Home , , , , � Laporan Lengkap Pemilihan Ketua Dewan Ahli Negara Republik Islam Iran

Laporan Lengkap Pemilihan Ketua Dewan Ahli Negara Republik Islam Iran

Ayatullah Mohammad Reza Mahdavi Kani terpilih sebagai Ketua Dewan Ahli Kepemimpinan Iran setelah memperoleh 63 suara dari 86 anggota. Sidang pemilihan Ketua Dewan Ahli itu digelar hari Selasa (8/3) di Tehran.

Dewan Ahli termasuk mejelis bergengsi di Republik Islam Iran karena kerjanya berfungsi memilih dan memantau kinerja Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar yang saat ini dijabat oleh Ayatollah Al-Udzma, Sayid Ali Khamenei. Sebelumnya, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran dijabat oleh Imam Khomeini ra. Setelah terbentuk pemerintah Islam dengan dukungan sekitra 98 persen rakyat Iran dalam sebuah referendum pada tahun 1978, Imam Khomeini memerintahkan pembentukan Dewan Ahli yang berfungsi memantau dan memilih Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar.

Dengan terpilihnya Mahdavi Kani sebagai Ketua Dewan Ahli Kepemimpinan Iran, beliau adalah orang ketiga yang memimpin majelis tertinggi di negara ini setelah Ayatollah Mishkini dan Ayatollah Rafsanjani. Para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan Iran dipilih langsung oleh rakyat setiap delapan tahun sekali.

Di Iran ada empat pemilihan umum yang melibatkan langsung partisipasi rakyat. Keempat pemilu itu adalah pemilihan presiden, anggota parlemen, anggota dewan kota (DPRD) dan anggota dewan ahli kepemimpinan. Sejak awal Revolusi Islam Iran hingga kini, negara ini hampir setiap tahun, menggelar pemilu. Menurut data yang ada, Iran sudah menggelar pemilu 32 kali.

Dewan Ahli Kepemimpinan dapat dikatakan sebagai dewan yang paling bergengsi karena para anggotanya adalah para ulama yang mencapai derajat intelektual akademik terrtentu yang biasa diistilahkan dengan mujtahid. Pada umumnya, para anggota majelis bergelar ayatollah.

Dalam sidang resmi Dewan Ahli Kepemimpian periode keempat, para anggota sepakat memilih Mahdavi Kani sebagai ketua baru yang menggantikan Ayatollah Rafsanjani. Dalam pemilihan sidang yang memilih ketua baru Dewan Ahli, Ayatollah Rafsanjani menyatakan mundur dari pencalonan diri sebagai kandidat setelah Ayatollah Mahdavi Kani masuk dalam bursa kandidat. Sebelumnya, Ayatollah Rafsanjani menyatakan tidak akan mencalonkan diri bila Mahdavi Kani mencalonkan diri sebagai kandidat Ketua Dewan Ahli.

Rafsanjani dalam pidatonya di sidang resmi Dewan Ahli Kepemimpinan periode keempat menyatakan terima kasih kepada rakyat Iran yang masih berpartisipasi dalam pawai massal tanggal 22 Bahman yang bertepatan dengan Hari Kemenangan Revolusi Islam. Dikatakannya, "Rakyat Iran kembali menunjukkan kesetiaan mereka pada pemerintah Islam di Iran."

Sambil menyinggung perkembangan terbaru dan revolusi rakyat di kawasan, Ayatollah Rafsanjani mengatakan, "Dalam kondisi seperti ini, kami harus lebih waspada pada banyak hal. Sebab, kondisi di kawasan ini sangat jelas, yakni tengah dihadapkan pada situasi baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya."

Dalam pidatonya di hadapan para anggota Dewan Ahli Kepemimpinan, Ayatollah Rafsanjani mengatakan, "Dalam revolusi kita, lebih dari 90 persen gerakan adalah konsekuensi dari tuntutan agama dan harapan pada Imam dan ulama yang mempunyai peran besar dalam menyadarkan masyarakat." Ditambahkannya, "Salah satu faktor kemenangan revolusi adalah Islam. Semua yel-yel masyarakat saat itu adalah Islam, bahkan kelompok Sunni tidak menentang kami dan malah menunjukkan sikap kooperatif."

Selain pemilihan Ketua Dewan Ahli Kepemimpinan, para anggota juga memilih para anggota presidium Dewan. Para anggota presidium yang terpilih adalah sebagai berikut;

-Ayatollah Mahdavi Kani sebagai Ketua Dewan Ahli

-Ayatollah Mohammad Yazdi sebagai Wakil Ketua Pertama Dewan Ahli setelah mendapat dukungan 50 suara.

-Ayatollah Sayid Mahmoud Hashemi Shahroudi Wakil Ketua Kedua Dewan Ahli setelah mendapat dukungan 45 suara.

-Ayatollah Sayid Ahmad Khatami, Ayatollah Qorbanali Durri Najaf Abadi sebagai Sekretaris Dewan Ahli.

-Ayatollah Sadeq Larijani Amoli dan Hujjatul Islam Raisi sebagai Pelaksana Dewan Ahli

Di penghujung acara, Ayatollah Mahdavi Kani yang terpilih sebagai Ketua Dewan Ahli baru menyampaikan pidatonya di hadapan para anggota Dewan. Dalam pidatonya, Ayatollah Mahdavi Kani menekankan hubungan kepada Allah, hubungan kepada sesama dan sahabat yang masing-masing ditegaskan dalam hukum syariat Islam. Ditegaskannya pula, "Kedudukan Velayat al-Faqih atau kepemimpin ulama merupakan penjaga keutuhan masyarakat."

Lebih Lanjut Ayatollah Mahdavi Kani mengatakan, "Eksklusifisme adalah hal yang buruk. Kita harus bersatu." Ia juga menyatakan bahwa pencalonan dirinya merupakan bagian dari tanggung jawab. Kepada Mantan Ketua Dewan Ahli, Ayatollah Rafsanjani, Ayatollah Madavi Kani menyebutnya sebagai sahabat kental dalam perjuangan. Dikatakannya pula "Kami mengharapkan Ayatollah Rafsanjani tetap membantu sebagaimana dilakukan sebelumnya di masa awal perjuangan dan revolusi hingga kini." (IRIB/Mashreghnews/AR/SL/9/3/2011)

Beginilah Gelagat Paman Sam Saat Frustasi Hadapi Iran

Arogansi AS terhadap Iran tampaknya masih dipenuhi kemurkaan. Dengan mengusung dalih situasi darurat nasional, Presiden AS Barack Obama memperpanjang sanksi sepihak anti-Iran hingga Maret 2012. Kemarin (Selasa, 8/3) Gedung Putih menyatakan, dengan diperpanjangnya masa darurat nasional terkait dengan Iran, maka upaya pembekuan aset Iran untuk yang ke-32 tahun diperpanjang lagi.

Meski dalam janji kampanye pilpresnya dulu, Obama sempat menjanjikan untuk mengubah kebijakan AS terhadap Iran. Namun Obama justru memperpanjang sanksi terhadap Iran pada masa-masa awal kepresidenannya, yaitu pada Maret 2009.

Rangkaian sanksi sepihak anti-Iran itu melarang perusahaan-perusahaan AS dan sekutunya untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek industri minyak dan gas Iran, menjalin transaksi perdagangan, ekspor-impor dan menanam investasi di Iran. Paket sanksi tersebut telah diberlakukan semenjak era Presiden Jimmy Carter tak lama setelah kemenangan Revolusi Islam. AS sengaja menerapkan sanksi tersebut untuk melumpuhkan perekonomian Iran dan Republik Islam yang baru saja ditubuhkan kala itu.

Selain menerapkan sanksi dan membekukan aset-aset Iran di luar negeri, Washington juga gencar melakukan propaganda negatif terhadap Tehran terutama soal program nuklir sipil Iran. AS kerap menuding Iran tengah mengembangkan senjata nuklir dan dengan berdasar pada tudingan palsu itulah, AS dan sekutunya menekan Dewan Keamanan PBB hingga melahirkan rangkaian resolusi dan sanksi tak adil terhadap Iran.

Semenjak tiga dekade lalu, Gedung Putih berharap penerapan sanksi yang keras terhadap Iran bisa memaksa Tehran tunduk terhadap ambisi imperialisme AS. Namun realitas yang terjadi justru bicara kebalikannya. Malahan banyak analis politik dan ekonomi yang menilai kebijakan sanksi sepihak Washington terhadap Tehran tidak efektif dan justru mengubah Iran menjadi negara yang mandiri dan maju. Suatu kenyataan yang kini mulai diakui juga oleh sebagaian petinggi Paman Sam.

Para pengamat politik berkeyakinan, petualangan anti-Iran yang dipraktekkan AS sejatinya tak lebih dari sekedar perang urat-syaraf. Selama ini, Washington berasumsi bahwa kebijakan sanksi anti-Iran bisa mencegah kemajuan bangsa Iran. Namun nyatanya, kebijakan semacam itu malah menjadi senjata makan tuan dan banyak merugikan pihak AS dan sekutunya. Pasalnya, sesuai dengan prinsip perdagangan internasional, segala bentuk sanksi sama artinya dengan intervensi terhadap pasar bebas yang bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan dagang.

Karena itu, meski AS berusaha merangkul sekutu-sekutunya untuk memberlakukan sanksi terhadap Iran, namun banyak negara termasuk Uni Eropa yang secara praktis menentang kebijakan unilateral AS itu dan justru menghendaki perluasan kerjasama ekonomi dengan Tehran. Bahkan China dan negara-negara kekuatan baru ekonomi dunia seperti Brazil, India, dan Rusia tak menggubris sanksi sepihak AS itu. Kenyataan ini membuktikan bahwa kebijakan sanksi anti-Iran yang dipelopori AS benar-benar laksana harimau yang tak bertaring dan bercakar lagi. (IRIB/LV/NA/9/3/2011)

Nuklir Iran, Korban Ambiguisitas IAEA

Tampaknya, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sengaja membiarkan isu nuklir sipil Iran dalam kesimpangsiuran. Dirjen IAEA Yukiya Amano masih saja kerap melontarkan pernyataan yang ambigu. Satu sisi ia mengakui status sipil progam nuklir Iran, namun di sisi lain, seperti biasanya, ia pun melontarkan kecurigaan tak berdasar dan prasangka buruk bahwa Tehran kemungkinan bakal mengembangkan rudal yang diperlengkapi hulu ledak nuklir.

Amano dalam keterangan persnya kemarin (Senin, 7/3) di sela-sela Sidang Dewan Gubernur IAEA menuturkan bahwa meski badan PBB yang dipimpinnya itu tidak menyatakan bahwa Iran memiliki program persenjataan nuklir, namun IAEA masih mengkhawatirkan kemungkinan Iran bakal mengembangkan program tersebut. Tanpa menyebutkan detail soal kekhawatirannya itu, Amano menambahkan, "Para pengawas nuklir PBB semenjak akhir tahun lalu menemukan sejumlah informasi yang menambah kekhawatiran".

Tentu saja, klaim bahwa IAEA menemukan informasi yang mengindikasikan kemungkinan Iran mengembangkan persenjataan nuklir tak lebih sekedar klaim tak berdasar dan prasangka belaka. Klaim seperti itu sebelumnya juga pernah dilancarkan melalui skenario rekayasa. Lima tahun lalu, saat AS mengubah masalah teknis nuklir Iran menjadi isu politik, IAEA juga bertindak dengan cara yang sama. Padahal klaim sepihak AS itu hingga kini tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Ironisnya lagi, meski mengaku memiliki bukti-bukti kuat bahwa Iran tengah mengembangkan senjata nuklir, namun Washington tak pernah mau menyerahkan bukti-bukti tersebut.

Tak begitu berbeda, sekarang pun Amano mengaku telah menghimpun beragam data dan infomasi dari beragam sumber. Suatu trik licik seperti yang dipraktekkan Dirjen IAEA sebelumnya, Mohammad Elbaradei. Namun ujung-ujungnya pun pada akhirnya mereka mengakui bahwa IAEA terus berada dalam tekanan AS dan sejumlah negara Barat.

Tentu saja sikap semacam itu bertentangan nyata dengan prinsip-prinsip independensi IAEA dan akan membuat keputusan lembaga tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Padahal jelas sudah bahwa seluruh aktifitas nuklir Iran senantiasa berada dalam pengawasan IAEA dan Iran sendiri telah diakui sebagai negara yang telah mengamalkan komitmennya terhadap Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

Klaim lain Amano bahwa pihaknya tidak melihat adanya perkembangan soal transparansi dalam program nuklir Iran, merupakan tudingan sepihak lainnya yang sama sekali tidak berdasar. Jika tudingan itu memang benar lantas bagaimana IAEA bisa memperoleh beragam informasi mengenai program nuklir Iran hingga mereka mampu merilis 26 laporan yang semuanya membuktikan status sipil program nuklir Iran? Yang jelas, melontarkan tudingan dan klaim yang hanya berdasarkan prasangka dan ketakutan berlebihan hasil rekayasa negara-negara Barat, niscaya bakal merusak reputasi dan independensi IAEA sebagai otoritas internasional di bidang nuklir. (IRIB/LV/NA/8/3/2011)

Ketika Paman Sam Masih Paranoid Terhadap Islam

Menjelang digelarnya sidang dengar pendapat di Kongres AS mengenai apa yang diklaim sebagai radikalisme Islam, masyarakat muslim dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat menggelar unjuk rasa membela hak-hak komunitas Islam di AS. Dalam aksi unjuk rasa tersebut, para pimpinan organisasi Islam dan kelompok-kelompok madani mengecam meningkatnya gelombang anti-Islam di Negeri Paman Sam. Demo yang dilancarkan pada Ahad 6 Maret 2011 di Time Square itu juga turut diikuti oleh sejumlah tokoh yahudi anti-zionisme.

Sementara itu para penyokong sidang tersebut menuntut diberlakukannya kebijakan yang lebih ketat terhadap masyarakat muslim. Mereka mengklaim, gerakan ekstrimisme Islam seperti al-Qaeda kini semakin menyebar dan tumbuh subur di kalangan masyarakat muslim sehingga bisa mengancam keamanan negara.

Tentu saja tudingan sepihak itu, sangat tidak berdasar. Pasalnya, banyak juga orang-orang yahudi maupun nasrani yang melakukan aksi-aksi teror. Namun agama mereka tidak pernah disebut-sebut sebagai agama yang mengajarkan dan mendukung terorisme. Meski agama yang dianut oleh para teroris al-Qaeda adalah Islam, akan tetapi sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama muslim dari berbagai mazhab, Islam menentang segala bentuk aksi-aksi teror dan pembantaian terhadap warga sipil. Karena itu segera setelah terjadinya serangan 11 September 2001, dunia Islam serentak bersama masyarakat muslim di AS mengecam keras aksi teror yang dilancarkan oleh al-Qaeda.

Tak hanya itu, sejatinya justru masyarakat muslim sendiri yang menjadi korban terbesar aksi-aksi terorisme, mulai di Afghanistan, Irak, Palestina hingga Indonesia dan negara-negara muslim lainnya. Sementara puak-puak radikal di Barat hanya memanfaatkan isu terorisme dan menisbatkannya dengan Islam sekedar untuk meraih ambisi politik dan militeristiknya.

Namun bila ditelisik lebih jauh, sidang dengar pendapat soal radikalisme Islam yang diusulkan Peter King, anggota Kongres dari Partai Republik kali ini sesungguhnya tak lepas dari atmosfer persaingan politik internal AS menjelang pemilu. Selama lebih dari satu dekade belakangan, puak-puak Republik memang terbilang sukses menjaring suara dengan menjual isu-isu keamanan dan menebar ketakutan lewat eksploitasi isu terorisme dan ekstrimisme Islam. Karena itu, dengan berpijak pada pengalaman sebelumnya, kali ini kubu garis keras Republik berusaha menguji nasib peruntungannya dalam pemilu 2012 dengan mengusung kembali isu ancaman Islam.

Mungkin saja, taktik tersebut bisa menarik dukungan luas lobi-lobi zionisme, Kristen garis keras, dan kalangan rasialis. Namun bila hal itu terus dilanjutkan, maka dampak yang ditimbulkan justru bisa sangat berbahaya bagi keberadaan masyarakat multikultural AS. Saat ini saja, lebih dari 9 juta warga AS adalah pemeluk Islam. Mereka bahkan tergolong sebagai kelompok masyarakat AS yang sukses di berbagai bidang mulai dari ekonomi, perdagangan, hingga sains dan akademik. Dalam situasi seperti itu, upaya mengidentikkan Islam dengan terorisme hanya karena agama yang dianut al-Qaeda adalah Islam niscaya bakal menambah masalah sosial dan keamanan yang mendera AS saat ini. (IRIB/LV/NA/7/3/2011)

Politisi Australia Kecam Warga Muslim

Politisi Australia berulah soal warga Muslim di benua kangguru itu. Pauline Hanson, politisi dari One Nation, mengatakan warga Muslim Australia harus bisa berbaur dengan warga setempat.

"Kalau tidak bisa membaur lebih baik mereka tidak datang ke Australia," demikian Hanson, Rabu.

Hanson yang diwawancarai jaringan Radio Fairfax, mengatakan dia merasa terganggu bila ada Muslim yang mengatakan tidak mempercayai demokrasi. "Australia adalah negara demokrasi. Kalau tidak percaya demokrasi, kenapa kalian Muslim datang ke Australia," katanya dengan berapi-api.

"Kalau tidak mau membaur, jangan datang ke sini. Tinggal saja di negara asal kalian. Kalau mau di Australia, berintegrasilah," sambung dia. Hanson memang sedang berkampanye untuk posisi di dewan legislatif NSW. Pemilu legislatif setempat berlangsung 26 Maret.

Tahun lalu, Hanson juga sempat membuat heboh dengan mengatakan ia tidak mau menjual rumahnya ke warga Muslim. Dengan komentarnya terkait Muslim Australia selama ini, Hanson menolak tudingan bahwa ia rasis.

"Kritik terhadap Muslim Australia harus dibedakan dengan sikap rasisme," katanya lagi. "Saya punya hak untuk mempertanyakan sejumlah hal ke mereka." (IRIB/Republika/RM/9/3/2011)

Tags: , , , ,

0 comments to "Laporan Lengkap Pemilihan Ketua Dewan Ahli Negara Republik Islam Iran"

Leave a comment