Home , , , , , , , , , , , , � 99 Persen Pejabat Indonesia Bermuka Badak!!!! (Masih gagah daripada disebut ''Monyet'')

99 Persen Pejabat Indonesia Bermuka Badak!!!! (Masih gagah daripada disebut ''Monyet'')

Berbagai kasus dugaan ko­rupsi yang ter­jadi di sejumlah ke­menterian mestinya menjadi per­timbangan Presiden SBY untuk meng­eva­luasi para menterinya.

“Secara umum saya percaya ko­rupsi sudah menerpa sebagian besar ke­menterian. Tapi yang baru ter­ungkap kan baru satu atau dua. Saya kira dengan terbong­kar­nya kasus suap di Kemenakertrans, itu mo­mentum Presiden untuk mengganti men­teri yang diduga terlibat,” ujar pengamat politik Tjip­ta Lesmana seperti dikutip Rakyat Merdeka, edisi hari ini (Minggu, 4/9). Seharusnya, kata Tjipta lagi, Presiden SBY bisa bersikap tegas.

Di sejumlah negara, Tjipta Lesmana memberikan perbandingan, pejabat yang tersangkut kasus korupsi hanya memiliki dua solusi: yang ber­sangkutan me­rasa malu lalu me­ng­un­­durkan diri atau di­berhentikan oleh Presiden atau Per­dana Men­teri. “Persoalannya, di Indonesia ini ham­pir 99 persen pejabatnya muka badak,” ucapnya.

Tjipta yakin para menteri yang ter­jebak kasus dugaan korupsi tidak akan bisa melakukan tugas dan tang­­gung ja­wabnya secara efektif. Pa­sal­nya, para menteri itu akan si­buk me­nutup diri dan meng-counter ka­sus yang di­sang­kakannya.

Tjipta memastikan, dengan mem­biar­kan para menterinya tidak di­eva­luasi dan tidak ada sanksi tegas, maka pe­me­rintahan akan buruk dan mi­nus prestasi di mata rakyat. “Semua itu tentu akan ber­pe­nga­ruh pa­da Presiden sendiri. Pe­me­rin­ta­han­nya akan terseok-seok dan tidak efektif dan efisien,” jelasnya. RakyatMerdeka/Posted by K@barNet pada 04/09/2011

Andito: Tidak Ada Komitmen yang Jelas dari Arab Saudi Terhadap Isu Kemanusiaan

Di tengah gonjang-ganjing kasus korupsi yang silang-sengkarut, masyarakat Indonesia, terutama kalangan akademis dan aktivis buruh dikejutkan oleh berita bahwa Universitas Indonesia (UI) menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang perdamaian dan kemanusiaan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, pada Ahad 21 Ramadhan 1432 H setelah Maghrib.

Penganugerahan gelar doktor tersebut diberikan langsung oleh Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. der. Soz Gumilar Rusliwa Somantri dalam satu upacara yang diadakan di Istana Al-Safa, yang dihadiri para ulama internasional, beberapa Menteri Arab Saudi, para pimpinan lembaga Tinggi Arab Saudi dan para Gubernur, demikian siaran pers dari KJRI Jeddah yang diterima ANTARA, Senin.

Dari pihak Indonesia tampak hadir Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, Utusan Khusus Presiden RI untuk timur tengah, Prof Alwi Syihab, Konjen RI Jeddah Zakaria Anshar dan para guru besar UI.

Raja Abdullah menerima gelar tersebut karena dianggap berhasil memajukan Arab Saudi hingga menjadi pusat peradaban islam moderat, mewujudkan kesetiakawanan negara Arab dan upaya kerasnya dalam merealisasikan perdamaian di Palestina.

Selain itu Raja Abdullah juga dianggap berhasil mempromosikan dialog antar penganut agama untuk menciptakan perdamaian dunia dan menyerukan para pemimpin islam dan non islam untuk menghapus stereotype teroris kepada agama Islam.

"Dan yang tidak kalah penting menurut Rektor UI dalam pidatonya adalah peran Raja Abdullah pada masalah kemanusiaan dan kemajuan iptek," sebut siaran pers itu lagi.

Sejumlah kalangan terutama dari aktivis buruh dan hak asasi manusia menilai pemberian gelar itu tidak layak.

Sementara itu, Andito, aktivis sebuah LSM buruh di Jakarta utara saat dihubungi secara terpisah hari ini menilai ada kecacatan prosedur pada penganugerahan gelar intelektual bergensi itu.

Mantan aktivis GMNI dan HMI ini menilai gelar intelektual bergengsi yang diberikan kepada Abdullah bin Abdul Aziz cacat karena Raja Arab itu tidak memiliki rekam jejak intelektual yang begitu jelas. "Kita tidak pernah mendengar satupun artikel maupun pidato ilmiah dari Raja Saudi",ungkap penulis dua buku tentang buruh itu.

"Saya tidak tahu... Dari empat alasan yang dipakai untuk memberikan penghargaan tidak ada sama sekali yang sesuai dengan standar yang diberikan oleh UI tadi. Tapi kalau kita melihat dalam praktek deskripsi, dalam beberapa waktu terakhir ini Arab Saudi memberikan donasi-donasi ekonomi yang cukup besar. Terutama dalam kajian Islam yang sebetulnya juga bukan kajian Islam yang moderat. Bukan kajian Islam yang inklusif dan cenderung sesuai dengan komitmen kemanusiaan. Saya mengkhawatirkan bahwa jangan sampai UI ikut dalam konteks dan gelombang yang disebarkan atau dibangun oleh kerajaan Arab Saudi," ujar Andito, penulis, editor dan aktivis LSM buruh di Jakarta Utara.

Berikut wawancara IRIB dengan penulis, editor dan aktivis LSM buruh di Jakarta Utara, Selasa (23/8/2011) ini:

Universitas Indonesia (UI) menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang perdamaian dan kemanusiaan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, pada Ahad 21 Ramadhan 1432 H setelah Maghrib.Alasan pemberian gelar itu karena dianggap berhasil memajukan Arab Saudi hingga menjadi pusat peradaban islam moderat, mewujudkan kesetiakawanan negara Arab dan upaya kerasnya dalam merealisasikan perdamaian di Palestina.Selain itu Raja Abdullah juga dianggap berhasil mempromosikan dialog antar penganut agama untuk menciptakan perdamaian dunia dan menyerukan para pemimpin islam dan non islam untuk menghapus stereotype teroris kepada agama Islam.Dan yang terakhir menurut Rektor UI adalah peran Raja Abdullah pada masalah kemanusiaan dan kemajuan iptek. Bagaimana menurut Anda?

Pemberian gelar kepada seorang tokoh dikarenakan yang bersangkutan setidaknya telah memberikan kontribusi terhadap masalah perkembangan ilmu pengetahuan atau perkembangan terhadap isu-isu kemanusiaan. Nah, kalau kita lihat bahwa apa yang selama ini menjadi concern atau yang dilakukan oleh Raja Arab Saudi itu justru tidak berhubungan dengan empat argumentasi yang diutarakan oleh para akademisi atau teman-teman dari UI tadi.

Terkait dengan pengembangan Islam yang toleran, yang moderat misalnya, kita justru melihat bahwa Arab Saudi dan Rajanya sendiri adalah pemelihara dan penjaga sebuah mazhab Islam yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ideologi kita dan toleransi. Artinya, kemudian kalau kita pahami bahwa ideologi Wahabisme yang menjadi sandaran utama dari kerajaan Arab Saudi, itukan justru memiliki karakteristik yang sangat tidak toleran atau keras dengan pandangan mazhab-mazhab lain yang berbeda dalam Islam, tapi di sisi yang lain justru sangat toleran dengan kekuatan-kekuatan Imperialisme, terhadap kekuatan-kekuatan asing yang tidak memiliki itikad baik terhadap dunia Islam.

Itulah yang terjadi. Sehingga argumentasi yang mengatakan bahwa kerajaan Arab Saudi misalnya mengembangkan gagasan Islam yang toleran, itu tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Kita lihat misalnya bahwa ada berbagai banyak pentafsiran dan penolakan-penolakan yang sifatnya keras terhadap pandangan-pandangan Islam yang lebih moderat, tapi justru terpusat pada paham Wahabisme yang didukung oleh kerajaan Arab Saudi.

Berkaitan dengan kemajuan iptek, katakanlah di Saudi sendiri, apakah Bapak juga melihat indikator itu juga ada di Saudi selama ini atau bagaimana pendapat anda?

Begini, kalau saya melihat ini kan sebetulnya tidak terlalu muncul bahwa kemudian Arab Saudi misalnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu canggih atau yang bisa dibanggakan, sehingga kemudian bisa memperoleh penghargaan seperti itu. Justru kalau kita melihat misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara obyektif itu justru muncul bukan di Arab Saudi, tapi di Iran misalnya. Yang kita tahu mampu mengembangkan teknologi nuklir untuk perdamaian dan perkembangan-perkembangan teknologi lainnya. Sehingga dalam konteks inipun argumenasi yang disampaikan tidak berdasar.

Juga kemudian terkait dengan perdamaian. Kalau perdamaian Palestina, saya melihat begini, isu utama dari persoala perdamaian dari persoalan Palestina itu kan pengakuan terhadap kemandirian dan independensi Palestina. Kemandirian dan independensi Palestina itu solidaritas dari berbagai negara di dunia Islam, sebagai bagian dari persaudaraan dunia Islam.

Nah, kita melihat bahwa justru dalam konteks ini Arab Saudi tidak memiliki kiprah dan kontribusi yang jelas terhadap persoalan Palestina. Arab Saudi tidak memberikan dukungan solidaritas terhadap masalah Palestina dan imperialisme yang dilakukan oleh Amerika dan Israel. Justru yang terjadi adalah bahwa kerjasama-kerjasama yang sifatnya ekonomi dan politik dilakukan Arab Saudi dengan Amerika. Dan hal itu dilakukan tanpa sensitifitas terhadap persoalan kemanusiaan dan persoalan imperialisme yang muncul di Palestina. Ketika tidak ada komitmen terhadap persoalan kemerdekaan dan kemandirian Palestina, perdamaian itu tidak lebih dari sebuah landasan hegemoni dan kooperasi kekuatan-kekuatan imperialisme terhadap Palestina.

Arab Saudi tidak komitmen dan sensitif terhadap dinamika politik global yang sekarang sedang tumbuh yang berdasarkan pada sebuah komitmen dan perhatian terhadap aspirasi masyarakat dari bawah.

Jadi, politik yang sekarang sedang ditunggu itu adalah memberikan perhatian lebih terhadap apa yang menjadi perhatian utama dari masyarakat bawah. Nah, dinamika masyarakat di tingkat grass root (akar rumput), terutama di negara-negara Arab sendiri tidak lelah dan ingin melakukan perlawanan terhadap rezim-rezim yang lalim dan tiran terhadap mereka. Dalam konteks ini sebetulnya Arab Saudi bukan bagian dari kekuatan-kekuatan masyarakat yang memiliki concern untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiran tersebut. Justru Arab Saudi menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan elit-elit yang represif dan menindas ekspresi kebebasan dari masyarakatnya.

Tidak ada komitmen sebetulnya yang jelas dari pemerintah Arab Saudi terhadap isu kemanusiaan, isu demokrasi dan isu penguatan politik dari akar rumput.

Kalau di dalam negeri kita sendiri, berkaitan dengan pemancungan Ruyati dan peristiwa naas yang menimpa saudara-saudara kita yang bekerja di sana sebagai tenaga kerja Indonesia tentu ada persoalan, ada ketidaksensitifan akademisi kita dan institusi pendidikan kita. Bagaimana Bapak melihat masalah ini?

Penghargaan kepada Raja Arab Saudi itu menunjukkan tidak sensitifnya kalangan intelektual kita terhadap persoalan-persoalan masyarakat bawah. Persoalan-persoalan kemiskinan dan terutama yang terkait dengan TKI. Memang benar bahwa problema TKI yang paling utama adalah komitmen pemerintah untuk memberikan pekerjaan yang layak untuk rakyatnya. Tapi kemudian kita tahu bahwa para TKI yang bekerja di Arab Saudi itu tidak mendapat perlakuan yang layak baik secara hukum ataupun secara kemanusiaan.

Kita tahu bahwa ada berbagai hukuman-hukuman yang diskriminatif dan sangat tidak manusiawi yang diterapkan kepada TKI dan mereka yang bekerja di Arab Saudi diperlakukan tidak berdasarkan nilai-nilai dan standar hak asasi manusia yang jelas. Nah disinilah, semestinya para akademisi kita memberikan perhatian dan ikut melakukan kritik serta tekanan-tekanan intelektual terhadap kondisi dan fenomena yang seperti ini. Kalau kemudian dalam konteks ini justru memberikan penghargaan, maka menurut saya itu hampir mustahil kemudian akan terjadi perubahan-perubahan perilaku kerajaan Arab Saudi terhadap para TKI.

Bila kita memberikan perhatian agar para TKI diperlakukan dengan lebih baik, maka yang harus dilakukan bukan dengan memberikan penghargaan, tapi memberikan kritik dan nasihat kepada pemerintah Arab Saudi untuk mengubah perilaku mereka. Kalau penghargaan yang diberikan, itu berarti kerajaan Arab Saudi akan merasa bahwa apa yang sudah dilakukannya itu sudah tepat.

Saya ingin menanyakan prosedur gelar Doktor Honoris Causa (HC) ini diberikan bukan di kampus, aula ataupun di arena kampus, tapi diberikan justru di istana Arab Saudi. Apakah ada masalah dengan hal ini?

Setahu saya, pemberian penghargaan dilakukan dengan cara orang yang diberikan datang ke tempat pemberian penghargaan. Bila yang terjadi sebaliknya, menurut saya, ada keanehan di sini. Karena yang terkesan kita yang meminta-minta dan tidak memiliki harga yang tinggi. Memberikan penghargaan kepada orang lain bukan di tempat kita. Dari sini saya melihat persoalannya bukan semata-mata persoalan komitmen kemanusiaan atau persoalan kontribusi yang diberikan Raja Arab Saudi kepada ilmu pengetahuan dan Islam yang moderat. Tapi ada kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik di balik penghargaan itu.

Menurut Bapak, apa tujuan di balik pemberian penghargaan itu?

Saya tidak tahu... Dari empat alasan yang dipakai untuk memberikan penghargaan tidak ada sama sekali yang sesuai dengan standar yang diberikan oleh UI tadi. Tapi kalau kita melihat dalam prakteknya, dalam beberapa waktu terakhir ini Arab Saudi memberikan donasi-donasi ekonomi yang cukup besar. Terutama kepada kajian-kajian Islam yang sebetulnya juga bukan kajian Islam yang moderat. Bukan kajian Islam yang inklusif dan cenderung sesuai dengan komitmen kemanusiaan. Saya mengkhawatirkan bahwa jangan sampai UI ikut dalam/ konteks dan gelombang yang disebarkan atau dibangun oleh kerajaan Arab Saudi. (IRIB/SL/28/8/2011)

Belajar dari Spirit Hazare Buat Melawan Korupsi

Anna Hazare tak jadi mati karena korupsi. Hari Minggu dua pekan lalu, ia mengakhiri mogok makan yang telah dilakukannya selama 12 hari. Ia mengakhiri mogok makan setelah parlemen India, sehari sebelumnya, meluluskan tiga permintaan seputar penanganan korupsi di negeri itu. Salah satunya, segera dibentuk komisi antikorupsi.

Apa yang dilakukan Hazare menunjukkan bahwa sesungguhnya korupsi bisa dilawan, meski pemerintah dan parlemen enggan melakukannya. Kita--rakyat Indonesia--sebenarnya boleh sedikit bersyukur. Sejak 1999 kita sudah memiliki undang-undang antikorupsi dan mulai delapan tahun lalu sudah terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lembaga dan undang-undang itu telah berhasil menjerat banyak koruptor. Walau korupsi masih menjalar di pemerintahan, kini jamak terdengar betapa para pejabat mengaku ngeri melakukan perbuatan kriminal itu. Di tengah keputusasaan kita terhadap kejaksaan dan kepolisian yang kinerjanya masih payah dalam menangani perkara korupsi, KPK masih bisa diandalkan.

Spirit Hazare harus kita tanamkan dengan cara menyokong dan memperkuat peran komisi antikorupsi. Bukan lantas melemahkannya sebagaimana kini secara sistematis dilakukan terutama oleh para politikus-legislator. Mereka tentu menginginkan perkara korupsinya, atau kasus yang menyangkut patron mereka, tak disentuh hukum. Pelbagai usaha untuk memperlemah KPK--dari memidanakan sejumlah pemimpinnya hingga menyiapkan regulasi yang mengebiri kewenangan komisi--dilakukan. Ironisnya, pelemahan ini tidak hanya dilakukan oleh para koruptor dan politikus, tapi juga oleh sejumlah media yang memberi panggung kepada para koruptor.

Kita memang lebih maju dalam memberantas korupsi, tapi peringkat korupsi Indonesia masih lebih buruk ketimbang India. Negeri dengan populasi terbesar kedua di dunia itu berada di peringkat ke-70 (urutan pertama paling bersih, ke-149 terkorup). Sedangkan Indonesia berada di peringkat ke-88. Karena itu, perjuangan Hazare sangatlah penting dan tetap memberi inspirasi bagi kita. Kendati parlemen dan para pejabat pemerintah yang korup enggan meloloskan undang-undang antikorupsi yang lebih bergigi, mereka akhirnya tunduk kepada people power.


Perdana Menteri Manmohan Singh serta sejumlah politikus menyatakan simpati mereka dan berusaha mengambil jalan tengah. Bukan mustahil jika para elite politik di sana punya motif terselubung di balik simpati yang mereka tunjukkan terhadap Hazare. Mereka tak ingin terlihat memerangi pejuang antikorupsi ketika pemilihan umum negara bagian sudah dekat, yang dijadwalkan akhir tahun ini.

Kita kerap geram terhadap perilaku korup para pejabat dan wakil rakyat di Tanah Air yang menggila. Hazare telah membuka mata kita: rakyat yang berkumpul di distrik kumuh pun bisa diandalkan untuk mendobrak korupsi. Langkah pertama yang dia lakukan adalah menyadarkan rakyat akan pentingnya perjuangan melawan korupsi. Indonesia jelas membutuhkan pemimpin yang bersih seperti Hazare. Tapi kita juga memerlukan rakyat yang bersih dan berani berperang melawan korupsi, apa pun risikonya. (IRIB/Tempointeraktif)

Remisi untuk Koruptor

Enak menjadi koruptor di negeri ini. Negara memperlakukan mereka sangat istimewa.

Pertama, hukuman di tingkat banding dan kasasi bukan semakin berat, melainkan malah semakin ringan. Kedua, di dalam penjara pun koruptor masih bisa membeli kemewahan fasilitas. Ketiga, koruptor mendapatkan remisi, pemotongan hukuman, berkali-kali.

Sedikitnya dua kali dalam setahun pemerintah memberi remisi kepada koruptor, yaitu pada saat memperingati Hari Kemerdekaan dan hari besar keagamaan. Penganugerahan remisi itu biasanya dilakukan dalam sebuah upacara resmi dan diliput televisi.

Pada tahun ini, misalnya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi dan 19 orang di antaranya langsung bebas. Begitu juga saat memperingati Idul Fitri, sebanyak 243 koruptor mendapat remisi dan delapan di antaranya langsung bebas.

Selain mendapatkan remisi yang sifatnya umum itu, para terpidana korupsi masih bisa mendapat remisi tambahan. Kalau rajin menjadi donor darah empat kali setahun, menjadi ketua kelompok atau pemuka napi, terpidana korupsi bisa memperoleh tambahan remisi satu bulan sepuluh hari.

Fakta tak terbantahkan bahwa tak seorang pun koruptor di Republik ini yang menjalani hukuman penjara secara penuh. Itu pula sebabnya hukuman untuk korupror tidak pernah memberi efek jera.

Suara publik sampai kering mengecam pemberian remisi kepada koruptor yang menafikan efek jera. Akan tetapi, pemerintah menutup telinga. Dengan gagah perkasa, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar bahkan beralasan bahwa remisi merupakan hak narapidana, termasuk koruptor.

Tidak hanya itu. Patrialis Akbar mengharapkan pemberian remisi tidak dinilai sebagai kemanjaan bagi narapidana, tetapi harus dipahami dari sisi rasa kemanusiaan. Hal itu memperlihatkan watak pemerintah yang lebih berempati kepada koruptor di balik jeruji besi daripada rakyat yang dimiskinkan koruptor.

Sejauh ini pemerintah mengacu kepada ketentuan umum bahwa siapa yang berkelakuan baik selama di penjara akan mendapatkan remisi. Mestinya, pelaku kejahatan luar biasa seperti koruptor tidak diberi remisi. Korban korupsi ialah publik. Koruptor telah menghancurkan harkat dan martabat bangsa sehingga tidak pantas mendapatkan remisi.

Tidak sulit mengubah aturan remisi koruptor. Tidak perlu mengubah undang-undang, cukup memperbaiki isi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, perkara yang mudah itu menjadi sulit karena pucuk tertinggi pemerintahan tidak memiliki kemauan politik yang hebat untuk memberantas korupsi. (IRIB/MIOL/5/9/2011)

Israel: Pembatalan Camp David Sama dengan Deklarasi Perang

Koran Haaretz, cetakan Israel dalam laporannya, menyinggung ketakutan para pejabat Zionis terhadap kemungkinan pembatalan perjanjian Camp Daviv. Mereka menilai tindakan itu sebagai deklarasi perang antara Israel dan Mesir.

Perjanjian perdamaian Camp David ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih, yang diselenggarakan untuk 'perdamaian' di Timur Tengah. Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.

Perjanjian itu mendapatkan namanya dari tempat peristirahatan milik para presiden AS, Camp David, di Frederick County, Maryland. Perjanjian tersebut juga melahirkan Perjanjian Damai Israel-Mesir pada tahun 1979.

Haaretz lebih lanjut menulis, "Pembatalan perjanjian Camp Daviv merupakan ancaman bagi Israel dan sama artinya dengan deklarasi perang antara Israel dan Mesir, bahkan jika umur perjanjian itu telah lebih dari seratus tahun."

"Kami dilanda shock, sebab kendali Mesir tiba-tiba jatuh ke tangan dewan militer. Kami baru sadar bahwa kesepakatan yang ditandatangani 44 tahun silam dengan Anwar Sadat, kini berada di ambang pembatalan, sebab Sadat telah tiada, Hosni Mubarak juga telah pergi dan dewan militer memegang kekuasaan di Mesir," tambahnya.

Seraya mengusulkan solusi untuk mengakhiri ketakutan para pejabat Tel Aviv terkait masalah tersebut, Haaretz menulis, "Daripada kita menunggu langkah Mesir mengumumkan perubahan isi kesepakatan damai, ada baiknya Israel membatalkan kesepakatan damai dengan Yordania dan Mesir, lalu bersiap untuk menghadapi peristiwa yang akan datang bahkan jika harus berperang."

Dewan militer Mesir merupakan bahaya bagi Israel, karena dewan itu begitu mudah mendengar aspirasi rakyat dan melaksanakan tuntutan mereka. Tel Aviv tidak punya tempat di mata rakyat Mesir dan mereka menuntut pembatalan perjanjian Camp Daviv dan pengusiran duta besar Israel dari Kairo. (IRIB/RM/MF/1/9/2011)


0 comments to "99 Persen Pejabat Indonesia Bermuka Badak!!!! (Masih gagah daripada disebut ''Monyet'')"

Leave a comment