Home , , , , , , � Dialog Ulama dengan Si Cerdik

Dialog Ulama dengan Si Cerdik


Cerita ini terjadi beberapa abad yang lalu. Bermula dari pertemuan seorang ulama muslim dengan seorang kafir, yang kemudian berlanjut dengan dialog yang perlu kita renungkan. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam sejarah Islam terdapat beberapa aliran sejak zaman dahulu hingga sekarang. Salah satu dari perbedaan itu adalah bagaimana cara seorang muslim sejati menilai suatu “kebaikan” dan “keburukan”.

Perbedaan itu sebenarnya menyangkut masalah fundamental keislaman. Kubu Imam Ali bin Abi Thalib dan Khawarij merupakan sumber utama perbedaan itu. Dari kedua kubu itulah kemudian menyusup masuk ke dalam golongan-golongan lain, yang walaupun tidak memakai nama golongan keduanya: pengikut ahlulbait dan Khawarij.

Sebagian kaum muslim mengatakan bahwa “kebaikan” dan “keburukan” hanya dapat ditentukan oleh sunah, yaitu sunah Allah (Alquran) dan sunah nabi (hadis). Akal tidak mempunyai dan tidak boleh mempunyai saham dalam menentukan keduanya; sebab akal sangat terbatas kemampuannya. Maka dari itu barang siapa menggunakan akalnya dalam agama, maka ia sesat dan berada di luar jalur Islam. Seperti orang-orang yang bertanya, “Mengapa ayat itu atau hadis itu demikian?” Mereka mengatakan bahwa kita harus menerima dan tidak boleh menggugat apa-apa yang ada dalam ayat dan hadis.

Lain dengan apa yang diyakini oleh kelompok muslim yang lain, yang mana sangat mengkristal dalam golongan pengikut ahlulbait. Walaupun seabad setelah itu keyakinan tersebut mengkristal pula dalam diri golongan muktazilah. Keyakinan itu adalah suatu keyakinan yang mengatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui sebagian kebaikan dan keburukan walaupun tanpa melalui syariat. Akal mempunyai saham untuk itu. Seperti dalam menentukan agama apakah yang paling baik. Hal ini akan kami jelaskan secara lebih rinci pada bab yang menyangkut “Posisi Alquran terhadap Keimanan”, insya Allah. Mereka mengatakan bahwa akal boleh bertanya mengapa suatu ayat atau hadis sedemikian rupa.

Dalil dari golongan kedua ini akan kami rinci dalam bab tersendiri, insya Allah. Namun harus diketahui, sebagai inti dari keyakinan golongan ini, bahwasanya pertanyaan akal terhadap syariat itu dilakukan demi mencapai syariat yang sebenarnya, bukan syariat yang semu atau diatasnamakan. Sebab, banyak sekali kaum sesat yang—sengaja atau tidak—telah bersembunyi di harakat-harakat atau lafaz-lafaz Alquran dan hadis. Mereka menyeru dengan gigih supaya kaum muslimin kembali ke Alquran dan hadis sebagaimana mereka. Sementara mereka meyakini bahwa tidak akan ada orang yang mampu memahami maksud sebenarnya dari Alquran dan hadis. Lalu, kemanakah mereka menyeru? Ke Alqurankah atau semi Alquran? Ke makna dan maksudnya atau ke harakat dan titik komanya?

Kembali ke Alquran dan hadis bukan merupakan pekerjaan mudah yang bisa dicapai dengan hanya belajar agama dalam beberapa tahun. Lebih-lebih dengan hanya melihat dan membeli buku di trotoar jalan. Sebab ternyata, sesama penganut Alquran saling menyesatkan dan memasukkan ke dalam dalalat dan yang paling mengerikan lagi ke neraka. Lebih aneh lagi, dalam hal itu, mereka mengatakan bahwa neraka dan surga adalah urusan Allah.

Memang aneh kalau kita lihat kehidupan orang-orang yang hanya berloncatan dari harakat ayat yang satu ke harakat ayat yang lainnya sambil mengikat erat akalnya. Biasanya tidak lebih, hanya sekedar ba… ba… ba, bi… bi… bi…, dan bu… bu… bu… Mereka tidak lagi menatap ke dalam ayat-ayatnya dengan pancaran obor akalnya. Apalagi untuk menatap hadis-hadis, yang kata mereka keluar dari sekedar manusia (biasa) seperti kita. Sungguh kultur Islam yang sebenarnya telah terporakporandakan dengan itu semua. Bahkan mereka, sambil membawa kantongan harakat-harakat itu, dengan penuh semangat siap berjuang sampai titik darah penghabisan dan memaksa golongan lain mengikuti mereka. Walaupun mereka tahu bahwa agama tidak dapat dipaksakan.

Tokoh ulama yang akan diceritakan dalam tulisan ini adalah yang mewakili golongan pertama, yaitu yang mengharamkan menggunakan akal dalam agama. Tokoh ini mewajibkan dirinya untuk menyebarkan agama Islam di negerinya, Persia, setelah ia belajar Islam di negeri Arab. Sebab waktu itu, walaupun bangsa Persia sudah tergolong kaum muslimin, namun masih ada di beberapa bagian lainnya yang belum mendapatkan penjelasan agama Islam secara merata dan masih dalam kekafiran. Salah satunya adalah sebuah kota yang sekarang bernama Hamadan. Dengan semangat jihad dan pengabdian, tokoh kita ini tidak surut karena rintangan. Ia mulai menginjakkan kakinya di kota Hamadan lalu mulai menyiarkan Islam.

Dengan kehadiran tokoh tersebut, yang penuh wibawa dan tanpa pamrih serta dengan bekal kitab yang diangkut dengan beberapa ekor unta, membuat suasana kota Hamadan sedikit berubah. Orang-orang yang memang sudah masuk Islam membicarakannya di masjid-masjid. Sementara yang lain, yang masih meragukan kebenaran Islam (kafir), membicarakannya di pasar-pasar. Walhasil situasi kota Hamadan hampir dipenuhi dengan pembicaraan mengenainya.

View this document on Scribd

Atau Anda juga bisa membaca dialog menarik ini dengan mengunduhnya di sini.

mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2011/08/08/dialog-ulama-dengan-si-cerdik/#more-6309

0 comments to "Dialog Ulama dengan Si Cerdik"

Leave a comment