Hari-hari ini sikap para pejabat Amerika dalam menghadapi kebangkitan rakyat Mesir dan Tunisia mengingatkan perilaku mereka terhadap Revolusi Islam rakyat Iran pada tahun 1979. Tepat 32 tahun yang lalu hari-hari ini para pejabat AS kelabakan mengikuti perkembangan Iran. Pada saat-saat itu, langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah pertama menyelamatkan Shah Pahlevi dan menyerahkan pemerintahan kepada tokoh boneka mereka.
Hari-hari ini, situasi Tunisia dan Mesir sama seperti Iran. Pasca dukungan mutlak Amerika atas para penguasa diktator dan korup, tiba-tiba mengumumkan bahwa pemerintah harus melakukan reformasi dan perubahan. Lebih menarik lagi, segala bentuk reformasi yang diusulkan tidak memuaskan rakyat dan pada akhirnya mereka terpaksa memikirkan opsi yang diinginkan, bahkan para jenderal ditugaskan untuk melakukan kudeta. Sekalipun dalam Revolusi Islam para pejabat Amerika lebih terkesan berhati-hati, namun secara umum perilaku mereka tidak berbeda.
Noam Chomsky, kritikus Amerika mengatakan, "Ketika Amerika melihat para diktator yang dekat dengan AS bakal lengser, maka kebijakan seperti biasanya yang akan diambil. Ketika kekuasaan diambil dari pribadi-pribadi seperti ini dan militer tidak mampu menguasai situasi, tiba-tiba AS berubah dan mengambil sikap 180 derajat." Menurutnya, dalam kondisi yang semacam ini AS biasanya mengklaim sejak awal berada bersama rakyat. Dengan cara ini, mereka dapat mengembalikan kekuasaan lama dengan wajah baru. Kebijakan seperti ini terkadang berhasil atau tidak tergantung pada kondisi di lapangan.
Stabilitas politik dan perlindungan kepentingan AS dan Israel, ekspor minyak dan mencegah pengaruh komunis Uni Soviet merupakan variabel yang menentukan strategi hubungan Amerika dengan Iran. Selain masalah minyak dan pengaruh komunis, seluruh faktor yang ada sama antara Iran dan Mesir. Artinya, prioritas utama AS di Timur Tengah sebenarnya bukan masalah demokrasi, tapi yang terpenting bagi AS adalah stabilitas negara-negara demi membantu terealisasinya kepentingan AS.
Di Iran, Amerika berusaha mengorganisir kudeta 19 Agustus 1953 guna menghentikan proses demokrasi di negara ini, sementara di Mesir, tidak pernah ada tekanan dari pihak AS kepada pemerintah untuk menerapkan kebebasan politik dan reformasi demokrasi. Oleh karenanya, rezim Mohammad Reza Pahlevi dan Hosni Mubarak dengan tenang menumpas gerakan rakyat yang menuntut diberlakukannya demokrasi di negara ini dan melanggar HAM. Hal ini dilakukan dengan satu kepastian dari AS bahwa hubungan mereka dengan Washington tidak akan bermasalah.
Satu poin lagi yang patut diperhatikan adalah standar ganda Amerika terkait HAM dan demokrasi di Timur Tengah. Nilai-nilai HAM dan demokrasi berada di bawah upaya melindungi stabilitas dan kepentingan AS di kancah internasional. Iran di masa Shah dan periode saat ini Mesir merupakan dua contoh dari kebijakan standar ganda ini.
Departemen Luar Negeri dan Dinas Rahasia Amerika juga tampaknya terkejut atas peristiwa yang terjadi di Mesir yang memiliki kesamaan dengan Iran. Sebelumnya mereka beranggapan bahwa pemerintah Hosni Mubarak cukup kuat. Ini pandangan yang sama terkait kekuasaan Shah Pahlevi. Ketika rakyat Iran di tahun 1979 mulai bangkit, Deplu AS dan CIA kebingungan hebat. Pada awalnya mereka melihat instabilitas yang terjadi hanya sementara dan berpikiran bahwa Shah dapat mengembalikan kondisi ke situasi semula dan melakukan reformasi politik.
Namun cepatnya perubahan yang terjadi membuat Amerika segera berusaha mencari solusinya. Pada awalnya mereka berusaha memperkuat Shah dan lewat sejumlah reformasi politik dan mengganti sejumlah pejabat dengan harapan situasi lebih tenang. Di sini, kebijakan yang diambil terhadap para oposisi yang moderat dilakukan lebih ringan, tapi sebaliknya, bersikap keras terhadap mereka yang ekstrim.
Faktanya, sekalipun AS berusaha dengan segala macam cara untuk menstabilkan dan memperluas kekuasannya di kawasan Timur Tengah, tapi transformasi terbaru di Tunisia, Mesir, Yordania, Yaman dan bahkan Arab Saudi menunjukkan kondisi telah keluar dari kontrol Amerika. (IRIB/SL/MF/7/2/2011)
Keamanan dan Perdamaian di Mata Iran
Revolusi Islam diakui atau tidak telah mengubah peta konstelasi politik dunia, setidaknya di Timur Tengah.Tidak hanya itu, revolusi Islam ini juga merevisi dan memperkaya teori politik dan hubungan internasional. Revolusi Islam terjadi di saat diktator Muhammad Reza Pahlevi digambarkan sebagai rezim paling kuat di Timur Tengah. Iran juga menjadi perpanjangan tangan AS di kawasan.Setelah merancang dan menggulingkan pemerintahan Muhammad Mosaddegh melalui kudeta di tahun 1953, Washington memilih Iran menjadi porosnya di Timur Tengah. Keputusan ini diambil Gedung Putih, karena pertimbangan posisi strategis Iran di Teluk Persia dan berdekatan dengan Rusia. Dengan demikian, Reza Shah menjadi sentral kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.
Demi mewujudkan ambisi itu, Washington menjual berbagai persenjataan modern bagi rezim Reza Pahlevi, bahkan persenjataan itu yang tidak diberikan kepada rekan dekatnya sendiri. Gedung Putih menjual pesawat F-14 yang merupakan pesawat pembom tercanggih saat itu dan jet tempur lainnya dijual ke Tehran. Persenjataan canggih inilah yang membuat rezim Shah bisa menciptakan sindrom di kawasan untuk mewujudkan kepentingan AS. Namun, senjata itu justru menciptakan arogansi bagi Muhammad Reza Pahlevi. Shah Iran ini mengira dengan persenjataan canggih yang disuplai dari AS bisa melanggengkan kekuasaannya.
Ternyata keadaan terjadi sebaliknya, tekanan dan perlawanan rakyat terhadap rezim despotik Shah kian hari semakin membuncah. Shah menangkap dan memenjarakan rakyatnya sendiri untuk memberangus suara rakyat dan kalangan oposisi. Ketika itu penjara penuh sesak di isi para tahanan politik. Ketika pilar-pilar pemerintahan boneka AS di kawasan Timur Tengah goyah dan akhirnya tumbang, revolusi Islam Iran berhasil menggulingkan rezim shah yang didukung Barat. Sejak itu konspirasi musuh gencar dilakukan untuk menjegal revolusi Islam.
Pemerintahan AS senantiasa berupaya menampilkan pemerintahan Republik Islam Iran yang baru berdiri sebagai sumber instabilitas di Timur Tengah. Republik Islam dipandang menjadi ancaman bagi kebijakan interventif Washington di kawasan. Dengan alasan ini, Gedung Putih gencar mengembar-gemborkan Iranphobia di kawasan, terutama di kalangan negara-negara Arab di Teluk Persia. Kebijakan ini menjadi strategi AS di bidang politik, ekonomi dan sosial guna memadamkan sinar revolusi Islam. Padahal revolusi Islam adalah revolusi kebudayaan yang tumbuh dan lahir dari rakyat. Revolusi Islam tidak pernah mengklaim sebagai revolusi imperialis yang mengancam negara-negara kawasan. Selain itu, revolusi menyebarkan pesan spiritualitas dan nilai-nilai yang berpijak pada prinsip-prinsip kemanusiaan, antikezaliman dan mengusung kebebasan bangsa-bangsa dari cengkeraman imperialisme. Republik Islam Iran senantiasa mendukung perdamaian dan keamanan bangsa-bangsa dunia, bukan rezim diktator yang berlindung di balik jubah AS dan sekutu Barat.
Republik Islam sejak awal kemenangan revolusi Islam senantiasa mengulurkan tangan persahabatan keseluruh negara-negara dunia, dan hanya memutuskan hubungannya dengan rezim imperialis dan apartheid Zionis. Bahkan kedutaan besar AS selama beberapa bulan pasca kemenangan Revolusi Islampun masih beroperasi, meski negara ini menjadi mitra setia rezim despotik Shah selama lebih dari 25 tahun.Tapi kemudian Kedutaan Besar AS di Tehran ditutup karena melakukan aksi spionase melawan pemerintahan Islam Iran. Ketika sejumlah mahasiswa menduduki kedutaan besar AS di Tehran, terbukti bahwa perwakilan Gedung Putih di Tehran ini berperan sebagai sarang mata-mata AS di Iran. Sekitar 100 buku yang disita mengungkapkan peran kedutaan AS sebagai pusat spionase dan konspirasi melawan revolusi Islam Iran.
Republik Islam Iran mengibarkan pesan perdamaian dan keadilan tidak hanya bagi negara-negara di kawasan, bahkan lebih dari itu mempersembahkannya untuk dunia. Pemerintahan AS dan sekutu Eropanya, selama 32 tahun sejak kemenangan revolusi Islam Iran senantiasa menampilkan wajak Iran yang garang, destruktif dan mengancam negara-negara kawasan.
Sebelum kemenangan revolusi Islam Iran, pemerintahan AS dan sekutunya tidak pernah sedikitpun menyuarakan perdamaian Timur Tengah. Padahal bangsa-bangsa di Timur Tengah berada dalam cengkeraman rezim diktator yang didukung AS. Contohnya, rezim Zionis hingga kini melanjutkan penindasan terhadap bangsa Palestina dan menyerang negara-negara Arab.
Intervensi AS dan negara adidaya Timur menyebabkan pecahnya perang berbau etnis dan agama di Lebanon. Di mata Washington, perdamaian dan keamanan Timur Tengah tidak penting, meski situasi dan kondisi kawasan amat mengkhawatirkan. Dengan adanya dukungan Gedung Putih yang membabi buta, rezim Zionis berupaya mewujudkan mimpinya menguasai Nil hingga Furat.
Di saat berbagai bangsa berada dalam kubangan kemiskinan dan tekanan rezim diktator, AS terus-menerus menjarah sumber daya negara-negara kawasan. Bagi Washington, keamanan dan perdamaian akan terancam, jika bangsa-bangsa mengambil keputusan untuk mengubah nasibnya dan menumbangkan rezim lalim.
Di mata Gedung Putih, pemerintahan yang tidak mengekor dikte Washington dikategorikan sebagai sumber instabilitas. Dengan definisi ini, Republik Islam Iran dikategorikan sebagai pemicu instabilitas dan ketidakamanan di kawasan. Namun alasan permusuhan dan konspirasi AS terhadap Republik Islam Iran kin hari semakin jelas bagi publik dunia, karena permusuhan Gedung Putih terhadap Tehran semakin kental dan keras dari sebelumnya.
Setelah melewati lebih dari tiga dekade kemenangan Revolusi Islam Iran, pesan revolusi menjangkau wilayah yang paling jauh, bahkan mencapai Amerika Latin yang disebut sebut sebagai halaman belakang AS. Kini, Republik Islam Iran menjalin hubungan erat di bidang ekonomi dan politik dengan negara-negara Amerika Latin.
Transformasi terbaru di sejumlah negara Arab seperti di Tunisia, Mesir dan Yaman menunjukkan bahwa kebijakan manipulatif AS semakin terkuak dan opini publik duniapun mengetahui hipokrasi Gedung Putih dalam pembelaan terhadap kebebasan dan perdamaian. Sebagaimana perjuangan rakyat Iran pada 32 tahun lalu, rakyat Mesir, Tunisia dan Yaman menuntut terwujudnya keamanan dan perdamaian, dan tidak sudi berada dalam bayangan kepentingan AS dan rezim Zionis.
Sejatinya, kebijakan interventif AS menjadi pemicu utama instabilitas di kawasan. Dalam perspektif Republik Islam Iran, perdamaian dan keamanan hanya akan terwujud dengan menjalin kerjasama dan keharmonisan antarnegara kawasan tanpa intervensi asing. Inilah pesan jelas bagi AS dan negara-negara Barat. Dengan alasan ini, AS dan sekutu Eropa berupaya menunggangi gelombang protes rakyat melawan rezim diktator dan mengarahkannya demi kepentingan Gedung Putih. Realitas di Tunisia dan Mesir menunjukkan bahwa kebijakan AS di Timur Tengah membentur dinding dan gagal total.(IRIB/PH//6/2/2011)
Revolusi Islam Iran dan Perang Lunak
Revolusi Islam Iran terjadi di era perang dingin saat dua kutub kekuatan dunia Timur dan Barat saling bersaing meraih pengaruh dan memperluas hegemoni. Revolusi ini menawarkan nilai-nilai spiritual dan slogan yang berbeda secara substansial dengan slogan Komunisme dan Liberalisme di kawasan. Saat gejolak revolusi semakin memuncak, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat sekutunya justeru memihak dan mengumumkan dukungan kepada rezim Syah Pahlevi yang merupakan rezim paling korup, despotik dan kejam. Penyebabnya adalah karena rezim ini telah menjadikan kekuasaannya, negerinya bahkan rakyatnya mengabdi kepada kepentingan AS dan Barat.Saat rezim Pahlevi berkuasa, lebih dari 50 ribu penasehat AS bekerja dan bertugas di Iran. Salah satu misi penting yang diemban oleh Syah adalah menumpas gerakan kebebasan dan revolusi rakyat. Tak heran jika lantas penjara-penjara Iran saat itu penuh oleh para tahanan politik yang berjuang untuk kebebasan. Di dalam tahanan, mereka menjadi korban penyiksaan dalam bentuk yang sangat tidak manusiawi. Tidak sedikit tahanan yang kehilangan nyawa dalam penyiksaan.
Revolusi Islam yang dipimpin oleh seorang ulama pejuang yang pemberani, Imam Khomeini (ra) mencapai kemenangan dengan keberhasilannya menumbangkan sistem kekuasan monarkhi di Iran yang sudah berjalan 2500 tahun. Tak ada jalan bagi AS dan Barat kecuali mengakui kemenangan revolusi Islam. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa Barat sudah menyadari kesalahannya di masa lalu dan berusaha mengubah langkahnya. Yang terjadi justeru sebaliknya, Barat malah terus menerus melakukan makar dan konspirasi untuk menumbangkan pemerintahan Islam di Iran sejak pertama kali berdiri di tahun 1979. Untuk mewujudkan ambisi tersebut Barat melakukan segala hal bahkan tak segan melanggar rambu-rambu yang dipasangnya sendiri dengan nama demokrasi dan kebebasan.
Di tahun pertama berdirinya pemerintahan Islam, Iran sudah menghadapi gerakan pemberontakan dan pemisahan yang nyata-nyata didukung AS. Embargo ekonomi dilakukan, kudeta pun tak dihindari sementara ancaman menjadi hal yang mereka lakukan setiap saat. Ketika perang yang dipaksakan rezim Irak terhadap Iran dekade 1980-an, AS jelas-jelas membela Saddam dan membantunya secara logistik, intelijen dan politik. Perang berakhir setelah delapan tahun berkobar dan Iran yang dikepung oleh musuh dari berbagai belahan dunia berhasil keluar dari medan dengan kepala tegak. Dari situlah, AS menyadari bahwa pemerintahan Islam di Iran didukung penuh oleh rakyat yang siap berkorban untuknya. AS juga sadar bahwa Iran punya pengaruh yang sangat besar dan mampu mempengaruhi bangsa-bangsa lain di dunia.
AS dan sekutu-sekutu Baratnya mengerahkan segenap kemampuan untuk melumpuhkan republik Islam Iran lewat berbagai cara diantaranya dengan menggunakan perang urat saraf dan propaganda. Lewat media yang dimilikinya mereka menebar isu Iranphobia dengan tujuan supaya negara-negara kawasan bisa diajak melangkah bersama dalam memusuhi Iran. Dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi, perang lunak semakin menjadi primadona bagi negara-negara adidaya untuk menyerang negara lain. Perang ini pula yang dilancarkan AS terhadap Iran.
Mark Palmer salah seorang teoretis terkenal di AS saat menyatakan penentangannya terhadap opsi serangan militer terhadap Iran menyebut Iran sebagai negara yang kuat di kawasan Timur Tengah dengan populasi rakyatnya yang besar, sumber daya manusia yang berkualitas, sarana militer yang maju, kekayaan alam yang berlimpah dan posisi geografi yang strategis. Karena itu, Iran tidak mudah dilumpuhkan. Menurutnya, hanya ada satu jalan untuk menggulingkan rezim Iran yaitu dengan melancarkan perang lunak, taktik serangan urat saraf, dan propaganda dengan menggunakan tiga taktik meredam, menggempur lewat media dan mendukung serta mengorganisir gerakan pembangkangan sipil.
Prakarsa Mark Palmer didukung oleh Joseph Nye, teoretis perang lunak lainnya di AS. Dalam sebuah pidatonya di rapat Dewan kebudayaan Inggris, Joseph Nye mengatakan, "Saya menentang Barat menggunakan kekerasan secara tidak tepat terkait Iran. Jika Barat bersikap keras terhadap Iran generasi muda akan semakin cenderung kepada rezim." Dia menambahkan, "Saya meyakini bahwa rezim Iran akan tumbang jika di negara itu terjadi perubahan budaya dan sosial seperti dimaukan oleh Barat. Karena itu, jika salah bertindak kita malah akan semakin mendekatkan generasi muda Iran kepada rezim. Akibatnya, target jangka panjang kita akan terganjal."
Perang lunak atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Soft War adalah kebalikan dari perang keras atau Hard War. Perang lunak meliputi perang urat saraf yang menyasar ke sebuah masyarakat atau bangsa tanpa menggunakan cara-cara kekerasan dan militer, namun bisa melumpuhkan dan menundukkan lawan. Joseph Nye menjelaskan dalam bukunya Soft Power menulis, "Kekuatan lunak adalah kemampuan untuk mencapai target lewat daya pikat bukan paksaan atau iming-iming."
Dalam perang lunak, sarana yang digunakan cukup beragam dan unik seperti komputer, internet, serta jaringan radio dan televisi. Modusnya pun juga rumit. Terkait perang lunak AS terhadap Iran ada tiga target yang dicanangkan oleh Washington. Pertama, mengesankan pemerintahan Islam di Iran sebagai pemerintahan yang tidak demokratik dan tidak didukung rakyat. Kedua, para pemimpin negara dan pejabat dikesankan sebagai orang-orang yang tidak berkompeten dalam bekerja. Dan ketiga, Iran dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM) dan berambisi membuat senjata nuklir.
Rangkaian peristiwa dan kerusuhan pasca pemilu di Iran tahun 2009 adalah salah satu medan perang lunak AS terhadap Iran. AS mengerahkan seluruh sarana dan prasarananya untuk mencoreng kredibilitas dan kepercayaan umum kepada negara dan pemerintahan Republik Islam Iran di mata dunia.
Salah satu modus AS dalam perang lunak adalah dengan menyusup ke negara-negara lain lewat pemilu untuk menggoyang pemerintah di sana. Di setiap negara yang dengan sistem demokratik, ketika muncul masalah dalam pemilihan umum dan dugaan terjadinya kecurangan, sudah terdapat undang-undang yang memberikan jalan penyelesaian. Misalnya di Amerika Serikat, dalam pemilu tahun 2000 terjadi masalah serius. Namun masalah itu terselesaikan dengan keputusan Mahkamah Agung yang mengantarkan George W Bush ke Gedung Putih.
Yang menarik adalah bahwa masalah yang muncul dalam pemilu di negara lain justeru dimanfaatkan oleh AS untuk menekan negara tersebut demi kepentingan Washington. Dengan mengerahkan kekuatan media massa AS memperkuat kubu oposisi yang dipandang bisa memberinya keuntungan. Hal seperti itulah yang terjadi di Iran tahun 2009.
Nampaknya, para teoretis Amerika lupa bahwa Iran bukanlah negara seperti Ukraina dan Georgia yang mudah dipermainkan. Republik Islam Iran adalah negara dengan sistem pemerintahan Islam yang didukung penuh oleh rakyatnya. Negara ini berdiri berkat revolusi agung rakyat Iran. Sepelik dan seunik apapun tipu daya dan konspirasi AS, Iran berhasil mengatasi berkat segudang pengalaman yang dimilikinya. Kearifan sikap dan langkah-langkah bijak Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei berhasil menggagalkan skenario dan konspirasi AS pada rangkaian peristiwa pasca pemilu 2009.
Apa yang terjadi setelah pemilu presiden di Iran tahun 2009 menunjukkan bahwa para petinggi AS tetap tidak mengenal bangsa Iran. Kini, revolusi Islam telah berusia 32 tahun dan negara ini pun semakin kuat, kokoh, maju, solid dan kian berpengaruh baik dari sisi ekonomi, keilmuan, politik, budaya maupun militer. Baik kawan maupun lawan, sama-sama mengakui bahwa AS sudah kehabisan akal melawan Republik Islam Iran. (IRIB/AHF/7/2/2011)
Ikhwanul Muslimin: Kami Ingin Seperti Iran, Seperti Ahmadinejad
Seorang anggota senior Ikhwanul Muslimin di Mesir menyatakan terima kasih kepada Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei atas dukungannya terhadap revolusi Mesir.Kamal al-Halbavi mengungkapkan hal itu dalam wawancaranya dengan BBC Persia Ahad malam (6/2).
Halbavi lebih lanjut menyatakan harapan bahwa "Mesir berharap memiliki pemerintahan yang baik, seperti pemerintah Iran, dan presiden yang baik seperti bapak Ahmadinejad, yang sangat berani."
Ketika ditanya tentang pendapat Ikhwanul Muslimin perspektif Ayatullah Khamenei mengenai perkembangan Mesir, Halbavi berkata, "Terima kasih banyak untuk Imam Khamenei dan semua yang mendukung revolusi di Mesir."
Anggota senior Ikhwanul Muslimin itu menegaskan, pihaknya berharap negaranya dapat berkembang di segala bidang "seperti Iran yang mencapai kemajuan pesat di bidang ilmiah dan teknologi serta menjadi kekuatan regional."
Ayatullah Khamenei dalam khutbah Jumat (4/2) mengatakan bahwa perkembangan terbaru di Afrika Utara adalah hasil dari "kebangkitan Islam, yang mengikuti Revolusi Islam besar dari bangsa Iran."
Menyinggung diktatorisme rezim Mubarak, Rahbar mengatakan, suatu bangsa akan merasa kesulitan untuk menerima kepemimpinan seseorang yang menjadi pelayan resmi AS dan selama bertahun-tahun menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat termasuk kebijakannya yang anti agama.
Dalam dua pekan terakhir, Mesir telah menjadi ajang bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat yang menuntut lengsernya rezim Mubarak.(IRIB/MZ/7/2/2011)
komentar in English :
#1 2011-02-07 12:15
#2 Ali al Asytar Acheh 2011-02-07 12:15
The above paragraph is paragraph muhkamât (Qat'i), not paragraph mutasyabihat that elusive except "Ulul albab" (The Priest). The verse is very clear point. Allah does not change the state of a nation so that they change the circumstances that exist on their own. The verse is cause effect relationship. This means that if Aceh, Papua and Ambon were not free is not God but not memerdekakannya Aceh, Papua and Ambon are not willing to merobak circumstances that exist in themselves. Here we need to analyze what is necessary in robah by Aceh, Papua and Ambon.
#3 Ali al Asytar Acheh 2011-02-07 12:17
Reality in our era is the RII, which despite being grown or recently released from the grip of a despotic shah Reza Palevi and get support U.S. superpower, but it is not only capable of devastating lantakkan despotic rulers and established a system that Redha Allah, but also able to fight their supporters however supernya their power.