Langit tak secerah ketika Zein al-Abidine Ben Ali naik tahta sebagai presiden pada 7 November 1987. Meski kini, langit yang kelam di sana perlahan mencerah, namun negeri di belahan bumi Timur Tengah itu sudah menjadi kampung halaman yang haram untuk sang presiden.
Rakyat Tunisia murka, bukan karena Ben Ali terlalu lama berkuasa (23 tahun). Tapi karena ia, dan segenap kehidupannya di istana, telah sekian lama meninggalkan rakyat.
Aslinya, Ben Ali sudah terlalu sering berbohong terhadap kesejahteraan rakyat yang ia janjikan. Di samping itu, ia lebih sibuk dengan urusan pencitraan dirinya di luar negeri, hanyut dalam kegiatan mendorong investasi asing ke negerinya dan sambil lalu membekap kritik rakyatnya sendiri.
Menurut laporan Warta News (19/1/11), Ben Ali adalah sekutu favorit bagi kekuatan Barat. Selama gelombang tekanan yang diberikan oleh mantan pemerintahan Amerika di negara-negara Arab untuk membuka rezim mereka dalam reformasi politik, Ben Ali tidak ditargetkan. Bagi AS setelah serangan 11 September 2001, dia adalah contoh dari penguasa moderat yang mengaktifkan diri dalam "perang terhadap terorisme" Amerika, terutama setelah pemboman April 2002 terhadap sebuah sinagoga Tunisia yang menewaskan 21 orang.
Mimpi rakyat Tunisia untuk menumbangkan penguasa mereka yang bermental pecundang dan berwatak diktator telah sampai, dan tonggak bagi sebuah kemerdekaan baru sedang ditegakkan di sana.
Bahkan semangat revolusi yang dikobarkan rakyat Tunisia tak hanya membara dan padam di negeri mereka sendiri. Perlahan tapi pasti, kobaran semangat mereka kini menjalar ke negeri tentangga dan disambut gembira rakyat Mesir.
Benih-benih api perlawanan rakyat di Mesir pun menyala. Bagai sebatang korek api yang membakar daun-daun kering menjadi api unggun untuk menerangi belantara gelap yang sejak lama dikuasai binatang buas dan para pemangsa. Di sana, rakyat Mesir memandang Husni Mubarak (Presiden Mesir) dan Ben Ali bak setali mata uang. Di samping kedua kepala negara ini sama dekatnya dengan Paman Sam, Amerika.
Dalam laporan Kompas.com (30/1) pagi ini, sebagaimana Ben Ali yang hingga pengujung kisahnya tak mendapat pertolongan negeri sahabat itu, kini, justru Presiden AS Barack Obama mendesak pihak berwenang di Mesir tidak melanjutkan menggunakan kekerasan untuk menghadapi para demonstran. Pesan Obama itu disampaikan saat ia menelepon Mubarak secara pribadi selama 30 menit.
Obama mendesak Mubarak mengambil langkah konkret menuju reformasi politik di Mesir dan agar Mubarak mengubah "momen kegentingan" menjadi "momen pengharapan". Washington juga mengancam akan meninjau ulang bantuan bernilai miliaran dollar AS yang selama ini diberikan kepada Mesir apabila aparat keamanan negara itu bertindak kelewat batas terhadap para demonstran.
Mesir adalah salah satu sekutu utama AS di Timur Tengah dan salah satu penerima bantuan AS terbesar di dunia. Tiap tahun, AS menyuplai bantuan 1,3 miliar dollar AS khusus di sektor pertahanan saja.
Lalu, apa yang akan terjadi di negeri kita setelah peristiwa besar nan tragis menimpa kedua negara sekutu Amerika itu? Bukankah negara kita, dalam banyak hal dan kepentingan juga bersekutu dengan Amerika?
Hubungan Indonesia-Amerika tampak makin mesra setelah Barry si Anak Menteng alias Barack Hussein Obama naik tahta sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat, ternyata pula, ia pernah tinggal dan sekolah di Jakarta.
SBY kemudian memanfaatkan rekam jejak Obama di Jakarta untuk menjadi kekuatan baru dalam diplomasi Indonesia-Amerika, yang di Tanah Air kita sendiri, hemat saya, keuntungan dari jalinan hubungan semesra apa pun dengan Amerika, rakyat di negeri ini sudah sekian lama tak menikmatinya.
Sekarang, kita juga tengah memasuki klimaks stagnasi rezim SBY. Presiden kita yang tampan ini banyak diangap gagal bila diukur dari janji-janji kampanye dalam dua kali masa kekuasannya, terutama menyangkut kesejahteraan rakyat dan penegakan hukum.
Para pemuka lintas agama di negeri ini bahkan sangat kecewa dengan janji-janji rezim SBY yang tak kunjung ditepati, kemudian melansir temuan mereka (910/1) menyangkut 18 butir kebohongan ala kabinet KIB I dan II. Hampir berbarengan dengan itu, sejumlah aktivis dan tokoh LSM mendeklarasikan Geram Hukum (28/1) sebagai respon ketidaksukaan atas kegagalan para penegak hukum dalam membongkar dan meringkus jaringan mafia yang sudah sangat mengotori wajah bangsa ini.
Belum ada prediksi akurat, apakah rezim SBY dan Negara Yang Murung ini akan berakhir seperti Tunisia dan rezim Ben Ali, ataukah akan mengalami guncangan dahsyat seperti Mesir dan rezim Mubarak saat ini? Namun hal itu bukan sesuatu yang tak mungkin terjadi.
Tetapi bisa dipastikan, bahwa akumulasi kebohongan rezim yang tak pernah terbenahi, pada saatnya pasti akan berakhir dengan prahara politik, dan bed ending. Semoga saja tidak demikian! (IRIB/Kompasiana/Passandre/30/1/2011)
0 comments to "Negara Yang Murung !!!!!"