latihan militer. Ia lulus dari Sekolah Inter-Arms di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne, dan kemudian melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.

Ben Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964 hingga 1974. Ia dipromosikan sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam Departemen Dalam Negeri pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di Maroko. Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi kepala Keamanan Nasional namun kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam radikal. Pada saat ini ia diangkat sebagai MenDagri, dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana Menteri di bawah Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987.

Ben Ali memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987 dengan dukungan beberapa rakyat. Tujuh orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak cakap menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990-an. Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan, telah dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar.

Di masa rezimnya, gerakan-gerakan Islam yang ada di Tunisia mengalami nasib lebih tragis dari sebelumnya. Tatkala partainya menyapu bersih perolehan kursi yang ada di parlemen, ia memenjarakan lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam yang merupakan tulang punggung partai yang olehnya dianggap sebagai "pembangkang". Sesungguhnya Ben Ali telah menjadikan Tunisia sebagai penjara terbuka dan pusat kebejatan moral. Walhasil, dengan salah kaprahnya pemikiran dan pemahaman rezim yang ada, Islam dan para pengembannya mengalami deraan, siksaan, dan hambatan berat.

Bin Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian (aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan penyamaran. Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya hingga 2014.

Ben Ali pernah mencoba melihat kondisi rakyat dan partai berhaluan Islam. Oleh karena itu, setelah berkuasa ia membebaskan seluruh aktivis Islam dan membolehkannya ikut dalam pemilu tahun 1989. Hasil pemilu saat itu membuat seluruh orang tercengang dan menjadikan Ben Ali serta pendukungnya khawatir. Pasalnya partai Islam terbesar di Tunisia, Partai Ennahda menempati posisi kedua partai terbesar di negara ini. Partai Islam ini berhasil unggul meninggalkan berbagai partai sekular. Setelah menyaksikan kondisi ini, Ben Ali langsung mengubah kebijakannya.

Ia kemudian melarang aktivitas partai Islam dan mengasingkan pemimpin gerakan Islam atau memenjarakannya. Di sisi lain, negara Barat yang mengklaim sebagai pembela demokrasi malah mendukung aksi penumpasan gerakan rakyat yang dilakukan Ben Ali. Dalam sejarah, Barat tidak pernah berhasil menegakkan demokrasi di negara Islam, karena penyelenggaraan pemilu yang bebas dan transparan malah memunculkan Partai Islam sebagai pemenang. Barat untuk menguasai negara Islam giat mendukung penyebaran sekularisme di tengah masyarakat muslim, meski hal ini harus mereka bayar mahal dengan mendukung seorang diktator sekalipun. Akhirnya kebangkitan rakyat Tunisia dan hidupnya kembali nilai-nilai Islam di negara ini adalah sebuah pesan besar bahwa sekularisme yang berkuasa lebih dari setengah abad di negara ini kalah dalam menghadapi Islam.(irib/3/2/2011)

0 comments to "Islam Vs Sekularisme di Tunisia"

Leave a comment