Home � Hari Jumat, Khotbah Jumat dan Sholat Jumat

Hari Jumat, Khotbah Jumat dan Sholat Jumat


Khotbah Jumat yang Bernilai

Kedua, metode penyampaiannya. Secara jujur saya katakan bahwa Jumat kemarin, untuk pertama kalinya saya tertidur saat khatib membacakan khotbah Jumat. Benar-benar membaca! Bahkan sang khatib lebih banyak membacakan syair. Tentu saja hal tersebut membuat saya jenuh dan akhirnya… Allâhuakbar, Allâhuakbar… Tanpa saya sadari sudah ikamah dan salat pun dimulai. (Padahal saya berharap, karena Jumat lalu terjadi bencana Situ Gintung, khatib bisa mengangkat tema tersebut).

Dalam acara Khawâthir Syâb yang ditayangkan di televisi Arab Saudi, tema senada pernah diangkat, yakni bermanfaatkah khotbah Jumat yang selama ini mereka dengar? Kemudian acara itu menanyakan kepada beberapa orang di Jazirah Arab dan hampir semua menjawab kurang bermanfaat dan monoton. Bahkan ketika ditanyakan apakah mereka ingat tema yang disampaikan minggu lalu, jawabannya pun kebanyakan negatif.

Ayatullah Ali Taskhiri (Ketua Lembaga Pendekatan Antarmazhab) menyebut salat Jumat sebagai miniatur masyarakat yang islami. Maka sepantasnya tema yang diangkat oleh khatib harus yang up-to-date dan menyangkut masalah dan problematika masyarakat; bukan masalah “klasik” dan “klise”. Karena itu momen berkumpulnya ratusan bahkan ribuan jemaah dalam satu masjid seminggu sekali, maka harus dimanfaatkan dengan baik oleh para khatib.

Suasana Salat Jumat di Iran

Apa yang terjadi di Iran bisa menjadi contoh bagaimana miniatur masyarakat islami (baca: jemaah salat Jumat) menemukan kebangkitannya. Dengan jutaan orang yang hadir saat salat Jumat, Imam Khomeini—yang memahami betul filosofi salat Jumat—mampu menebarkan nilai dan pendidikan kepada jemaah serta menjadi penentu keputusan yang bersifat sosial dan politik. Apakah masih tabu bagi kita untuk memasukkan politik ke dalam masjid?

Ayatullah Ali Taskhiri juga mengatakan, “Penjajah dan para perampas berusaha sekuat tenaga mereka untuk menghilangkan ruh salat Jumat. Mereka berusaha menjadikan salat Jumat hanya sebagai upacara ritual yang tidak memiliki peran apapun terhadap kemasyarakatan.” Sebagai Pemimpin Para Hari, Jumat seharusnya menjadi hari di mana kita lebih memusatkan perhatian pada ibadah. (Mungkin karena alasan inilah beberapa negara di Timur Tengah menjadikan Jumat sebagai hari libur).

Saya terobati dengan khotbah Jumat hari ini (03/04). Khatib adalah Habib Ali bin Hasan Al-Bahar yang kebetulan juga dosen di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Khatib mampu menarik perhatian jemaah dengan mengarahkan kepala mereka ke arah mimbar dan mendengarkannya dengan baik. Padahal biasanya banyak kepala jemaah shalat Jumat yang tertunduk alias tidur. Cara penyampaiannya pun mendapat respon positif dari teman saya.

Ciri khas yang saya rasakan dari para ulama, khususnya Iran, yang datang ke Indonesia adalah menceritakan sejarah masa lampau terlebih dahulu baru kemudian menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pada masa kini. Habib Ali Al-Bahar (saya lebih suka memanggilnya ustaz) siang tadi juga menggunakan metode yang sama; menceritakan tentang surah Al-Hujurât terlebih dahulu, yang menurut para ulama terdahulu juga disebut sebagai surah Al-Akhlâq.

Beberapa akhlak yang terdapat dalam surah tersebut adalah dilarang meninggikan suara melebihi suara Nabi (ayat 2), larangan merendahkan kelompok lain (ayat 11), menjauhi buruk sangka dan gibah (ayat 12), dan yang terakhir bahwa hanya orang mukmin sajalah yang bersaudara (ayat 10) dan jika terjadi perselisihan maka wajib kita damaikan (ayat 9). Bukannya malah menciptakan perpecahan sesama umat Islam.

Dari tema akhlak tersebut kemudian khatib menghubungkannya dengan pesta demokrasi pada tanggal 9 April nanti. Pada intinya adalah masa sekarang ini tidak hanya dibutuhkan kedaulatan rakyat, tapi yang lebih penting sebagaimana tujuan rasul diutus yaitu menyempurnakan akhlak, maka kedaulatan akhlak jauh lebih penting. Sudahkah kita menemukan calon pemimpin yang berakhlak baik?

Untuk kemudian selanjutnya saya berharap akan semakin banyak khatib-khatib yang memiliki kemampuan, tidak hanya berceramah yang baik (termasuk tanpa membaca teks) tapi juga memilih tema yang pas serta memberikan pemecahannya terhadap masalah masyarakat. Serta tentunya kita sebagai mustami’, tidak hanya mendengar tapi juga menjalankan nasihat khotbah. Wallahualam.

Imam Ali Ar-Ridha a.s. berkata, “Ketahuilah bahwa khotbah diwajibkan pada hari Jumat karena Jumat adalah tempat dan waktu yang dihadiri oleh banyak orang. Oleh karena itu, hendaknya seorang pemimpin menjadikannya sebagai alat yang tepat untuk menyampaikan pesan dan pencerahan kepada umat…”

mainsource:Posted by Ali Reza/Apr 3


Umar bin Abdul Aziz Mengubah Tradisi Khotbah Jumat

The_Khutbah_by_iraqiguySetiap khotbah Jumat, pasti kita sering mendengar khatib membacakan ayat Innallâha ya`muru bil ‘adli wa ihsân wa îtâidzil qurbâ wa yanha ‘anil fahsyâ wal munkar wal bagh. Ya’izhukum la’allakum tadzakkarûn. Belum lama ini saya menemukan kisah mengenai bagaimana ayat tersebut bisa ada di bagian khotbah Jumat. Saya merangkum dari buku dengan judul asli Qashash al-Abrâr dan Dastan-e Dastan.

Cacian di mimbar Jumat terhadap Sayidina Ali sudah menjadi tradisi selama puluhan tahun. Muawiyah dan khalifah setelahnya menampakkan kebencian secara terang-terangan. Ada pejabat yang meminta kepada Muawiyah agar menghentikan tradisi tersebut. Tapi Muamiyah menjawab, “Tidak, demi Allah! Tidak akan kuhentikan sampai anak-anak kecil tumbuh dewasa, yang dewasa semakin tua renta sehingga tak seorang pun mengingatnya kembali.”

Pada masa kekuasaan Abdul Malik (khalifah kelima Umayyah), ada seorang ulama yang menceritakan keutamaan Sayidina Ali di masjid Damaskus. Abdul Malik memerintahkan supaya lidah ulama itu dipotong dan berkata, “Aneh! Sampai sekarang orang-orang belum melupakannya!” Sekaitan dengan peristiwa itu, syair tentang Sayidina Ali tercipta:

Di atas mimbar mereka mencacinya,
Padahal dengan pedangnya, mimbar ditegakkan.

Di antara anak-anak atau pemuda yang mengalami masa seperti itu adalah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang tergolong baik di antara khalifah Umayyah yang lain ini berkisah:

Ketika masih muda, saya belajar Alquran kepada salah seorang keluarga Utbah bin Masud. Suatu hari ketika sedang bermain dengan teman-teman, kami melaknat Ali r.a. Ternyata guruku yang kebetulan lewat di tempat kami bermain tidak menghendaki pelaknatan tersebut. Dia kemudian masuk ke masjid.

Saya pun meninggalkan teman-teman dan masuk ke masjid untuk belajar kepada guruku. Tapi ketika saya datang, dia berdiri untuk melaksanakan salat. Dia memanjangkan salatnya, seakan-akan disengaja. Saya merasakan sekali hal itu. Selesai salat dia langsung menampakkan wajah muram kepadaku. Saya bertanya, “Apa yang terjadi, wahai guru?”

“Anakku, engkau melaknat Ali?” tanyanya. “Ya.” Guruku bertanya lagi, “Sejak kapan engkau tahu bahwa Allah membenci pahlawan Badr setelah meridai mereka?” Saya bertanya, “Guru, apakah Ali termasuk pahlawan Badr?” “Benar,” jawab guruku. “Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”

Kemudian aku menghadiri salat Jumat di Madinah dan ayahku yang waktu itu gubernur bertindak sebagai khatib. Aku simak khotbahnya begitu lancar dan bersemangat, sampai akhirnya ayahku melaknat Ali r.a. Aku heran mengapa sampai terjadi demikian. “Wahai ayah, ayah termasuk orang yang fasih dan lancar berkhotbah. Begitu tertariknya aku melihat ayah, sehingga ketika ayah melaknat orang itu (Ali) aku merasa kecewa.”

“Wahai anakku, orang-orang yang berada di bawah mimbar kita itu kebanyakan penduduk Syam. Kalau aku menyampaikan keutamaan orang itu (Ali) sebagaimana yang aku ketahui, tak seorang pun dari mereka yang mau mengikuti kita,” jawab ayahku. Aku simpan dan kurenungkan kata-kata ayahku itu di dalam dadaku bersama apa yang dikatakan guruku. Lalu aku berjanji kepada Allah, jika aku bernasib baik dan menjadi khalifah, aku akan merubah ungkapan laknat itu.

Hingga akhirnya, Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Ia memikirkan cara bagaimana melarang cacian dan laknat terhadap Sayidina Ali dan mendorong ulama besar mengeluarkan fatwa pengharamannya. Umar pun memiliki cara cerdik dan jitu untuk mengakhiri cacian terhadap Sayidina Ali.

Diam-diam dia memanggil seorang dokter Yahudi dan mengatakan kepadanya, “Saya akan mengundang ulama dalam sebuah majelis dan engkau harus ikut. Saya minta kamu pura-pura meminang putriku. Kemudian aku akan mengatakan bahwa dalam Islam, wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir. Nanti kamu harus jawab, ‘Mengapa Ali yang kafir menjadi menantu Nabi?’ Saya akan mengatakan bahwa Ali tidak kafir. Lalu kamu bantah, ‘Jika Ali tidak kafir mengapa kalian melaknatnya, padahal mencaci dan melaknat seorang muslim tidak diperbolehkan?’ Setelah itu, aku yang akan turun tangan.”

Majelis itu pun diselenggarakan. Para undangan hadir, mulai dari tokoh masyarakat, pembesar Bani Umayyah dan para ulama, termasuk dokter Yahudi itu. Setelah siap, dokter itupun mengatakan ingin meminang putra Umar bin Abdul Aziz. Semua rencana berjalan lancar sampai ketika dokter Yahudi berkata, “Kalau Ali bukan kafir, mengapa kalian melaknatnya?”

Saat itu, seluruh yang hadir menundukkan kepalanya karena merasa malu. Umar langsung memanfaatkan kesempatan itu dan mengatakan kepada hadirin, “Jujurlah kalian. Mungkinkah menantu Rasul yang punya keutamaan begitu banyak merupakan orang terlaknat?” Akhirnya, di majelis itu Umar bin Abdul Aziz menepati janjinya yang terdahulu.

Umar memberlakukan larangan mencaci dan melaknat Imam Ali bin Abi Thalib dan mengganti ucapan laknat itu menjadi ayat yang selalu dibaca para khatib Jumat: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat. Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90) Wallahualam.

Sumber Gambar: IraqiGuy

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2009/07/03/umar-bin-abdul-aziz-mengubah-tradisi-khutbah-jumat/


Revolusi 101: Kekuatan Salat Jumat

Oleh: Kaneez Fatima

Gambar-gambar paling mengesankan yang jarang tampil di muka umum adalah ketika waktu salat. Kerumunan orang berkumpul tanpa menunda-nunda ketika azan salat memanggil. Di saat yang sama gas air mata dilemparkan ke arah mereka dan pasukan keamanan terus membayangi.

Di samping semua itu, salat Jumat adalah katalisator bagi kebangkitan hari-hari ini. Jumat menarik banyak orang. Para jemaah berbondong-bondong ke masjid mendengarkan khutbah imam. Sama seperti yang kita pikirkan, momentum kebangkitan datang bersamaan dengan hari Jumat yang dijuluki “Hari Kemarahan”, “Hari Perpisahan”, atau “Hari Persatuan”.

Salat Jumat memainkan peran penting dalam membawa rakyat Mesir bersama-sama: muda dan tua, kaya dan miskin, pria dan wanita, berpendidikan maupun tidak. Salat Jumat adalah perwujudan dari apa yang terjadi di Tahrir Square dalam perjalanan revolusinya—rakyat berkemah secara harmonis, berbagi makanan dan kebutuhan lainnya agar suara mereka didengar.

Salat dan doa ini kemudian berubah menjadi protes terbesar yang pernah disaksikan Mesir. Secara tradisional, salat Jumat dibentuk agar masyarakat dapat berkumpul bersama sehingga isu-isu sosial dan kemasyarakatan tertentu dapat diangkat. Para imam dari Mesir menyambut kesempatan itu dan mengubah salat Jumat menjadi pembebasan yang lain. Salat Jumat tidak lagi terbatas pada ketaatan religius, tapi telah sampai ke seberang untuk melibatkan semua tanggung jawab anggota masyarakat.

Salat Jumat saat demo di Mesir

Sepanjang sejarah Islam, Jumat dan khutbahnya telah digunakan untuk membangkitkan kesadaran sosial dan politik di tengah-tengah masyarakat. Muawiyah menyebarkan propaganda besar-besaran melawan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib a.s. dan Imam Hasan bin Ali a.s. melalui penggunaan mimbar, khususnya pada hari Jumat. Mukmin dan pengikut setia wilayat kemudian mengambil kesempatan untuk menolak klaim yang mereka buat dari atas mimbar. Mereka suarakan secara publik keberatan mereka di tengah-tengah khutbah Jumat untuk melawan propaganda Muawiyah.

Tentu, sebagai contoh nyata, revolusi Islam Iran dididik dari khutbah Jumat semacam ini. Inilah sebabnya mengapa kita melihat upaya besar-besaran dari sebagian rezim diktator Timur Tengah untuk memastikan bahwa khutbah Jumat sesuai dengan “kebijakan pemerintah” dan terkadang justru didikte. Kekuatan Jumat mempunyai semangat untuk menciptakan revolusi, menjatuhkan monarki, membangkitkan kesadaran sosial dan politik, serta bersama-sama membawa masyarakat ke arah yang tak terduga.

Seperti yang ditunjukkan di Mesir dan disaksikan juga saat ini di Yaman dan Bahrain, Jumat adalah forum mingguan yang membawa persatuan dan perpaduan sosial. Ia menanamkan kepada para pesertanya doktrin kesetaraan, keadilan, dan kesadaran sosial. Manfaat pertemuan tersebut tidak bisa dianggap enteng.

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 9-10)

Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2011

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2011/05/11/revolusi-101-kekuatan-salat-jumat/

0 comments to "Hari Jumat, Khotbah Jumat dan Sholat Jumat"

Leave a comment