Home , , , , , , � Hari Kemarahan Digelar , Pangeran Arab Saudi Marah, Bahrain terluka, Tunisia meradang...apa salahku kata Amerika dan Zionis sekutunya???!!!!

Hari Kemarahan Digelar , Pangeran Arab Saudi Marah, Bahrain terluka, Tunisia meradang...apa salahku kata Amerika dan Zionis sekutunya???!!!!

Halabcheh; Simbol Dualisme Kebijakan Barat



Halabcheh; Simbol Dualisme Kebijakan Barat


Tanggal 16 Maret 1988, Saddam Husein melakukan sebuah kejahatan anti kemanusiaan yang paling keji dalam sejarah umat manusia. Pada hari itu, kota Halabcheh, Provinsi Kurdistan, Irak menjadi sasaran serangan senjata destruksi massal oleh Rezim Saddam. Kota ini mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan kota Nagasaki, Hiroshima, serta kota-kota di Vietnam. Dalam pembantaian massal di Halabcheh, lebih dari lima ribu orang tewas seketika akibat gas beracun. Serangan senjata kimia yang dilancarkan Saddam tidak hanya menimpa kota Halabcheh, namun juga menerpa warga Iran di kawasan barat dan selatan negara ini.

Sepanjang perang Iran dan Irak, warga kota Halabcheh berkali-kali menyaksikan lalu lintas jet-jet tempur Saddam untuk menyerang Iran. Kali ini, mereka juga keluar rumah untuk menyaksikan burung-burung besi yang memecah keheningan, namun jet-jet tempur itu memutar di wilayah udara Halabcheh dan menjatuhkan 200 buah bom kimia di kota itu. Pemboman ini termasuk salah satu peristiwa perang yang paling tragis setelah Perang Dunia II.

Satu pekan setelah pemboman kimia Halabcheh, pada tanggal 23 Maret 1988, wartawan koran Guardian Inggris menuturkan kesaksiannya tentang peristiwa tersebut. Dikatakannya, "Permukaan lorong-lorong dan rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah di kota terbelakang itu, dipenuhi oleh jasad laki-laki, perempuan dan anak-anak dan bahkan binatang ternak. Terlihat luka dan tanda-tanda ledakan pada jasad-jasad mereka. Kulit mayat-mayat itu secara aneh mulai kehilangan warna. Sebagian hanya mampu menjangkau pintu rumahnya. Di sini, terlihat seorang ibu yang tergeletak di atas tanah dan memeluk anaknya pada detik-detik terakhir."

Mengingat kawasan sudah terkontaminasi oleh gas beracun, regu penyelamat untuk beberapa hari tidak dapat mendekati kota itu. Gambar-gambar yang dirilis dari Halabcheh pasca pemboman, hanya memperlihatkan secuil dari kejahatan Saddam di kota tersebut. Pemboman kimia Halabcheh membuktikan puncak kekejaman seorang diktator terhadap rakyatnya. Namun yang lebih penting dari itu, adalah kebungkaman dan sikap pasif negara-negara Barat, yang mengklaim dirinya sebagai pembela HAM dan nilai-nilai kemanusiaan.

Halabcheh, bukan tempat pertama bagi uji coba senjata kimia Saddam. Puluhan ribu tentara dan warga sipil Iran pada masa Perang Pertahanan Suci selama delapan tahun, dan juga mayoritas warga Kurdi Irak, telah lebih dulu menjadi korban senjata kimia Saddam Hussein. Mereka dimusnahkan karena membela diri terhadap serangan rezim despotik Irak. Pemboman kimia kota Sardasht, Kurdistan, Iran terjadi sembilan bulan sebelum tragedi Halabcheh. Serangan bom kimia ini dilakukan pada tanggal 28 Juni 1987 dan merupakan sebuah pembunuhan massal yang paling mengerikan sepanjang perang Iran-Irak.

Sebanyak 350 orang, termasuk anak-anak dan perempuan tewas seketika, dan tujuh ribu orang lainnya terluka dan sebagiannya hingga hari ini masih hidup dengan menanggung penyakit akibat bahan kimia. Selain menanggung penyakit parah, sebagian korban senjata kimia ini juga harus menanggung kepedihan, karena anak-anak keturunan mereka menderita kelainan fisik atau mental akibat pengaruh dari bahan-bahan kimia berbahaya. Senjata kimia juga berdampak pada kerusakan DNA yang diwariskan secara genetik kepada keturunan para korban.

Sepanjang perang yang dipaksakan rezim Saddam atas Iran, Republik Islam Iran berkali-kali mengadukan kekejaman diktator Irak itu kepada lembaga-lembaga internasional. Irak, termasuk salah satu negara terdepan dalam penandatanganan konvensi larangan penggunaan senjata kimia, namun rezim yang tidak meyakini prinsip-prinsip kemanusiaan dan moral, tentu saja tidak akan melaksanakan undang-undang internasional. Seluruh negara, terutama Barat mengetahui tindakan-tindakan tidak manusiawi dan kejahatan Saddam. Harapan minimal dari negara-negara Barat adalah mengutuk rezim Saddam dalam kasus penggunaan senjata kimia.

Tragisnya, Barat selain tidak mengecam kejahatan Saddam, tapi malah dokumen-dokumen yang dipublikasikan kemudian hari, memperlihatkan kerjasama dan peran besar Barat terutama AS dalam mempersenjatai rezim diktator Irak dengan senjata kimia. Berdasarkan laporan PBB, sejumlah perusahaan dari AS, Jerman, Inggris, dan Perancis memiliki peran dominan dalam memasok bahan kimia untuk keperluan memproduksi senjata kepada Irak. Tentu saja beberapa negara lainnya seperti Uni Soviet, Spanyol, Argentina, dan Belanda juga turut membantu dalam mempersenjatai Irak dengan senjata kimia.

Amerika dan negara-negara Eropa yang mengaku sebagai pemuja HAM, punya peran maksimal dalam mendorong rezim Saddam untuk menggunakan senjata kimia. Saddam hanya eksekutor dan alat kebijakan Barat. Jika ingin mengadili sekutu-sekutu Saddam dalam menggunakan senjata kimia, maka negara-negara AS, Jerman, Inggris, Perancis dan Belgia harus bertanggung jawab atas kejahatan itu. Menyusul kemenangan Revolusi Islam dan runtuhnya pemerintah boneka di Iran, Amerika dan sekutunya berupaya menumbangkan sistem baru rakyat Iran atau minimal memperlemahnya.

Dengan alasan itu juga, Barat memaksakan perang delapan tahun atas Iran. Namun bangsa Iran berhasil memukul mundur militer Saddam, yang didukung penuh oleh Barat. Rezim Saddam yang merasa kecolongan setelah menyaksikan kemenangan para pejuang Iran, bangkit melakukan tindakan tidak manusiawi dan bertentangan dengan undang-undang internasional, yaitu penggunaan senjata kimia. Kini, meski perang sudah 23 tahun berlalu, namun dampak dari serangan bom kimia itu masih terasa dan sekitar 45 ribu warga Iran masih menderita penyakit akibat serangan senjata terlarang rezim Saddam.

Delapan tahun lalu, Amerika menginvasi dan menduduki Irak dengan alasan ancaman senjata pembunuh massal rezim Saddam. Padahal, negara adidaya itulah penyebab utama terciptanya tragedi kemanusiaan di kawasan. Dari satu sisi, pemerintah Washington mempersenjatai Saddam dengan senjata kimia untuk menggulingkan Republik Islam Iran. Dari sisi lain, negara itu menyerang Irak dengan dalih kepemilikan senjata inkonvensional.

Moralitas sama sekali tidak punya tempat dalam kebijakan luar negeri Amerika. Nilai-nilai moral dan kemanusiaan hanya alat untuk memajukan ambisi-ambisi ekspansionis Gedung Putih. Sikap bungkam Amerika terhadap tragedi Halabcheh dan serangan negara itu ke Irak, merupakan bukti nyata atas klaim tersebut. Senjata kimia dan nuklir merupakan noktah hitam bagi kemanusiaan. Penggunaan senjata ini merupakan tragedi besar dalam lembaran sejarah.

Amerika dan segelintir kekuatan dunia dalam kerangka hubungan yang tidak adil dan ambisi hegemoni, memposisikan dirinya sebagai pihak penentu nasib bangsa-bangsa lain dan menjadikan Dewan Keamanan PBB sebagai alat untuk mensahkan resolusi-resolusi politis demi kepentingan-kepentingan ilegalnya. Kebijakan itupun diambil atas dasar kebohongan dan klaim-klaim tak berdasar. Berdasarkan sejumlah laporan, Amerika menyimpan sekitar 10 ribu hulu ledak nuklir dan tercatat sebagai pelanggar utama kesepakatan-kesepakatan internasional. Negara adidaya ini memanfaatkan Dewan Keamanan PBB dan IAEA sebagai alat untuk menekan negara-negara lain. (IRIB/RM/NA/16/3/2011)

Sikapi Krisis Bahrain, Iran Layangkan Surat ke PBB

Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran melayangkan surat kepada organisasi-organisasi internasional besar untuk menyuarakan keprihatinan atas invasi masif yang dipimpin Arab Saudi di Bahrain.

"Bagaimana orang bisa membenarkan sebuah pemerintahan mengundang kekuatan militer asing untuk menumpas aksi protes warga negaranya sendiri?" demikian kutipan surat yang dilayangkan Ali Akbar Salehi kepada PBB, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Liga Arab, pada Selasa (16/3).

Arab Saudi, bersama anggota Dewan kerjasama Teluk Persia (PGCC) yang terdiri dari Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar mengirimkan pasukan militer ke Bahrain untuk menumpas protes rakyat yang menuntut keadilan di negaranya sendiri.

Militer asing ini diberi mandat oleh Raja Hamad bin Isa Al Khalifa untuk membantu militer Manama memberangus protes rakyat terhadap rezim monarki.

Sejak 14 Februari lalu hingga kini, ribuan demonstran berkonsentrasi di Bundara Mutiara menuntut pemerintahan konstitusional.

Pada hari Rabu, sedikitnya enam orang dilaporkan tewas akibat serangan pasukan Saudi dan Bahrain terhadap para demonstran anti-pemerintah yang tidak bersenjata.

Salehi mengatakan invasi militer Bahrain tidak sesuai dengan hukum internasional. Menlu Iran mendesak, PBB mengambil keputusan cepat untuk mengakhiri serangan brutal demi mempertahankan piagam kemanusian PBB dan hak asasi masyarakat Bahrain.

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad juga mengecam kehadiran militer asing yang berupaya memberangus protes warga Bahrain yang menuntut perubahan.(IRIB/PH/17/3/2011)

Raja Bahrain Kian Terjepit, Dua Menteri Berhenti

Dua orang menteri Bahrain mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang menggunakan kekuatan berlebihan terhadap demonstran Syiah di negara itu.

Menteri kesehatan dan perumahan Bahrain berhenti dari jabatannya kemarin (Rabu,16/3) setelah militer Bahrain dan pasukan Saudi melancarkan serangan brutal terhadap para demonstran anti-pemerintah di Bundaran Mutiara yang menewaskan sedikitnya enam orang dan melukai lebih dari 1.000 lainnya.

Pasukan Saudi bersama tentara Bahrain menyerang rumah sakit tempat korban cidera dirawat, dan menyandera semua orang di dalam gedung, termasuk dokter dan perawat.

Beberapa laporan mengatakan pasukan Saudi juga menembaki orang-orang yang berada di dalam rumah sakit Salmaniya, dan mengancam dokter serta perawat dengan amunisi hidup.

"Mereka menyerbu kompleks Salmaniya dengan senjata dan menembaki orang-orang yang berada di sini," kata seorang dokter di rumah sakit Salmaniya kepada BBC.

Menurut aktivis hak asasi manusia, petugas medis berusaha untuk mengobati demonstran yang terluka. Namun polisi Bahrain justru memblokir akses ke rumah sakit tersebut.

Tindakan keras terjadi sehari setelah Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa mengumumkan keadaan darurat di negara ini.

Nezar bin Sadeq al-Baharna, yang baru-baru ini ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan, mengatakan tidak lagi bisa menyaksikan kekejaman terhadap orang-orang yang diperlakukan tidak manusiawi di rumah sakit Salmaniya.

Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar dan Oman juga mengirim pasukan ke Bahrain. Banyak negara telah mengutuk intervensi yang dipimpin pasukan Saudi terhadap urusan internal Bahrain.

Para hakim Syiah mengundurkan diri secara massal, menyusul terjadinya peristiwa berdarah di negeri monarki itu.

Ribuan demonstran tetap berkemah di Bundaran Mutiara dan menolak meninggalkan bundaran itu sebelum tuntutan mereka terpenuhi. Mereka bertekad akan melanjutkan demonstrasi hingga kebebasan tercapai dan pembentukan pemerintahan konstitusional.(IRIB/PH/17/3/2011)

Ayatullah Sistani: Hentikan Kekerasan di Bahrain!

Marja syiah Irak Ayatullah Ali al-Sistani meminta pemerintah Bahrain untuk mengakhiri tindakan keras terhadap para demonstran anti-pemerintah di negeri monarki itu.

Seraya mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas tindakan keras Manama terhadap warga sipil tak bersenjata selama beberapa hari terakhir, tokoh agama paling berpengaruh di Irak ini menekankan keharusan untuk menyelesaikan masalah di negeri mayoritas Syiah itu melalui cara-cara damai. Demikian diungkapkan juru bicara Ayatullah Sistani, Hamad al-Khaffaf kepada kantor berita AFP .

Pernyataan itu muncul setelah ratusan polisi anti huru-hara Bahrain dan pasukan Saudi, yang didukung oleh tank dan helikopter, menyerang demonstran di Bundaran Mutiara Manama sebagai pusat protes anti-pemerintah.

Pasukan Arab Saudi kemarin (Rabu,16/3) menyerang rumah sakit Salmaniya, Manama di saat ratusan warga tengah dirawat, karena cedera akibat bentrokan dengan aparat sehari sebelumnya.

Tidak hanya itu, tentara Saudi juga tidak mengijinkan para dokter, perawat dan keluarga korban meninggalkan maupun memasuki gedung rumah sakit tersebut.

Kejadian terjadi menyusul penembakan yang dilakukan polisi Bahrain yang menyebabkan sedikitnya lima pengunjuk rasa tewas dan mencederai puluhan lainnya. Polisi Bahrain memporak-porandakan pusat konsentrasi protes warga di Bundaran Mutiara.

Serangan itu terjadi dua hari setelah Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar mengirim pasukan militernya ke Bahrain guna membantu pemerintah Manama menumpas gerakan protes anti-pemerintah.

Intervensi militer asing di Bahrain memicu keprihatinan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, yang menyerukan dialog nasional yang bermakna dan luas.

Kepala PBB juga mendesak negara-negara tetangga Bahrain dan komunitas internasional untuk mendukung proses dialog yang kondusif untuk reformasi kredibel di Bahrain.

Demonstran Bahrain menegaskan akan tetap melanjutkan aksinya sampai tuntutan mereka dipenuhi.

Sementara itu, di Iran, Arab Saudi , Lebanon, Irak, Kuwait dan Inggris terjadi unjuk rasa mendukung aksi demonstran anti pemerintah di Bahrain. (IRIB/PH/17/3/2011)

Dubes Iran di Bahrain Ditarik

Iran menarik duta besarnya dari Bahrain menyusul eskalasi kekerasan oleh militer Bahrain yang dibantu pasukan asing terhadap para demonstran damai yang menuntut keadilan di negaranya sendiri.

Menyikapi intervensi militer Arab Saudi di Bahrain dan pembantaian terhadap pengunjuk rasa, Republik Islam menarik Duta Besar untuk Manama Aqa Mehdi-Jafari. Demikian pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Iran pada hari Rabu (16/3).

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbara Salehi pada hari Selasa memutuskan untuk memanggil duta besar Saudi dan Swiss terkait invasi Arab Saudi ke Bahrain.

Senin lalu, lebih dari 1.000 tentara dari Arab Saudi dan negara Arab lainnya memasuki Bahrain atas permintaan pemerintah Manama.

Uni Emirat Arab (UEA) juga mengirim sekitar 500 personil polisi ke Bahrain, menyusul aksi serupa yang lebih dahulu dilakukan Arab Saudi untuk menumpas pengunjuk rasa Bahrain.

Pada hari Selasa, enam orang meninggal dan lebih dari 1.000 lainnya luka-luka dalam bentrokan antara demonstran anti-rezim dan pasukan keamanan Bahrain.(IRIB/PH/17/3/2011)

Kunjungan Menlu AS ke Tunisia Disambut Unjuk rasa

Ratusan warga Tunisia turun ke jalan-jalan di ibukota, Tunis untuk memprotes kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke negara mereka.

Pada hari Rabu, pengunjuk rasa berkumpul di Bourguiba, sebuah pusat revolusi Tunisia pada pertengahan Januari, dan meneriakkan slogan-slogan anti-Amerika di tengah pengamanan yang ketat.

"Tolak campur tangan AS dalam urusan Tunisia!" teriak para demonstran.

"Kami menentang kunjungan Hillary Clinton atau setiap perwakilan AS. Kami tidak pernah melupakan kejahatan AS di Irak." kata pemrotes.

Ini adalah demonstrasi kedua dalam dua hari terhadap kunjungan Clinton ke Tunisia, setelah melawat Mesir.

Clinton adalah pejabat AS pertama yang mengunjungi Tunisia setelah tergulingnya mantan Presiden Zine El Abidine Ben Ali oleh sebuah revolusi rakyat yang mengguncang dunia Arab.

Washington memiliki hubungan dekat dengan Tunisia dan mendukung rezim otoriter Ben Ali selama 23 tahun. Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi pada Januari lalu menyusul revolusi di negeri Afrika Utara itu. (IRIB/PH/17/3/2011)

Pasukan Saudi Serang Rumah Sakit di Manama

Pasukan Arab Saudi hari ini (16/3) menyerang sebuah rumah sakit Manama di saat ratusan warga tengah dirawat karena cedera akibat bentrokan dengan aparat sehari sebelumnya.

Tentara Saudi menyerang rumah sakit Salmaniya dan tidak mengijinkan para dokter, perawat dan keluarga korban meninggalkan atau memasuki gedung rumah sakit.

Laporan ini dikemukakan setelah polisi Bahrain menembak mati sedikitnya lima pengunjuk rasa dan mencederai puluhan lainnya hari ini. Polisi Bahrain memporak-porandakan pusat konsentrasi protes warga di Bundaran Mutiara.

Serangan itu terjadi dua hari setelah Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar mengirim pasukan militernya ke Bahrain guna membantu pemerintah Manama menumpas gerakan protes anti-pemerintah.

Intervensi militer asing di Bahrain itu dinilai Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mengkhawatirkan dan ia menyerukan dialog nasional yang signifikan dan komprehensif.

Sekjen PBB juga mendesak negara-negara tetangga Bahrain dan masyarakat internasional mendukung proses dialog dan membantu lingkungan yang kondusif bagi reformasi di Bahrain.

Kelompok oposisi Bahrain, termasuk yang terbesar al-Wefaq Masyarakat Islam Nasional, mengecam pengiriman pasukan itu ke Bahrain dan menilainya sebagai bentuk invasi.

Amerika Serikat, yang Armada Kelimanya berpangkalan di sana, menolak menilai pengiriman pasukan tersebut sebagai invasi.

Sejumlah orang tewas dan ratusan lainnya cedera setelah aksi brutal aparat keamanan Bahrain terhadap para demonstran.

Kemarin, enam orang meninggal dan lebih dari 1.000 lainnya cedera dalam bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan Bahrain.

Ribuan demonstran tetap berkemah di Bundaran Mutiara dan menolak meninggalkan bundaran itu sebelum tuntutan mereka terpenuhi.

Mereka bertekad akan melanjutkan demonstrasi hingga kebebasan tercapai dan pembentukan pemerintahan konstitusional.(irib/16/3/2011)

Ahmadinejad: Amerika Bertanggung Jawab atas Instabilitas Bahrain

Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad mengecam invasi militer asing ke Bahrain dalam upaya merepresi rakyat dan menuding Amerika Serikat bertanggung jawab atas kebijakan tersebut.

Dikatakan Ahmadinejad hari ini (16/3), "Invasi militer itu merupakan pengalaman keliru dan buruk. Negara regional berpegang pada Amerika Serikat dalam melaksanakan kebijakan keji tersebut."

"AS berusaha untuk menyelamatkan rezim Zionis (Israel) dan merepresi gerakan kebangkitan rakyat. Jadi, Amerika Seirkat mendukung pemerintah tertentu," tutur Ahmadinejad usai sidang kabinet."

Dia menegaskan pula bahwa pembantaian yang tengah berlangsung merupakan stigma bagi Amerika Serikat yang akan tersingkir dari kawasan.

"Bagaimana seseorang memerintah rakyatnya ketika ia berinteraksi dengan mereka dengan menggunakan lengan? Pemerintah harus milik rakyat, "tegas Ahmadinejad.

Ahmadinejad menilai tindakan kekerasan terhadap para demonstran di Bahrain itu tidak dapat dibenarkan dan tidak akan menghasilan apa pun.

Presiden Iran lebih lanjut mengimbau para pejabat Bahrain berdialog dengan rakyat dan memenuhi tuntutan mereka.

Senin (14/3), seorang pejabat Saudi mengkonfirmasikan pengiriman lebih dari 1.000 pasukan dari negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia Persia (PGCC) telah tiba di Bahrain. Pasukan itu ditugaskan meredam protes anti-pemerintah yang terus meningkat menuntut pemerintah berkuasa segera mundur.

Pemerintah Bahrain terus melancarkan serangan terhadap para demonstran yang menuntut pengakhiran kekuasaan rezim monarki keluarga al-Khalifa.(IRIB/MZ/16/3/2011)

Iran Produksi Massal Rudal Baru dengan Tingkat Presissi Tinggi

Iran memproduksi massal rudal-udara yang dilengkapi radar yang mampu menghancurkan target dengan tingkat ketepatan tinggi.

Hal itu dikonfirmasikan oleh Wakil Komandan Angkatan Udara Iran, Jenderal Sayyed Mohammad Alavi, kepada IRNA hari ini (16/3). Dikatakannya, "Para ahli Angkatan Udara Iran mulai memproduksi secara massal rudal dilengkapi radar yang kemampuannya telah dioptimalkan dan dipasang pada jet tempur."
pada hari Rabu.

Ditambahkannya bahwa tingkat ketepatan rudal radar sangat tinggi dalam menghancurkan target. Selain daya jangkaunya, daya rusaknya pun juga telah ditingkatkan.

Pejabat militer Iran itu menegaskan bahwa kemampuan Angkatan Udara Iran meningkat pesat, bahkan kemampuan armada Angkatan Udara Iran di atas rata-rata kemampun negara-negara regional.

Jenderal Alavi menjelaskan bahwa rudal tersebut telah diujicoba di berbagai operasi dan hasilnya sangat memuaskan.

Iran telah memulai program kemandirian dalam industri pertahanan negara dan memprakarsai sejumlah proyek produksi perangkat keras militer, termasuk memproduksi kendaraan militer udara dan laut seperti kapal selam, kapal tempur, dan berbagai jenis rudal.(irib/16/3/2011)

Korban Kekerasan di Bahrain Lampaui Angka 1000 Orang

Aksi kekerasan yang dilakukan pasukan pemerintah dan tentara Arab Saudi terhadap para demonstran Bahrain telah menjatuhkan korban tewas enam orang sementara lebih dari seribu orang lainnya terluka.

Press TV melaporkan, militer Bahrain dengan sejumlah helikopter tempur menyerang beberapa desa dan menembaki para demonstran tak bersenjata.

Warga pengunjuk rasa membuat barikade di jalanan kota Manama untuk menghalangi gerak maju tentara dan pasukan keamanan.

Rakyat Bahrain menilai pengiriman pasukan asing ke negara ini sebagai intervensi yang tidak bisa dibenarkan.

Sejak meletusnya gerakan kebangkitan rakyat Bahrain menentang rezim Al-Khalifah, 15 orang tewas dan lebih dari seribu orang luka-luka. (IRIB/AHF/16/3/2011)

Hari Kemarahan Digelar Besok, Pangeran Arab Saudi Marah

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Saud al-Faisal mengeluarkan pernyataan keras menjelang hari kemarahan yang digalang masyarakat revolusioner. Televisi Aljazeera melaporkan, Pengeran Saud al-Faisal dalam pernyataannya mengatakan, "Dialog adalah jalan terbaik untuk melakukan perombakan di Arab Saudi, bukan aksi unjuk rasa."

Dalam konferensi pers di Kantor Deplu Iran di Makkah, Saud al-Faisal memperingatkan segala intervensi luar atas gejolak dalam negeri. Menlu Arab Saudi khawatir akan instabilitas di kawasan yang menjalar ke negaranya. Dikatakannya, "Perubahan harus dilakukan oleh tangan warga negara ini, bukan pihak-pihak asing."

Sambil mengecam aksi demo dan menuding para pendemo sebagai kepanjangan tangan asing, al-Faisal menyatakan akan memotong tangan mereka jika berupaya menjulurkannya ke negara ini.

Pernyataan itu disampaikan saat Jubir Deplu AS belum lama ini menyatakan bahwa aksi demo di Arab Saudi adalah hak rakyat. Seiring dengan itu, al-Faisal menyebut demonstrasi di negara ini sebagai fitnah dan perpecahan.

Seraya menyinggung faktor gejolak yang disamakan di seluruh negara kawasan, Saud al-Faisal mengatakan, "Setiap negara mempunyai kondisi yang berbeda. Untuk itu, faktor gejolak di kawasan tidak dapat dipukul rata." Ia juga mengatakan, kondisi di Mesir dan Tunisia tidak dapat disamakan dengan kondisi di Arab Saudi.

Menurut rencana, para pendemo pro-demokrasi di Arab Saudi akan mengggelar Hari Kemarahan, besok (Jumat, 11/3). Menyusul rencana tersebut, 25 ribu personel keamanan dikerahkan untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa yang disebut dengan Hari Kemarahan. Selain itu, Departemen Dalam Negeri Arab Saudi juga membentuk Kamar Operasi untuk memantau aksi unjuk rasa yang rencananya akan digelar besok. (IRIB/Farsnews/AR/AHF/10/3/2011)

0 comments to "Hari Kemarahan Digelar , Pangeran Arab Saudi Marah, Bahrain terluka, Tunisia meradang...apa salahku kata Amerika dan Zionis sekutunya???!!!!"

Leave a comment