Home , , , , , , , , , � "Teologi Horor" (Pengantar buku "CUCI OTAK NII, Tinta Publisher)

"Teologi Horor" (Pengantar buku "CUCI OTAK NII, Tinta Publisher)







Maraknya berita kekerasan di media mulai dari bentrok antar geng, antar kampung, antar pendukung cabub, tawuran antar mahasiswa dan antar pelajar, teror bom, penyerbuan kelompok minoritas agama maupun intra agama dengan dalil "aliran sesat'' , dan yang terbaru, aksi penyekapan, perampokan dan cuci otak yang dialamatkan kepada Gerakan NII, telah membenamkan kita dalam kebimbangan tentang masa depan bangsa ini. Terlalu bias dan membingungkan untuk ditolak maupun diterima. Opini, rekayasa, dan fakta berbaur menjadi adonan yang tidak nyaman dikunyah.

Pola keberagamaan yang bagaimanakah yang bisa meredam potensi konflik dari penghayatan kita terhadap agama itu sendiri? Dan, bagaimanakah cara kita memupuk keyakinan bahwa agama adalah sumber segala nilai dan sesuatu yang selalu dibutuhkan manusia? Perlukah kita menengok kembali ideologi-ideologi tertentu yang jelas-jelas gagal mengantar manusia untuk menemukan The Great Chain Being (Hossein Nasr), padahal, menurut Nasr, ideologi-ideologi semacam komunisme atau saintisme hanya mampu mengantarkan manusia untuk menemukan setengahnya saja dari gambaran dunia?

Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan, lebih-lebih akhir-akhir ini. Sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apologetis (membela diri), yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan; tetapi manusia menyalahgunakan untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan.

Padahal
, agama baru menjadi konkret sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? Orang skeptis terhadap jawaban yang membela diri itu. Orang menyaksikan bahwa agama sering digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi kekerasan. Oleh karena itu sulit menjawab pertanyaan, bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan. Mungkin, upaya transparansi dalam hubungan antar-agama bisa membantu memberi landasan etika semacam itu.

Dalam negara dimana kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur dan melembaga sebagai kekuasaan tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama antara mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dengan mereka yang tidak, tentunya mereka yang meraup keuntungan, baik itu kemenangan politik maupun finansial, yang berupaya keras agar tidak terjadi perubahan berarti. Ketimpangan yang merajalela dalam hal sumber daya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untuk mengambil keputusan mengenai distribusi sumber daya hendak terus dipertahankan. Selagi kekuasaan untuk memutuskan hanya dimonopoli oleh sekelompok orang saja, mereka berupaya untuk mempertahankan status quo itu sedapat mungkin. Ideologi dan subyektifitas seringkali menjadi alasan pembenaran atau justifikasi legitimasi untuk menindak keras pihak yang ingin mengganggu dan mencoba mengutak-utik status quo. Orde keteraturan diterapkan dan disokong dari semua lini yang dimiliki negara, merangsek ke seluruh elemen kehidupan, memiliterisasi sipil sedemikian rupa sehingga korporatisme negara mengebiri masyarakat.

Dalam sejarah Islam kekerasan struktural (negara) terus terjadi sejak Nabi wafat mulai dari pembunuhan karakter para sahabat Nabi yang kritis, seperti pengasingan Abu Zar, pembantaian Malik bin Nuwairah at-Tamimi bersama warga sekampungnya dengan dalih “murtad karena tidak membayar zakat”, juga pembantaian paling biadab yang dialami Al-Husain dan para pengikutnya di Karbala hingga ekspansi-ekspansi militer atas nama “penyebaran Islam” ke wilayah-wilayah Jazirah Arabiyah, seperti ke Persia dan Andalusia.

Sejarah mencatat betapa banyak darah dialirkan dalam proses itu. Anehnya, tidak sedikit orang yang membanggakan itu sebagai bagian dari sejarah kejayaan Islam. Para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang korup, cabul dan rasis, malah sering dipuja sebagai ikon-ikon utama keagungan Islam???!!!

Bila kita berani mengamati secara objektif sejarah mazhab-mazhab Islam, maka kita akan dengan mudah menemukan kekerasan telah dipatenkan sebagai bagian dari doktrin dan dianggap sebagai citra kesalehan dan relijiusitas. Kaum Khawarij yang dianut oleh para tekstualis dengan ciri-ciri fisik tertentu, seperti dahi hangus karena banyak bersujud, telah menjadi gerombolan paling bengis yang mencari pahala sorga dngan menggorok leher sesama Muslim. Pembunuhan Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai prestasi kesalehan yang paling dibanggakan oleh mereka ( Abdurrahman bi Muljam yang terkenal hafiz Qur'an dan terkenal selalu sholat tepat waktu bisa menjadi pembunuh berdarah dingin terhadap Imam 'Ali didalam Mesjid!!!! ).

Pembantaian para penganut Syiah dan Mu’tazilah serta para sufi dan filosof Muslim juga yang dilakukan oleh para penguasa Islam yang terlalu terang-benderang untuk ditutup-tutupi. Lahirnya konsep “taqiyah” tak dapat dipisahkan dari trauma sejarah yang kelam itu. Tidak hanya itu, buku-buku ulama mainstream menjadi tebal karena hanya berisikan hujatan dan vonis in absentia terhadap pandangan-pandangan Syiah, taswauf, filsafat dan Mu’tazilah.

Umat Islam telah dijadikan sebagai keranjang yang tidak pernah mengenal etika “hak jawab”, “objektivitas”, “komparasi” dan “dialog”. Semuanya telah dikuduskan, dan karenanya, setiap upaya mengkritisinya dianggap sebagai kesesatan dengan beragam atribut, seperti “zindiq”, “rafidhah”, “bathiniyah” dan “pemuja akal”.

Di abad modern pun, kekerasan tidak makin lenyap, namun sebaliknya menjadi kian kuat. Berdirinya kerajaan atas nama satu keluarga di Hijaz adalah bukti nyata akan lestarinya teologi kekerasan dalam umat Islam.

Teologi kekerasan yang dianut para teroris ini adalah teologi Wahhabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M.

Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus [Syria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashra selama 4 tahun

Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis bukunya yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn (para pengesa Tuhan). Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi.

Mula-mula ia (Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb) menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni

Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi qadi. Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.

Kini AS dan zionisme tanpa koordinasi dengan rezim Saud telah mengembangkan teologi horor sebagai kartu dan alat tekan melalui organisme baru dengan sistem dan jaringan yang mirip dengan CIA. Nama Alqaeda muncul sebagai kekuatan siluman tanpa batas negara. Ia menjadi cek kosong yang bisa diisi oleh siapapun dengan frase-frase agama yang mudah diasosiasikan dengan Islam. Kekuatannya membentang mulai dari Afrika hingga Asia, dengan ragama nama, seperti Taliban, Jamaat Islami, Jundullah, Anshar Tauhid, Sepah Sahabah. Prestasi-prestasi mereka tidak ditemukan di Gaza atau Palestina, tapi di masjid-masjid minoritas Syiah di Peshawar hampir setiap Jumat terutama di Muharram, di Irak dan seluruh dunia Islam.(selalu ada teror bom )

Di Indonesia, kekerasan struktural atas nama agama yang dillakukan oleh kelompok-kelompok di Indonesia juga kian mencolok. Ada yang seenaknya melakukan razia dan ‘main hakim’ sendiri dengan dalih amar makruf dan nahi munkar. Ada yang melakukan kegiatan militer dengan mengirim pasukan berseragam ke wilayah-wilayah konflik SARA, seperti Maluku dan Poso dengan dalih berjihad. Ada yang gemar mengkafirkan dan menjatuhkan ‘fatwa mati’ atas setiap orang yang mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan pandangan keagamaannya. tentang agama Ada pula yang secara berencana melakukan provokasi untuk membumihanguskan pemukiman muslim, sekolah dan pemakaman minoritas, seperti yang terjadi di Pekalongan dan Bangil.

Lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis yang cenderung menggunakan ‘kaca mata kuda’ dalam memahami teks agama semestinya harus disikapi secara tegas oleh negara, para pemuka agama, para intelektual dan bseluruh elemen masyarakat demi mengantisipasi terjadinya anarkisme dan chaos yang tak pelak akan membuat bangsa ini makin terpuruk.

Eskalasi kekerasan yang begitu tinggi dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya harus dilihat sebagai pelajaran berharga bagi masyarakat beragama, bahwa agama belum berfungsi secara maksimal untuk meredam kekerasan. Karena itu, kita, terutama para pemuka agama harus aktif mengangkat doktrin-doktrin sintesis yang menghendaki perdamaian. Memang, deskripsi keagamaan selama ini belum memberi perhatian serius pada "teologi perdamaian".

Semua agama jelas-jelas menolak kekerasan secara definitif. Ia tidak pernah diterima sebagai prinsip bertindak. Kekerasan senantiasa amoral karena selalu mengandaikan pemaksaan kehendak, dan karenanya melanggar asas kebebasan dalam interaksi sosial.
Padahal,
manusia bebas secara moral. Ia punya kemampuan untuk bebas menentukan setiap pilihannya. Tapi, persoalan hubungan keduanya justru terletak pada pertimbangan-pertimbangan etiko-religius untuk mempraktikkan kekerasan. Ironisnya, dalam perspektif itu, kekerasan tak lagi dinamai kekerasan melainkan jihad, atau amar makruf dan nahi mungkar, dan sejenisnya. Hal ini makin rumit jika ia dipraktikkan dengan legitimasi etiko-religius, atau sekedar dengan label agama demi ambisi-ambisi non-religius.

Bila kekerasan struktural yg membawa jargon agama tidak ditentang secara masif, maka kita akan memasuki babak kehidupan yang sangat mencekam. Indonesia yg kaya krn heterogenitas (keberagaman suku/agama dan ras) akan jadi "negeri horor". Gerombolan-gerombolan berjubah dg palu vonis "sesat" gentayangan dimana-mana.Mimbar-mimbar jadi pusat komando pembantaian. Kaum minoritas jadi sasaran adu ketangkasan membabat atas nama jihad dan amar ma'ruf.

Bayangkan bila negoisasi digusur oleh konfrontasi, wacana diganti dengan teror, dan dialog dengan fatwa mati..!!!!!

oleh Muhsin Labib pada 27 April 2011 jam 22:30
mainsource:http://www.facebook.com/notes/muhsin-labib/teologi-horor-pengantar-buku-cuci-otak-nii-tinta-publisher/10150239641080730

Biografi Kartosuwiryo



Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo demikian nama lengkap dari Kartosoewiryo, dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Ayahnya, yang bernama Kartosuwiryo bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.

Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya “gerakan pencerahan Indonesia” ketika itu, Kartosuwiryo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.

Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosuwiryo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah “kelas dua” untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.

Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosuwiryo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi “guru” agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosuwiryo Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosuwiryo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.

Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.

Selama kuliah Kartosuwiryo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu “terasuki” oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.

Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena “terasuki” ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh “komunis” karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.

Aktivitas Kartosuwiryo

Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, “Sumpah Pemuda”.

Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosuwiryo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun,Kartosuwiryo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.

Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.

Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.

Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosuwiryo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya.

Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.

Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur –atau “kabur” dalam istilah orang-orang DI– ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut “kaburnya” TNI ini dengan memakai istilah Islam, “hijrah”. Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna “hijrah” itu.

Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah “pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam.

Akhirnya, perjuangan panjang Kartosuwiryo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosuwiryo




MUI: Waspadai PKI Baru


Selain gerakan NII, pemerintah juga harus mewaspadai gerakan PKI baru di Indonesia. Sebab, saat ini geliat gerakan komunis baru ini sudah sangat terasa.

Pernyataan ini dikemukakan Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan. Dia mengatakan, tanda-tanda geliat PKI baru tersebut bisa dilihat dari mulai anak-anak mantan PKI yang berani menyatakan diri sebagai keturunan PKI.

“Saat ini, mereka sudah berani bilang, saya anak PKI. Mereka juga sudah mulai melakukan pertemuan-pertemuan secara berkala dalam kelompoknya,” kata Amidhan di gedung DPR, Kamis (28/4).

Bukan itu saja, lanjut Amidhan, saat ini para PKI baru ini mulai membantah kejadian 30 September bukanlah ulah PKI melainkan perselisihan antara tentara. Kelompok berusaha memanfaatkan kesalahan Presiden Soeharto untuk menutupi kesalahannya.

“Saat ini mereka sudah bekerja sama dengan dunia internasioal. Dengan alasan HAM, mereka ingin menentang keputusan pelarangannya,” jelas Amidhan.



Jumlah mereka, lanjut Amidhan, sudah relatif banyak dan menyebar di semua wilayah Indonesia. “Kantung utamanya ada di Madiun dan wilayah Jawa Timur,” terangnya.

Saat ini, tambah Amidhan, gerakan ini baru sekadar penyebaran paham-paham dan ideologi. Namun, kalau dibiarkan, mereka akan tumbuh besar dan membahayakan negara.

“Kalau sudah kuat, mereka akan berusaha menumbangkan negara seperti pada 1965 dulu. Karena itu, pemerintah harus bertindak. Ini berbeda dengan NII. Negara kita sudah mengatur bahwa PKI dilarang tumbuh di Indonesia,” tandasnya. Padang Today

1 comments to ""Teologi Horor" (Pengantar buku "CUCI OTAK NII, Tinta Publisher)"

  1. Unknown says:

    Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Adakah Orang-orang Mukmin yang mau menjadi
    Tentara Islam

Leave a comment