Home , , , , , , � KHALIFAH - PEMIMPIN - LEADER of human being harus TUA dan bukan TAKWA nya...!!!!!!

KHALIFAH - PEMIMPIN - LEADER of human being harus TUA dan bukan TAKWA nya...!!!!!!


Pandangan Sunni Tentang Khalifah

Oleh: Sayyid Said Akhtar R

Mayoritas pandangan madzhab Sunni (dalam masalah teologi) dewasa ini adalah mengikuti pandangan Asy’ariyyah. Mereka, sebagaimana Mu’tazilah, meyakini bahwa institusi imamah/khilafah adalah perlu dan menjadi kewajiban seorang manusia untuk menunjuk seorang khalifah.

Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa penunjukan ini wajib sesuai dengan akal. Kaum Asy’ariyah meyakini bahwa penunjukan ini bersifat wajib karena sesuai dengan hadits.

An-Nasafi menulis dalam kitab al-’Aqâid-nya:

“Kaum Muslimin tidak dapat hidup tanpa seorang imam yang akan menempatkan diri dengan menjalankan keputusan-keputusan mereka, dan dalam pelaksanaan hudud-nya dan menjaga batasan-batasannya, menyediakan lasykar-lasykar, menerima sedekah mereka, memberikan hukuman kepada para pencuri dan perampok, mengimami salat Jum’at dan Ied, menghilangkan sengketa yang ada di tengah-tengah masyarakat, menerima bukti-bukti terhadap klaim-klaim hukum, dan menikahkan orang-orang miskin yang tidak memiliki wali dan membagikan harta rampasan perang.”[1]

Sunni menghendaki seorang penguasa semesta…, sementara Syiah mencari seseorang yang dapat membangun kerajaan surga di muka bumi dan mengakhiri segala bentuk kejahatan yang merajalela di muka bumi.”[2]

Oleh karena itu, Madzhab Sunni mengakui empat prinsip utama dalam memilih seorang khalifah:

  1. Ijma’ yaitu konsensus tentang orang yang memegang kekuasaan dan kedudukan pada sebuah titik tertentu. Mufakat seluruh pengikut Nabi Saw tidak menjadi keharusan, juga tidak terlalu penting untuk mengamankan kedudukan dan kekuasaan orang yang berkuasa di tengah-tengah umat.
  2. Pencalonan oleh khalifah sebelumnya.
  3. Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite
  4. Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah.

Pengarang Kitab Syarhil Maqâsid menjelaskan bahwa bilamana seorang imam wafat dan seorang yang memiliki kualifikasi yang diinginkan untuk kedudukan tersebut (tanpa bai’at) kekhalifaannya akan tetap diakui sepanjang kekuasaannya dapat menundukkan masyarakat; dan bilamana seorang khalifah baru kebetulan seorang yang jahil dan bodoh, nampaknya akan mendapatkan perlakuan yang sama.

Demikian juga, bilamana seorang khalifah telah membangun dirinya dengan kekuatan tapi kemudian ditaklukkan oleh orang lain, ia akan disingkirkan dan orang yang menaklukkanya akan dianggap sebagai imam atau khalifah.[3]

Kualifikasi Seorang Khalifah

Madzhab Sunni menganggap sepuluh syarat seseorang untuk dapat menjadi khalifah:

  1. Muslim
  2. Dewasa
  3. Laki-laki
  4. Berakal sehat
  5. Berani
  6. Merdeka, bukan seorang sahaya
  7. Dapat dihubungi dan tidak tersembunyi
    1. Mampu mengadakan perang dan tahu taktik berperang
    2. Adil
    3. Mampu mengeluarkan fatwa dalam bidang hukum dan agama , yaitu, ia harus seorang mujtahid.[4]

Namun dua yang terakhir hanya bersifat teoritis belaka, sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya. Bahkan, seorang awam dan bermoral buruk dapat menjadi seorang khalifah. Oleh karena itu, syarat-syarat ‘adil dan fakih (mumpuni) dalam bidang agama tidak memiliki landasan sama sekali.

Mereka berpandangan bahwa ismah (infallible) tidak menjadi keharusan bagi seorang khalifah. Kalimat yang dilontarkan oleh Abu Bakar dari mimbar di hadapan para sahabat, dinukil untuk menguatkan pandangan ini. Abu Bakar berkata: “Ayyuhannas!”, “Aku telah dijadikan penguasa atas kalian meskipun aku tidak lebih baik dari kalian; jadi, dalam menunaikan tugasku, aku meminta pertolongan kalian; dan jika aku berbuat salah, kalian harus meluruskanku. Kalian harus tahu bahwa setan senantiasa dapat datang kepadaku. Jadi jika aku marah, menjauhlah dariku.”[5]

At-Taftazani berkata dalam Syarhul ‘Aqâidin Nafisah, “Seorang imam tidak dapat dijatuhkan dari imamah karena alasan immoral atau kezaliman.”[6]


[1] . Lihat, at-Taftazani: Syarh ‘Aqa’idi’n-Nasafi, hal.185.

[2] . Lihat, Miller,W.M.: terjemahan, al-Babu ‘l-hadi ‘asyar.

[3] . Lihat, at-Taftazani: Syarhu ‘l-Maqâsidi’ t-Tâlibi’n, vol. 2, hal. 272. Lihat juga, al-Hafiz ‘Ali’ Muhammad and Amiru ‘d-Din: Fulku ‘n-Najat fi ‘l-Imâmah wa ‘s-salat, vol. 1, hal. 203.

[4] . Lihat, at-Taftazani, op. cit.

[5] . Lihat, as-Suyuti, Târikhu ‘l-Khulafa‘, hal.71.

[6] . Lihat, at-Taftazani: op. cit.

KOMENTAR :

  1. Pandangan Sunni Tentang Khalifah ada 4 : Ijma’ atau Pencalonan oleh khalifah sebelumnya atau Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite atau Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah. « ht Says:

    [...] Demikian juga, bilamana seorang khalifah telah membangun dirinya dengan kekuatan tapi kemudian ditaklukkan oleh orang lain, ia akan disingkirkan dan orang yang menaklukkanya akan dianggap sebagai imam atau khalifah.[3] [...]

  2. Pandangan Sunni Tentang Khalifah ada 4 : Ijma’ atau Pencalonan oleh khalifah sebelumnya atau Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite atau Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah. « ht Says:

    [...] Mereka berpandangan bahwa ismah (infallible) tidak menjadi keharusan bagi seorang khalifah. Kalimat yang dilontarkan oleh Abu Bakar dari mimbar di hadapan para sahabat, dinukil untuk menguatkan pandangan ini. Abu Bakar berkata: “Ayyuhannas!”, “Aku telah dijadikan penguasa atas kalian meskipun aku tidak lebih baik dari kalian; jadi, dalam menunaikan tugasku, aku meminta pertolongan kalian; dan jika aku berbuat salah, kalian harus meluruskanku. Kalian harus tahu bahwa setan senantiasa dapat datang kepadaku. Jadi jika aku marah, menjauhlah dariku.”[5] [...]

  3. Pandangan Sunni Tentang Khalifah ada 4 : Ijma’ atau Pencalonan oleh khalifah sebelumnya atau Syuraa yaitu pemilihan oleh sebuah komite atau Kekuatan Militer, yaitu jika seseorang meraih kekuasaan dengan kekerasan ia akan menjadi khalifah. « ht Says:

    [...] [3] . Lihat, at-Taftazani: Syarhu ‘l-Maqâsidi’ t-Tâlibi’n, vol. 2, hal. 272. Lihat juga, al-Hafiz ‘Ali’ Muhammad and Amiru ‘d-Din: Fulku ‘n-Najat fi ‘l-Imâmah wa ‘s-salat, vol. 1, hal. 203. [...]

MAINSOURCE:http://syiahsunni.wordpress.com/2009/12/20/pandangan-sunni-tentang-khalifah-7/


Naiknya Abu Bakar Ke Singgasana Kekuasaan

Oleh: Sayyid Said Akhtar R

Seluruh prinsip yang disebutkan di atas diambil tidak berasal dari ayat atau hadits, tapi dari peristiwa-peristiwa dan kejadian setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Menurut Ahli Sunnah, empat khalifah pertama disebut al-Khulafa’ur Rasyidun (khalifah yang mendapat bimbingan). Kini mari kita kaji bagaimana Khalifatur Rasyidah ini muncul.

Segera setelah wafatnya Nabi, kaum Muslimin di Madinah (dikenal sebagai Ansar) berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Menurut penulis kitab Ghiyatu’l Lugha, tempat ini adalah tempat rahasia di mana bangsa Arab biasa berkumpul untuk melakukan kegiatan-kegiatan jahat mereka.[1] Di tempat ini, Sa’ad bin Ubadah, yang kemudian merana, dibimbing ke kursi dan didudukkan di atasnya, dibungkus dalam sebuah selimut, sehingga ia dapat dipilih menjadi khalifah. Kemudian Sa’ad menyampaikan pidato tentang keutamaan kaum Ansar dan memberitahukan kepada mereka untuk mengambil alih kedudukan khalifah sebelum orang lain melakukannya. Namun, kemudian di antara mereka ada yang bertanya: “Jawaban apa yang akan kita berikan kepada kaum Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah) Quraisy jika mereka menentang gerakan ini dan mengajukan klaim mereka?

Sekelompok orang-orang yang berada di tempat itu berkata: “Kita akan mengatakan kepada mereka, mari kita pilih salah satu pemimpin dari kalian dan satu dari kami.” Sa’ad berkata: “Ini adalah salah satu kelemahan yang telah kalian perlihatkan.”

Seseorang memberi kabar kepada ‘Umar bin Khattâb tentang perhimpunan ini, katanya: “Jika engkau berkehendak untuk meraih kekuasaan sekarang, engkau harus bergegas ke Saqifah sebelum terlambat, yang dapat menimbulkan kesulitan bagimu untuk merubah apa yang sudah diputuskan di sana.” Setelah menerima kabar ini, ‘Umar, bersama Abu Bakar, bergegas bertolak ke Saqifah ditemani juga oleh Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah.

At-Tabari, Ibnu Atsir, Ibn Qutaibah[2]dan sejarawan yang lain merekam dalam kitab sejarah mereka bahwa setelah sampai di Saqifah, Abu Bakar, ‘Umar dan Abu Ubadah nyaris tidak mendapatkan kursi mereka ketika Tsabit bin Qays berdiri dan mulai mendendangkan syair-syair tentang keutamaan kaum Ansar dan menyarankan bahwa kursi khalifah harus ditawarkan kepada salah seorang Ansar. Dilaporkan bahwa setelah itu ‘Umar berkata: “Ketika pembicara Ansar itu selesai berbicara, aku berusaha untuk berbicara, setelah merenung cukup lama, tentang beberapa poin-poin penting. Namun Abu Bakar yang berada di belakangku tetap berdiam diri. Oleh karena itu, aku diam saja. Abu Bakar lebih berkompeten dan lebih berilmu daripada aku. Ia lalu berkata hal yang sama seperti yang aku pikirkan bahkan menyampaikannya lebih baik dari aku.”

Menurut kitab Raudatus Safa, Abu Bakar menyampaikan kepada majelis di Saqifah, “Wahai majelis Ansar! Kami tahu keutamaan dan kualitas kalian. Kami juga tidak melupakan perjuangan dan usaha kalian dalam menegakkan panji Islam. Akan tetapi kehormatan dan kemuliaan bangsa Quraisy di antara bangsa Arab tidak dimiliki oleh suku arab yang lain, dan suku-suku Arab tidak akan menyerah kepada bangsa mana pun kecuali kepada suku Quraisy.”[3]

Dalam Sirah al-Halabiyyah, ditambahkan:

“Bagaimanapun, pada kenyataannya kami adalah kaum Muhajirin, kaum yang pertama menerima Islam. Nabi Islam berasal dari suku kami. Kami adalah kerabat Nabi…dan oleh karena itu..kamilah yang berhak untuk menjabat khalifah…Ada baiknya mengambil pemimpin di antara kami dan jabatan kementerian dari kalian. Kami tidak akan bertindak sebelum bermusyawarah dengan kalian.”[4]

Adu argumen mulai panas, dan disertai dengan teriakan ‘Umar: “Demi Allah, Aku akan bunuh sekarang siapa saja yang menentang kami.” Al-Hubâb ibn al-Munzir ibn Zaid, seorang Ansari dari suku Khazraj, menentangnya kemudian berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membiarkan siapa pun yang berkuasa atas kami sebagai khalifah. Yang harus menjadi pemimpin adalah seorang berasal dari kalian dan seorang dari kami.” Abu Bakar berkata: “Tidak, hal ini tidak dapat terjadi; Kamilah yang berhak untuk menjadi khalifah dan kalian jadi menteri kami.” Al-Hubab berkata: “Wahai Ansar! Jangan kalian serahkan diri kalian atas apa yang dikatakan orang-orang ini. Tegarlah..Demi Allah jika ada yang berani menentangku sekarang, aku akan potong hidungnya dengan pedangku.” Umar menimpali: “Demi Allah, dualitas (dua khalifah, -penj.) tidak pantas dalam masalah khilafah. Dalam satu regim tidak bisa ada dua khalifah, dan bangsa Arab tidak akan setuju dengan kepemimpinan kalian, karena Nabi tidak berasal dari suku kalian.”

At-Tabari dan ibn Atsir keduanya mengatakan bahwa pada kejadian itu terjadi tukar-menukar kata dengan sengit antara al-Hubâb dan ‘Umar. ‘Umar melaknat al-Hubâb: “Semoga Allah membunuhmu.” Al-Hubâb menimpali: “Semoga Allah membunuhmu.”

‘Umar lalu maju dan berdiri di hadapan Sa’ad bin ‘Ubadah dan berkata kepadanya: “Kami akan patahkan seluruh anggota badan kalian.” Karena marah atas tantangan ini, Sa’ad berdiri dan mencengkeram janggut ‘Umar. ‘Umar berkata: “Jika engkau menarik satu helai dariku, engkau akan lihat semua orang akan membencimu.” Lalu, Abu Bakar memohon ‘Umar dan orang-orang untuk tenang. ‘Umar mengalihkan wajahnya kepada Sa’ad yang berkata: “Demi Allah, jika aku cukup memiliki kekuatan untuk bertahan, engkau akan mendengar raungan singa-singa di setiap sudut kota Madinah dan engkau akan bersembunyi di setiap lobang-lobang kota Madinah. Demi Allah, kami akan menggabungkan kalian dengan kaum yang orang-orangnya hanyalah pengikut bukan pemimpin.

Ibn Qutaibah berkata bahwa ketika Basyir bin Sa’d, pemimpin suku Aus, melihat Ansar bersatu di belakang Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj, ia diselimuti oleh rasa dengki dan berdiri mendukung klaim Muhajirin dari bangsa Quraisy.

Di tengah-tengah suasana panas dan menegangkan ini, ‘Umar berkata kepada Abu Bakar: “Julurkan tanganmu sehingga aku dapat memberikan bai’at kepadamu.” Abu Bakar berkata: “Tidak, engkau yang harus menjulurkan tanganmu sehingga aku dapat berbai’at kepadamu, karena engkau lebih kuat daripada aku dan lebih pantas untuk menjabat khalifah.”

‘Umar mengambil tangan Abu Bakar dan menyampaikan bai’at kepadanya, katanya: “Kekuatanku tidak ada nilainya sama sekali bila dibandingkan dengan jasa dan senioritasmu. Dan jika ada nilai maka kekuatanku ditambahkan kepadamu akan sukses dalam mengelola khalifah.”

Basyir bin Sa’d mengikuti apa yang berlaku. Suku Khazraj berteriak kepadanya bahwa ia bertindak karena rasa irinya kepada Sa’ad bin ‘Ubadah. Lalu suku Aus berbicara sesama mereka bahwa jika Sa’ad bin Ubadah menjadi khalifah hari itu, suku Khazraj akan senantiasa merasa lebih unggul dari suku Aus, dan tidak ada satu orang pun dari suku Aus yang akan menerima kehormatan ini. Oleh karena itu, mereka memberikan bai’at-nya kepada Abu Bakar. Seseorang dari suku Khazraj menarik pedangnya namun ditahan oleh yang lain.

Di tengah segala percekcokan ini, ‘Ali dan para sahabatnya sedang sibuk mengurus pemandian jenazah Nabi Saw dan proses penguburan beliau. Dalam keadaan seperti ini, Abu Bakar memanfaatkan kesempatan dan menjabat khalifah a fait acompli.

Ibnu Qutaibah menulis: “Ketika Abu Bakar mengambil kedudukan sebagai khalifah, ‘Ali diseret ke arah Abu Bakar yang ketika itu berulangkali menyatakan, “Aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah. Lalu ‘Ali diperintahkan untuk memberikan bai’at kepada Abu Bakar. ‘Ali berkata: “Aku lebih memiliki hak sebagai khalifah daripada kalian semua. Aku tidak akan memberikan bai’at kepada kalian. Kalian mengambil bai’at dari kaum Ansar dengan dalih bahwa kalian memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Kalian merampas khalifah dari kami, Ahl al-Bait Nabi. Tidakkah kalian beralasan kepada kaum Ansar bahwa kalian lebih baik menjabat khalifah karena Nabi adalah kerabat kalian, dan mereka menyerahkan pemerintahan kepada kalian dan menerima kepemimpinan kalian? Oleh karena itu, alasan yang paling baik yang kalian ajukan di hadapan kaum Ansar kini diajukan oleh orang yang paling dekat hubungannya kepada Nabi lebih daripada kalian semua. Jika kalian jujur dengan dalil kalian, kalian harus berbuat adil; kalau tidak kalian tahu bahwa kalian telah berbuat zalim.

‘Umar berkata: “Kalau engkau tidak memberikan bai’at, engkau tidak akan dilepaskan. ‘Ali berteriak, peraslah sebanyak yang engkau mampu karena kini ambing berada ditanganmu. Buatlah sekuat mungkin hari ini, karena ia akan menyerahkannya kepadamu esok. ‘Umar, aku tidak akan tunduk kepada perintahmu; aku tidak akan memberikan bai’at kepadanya.” Akhirnya Abu Bakar berkata, Wahai ‘Ali! Jika engkau tidak ingin memberikan bai’at, aku tidak akan memaksamu untuk melakukan itu.”

Ulasan Singkat

Beberapa aspek yang telah disebutkan di atas patut untuk mendapatkan perhatian:

1. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa ketika seseorang diumumkan; bahkan dalam sebuah kelompok kecil, untuk menjabat sebagai kepala suku, yang lain tidak akan menentangnya, dan mau tidak mau mengikuti apa yang berlaku. Tradisi ini yang tersimpan dalam benak ‘Abbas, paman Nabi, ketika ia berkata kepada ‘Ali: “Berikan tanganmu sehingga aku dapat ber-bai’at kepadamu…karena ketika sekali hal ini berlaku maka tidak ada satu orang pun akan melepaskannya.

Dan karena tradisi inilah yang membuat Sa’ad memanfaatkan kaum Ansar untuk mengambil alih khalifah sebelum orang lain melakukannya. Dan juga karena tradisi ini ketika ‘Umar diberitahu untuk segera ke Saqifah sebelum terlambat dan kesulitan baginya untuk merubah apa yang telah diputuskan di sana. Dan karena tradisi ini juga bahwa sekali beberapa orang menerima Abu Bakar sebagai khalifah, mayoritas kaum Muslimin akan mengikuti apa yang berlaku.

2. ‘Ali sangat sadar akan tradisi ini. Oleh karena itulah mengapa ia menolak untuk menjulurkan tangannya untuk menerima bai’at Abbas, yang berkata kepadanya: “Siapa lagi selain aku yang dapat memberikan bai’at kepadamu?[5]

Karena ‘Ali tahu bahwa khalifah Rasulullah Saw bukanlah kepemimpinan suku. Khalifah Rasulullah Saw tidak bersandar kepada deklarasi bai’at di hadapan publik. Khalifah Rasulullah adalah sebuah tanggung jawab yang diberikan oleh Allah Swt, bukan oleh manusia. Dan karena ia telah diumumkan diangkat oleh Allah Swt melalui Nabi akan imamahnya. Tidak perlu baginya untuk bergegas mencari bai’at kepada manusia. Ia tidak menginginkan orang-orang berpikir bahwa imamahnya bersandarkan kepada bai’at manusia; jika orang-orang datang kepadanya dengan bersandar kepada deklarasi Ghadir Khum, baik dan bagus; jika mereka tidak melakukannya, itu merupakan kerugian pada pihak mereka, bukan kerugian pada pihak ‘Ali.

3. Kini kita kembali kepada peristiwa Saqifah; selama hidup Rasulullah Saw, mesjid Nabi merupakan pusat seluruh kegiatan Islam. Di tempat inilah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan perang dan perdamaian diambil, perutusan-perutusan diterima, khutbah-khutbah disampaikan, dan masalah-masalah diselesaikan. Dan ketika kabar menyebar tentang wafatnya Rasulullah Saw, kaum Muslimin berkumpul di masjid tersebut.

Lalu mengapa pengikut-pengikut Sa’ad bin ‘Ubadah memutuskan untuk pergi tiga mil di luar Madinah untuk berjumpa di Saqifah yang bukan merupakan tempat yang baik untuk menyelesaikan persengketaan? Bukankah karena alasan mereka ingin merampas khalifah tanpa diketahui oleh orang-orang dan mempersembahkan Sa’ad sebagai khalifah yang diterima?

Dengan memandang deklarasi Ghadir Khum dan tradisi kesukuan bangsa Arab tidak akan ada penjelasan yang lain dari masalah ini.

  1. Ketika ‘Umar dan Abu Bakar mengetahui perhimpunan di Saqifah, pada saat itu mereka berada di masjid. Mengapa mereka tidak menyampaikan kepada yang lain perihal perkumpulan di Saqifah tersebut? Mengapa mereka, bersama Abu ‘Ubaidah, menyelinap keluar secara rahasia? Apakah karena ‘Ali dan Bani Hasyim hadir di masjid dan di rumah Nabi, dan ‘Umar dan Abu Bakar tidak menginginkan mereka tahu akan rencana licik mereka? Bukankah karena mereka takut bahwa jika ‘Ali tahu tentang pertemuan di Saqifah dan jika dengan kemungkinan yang paling kecil ia memutuskan untuk pergi ke sana sendiri, maka tidak ada satu orang pun yang memiliki peluang untuk sukses menjadi khalifah?
  2. Ketika Abu Bakar memuji keutamaan kaum Muhajirin sebagai kaum yang berasal dari suku Nabi, tidakkah ia tahu bahwa ada orang lain yang lebih kuat haknya untuk mengklaim karena mereka adalah anggota keluarga Rasulullah Saw dan darah daging Rasulullah Saw?

Karena aspek yang penuh pretensi inilah yang membuat ‘Ali berkomentar: “Mereka berdalih dengan pohon (kesukuan) dan mereka merusakkan buahnya (keluarga Nabi).”[6]

Bila kita melihat kejadian ini dengan kaca mata jernih, kita tidak mampu menyebutnya sebagai sebuah proses pemilihan, karena pemberi suara (seluruh kaum Muslimin bertebaran di seluruh semenanjung Arabia, atau, paling tidak, seluruh kaum Muslimin berada di Madinah) bahkan tidak tahu bahwa ada pemilihan ketika itu, apalagi bila dan dimana hal ini diadakan. Terlepas dari pemberi suara, bahkan calon-calon yang ada tidak sadar atas apa yang terjadi di Saqifah. Kembali kita teringat kata-kata Imam ‘Ali berkenaan dengan dua poin yang disebutkan di atas:

Jika engkau mengklaim lebih memiliki wewenang atas urusan kaum Muslimin dengan musyawarah,

Bagaimana hal ini dapat terjadi bila mereka yang diajak bermusyawarah tidak ada!

Dan jika engkau membual di hadapan musuhmu tentang kekerabatan dengan Nabi,

Maka orang lain lebih memiliki hak dan lebih dekat kepadanya.[7]

Dan kita bahkan tidak dapat menyebutnya sebagai sebuah “seleksi” karena mayoritas sahabat-sahabat utama Nabi tidak mengetahui kejadian ini. ‘Ali, ‘Abbas, Utsman, Talha, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf, tidak satu pun dari mereka yang bermusyawarah atau bahkan diberitahu perihal kejadian ini.

Satu-satunya dalil yang ditawarkan oleh khalifah ini adalah: “Status hukum apa saja yang dikenakan untuk kejadian Saqifah, karena Abu Bakar berhasil (karena tradisi kesukuan) mengambil kendali kekuasaan di tangannya, ia tetap merupakan seorang “khalifah konstitusional.”

Dalam bahasa yang sederhana, Abu Bakar menjadi seorang khalifah konstitusional karena ia berhasil dalam tawarannya atas kekuasaan. Oleh karena itu, kaum Muslimin yang berpikir memuji kejadian ini, adalah lalai berpikir bahwa satu-satunya yang dapat dinilai dari kejadian ini karena kekuasaan. Ketika anda aman duduk di singgasana kekuasaan, segalanya berjalan baik. Anda akan menjadi kepala negara yang konstitusional.

Akhirnya, saya harus mengutip sebuah komentar dari ‘Umar sendiri, yang menjadi dalang atas khalifah ini. Ia berkata dalam sebuah kuliahnya selama menjabat khalifah:

Aku telah diberitahu bahwa seseorang berkata: “Ketika ‘Umar meninggal, aku akan menyatakan bai’at kepada fulan dan fulan.” Baik, seharusnya tidak ada seorang pun yang tersesat seperti ini, berpikir bahwa meskipun bai’at kepada Abu Bakar dilakukan dengan tergesa-gesa, hal ini akan menjadi beres. Tentu saja, karena tergesa-gesa, namun Allah telah menyelamatkan kita dari kejahatannya. Kini jika ada seseorang yang bermaksud untuk menirunya aku akan penggal lehernya.[8]


[1] . Lihat, Ghiyathu ‘d-Din: Ghiyathu ‘l-Lughat, hal. 228.

[2] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1820; Ibnu’l-Atsir: al-Kâmil, peny. C.J.Tornberg, Leiden,1897, vol.2, hal-hal. 325 folio; Ibn Qutaybah: al-lmâmah wa’s-Siyasah, Kairo, 387/1967, vol. 1, hal-hal. 18 folio.

[3] . Lihat, Mir Khwand: Rawdatu ‘s-Safa, vol 2, hal. 221.

[4] . Lihat, al-Halabi: as-Sirah, vol. 3, hal. 357. [11] Ibn Qutaybah: al-Imâmah wa ‘s-Siyasah, vol. 1,hal. 4; al-Mawardi: al-Ahkamu ‘s-Sultâniyyah, hal. 7.

[5] . Lihat, Ibn Qutaibah, al-Imâmah wa ‘s-Siyasah, vol. 1, hal. 4; al-Mawardi, al-Ahkamul Sultâniyyah, hal. 7.

[6] . Lihat, ar -Radi , Nah ju ‘l –Balâghah, Edisi Subhi Salih, Beirut, hal. 98.

[7] . Ibid., Perkataan no.l90, [hal-hal.502-503] . Kata-kata Imam ‘Ali dinukil oleh asy-Syarif Radi di bawah perkataan no. 190 yang berbunyi sebagai berikut: “Alangkah anehnya! Dapatkah seseorang menjadi khalifah melalui persahabatannya dengan Nabi bukan melalui persahabatan dan kekerabatan?” Menakjubkan untuk disimak bahwa edisi Subhi Salih dan Muhammad Abduh (Beirut, 1973), telah melalaikan kata-kata “tapi tidak melalui persahabatannya!” Untuk versi yang lebih lengkap dari perkataan ini, silahkan lihat, Ibn Abi’ l-Hadid, Syarh Nah ju’l- Balâgha, Kairo,1959, vol. 18, hal. 416.

[8] . Lihat, al-Bukhari ‘: as-Sahih, ” Kitabu ‘l-Muhakibin “, Kairo, (tanpa tahun), vol.8, hal.210; at-Tabari: at-Târikh, vol.4, hal.1821.

  1. Syam's Says:

    Bingung aku bingung pada semuanya…………….
    Yang bener yang mana yak?

    • syiahsunni Says:

      Tuhan telah memberikan kita akal, maka dari itu gunakan dia sebaik-baiknya dengan meihat dan membandingkan mana yang paling kuat dalil dan argumennya.
      Sebenarnya,kebenaran itu ada dalam diri kita masing-masing. Kebenaran internal dan eksternal akan manyatu ketika kita memang mau bersungguh mencarinya dan berniat tulus.
      Yang pasti bacalah dan perbanyaklah pertanyaan serta perluaslah wawasan…
      Terima kasih atas kunjungan Anda, semoga Tuhan membuka pintu hidayah bagi Anda dengan bersungguh-sunguh mencarinya…amin.

  2. Naiknya Abu Bakar Ke Singgasana Kekuasaan … Kesalahan SAHABAT ADALAH KESALAHAN AGAMA karena aswaja sunni berpedoman pada semua sahabat « http://syiahali.wordpress.com web syi'ah terlengkap Says:

    [...] tempat rahasia di mana bangsa Arab biasa berkumpul untuk melakukan kegiatan-kegiatan jahat mereka.[1] Di tempat ini, Sa’ad bin Ubadah, yang kemudian merana, dibimbing ke kursi dan didudukkan di [...]

MAINSOURCE:http://syiahsunni.wordpress.com/2009/12/20/naiknya-abu-bakar-ke-singgasana-kekuasaan/

Pencalonan Umar

Oleh: Sayyid Said Akhtar R

Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya dalam konteks Saqifah) adalah sebagai basis dari kekhalifahan Islam. Namun hal ini tidaklah demikian adanya.

Abu Bakar merasa berhutang budi kepada ‘Umar dalam mendudukkanya sebagai khalifah dan dia tahu bahwa jika masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih, ‘Umar tidak memiliki kans untuk menang. (‘Umar dikenal sebagai orang yang bertabiat keras dan kasar). Oleh karena itu, Abu Bakar memutuskan untuk menominasikan Umar bin Khattab sebagai pengganti baginya.

At-Tabari menulis: “Abu Bakar memanggil Utsman – ketika dia dalam keadaan sekarat – dan memintanya untuk menuliskan sebuah perintah pengangkatan, dan mendiktekan kepadanya: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Surat ini adalah surat perintah ‘Abdullah bin Abi Quhafa (Abu Bakar) kepada kaum Muslimin. Mengingat…,” kemudian ia jatuh pingsang. Utsman menambahkan kata-kata: “Aku mengangkat ‘Umar bin al-Khattab sebagai penggantiku bagi kalian.”

Lalu Abu Bakar siuman kembali dan berkata kepada ‘Utsman untuk membacakan surat perintah itu untuknya. ‘Utsman membacanya: “Abu Bakar berkata, Allahu Akbar, dengan gembira dan berkata, Aku pikir engkau takut jikalau orang-orang akan bersilang pendapat sesama mereka jika aku mati dalam keadaan tersebut.”

‘Utsman menjawab: “Iya.” Abu Bakar berkata: “Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu terhadap Islam dan kaum Muslimin.”[1] Kemudian, surat pengangkatan dilengkapi dan Abu Bakar memerintahkan supaya surat tersebut dibacakan di hadapan kaum Muslimin.

Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili menulis bahwa ketika Abu Bakar siuman dari pingsannya dan yang menuliskan dikte membaca apa yang telah ditulis olehnya dan Abu Bakar mendengar nama ‘Umar, ia bertanya, “Bagaimana engkau menulis hal ini?” Orang yang menuliskan dikte berkata, “Engkau tidak dapat melewatinya begitu saja.” Abu Bakar menjawab: “Engkau betul.”[2]

Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar meraih kedudukan khalifah berkat surat pengangkatan ini. Di sini anda teringat akan tragedi yang terjadi tiga hari atau lima hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw.

Dalam Sahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa: “Tiga hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw ‘Umar bin Khattab dan sahabat-sahabat yang lain hadir di sisi beliau. Rasulullah Saw berkata: “Kini biarkan aku menuliskan sesuatu untuk kalian sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku.” ‘Umar berkata: “Nabi sedang meracau; Kitabullah cukup bagi kita.” Perkataan ‘Umar menyebabkan kegaduhan di antara orang yang hadir di situ. Beberapa orang berkata bahwa permintaan Nabi itu harus dipenuhi sehingga beliau menulis apa saja yang diinginkan oleh Rasulullah Saw untuk kebaikan mereka, dan yang lainnya bersama ‘Umar. Ketika ketegangan dan kegaduhan meningkat, Rasulullah Saw berkata, “Pergilah kalian dari sini.”[3]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kaliad lebih dari suara Nabi…” (Qs. al-Hujurat:2) Perkataan Nabi adalah wahyu dari Allah, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”(Qs. an-Najm:3-4) Dan diperintahkan untuk mengikuti perintah tanpa adanya “sekiranya” dan “tetapi”; Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, jauhilah.” (Qs. al-A’raf:59)

Dan ketika Nabi, lima hari sebelum wafatnya, beliau ingin menuliskan petunjuk untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kesesatan, beliau dituduh “sedang meracau”.

Ketika Abu Bakar yang tidak memiliki penjagaan Ilahi dari kesalahan, mulai mendiktekan surat pengangkatan dalam keadaan kritis; sehingga ia jatuh pingsan sebelum menyebutkan nama penggantinya, ‘Umar tidak berkata bahwa ia sedang meracau!

Tidak ada orang yang tahu pasti atas apa yang dinginkan oleh Rasul untuk ditulis, tetapi kalimat yang digunakan oleh beliau memberikan petunjuk bagi kita bahwa yang diminta oleh beliau untuk ditulis adalah Kitabullah dan Itrahti. Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah telah mengumumkan:

Ayyuhannas!, Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka yang berharga (tsaqalain) Kitabullâh dan Itrahti, yang merupakan Ahl al-Baitku. Kalian tidak akan tersesat selamanya, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya.

Ketika beliau menggunakan kalimat yang sama lima hari sebelum wafatnya (…”Mari aku tuliskan sesuatu sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku”..), mudah untuk dimengerti bahwa Rasululullah Saw ingin menuliskan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang al-Qur’an dan Ahl al-Bait As.

Barangkali ‘Umar telah menduga hal ini sebelumnya; karena tampak dari klaim yang digunakannya: “Kitabullâh cukup bagi kita.” Ia ingin memberitahukan kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak ingin mengikuti Tsaqalain. Yang pertama sudah cukup baginya.

Dan ia sendiri mengakui dalam pembicaraannya dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas, kemudian ia berkata sebagai berikut: “Dan sesungguhnya, Ia (Rasulullah) bermaksud untuk mengumumkan nama ‘Ali, sehingga aku mencegahnya.”[4]

Barangkali dengan menggunakan kalimat “meracau” akan mewujudkan tujuannya bahwa jika sekiranya Rasulullah Saw menuliskan wasiat beliau, ‘Umar dan pengikutnya akan mengklaim bahwa karena wasiat itu ditulis dalam keadaan meracau, maka tidak memiliki keabsahan.

Sistem Syura

Setelah berkuasa kurang-lebih sepuluh tahun, ‘Umar terluka secara serius akibat tikaman seorang budak Zoroaster, Firuz.

‘Umar merasa sangat berhutang budi kepada ‘Utsman (karena surat pengangkatan tersebut) namun tidak ingin secara terbuka menominasikan ‘Utsman sebagai penggantinya; juga tidak ingin melepaskan kaum Muslimin untuk menggunakan kebebasan setelah kematiannya. Ia secara cerdik menciptakan system ketiga.

Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah wafat dan beliau rida dengan keenam orang Quraisy: ‘Ali, Utsman, Talha, az-Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin ‘Auf. Dan jika aku memutuskan untuk membuat (seleksi khalifah) dimusyarahkan di antara mereka, mereka dapat memilih salah satu dari keenamnya.”

Mereka dipanggil ketika ia hampir mendekati kematian. Ketika ia melihat kepada mereka, ia bertanya, “Jadi, kalian semua ingin menjadi khalifah setelahku?” Tidak ada yang menjawab. Ia mengulangi pertanyaannya. Lalu az-Zubair angkat bicara: “Apa yang engkau miliki untuk menyingkirkan kami dari pencalonan? Engkau telah mendapatkannya dan mengelolanya; dan kami tidak lebih kecil darimu dalam bangsa Quraisy baik dari sisi keturunan dan hubungan dengan Rasulullah Saw.”

‘Umar bertanya: “Jika sekiranya aku katakan tentang diri kalian semua?

Az-Zubair berkata: “Katakanlah kepada kami, karena walaupun kami memintamu untuk tidak mengatakannya, engkau tetap akan mengatakannya. Lalu ‘Umar mulai menghitung kejahatan-kejahatan az-Zubair, Talha, Sa’ad bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Lalu ia menoleh kepada ‘Ali dan berkata, “Demi Allah engkau pantas untuk mendapatkannya (khalifah) jika saja karena bukan tabiat tegasmu. Bagaimanapun, demi Allah, jika engkau membuatnya menjadi pemimpinmu, ia akan pasti membimbingmu ke jalan yang benar dan jalan yang terang.”

Lalu ia memandang kepada ‘Umar dan berkata: “Ambillah dariku. Sepertinya seakan-akan aku melihat bahwa bangsa Quraisy telah meletakkan kalung ini (khalifah) di sekitar lehermu karena cintamu; kemudian engkau akan meletakkan Banu Umayyah dan Banu Abi Mu’ayt (sukunya ‘Utsman) di pundak orang-orang (sebagai penguasa) dan memberikan kepada mereka secara eksklusif harta rampasan (ghanimah) kaum muslimin; dengan demikian sekelompok orang dari srigala-srigala Arab datang kepadamu dan membantaimu di pembaringan.

Demi Allah, jika bangsa Quraisy memberikan khalifah kepadamu, engkau pasti akan memberikan hak-hak eksklusif kepada Banu Umayyah dan jika engkau melakukan hal ini, kaum Muslimin akan membunuhmu.”Lalu ia memegang kening ‘Utsman dan berkata: “Jadi jika hal ini terjadi, ingatlah pesanku; karena pasti hal ini akan terjadi.”

Kemudian ‘Umar memanggil Abu Talha al-Ansari dan berkata kepadanya bahwa setelah penguburannya (‘Umar), ia diminta untuk mengumpulkan lima puluh orang dari Ansar yang bersenjatakan pedang, dan mengumpulkan keenam orang kandidat yang telah disebutkan di atas dalam sebuah rumah untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Jika lima orang sepakat dan satunya tidak, maka ia harus dipenggal; jika empat orang sepakat dan dua orang tidak sepakat, keduanya harus dipenggal; jika seimbang, tiga berhadapan dengan tiga, pilihan kelompok Abdurrahman ‘Auf yang menang, dan jika kelompok lainnya tidak setuju atas pilihan Abdurrahman ‘Auf mereka harus dipenggal. Kemudian jika sudah tiga hari berlalu dan mereka tidak mampu mengambil sebuah keputusan, semuanya harus dipenggal dan masalah pemilihah khalifah diserahkan kepada kaum Muslimin.”[5]

Seorang penulis Syi’ah menukil, ketika ‘Umar mengumumkan bahwa kelompok ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang akan menang, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada ‘Ali, ” Dan lagi hal ini merupakan kekalahan bagi kita. Orang ini menghendaki ‘Utsman menjadi khalifah.” ‘Ali menjawab, “Aku juga mengetahui hal ini; namun aku masih ingin duduk bersama mereka di dalam syura, karena ‘Umar dengan siasat ini telah – setidaknya – menerima bahwa aku yang pantas menjadi khalifah, padahal sebelumnya ia menegaskan bahwa nubuwwah (kenabian) dan imamah tidak dapat bergabung dalam satu keluarga. Oleh karena itu, aku akan mengambil bagian dalam syurah untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa dalam pembicaraan dan perbuatannya terdapat kontradiksi.”[6]

Mengapa Ibn ‘Abbas dan ‘Ali yakin bahwa ‘Umar menghendaki ‘Utsman yang menjadi khalifah? Karena konstitusi syura dan kerangka kerjanya.

‘Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman adalah saudara ipar, karena ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan saudarinya ‘Utsman; dan Sa’ad bin Abi Waqqas dan ‘Abdurrahman adalah saudara sepupu.

Memandang kepercayaan yang diikat oleh keluarga dalam bangsa Arab, mustahil Sa’ad akan menentang ‘Abdurrahman atau ‘Abdurrahman tidak mengindahkan ‘Utsman (saudara iparnya). Sehingga semua suara tersebut untuk ‘Utsman, termasuk ‘Abdurrahman yang memutuskan suara.

Talha bin ‘Ubaidillah berasal dari suku Abu Bakar dan sejak hari Saqifah, Bani Hasyim dan Bani Taim bermusuhan satu sama lain. Dan dalam tataran pribadi, ‘Ali telah membunuh pamannya, ‘Umair bin ‘Utsman, saudaranya Malik bin ‘Ubaidillah dan kemenakannya ‘Utsman bin Malik dalam perang Badar.[7] Tidak mungkin baginya mendukung ‘Ali. Az-Zubair merupakan putra dari Safiyyah, bibi ‘Ali, dan setelah peristiwa Saqifah, ia mencabut pedangnya untuk memerangi mereka yang telah menerobos rumahnya ‘Ali untuk membawanya kepada Abu Bakar. Dan tidak masuk akal untuk mengharapkan Zubair dapat membantu ‘Ali. Dan pada sisi yang lain, ia sendiri dapat tergoda untuk menjadi khalifah.

Dengan demikian, orang yang paling bisa diharapkan oleh ‘Ali dalam pemilihan itu adalah az-Zubair. Masih ada empat orang dalam pemilihan tersebut yang menentangnya dan ia akan kalah dalam pemilihan ini. Bahkan jika Talha memilih ‘Ali, ia tidak dapat menjadi khalifah karena dalam skenario dua kelompok yang berimbang, pendapat ‘Abdurrahman yang akan didengar.[8]

Setelah mengkaji kerangka kerja musyawarah ini, apa yang terjadi di dalamnya adalah hanya menarik minat akademik saja. Talha menjatuhkan suaranya kepada ‘Utsman; dengan asumsi bahwa az-Zubair akan memilih ‘Ali, dan Sa’ad memilih ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

Pada hari ketiga, ‘Abdurrahman menarik namanya dan berkata kepada ‘Ali bahwa ia akan menjadikannya sebagai khalifah jika; ‘Ali bersumpah untuk mengikuti Kitabullah, sunnah Rasulullah dan sunnah Abu Bakar dan ‘Umar. ‘Abdurrahman tahu betul jawaban ‘Ali. ‘Ali berkata, “Aku ikuti Kitabullah, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinanku sendiri.”

Kemudian ‘Abdurrahman mengajukan syarat yang sama kepada ‘Utsman, yang memang telah bersedia untuk menerima syarat tersebut. Dengan demikian, ‘Abdurrahman mendeklarasikan ‘Utsman sebagai khalifah baru.

‘Ali As berkata kepada ‘Abdurahman: “Demi Allah, engkau tidak melakukannya kecuali dengan harapan yang sama, yang ia (‘Umar) dapatkan dari temannya.” (Ia bermaksud bahwa ‘Abdurahman melantik ‘Utsman sebagai khalifah dengan harapan bahwa ‘Utsman juga akan menominasikannya sebagai penggantinya.)

Kemudian ‘Ali berkata: “Semoga Allah menciptakan permusuhan di antara kalian berdua.” Selang beberapa tahun ‘Abdurahman dan ‘Utsman saling bermusuhan satu sama lain; mereka tidak saling menyapa hingga ‘Abdurahman wafat.

‘Utsman; khalifah ketiga, dibunuh oleh kaum Muslimin yang tidak senang dengan nepotisme yang dipraktikkan olehnya. Keadaan ini tidak memberikannya peluang untuk memilih penggantinya. Kaum Muslimin, untuk pertama kalinya, benar-benar bebas menyeleksi (selection) atau mengeleksi (election) seorang khalifah sesuai dengan pilihan mereka; mereka berkerumun di hadapan pintu rumah ‘Ali As.

Namun, dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak wafatnya Rasulullah Saw, tabiat dan pandangan kaum Muslimin telah berubah hingga pada keadaan bahwa banyak orang-orang popular menjumpai pemerintahan ‘Ali berdasarkan kepada keadilan dan kesetaraan mutlak, persis seperti pemerintahan Rasulullah Saw, sehingga mereka tidak kuat mengikuti pemerintahannya.

Setelah syahada Imam ‘Ali As, Imam Hasan ingin melanjutkan perang dengan Muawiyah. Namun banyak orang-orangnya, disuap oleh Mua’wiyah; dan banyak para komandan yang, ketika mereka diutus untuk menghadang Muawiyah, malah menyeberang menjadi pasukan Mua’wiyah dan menjadi musuh Imam Hasan As. Dalam keadaan seperti ini, Imam Hasan terpaksa menerima tawaran berdamai dari Muawiyah.

Setelah gencatan senjata ini, Ahlus Sunnah mengklaim bahwa kekuatan militer adalah jalan yang sah untuk memperoleh khalifah konstitusional.

Oleh karena itu, jalan keempat “konstitusional” khalifah muncul menjadi syarat di antara syarat-syarat menjadi seorang khalifah.


[1] . Lihat, at-Tabari: at-Târikh, hal-hal. 2138-2139.

[2] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh.Nahju ‘l-Balâgha vol. 1, hal-hal. 163-165.

[3] . Lihat, Muslim: as-SahihKitabu ‘l-Wasiyyah “, Babu ‘t-tarki ‘l-Wasiyyah, vol. 5, hal-hal.75-76; al-Bukhari: as-Sahih, (Kairo, 1958), vol. 1, ” Kitabu ‘l-’llm“) hal-hal.38-39; vol.4, hal.85; vol.6, hal-hal.11-12; vol. 7, Kitabu ‘t-Tib , hal-hal.155-156; vol. 9, Kitabu ‘iI’ tisam bi ‘l -Kitab wa ‘s-Sunnah, hal. 137. Menarik untuk disimak bahwa di mana Bukhari memberikan komentar bahwa Rasulullah berbicara dalam keadaan meracau, ia melalaikan nama orang yang menuduh beliau meracau (‘Umar, -penj.); dan di mana ia memparafrasekan komentar tersebut dengan bahasa yang lebih santun, ia menyebutkan nama pembicara – ‘Umar – dengan jelas. Ibn Sa’d: at-Tabaqat, vol. 2, hal-hal. 242-324 folio, 336, 368; Ahmad: al-Musnad, vol. I, hal-hal .232,239, 324 folio, 336,355.

[4] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: Syarh, vol. 12, hal. 21, (dinukil dari Târi’kh Baghdad).

[5] . Ibid., vol. l, hal-hal. 185-188; Lihat juga Ibn Qutaybah : al-Imâmah wa ‘s-Siyâsah, vol. 1, hal- hal. 23-27; dan at-Tabari: at-Târikh, (Mesir, tanpa tahun), vol.5, hal-hal. 33-41.

[6]. Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid :Syarh, hal.189.

[7] . Lihat, Ash-Shaykh al-Mufid: al-Irsyad , (dengan terjemahan Persia oleh Syaikh Muhammad Baqir Sa’idi Khurasani), hal.65. [Lihat juga terjemahan Inggris oleh I. K.A. Howard, hal .47 ].

[8] . Analisa ini dinisbahkan kepada ‘Ali As, sendiri oleh at-Tabari dalam at-Tarikh, hal.35; (lihat footnote 78, di atas). Dalam laporan itu, dialog ini dikatakan terjadi antara ‘Ali dan pamannya ‘Abbas.

KOMENTAR :

  1. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] “Semoga Allah memberikan ganjaran kepadamu atas jasamu terhadap Islam dan kaum Muslimin.”[1] Kemudian, surat pengangkatan dilengkapi dan Abu Bakar memerintahkan supaya surat tersebut dibacakan [...]

  2. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili menulis bahwa ketika Abu Bakar siuman dari pingsannya dan yang menuliskan dikte membaca apa yang telah ditulis olehnya dan Abu Bakar mendengar nama ‘Umar, ia bertanya, “Bagaimana engkau menulis hal ini?” Orang yang menuliskan dikte berkata, “Engkau tidak dapat melewatinya begitu saja.” Abu Bakar menjawab: “Engkau betul.”[2] [...]

  3. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] Dalam Sahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa: “Tiga hari sebelum wafatnya Rasulullah Saw ‘Umar bin Khattab dan sahabat-sahabat yang lain hadir di sisi beliau. Rasulullah Saw berkata: “Kini biarkan aku menuliskan sesuatu untuk kalian sebagai wasiat sehingga kalian tidak akan tersesat setelahku.” ‘Umar berkata: “Nabi sedang meracau; Kitabullah cukup bagi kita.” Perkataan ‘Umar menyebabkan kegaduhan di antara orang yang hadir di situ. Beberapa orang berkata bahwa permintaan Nabi itu harus dipenuhi sehingga beliau menulis apa saja yang diinginkan oleh Rasulullah Saw untuk kebaikan mereka, dan yang lainnya bersama ‘Umar. Ketika ketegangan dan kegaduhan meningkat, Rasulullah Saw berkata, “Pergilah kalian dari sini.”[3] [...]

  4. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] Dan ia sendiri mengakui dalam pembicaraannya dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas, kemudian ia berkata sebagai berikut: “Dan sesungguhnya, Ia (Rasulullah) bermaksud untuk mengumumkan nama ‘Ali, sehingga aku mencegahnya.”[4] [...]

  5. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] Kemudian ‘Umar memanggil Abu Talha al-Ansari dan berkata kepadanya bahwa setelah penguburannya (‘Umar), ia diminta untuk mengumpulkan lima puluh orang dari Ansar yang bersenjatakan pedang, dan mengumpulkan keenam orang kandidat yang telah disebutkan di atas dalam sebuah rumah untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai khalifah. Jika lima orang sepakat dan satunya tidak, maka ia harus dipenggal; jika empat orang sepakat dan dua orang tidak sepakat, keduanya harus dipenggal; jika seimbang, tiga berhadapan dengan tiga, pilihan kelompok Abdurrahman ‘Auf yang menang, dan jika kelompok lainnya tidak setuju atas pilihan Abdurrahman ‘Auf mereka harus dipenggal. Kemudian jika sudah tiga hari berlalu dan mereka tidak mampu mengambil sebuah keputusan, semuanya harus dipenggal dan masalah pemilihah khalifah diserahkan kepada kaum Muslimin.”[5] [...]

  6. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] Seorang penulis Syi’ah menukil, ketika ‘Umar mengumumkan bahwa kelompok ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang akan menang, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada ‘Ali, ” Dan lagi hal ini merupakan kekalahan bagi kita. Orang ini menghendaki ‘Utsman menjadi khalifah.” ‘Ali menjawab, “Aku juga mengetahui hal ini; namun aku masih ingin duduk bersama mereka di dalam syura, karena ‘Umar dengan siasat ini telah – setidaknya – menerima bahwa aku yang pantas menjadi khalifah, padahal sebelumnya ia menegaskan bahwa nubuwwah (kenabian) dan imamah tidak dapat bergabung dalam satu keluarga. Oleh karena itu, aku akan mengambil bagian dalam syurah untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa dalam pembicaraan dan perbuatannya terdapat kontradiksi.”[6] [...]

  7. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] saudaranya Malik bin ‘Ubaidillah dan kemenakannya ‘Utsman bin Malik dalam perang Badar.[7] Tidak mungkin baginya mendukung ‘Ali. Az-Zubair merupakan putra dari Safiyyah, bibi ‘Ali, dan [...]

  8. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] Dengan demikian, orang yang paling bisa diharapkan oleh ‘Ali dalam pemilihan itu adalah az-Zubair. Masih ada empat orang dalam pemilihan tersebut yang menentangnya dan ia akan kalah dalam pemilihan ini. Bahkan jika Talha memilih ‘Ali, ia tidak dapat menjadi khalifah karena dalam skenario dua kelompok yang berimbang, pendapat ‘Abdurrahman yang akan didengar.[8] [...]

  9. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] [3] . Lihat, Muslim: as-Sahih “ Kitabu ‘l-Wasiyyah “, Babu ‘t-tarki ‘l-Wasiyyah, vol. 5, hal-hal.75-76; al-Bukhari: as-Sahih, (Kairo, 1958), vol. 1, ” Kitabu ‘l-’llm“) hal-hal.38-39; vol.4, hal.85; vol.6, hal-hal.11-12; vol. 7, Kitabu ‘t-Tib , hal-hal.155-156; vol. 9, Kitabu ‘iI’ tisam bi ‘l -Kitab wa ‘s-Sunnah, hal. 137. Menarik untuk disimak bahwa di mana Bukhari memberikan komentar bahwa Rasulullah berbicara dalam keadaan meracau, ia melalaikan nama orang yang menuduh beliau meracau (‘Umar, -penj.); dan di mana ia memparafrasekan komentar tersebut dengan bahasa yang lebih santun, ia menyebutkan nama pembicara – ‘Umar – dengan jelas. Ibn Sa’d: at-Tabaqat, vol. 2, hal-hal. 242-324 folio, 336, 368; Ahmad: al-Musnad, vol. I, hal-hal .232,239, 324 folio, 336,355. [...]

  10. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] [5] . Ibid., vol. l, hal-hal. 185-188; Lihat juga Ibn Qutaybah : al-Imâmah wa ‘s-Siyâsah, vol. 1, hal- hal. 23-27; dan at-Tabari: at-Târikh, (Mesir, tanpa tahun), vol.5, hal-hal. 33-41. [...]

  11. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] [7] . Lihat, Ash-Shaykh al-Mufid: al-Irsyad , (dengan terjemahan Persia oleh Syaikh Muhammad Baqir Sa’idi Khurasani), hal.65. [Lihat juga terjemahan Inggris oleh I. K.A. Howard, hal .47 ]. [...]

  12. Mayoritas madzhab Sunni meyakini bahwa apa yang terjadi di Saqifah adalah sebuah manifestasi “demokrasi” yang sejalan dengan ruh Islam. Dengan memandang bahwa keyakinan ini masuk akal dengan berharap bahwa “pemilihan demokrasi” (apa saja artinya d Says:

    [...] [8] . Analisa ini dinisbahkan kepada ‘Ali As, sendiri oleh at-Tabari dalam at-Tarikh, hal.35; (lihat footnote 78, di atas). Dalam laporan itu, dialog ini dikatakan terjadi antara ‘Ali dan pamannya ‘Abbas. [...]

MAINSOURCE:http://syiahsunni.wordpress.com/2009/12/20/pencalonan-umar/#more-280

0 comments to "KHALIFAH - PEMIMPIN - LEADER of human being harus TUA dan bukan TAKWA nya...!!!!!!"

Leave a comment