Home , , , , , , , , , , � “Perselisihan Terakhir”, Awal dalam Islam

“Perselisihan Terakhir”, Awal dalam Islam






PERINGATAN!
Tulisan di bawah ini mungkin akan memuat plot dan alur cerita utama dalam film, sehingga bisa merusak pengalaman Anda kalau mau nonton film ini. Tapi kalau mau dibaca apalagi komentar silakan… Terima kasih.

Film yang saya tonton pada Festival Sinema Perancis 2011 kali ini berjudul “Adhen: Dernier Maquis“. Setelah melihat film dan buka kamus, terjemahan judul film ini sepertinya “Azan: Perselisihan Terakhir” (halah… enggak enak amat). Film ini disutradarai oleh Rabah Ameur-Zaïmeche yang berperan sebagai Mao, seorang bos muslim yang memiliki usaha reparasi palet dan bengkel truk besar. Untuk menjaga ketenangan karyawannya yang kebanyakan imigran Aljazair, ia menyiapkan sebuah tempat sebagai masjid dan memilih imam tanpa berunding terlebih dahulu dengan karyawan lainnya. Hal inilah yang membuat perselisihan.

Mao memilih Haji sebagai imam masjid. Haji adalah orang yang dituakan dan bisa dibilang lebih mengerti tentang Islam. Dia juga orang yang dihormati bahkan oleh orang yang menentang pemilihannya, yaitu Titi. Titi adalah seorang mualaf yang banyak bertanya tentang Islam kepada Haji. Karena mualaf, banyak teman-teman yang ngeledek Titi sebagai muslim yang tidak taat sampai akhirnya ia memutuskan untuk… bagian yang ini bikin ngilu… mengkhitan dirinya sendiri agar dianggap sebagai muslim yang taat 8O Titi menganggap hal tersebut cukup baginya untuk diangkat sebagai imam. Padahal ia tidak tahu cara wudu apalagi salat.

Perselisihan masalah imam masjid yang dipimpin oleh Titi dan teman-temannya dari kelompok mekanik bertambah rumit karena kondisi usaha Mao di bidang bengkel tidak menghasilkan keuntungan. Karena ada tanda-tanda PHK terhadap para pekerja mekanik, terjadilah perlawanan terhadap Mao. Ending ceritanya sangat nggantung: pabrik Mao diblokir oleh pekerja mekanik. Tamat. Bingung apa hikmah dari film ini?

Film ini bisa dipandang dari berbagai sisi. Adegan awal film saat Haji mengecat palet dengan warna merah serta pemilihan nama Mao membuat film ini dianggap mempromosikan nilai sosialis. Penjelasan tentang Islam dan nilai-nilainya yang diucapkan oleh Haji pada awal film juga dapat mengurangi tekanan Perancis terhadap muslim di negara tersebut. Beberapa hari yang lalu di Perancis, dua orang wanita ditangkap hanya karena bercadar (CNN).

Tapi buat saya, film ini mengingatkan saya tentang awal perselisihan dalam Islam: pengganti rasul. Masalah dalam pengganti kepemimpinan seolah menjadi peristiwa yang terus berulang. Ada yang menyebutkan bahwa pertumpahan darah pertama antara Qabil dan Habil adalah perebutan wasi (penerima wasiat) Adam a.s. Permusuhan Yehuda putra Yakub kepada Yusuf saudaranya juga karena masalah pengganti kepemimpinan.

Sebagaimana kita tahu, muslim ahlusunah berkeyakinan bahwa Rasulullah saw. tidak memilih pelanjut bagi penjaga risalah Islam. Pengangkatan Abu Bakar ra. terjadi di Saqifah oleh segelintir orang dari kaum Muhajirin dan Ansar, sementara keluarga nabi dari Bani Hasyim tidak terlibat. Meski nabi dianggap tidak memilih pengganti, dalam sejarah kita tahu bahwa Abu Bakar ra. mengangkat penggantinya, Umar bin Khattab ra.

Sementara muslim Syiah yang dikenal dengan konsep imamah-nya meyakini bahwa setiap utusan Allah pasti memiliki pengganti atau penerus. Seluruh utusan dari Allah itu memiliki pengganti dan syariat sempurna yang dibawa Rasulullah saw. juga memiliki penjaga hanya saja kenabian telah berakhir. Nabi saw. berkata kepada Ali a.s.,”Tidakkah engkau rida bahwa engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi setelahku?” (HR. Bukhari)

Kalau kita melihat sejarah maka sebenarnya masalah penggantian kepemimpinan setelah nabi bukanlah hal yang baru. Seseorang yang diangkat sebagai imam oleh Allah bukanlah hal yang mengherankan. Allah Swt. berfirman kepada Nabi Ibrahim a.s.: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” (2: 124). Justru ketika beberapa umat ingin mengangkat seorang khalifah, barulah ini mengherankan, karena Allah jugalah yang memutuskan: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (2: 30)

Ali Syariati, dalam Ummah dan Imamah, mengatakan, “Imamah tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang… Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya.” Karena kelayakan imam dan sifatnya itu merupakan kapasitasnya yang ada dalam diri seseorang, maka tidak peduli apakah ia tidak dipilih atau tidak berkuasa, ia tetaplah imam. Di tempat lain, Syariati juga berkata, “Syiah menolak musyawarah dan memegang wasiat, sedangkan ahlusunah sebaliknya. Padahal kedua prinsip tersebut tidak bertentangan satu sama lain dan tidak pula keduanya merupakan bidah dan tidak islami…”

Baiklah… jangan serius-serius banget, kan tadi lagi bicarain film… Buat Fadhilatul Muharam, ini review, bocorin atau “nyontek”? :D

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2011/04/14/perselisihan-terakhir-awal-dalam-islam/#more-5826

Abu Bakar Ba’asyir Inginkan Konsep Imamah

Tulisan ini merupakan postingan ulang di blog saya dahulu pada tanggal 26 Agustus 2008. Tapi semoga tetap bermanfaat, khususnya dalam memahami konsep Imamah.

Bagi sebagian orang ini berita biasa, tapi bagi saya ini cukup menarik. Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang dijuluki “Si Mata Singa” ini keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia. Dia menganggap bahwa sistem organisasi yang di-amiri-nya sudah tidak sejalan dengan syariat dan kembali ke jahiliah. Hal ini karena menurutnya pemimpin hanya sebagai simbol dan tidak memiliki otoritas dalam mengambil keputusan saat rapat.

“Sistem kepemimpinan seperti ini tidak ada dalam sejarah Islam. Dalam Islam hanya mengenal sistem berorganisasi yang disebut dengan jama’ah wal imâmah yaitu pemimpin mempunyai otoritas penuh untuk mengambil keputusan setelah bermusyawarah dengan majelis syura, lalu amir-lah yang mengambil keputusan akhir walaupun keputusan itu tidak populer dalam majlis syura, dan seluruh anggota baik di majelis syura hingga tingkat bawah harus sami’nâ wa atha’nâ siap taat melaksanakan bersama,” kata Ba’asyir.

Dalam struktur MMI, ada ahlul halli wal aqdi (AHWA) yang bertindak semacam majelis syura, dan tanfidziyah yang menjalankan roda organisasi sehari-hari. Tanfidziyah bekerja dengan kontrol penuh dari AHWA. Tapi ternyata elemen tersebut tidak pernah mendengar pendapat Ustaz Abu Bakar Ba’asyir.

Ustaz Abu juga mengatakan bahwa musyawarah ada di dalam “sunah” Yahudi. Ketua terikat dengan hasil musyawarah, dan hasil musyawarah dianggap sah kalau disetujui mayoritas, yaitu 50% plus satu, misalnya. Itu sistem Yahudi. Kalau dalam Islam, jika seorang pemimpin ditunjuk, namanya bisa imam atau amir, punya otoritas seperti komandan, wajib ditaati. Senang atau tidak senang, kamu sependapat atau tidak, selama perintahnya tidak melanggar pokok-pokok syariat, wajib sami’nâ wa atha’nâ (didengar dan ditaati).

Pendapat dari Ustaz Abu di atas sudah pernah saya dengar dari seorang ulama Iran yang datang ke Indonesia, namun saya tidak ingat namanya. Kalimatnya persis. Demokrasi yang selalu didengungkan sebagai kebebasan dan sistem suara terbanyak dalam musyawarah bukan dari Islam. Siapa yang menjamin bahwa suara terbanyak adalah yang benar? Sedangkan pendapat yang hanya kurang 1% harus mengikuti pendapat mayoritas?

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’âm : 116). Meski Syiah Ahlulbait jumlahnya minoritas, tidak menjamin bahwa yang mayoritas adalah paling benar.

Pemikiran Ustaz Abu tersebut memang sempat membuatnya dituding sebagai Syiah. Tentu hal itu segara dibantah, “Jamaah wal imamah ini memang diterapkan oleh Syiah. Tetapi dalam Syiah itu amir maksum, tetapi menurut kami Ahlus Sunnah, amir itu tidak maksum,” terangnya. (Lihat: Dibalik Mundurnya ABB) Dia juga mengatakan bahwa orang Islam yang pakai konsep imamah tidak mesti Syiah.

Amir Thalib, wakil Ustaz Abu, mengatakan bahwa imam yang tidak terikat musyawarah dan musyawarah tidak wajib adalah paham Syiah, bukan paham Ahlussunah. Paham Syiah tentang imamah dan syura ini ditulis oleh Ali Syariati dalm bukunya Imamah dan Ummah (Majalah Sabili, No. 04 Thn XVI, 4 Ramadhan 1429).

Apakah konsep yang diinginkan oleh Ustaz Abu itu mirip dengan konsep Wilayatul Faqih di Iran? Saya tidak berani menjawab. Namun “buah karya” Imam Khomeini tersebut—wilayâh al-faqîh—merupakan konsep yang Imam Khomeini sarikan dari Alquran dan hadis Ahlulbait mengenai sistem kepemimpinan, yakni sesuai dengan akidah Islam Syiah mengenai nubuwah, imamah dan kepemimpinan ahli fikih (fukaha) di masa gaibnya Imam Zaman ini. Wallahualam.

Abu Bakar Ba’asyir: “Ini Pembunuhan Karakter.”

Tuduhan bahwa Ustaz Abu Bakar Ba’asyir seorang ekstremis dan teroris, itu sudah biasa. Semuanya sudah terjawab di pengadilan bahwa dia tidak bersalah. Tapi kali ini ia dituduh Syiah oleh wakilnya sendiri di MMI. Kepada Herry Mohammad dari Gatra yang menemui Ustaz Abu di markasnya di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Senin siang lalu, Ustazz Abu menepis tudingan itu.

Latar belakang Anda mundur dari MMI?

Saya berkeyakinan, di samping Allah menurunkan Islam sebagai ideologi hidup sebagai din, Allah juga menurunkan resep cara mengamalkannya. Pengamalan Islam yang benar itu ada di dalam sistem kekuasaan, bukan dikuasai; harus menguasai. Orang-orang yang berada di luar Islam boleh bernaung di bawahnya dan diperlakukan dengan baik dan adil.

Musyawarah, di dalam sunah Yahudi, ketua ini terikat dengan hasil musyawarah, dan hasil musyawarah dianggap sah kalau disetujui mayoritas, yaitu 50% plus satu, misalnya. Itu sistem Yahudi. Kalau dalam Islam, jika seorang pemimpin ditunjuk, namanya bisa imam atau amir, punya otoritas seperti komandan, wajib ditaati. Senang atau tidak senang, kamu sependapat atau tidak, selama perintahnya tidak melanggar pokok pokok syariat, wajib didengar dan ditaati.

Bagaimana dengan MMI?

Di MMI, masih dipakai sistem kepemimpinan kolektif. Ndak ada itu dalam Islam. Maka, saya bilang, ini sistem sekuler yang datang dari sunah Yahudi. Mereka marah. Di MMI ada seorang pinter, namanya Ustaz Muhammad Thalib. Orang ini orang pinter, tapi tampaknya belum sampai ke sana pikirannya. Terjadilah diskusi, saya malah dituduh Syiah. Saya bilang, tidak mesti orang Islam itu pakai imamah Syiah.

Ada perbedaannya. Kalau Syiah, pemimpin itu maksum (tidak pernah salah). Kalau Ahlussunah tidak. Imam itu tidak maksum. Kapan imam diganti? Kalau wafat atau belum wafat tapi lemah, enggak bisa ngurusi lagi, sakit-sakitan, atau melanggar syariat yang membawa pada kekafiran. Itu baru diganti.

Apa tujuan Anda membentuk JAT (Jamaah Anshar Tauhid)?

Ya, agar ditolong oleh Allah. Pertolongan Allah itu datang jika memenuhi dua syarat. Pertama, niatnya ikhlas. Kedua, caranya benar. Nah, cara yang benar itu meliputi tujuannya benar demi tegaknya khilafah. Sistem perjuangannya benar, yaitu dakwah dan jihad. Sistem jemaah organisasinya benar, yaitu jemaah dan imamah. Termasuk sistem syuranya. Mudah-mudahan, dengan membentuk jemaah ini bisa mendekati hadirnya pertolongan Allah, karena perjuangan tidak akan menang tanpa pertolongan Allah.

Saya tidak sepakat jika ada yang bilang, jika umat Islam tidak bersatu, akan kalah. Umat Islam tidak bisa bersatu sebelum ada ulil amri. Kalahnya umat Islam itu kalau tidak ada pertolongan Allah. Kalau ormas-ormas dan orpol-orpol masih begini caranya, tidak mau muhasabah (instrospeksi), ndak akan ada kemenangan.

Bagaimana dengan tuduhan bahwa Anda Syiah, Ahmadi…

Saya dituduh Syiah tulen, juga Ahmadi, tapi tidak berani berhadap-hadapan. Kesimpulan saya, ini pembunuhan karakter supaya orang tidak percaya kepada saya.

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2009/10/13/abu-bakar-baasyir-inginkan-konsep-imamah/

Mengambil Pelajaran dari Film

Ada banyak hal yang dilakukan oleh orang seluruh dunia tanpa mengenal usia, jenis kelamin, ras, dan agama. Hal-hal seperti makan, minum, bernapas adalah yang biasa teringat. Tapi ada juga satu bentuk hiburan yang orang seluruh dunia nikmati hingga pada titik tertentu dalam kehidupan mereka: nonton film. Mulai dari klip YouTube pendek dari seorang sutradara lokal sampai dengan trilogi seperti Lord of the Rings, film datang dalam berbagai bentuk dan bisa mempengaruhi kita dalam beragam cara—positif dan negatif—baik kita sadari atau tidak. Ini bergantung dari jenis film yang tonton dan pesan, jika ada, yang mereka coba sampaikan. Imam-imam ahlulbait a.s. mengajarkan kita bahwa ada pelajaran (hikmah) dalam segala hal yang kita lihat. Menerapkan pesan ini ke dalam seluruh aspek kehidupan dapat membuat hal sederhana seperti menonton film menjadi sebuah kesempatan untuk meningkatkan nilai diri kita.

Untuk memperjelas, kita tidak membicarakan film dengan adegan maksiat terang-terangan seperti nudisme dan perilaku tidak senonoh lainnya. Meski film apapun bisa memiliki pesan positif yang baik, namun jika mengandung segala yang dilarang bagi kita untuk dilihat dan didengar, menontonnya jelas dilarang. Seperti biasa, jika dalam keraguan, mengaculah pada aturan dari marjak taklid Anda.

Fokus pembicaraan kali ini adalah tentang bagimana kita dapat memanfaatkan hal keseharian seperti menonton film untuk meningkatkan diri sendiri. Sering kali orang menyaksikan film hanya untuk menghabiskan waktu atau melepas lelah dari keseharian. Meskipun hal ini tidak benar-benar dilarang, tapi juga bukan cara terbaik untuk menghabiskan waktu. Sebagai pengikut ahlulbait, kita harus selalu mencari cara terbaik dalam melakukan dan memanfaatkan waktu, dan memastikan diri bahwa kita melakukannya hanya karena Allah. Cara terbaik untuk melakukan hal tersebut adalah melalui perbuatan yang semakin langka di masa sekarang: merenung.

Nabi suci saw. pernah bersabda bahwa merenung tentang suatu hal selama satu jam lebih utama daripada ibadah satu tahun penuh. Kalau nonton film bisa membawa perenungan yang positif, bisakah dikatakan perbuatan tersebut punya peran dalam peningkatan diri? Mari kita ambil contoh dari film yang hampir semua orang pernah lihat, The Lord of the Rings. Aspek utama dari film ini adalah pertempuran batin Frodo tentang cincin dan usaha untuk mencegahnya untuk diambil alih. Memikirkan dan merenungkan tentang hal tersebut bisa membuat seseorang merefleksikan tentang pertempuran batin terus menerus yang kita miliki dengan setan. Inilah yang nabi saw. sebut sebagai jihad akbar dan pemenang dari pertempuran ini akan menjadi individu yang berhasil. Meskipun setiap orang berpikir dengan cara yang berbeda dan memiliki arus pemikirannya sendiri, contoh tadi menunjukkan bagaimana hal tersebut mungkin untuk meningkatkan kepribadian seseorang dengan merenungkan secara sederhana tema yang ditampilkan dalam sebuah film.

Cara lain untuk memastikan bahwa kita mendapat hasil maksimal dari film adalah memiliki niat yang baik sebelum menyaksikannya. Hampir semua yang dilakukan karena Allah dapat terhindar dari dosa, termasuk nonton film. Seseorang bisa menyaksikan film Avatar terkenal dan kembali tanpa apa-apa selain kagum pada visual dan efek khusus. Pada saat yang sama, orang lain bisa menyaksikan film yang sama tapi merenung tentang pengaruh keserakahan dan penindasan dan memikirkan cara untuk menguranginya di dunia ini. Seseorang harus memiliki niat untuk belajar dan merenungkan sebelum menyaksikan film tertentu. Memiliki niat yang baik sebelum melakukan apapun adalah sebuah konsep yang bisa dan harus diaplikaskan dalam segala hal.

Seperti banyak dari kita nonton film, kita harus memilih dengan teliti film apa yang akan kita lihat dan bagaimana kita menyaksikannya. Apa yang kita terima melalui penglihatan dan pendengaran akan menjadi refleksi diri kita sendiri, karenanya kita harus berhati-hati dalam hal ini, dan berdoa kepada Yang Mahakuasa sebagaimana yang kita lakuan pada malam Jumat: “Jadikan aku (mampu) mengambil manfaat dari kekuatan mendengar dan melihat (penegasan dan persepsi kebenaran)…”

Ada beberapa film islami yang dapat kita ambil manfaatnya. Kita harus melakukan yang terbaik untuk mendukungnya karena mereka secara langsung mempromosikan nilai-nilai islami dan mengecam kemaksiatan. Menyebarluaskan film tersebut harus menjadi tujuan kita karena dapat menjadi cara alternatif untuk menyebarkan Islam di era masa kini. Seperti biasa, kita harus selalu menjauh dari hal-hal yang dilarang oleh mata dan telinga, dan memiliki niat yang bersih sebelum melakukan apapun. Insya Allah, kita akan melakukan semua tindakan semata-mata karena Allah.

Penulis: Wajahat Hussain

Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2011

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2011/03/23/mengambil-pelajaran-dari-film/

Demokrasi Kufur vs. Tolak Khilafah

Saat saya duduk menulis mengetik tulisan ini, di sebelah saya terdapat pamflet yang ditempel dengan huruf besar bertuliskan: “DEMOKRASI SISTEM KUFUR”. Lalu di bawahnya tertera nama kelompok penempel pamflet: Gema Pembebasan dari teman-teman Hizbut Tahrir Indonesia, Komsat UIN Syahid Jakarta.

Satu kata yang terlintas dalam pikiran saya sewaktu membaca tulisan itu: berlebihan alias gila!. Bagaimana tidak, demokrasi yang merupakan salah satu dari sekian banyak sistem pemerintahan atau kenegaraan dianggap sebagai sistem kufur.

(Berarti, negara dan warga negara yang menggunakannya adalah kafir? Kalau manusia yang hidup di dalamnya????)


Sistem demokrasi memang bukan asli dari Islam, tapi paling tidak, untuk sementara ini sistem tersebut merupakan yang lebih baik (baca: mendingan) dari sistem lain yang ada seperti monarki atau oligarki. Demokrasi yang berbasis suara terbanyak rakyat dianggap lebih cocok di negara (tercinta) Indonesia ini yang serba multikultural. Meskipun suara terbanyak atau kelompok umat Islam terbanyak (jumhur) tidak menjadi jaminan bagi sebuah kebenaran.

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (QS. Al-An’âm: 116)

Lucunya satu-dua hari berselang, beredar pula pamflet yang ditempel juga dengan huruf besar bertuliskan: “TOLAK KHILAFAH”. Kelompok dadakan ini menamakan dirinya (kalau tidak salah) Aliansi Mahasiswa Penegak (Pembela?) Demokrasi. Semakin menarik aneh saja kampus ini. Untuk yang satu ini, menurut saya juga berlebihan.

Karena khilafah (atau dalam mazhab ahlulbait disebut imamah) merupakan puncak dari sistem kenegaraan Islam. Sesuatu yang ideal, di mana negara dipimpin oleh seorang imam. Imam dan bukan khalifah yang identik dengan pemimpin negara (politik) saja. Imam juga memimpin dan membimbing umat dalam hal agama. Persis seperti peran Rasulullah SAW.

Catatan: Tulisan ini tidak bermaksud menjelekkan kedua kelompok. Silakan perjuangankan ideologi masing-masing dengan fair. Karena belum lama saya ketik tulisan ini, seseorang mencabut-merobek-membuang salah satu di antara pamflet itu (tebak saja yang mana) ;)

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2009/05/08/demokrasi-kufur-vs-tolak-khilafah/

1 comments to "“Perselisihan Terakhir”, Awal dalam Islam"

  1. Anonymous says:

    allah maha bijaksana ingat IMAM MAHDI akan menjelaskan semuanya
    secara mendetail mengenai PLURALISME ingat!!!!!!!!
    Oleh Henandri ekwantyo wibawa,se

Leave a comment