Home , , , , , , , , , � Wakil Menlu AS Bertemu Raja Saudi Membahas Ancaman dari Negara Islam ???!!!!....

Wakil Menlu AS Bertemu Raja Saudi Membahas Ancaman dari Negara Islam ???!!!!....


William Burns

William Burns, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat berkunjung ke Jeddah, dan mendapat sambutan langsung dari Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz.

Fars News melaporkan, Burns Kamis (15/9) bertemu dan berdialog dengan Raja Saudi di Jeddah. Media pemberitaan Arab Saudi tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kunjungan dan pertemuan itu. Hanya disebutkan bahwa Burns "menyampaikan salam Barack Obama kepada Raja Abdullah."

Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Vitoria Nuland, Selasa (13/9) menyatakan bahwa kunjungan Burns ke Arab Saudi itu sebagai penekankan komitmen dan solidaritas Amerika Serikat dalam mewujudkan keamanan di kawasan Teluk Persia.

Nuland menambahkan, "Burns akan membahas transformasi di kawasan termasuk Yaman dan Mesir dengan para Saudi, begitu juga proses perdamaian dengan Israel."

Setelah ke Arab Saudi, menurut rencana Burns akan bertolak menuju Uni Emirat Arab dan bertemu dengan Pangeran Mahkota Emirat, Sheikh Muhammad bin Zaid al-Nahyan.

Konsulat Amerika Serikat di Jeddah merilis statemen yang berisi keterangan bahwa perundingan Burns menekankan komitmen Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman dari Iran.

Selain berdialog dengan Raja Abdullah, Burns juga akan bertemu dengan Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, Ketua Lembaga Keamanan Sipil Saudi, dan Pangeran Muhammad bin Nayef, Wakil Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, dan Abdel Latif az-Ziyani, Sekjen Dewan Kerjasama Teluk Persia.
(IRIB/MZ/16/9/2011)

Karena Berhubungan dengan Saudi, Partai Iyad Allawi Hadapi Krisis

Sejumlah anggota Partai Al Wifaq Al Watani Irak yang dipimpin Iyad Allawi, menyatakan mundur dari partai ini. Sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Fars News, alasan mundurnya sejumlah anggota partai pimpinan Allawi adalah hubungan partai ini dengan Kerajaan Saudi dan keterlibatan sejumlah anggota Baath dalam partai ini.

Majed Al Amarah, seorang yang membelot dari Partai Al-Wifaq Al Watani, dalam sebuah konferensi persnya mengatakan, "Dengan banyaknya bukti, saya mengambil keputusan untuk mundur dari partai pimpinan Allawi. Saya akan membentuk komunitas baru yang bernama Al-Tajammo Al Watani Al Hur."

Sudah menjadi rahasia umum, List Al Wifaq Al Watani Irak menjalin hubungan dekat dengan para pangeran Arab Saudi. Keluarga dinasti Saud mengeluarkan jutaan dolar AS untuk membentuk kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah pusat yang saat ini dikendalikan Perdana Menteri Nouri Maliki.

Sejumlah anggota yang keluar dari List Al Wifaq Al Watani Irak adalah Mohammad Al Daami, anggora parlemen di Karbala dan Zuhair Al Aaraji yang juga anggota parlemen Irak.

Sebelumnya, Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki sebagaimana dikutip Wikileaks, menuding Arab Saudi menebar budaya terorisme dan menyebut kerajaan al-Saud dukungan Amerika Serikat itu sebagai sponsor terorisme di Irak dengan tujuan menyulut perang sipil.

Sejak tahun 2003, ketika diktator Saddam Hussein digulingkan Amerika Serikat, para analis bersikeras bahwa Arab Saudi mendukung terorisme sektarian di Irak dalam meningkatkan pengaruhnya di kawasan dan dalam rangka memperlemah pemerintahan sipil di Baghdad.
Data menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir, mayoritas pelaku bom bunuh diri yang tertangkap atau tewas di Irak berasal dari Arab Saudi atau warga negara-negara Arab yang berhubungan dekat dengan Arab Saudi seperti Yordania, Kuwait, Yaman, dan Uni Emirat Arab. (IRIB/PressTV/AR/PH/13/9/2011)

Arab Saudi Eksekutor Kebijakan AS di Timur Tengah
Gelombang kebangkitan Islam di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara berimbas pada kerajaan Arab Saudi, baik di sektor dalam negeri maupun politik luar negeri. Kendala ini telah memaksa keluarga Al Saud menjadi tangan kanan Amerika untuk menghadapi kebangkitan rakyat dan berusaha keras menyimpangkan setiap kebangkitan yang ada. Tapi hal ini bukan berarti menafikan peran Arab Saudi yang sejak dahulu menjadi sekutu asli Amerika di kawasan. Sejak lama Amerika memberikan peran Arab Saudi sebagai saudara tua para raja di negara-negara sekitar Teluk Persia dan para diktator di sana.

Kebangkitan Islam yang terjadi di Timteng telah membuat kerajaan Arab Saudi berpikir keras mencegahnya menular ke negaranya. Untuk sebagai saudara tua, Arab Saudi terus berpikir untuk mencari solusi dari masalah yang ada. Peran pertama yang dimainkannya adalah memberikan tempat bagi pelarian mantan diktator Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali. Namun untuk mencitrakan dirinya mendukung rakyat Tunisia dan menurunkan tensi kemarahan mereka, Arab Saudi mensyaratkan akan menerima Ben Ali bila ia meninggalkan aktivitas politik.

Hal menarik dari pemberian suaka politik oleh pihak Arab Saudi kepada Ben Ali dilakukan saat pendukung Eropa Ben Ali tidak bersedia memberikan suaka politik kepadanya. Negara-negara Eropa sangat berhati-hati dalam menyikapi ini dan mencemaskan reaksi rakyat Tunisia bila mereka melakukannya. Tapi tidak demikian dengan Arab Saudi. Akhirnya, Ben Ali, mantan diktator Tunisia kembali ke pelukan saudara tuanya Arab Saudi.

Menarik mencermati sikap Arab Saudi terhadap transformasi yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Bila di Tunisia para penguasa Arab Saudi terkesan tidak ambil peduli, namun tidak demikian ketika terjadi kebangkitan rakyat di Mesir. Arab Saudi secara transparan memberikan dukungannya kepada rezim Hosni Mubarak dan menentang sikap rakyat yang ingin menumbangkan kekuasaan Mubarak. Mesir memang berbeda dengan Tunisia. Negara Mesir punya peran dan posisi khusus di dunia Arab. Hosni Mubarak yang dikenal sebagai kepala negara yang senantiasa mengikuti kebijakan AS di Timur Tengah dan pemimpin kelompok moderat Arab punya peran utama dalam perimbangan politik di kawasan dalam menghadapi front Muqawama.

Arab Saudi dalam transformasi Mesir akhirnya memilih berada di dekat Mesir. Karena lengsernya Mobarak sama artinya semakin melemahnya kelompok negara-negara moderat Arab di Timur Tengah. Dengan alasan ini, keluarga Al Saud tetap bersikeras mendukung Hosni Mubarak hingga saat ini. Padahal bila dicermati, Amerika sebagai sekutu asli Mubarak pun tidak memberikan dukungan seperti yang dilakukan Arab Saudi. Amerika justru menuntut lengsernya Mubarak.

Berbarengan dengan lengsernya Hosni Mubarak, berarti dimulainya tahapan ketiga kebijakan Arab Saudi menghadapi transformasi Timur Tengah. Sebuah tahapan dimana Arab Saudi fokus untuk mencegah menjalarnya gelombang protes luas ke negaranya dengan memanfaatkan sektor keuangan dan keamanan. Pasca tumbangnya Mubarak di Mesir dan dimulainya kebangkitan besar di Bahrain, Yaman dan Libya, rakyat Arab Saudi mengeluarkan seruan agar semua ikut dalam Hari Kemarahan pada 11 Maret.

Para aktivis politik melakukan langkah luar biasa dengan membentuk partai politik. Karena selama ini pembentukan partai politik dilarang di negara ini. Mereka yang melakukan aksi ini kebanyakan ditangkap dan ditumpas gerakannya oleh pemerintah. Sikap keras pemerintah menumpas aksi-aksi demonstrasi di Arab Saudi mengakibatkan sejumlah aktivis politik cedera di Hari Kemarahan 11 Maret. Dan yang tidak boleh dilupakan, Arab Saudi masih punya senjata andalan yang tidak dimiliki oleh rezim Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir. Penguasa Arab Saudi punya cadangan kekayaan ratusan miliar dolar yang berasal dari minyak.

Raja Abdullah yang telah berusia 87 tahun dan lebih sering sakit-sakitan, sebelum terjadi aksi protes di negaranya selama tiga bulan berada di Amerika untuk mengobati penyakitnya. Raja Abdullah memberikan janji akan menggelontorkan bantuan 35 miliar dolar kepada seluruh kalangan masyarakat. Bantuan ini mencakup 15 persen kenaikan gaji pegawai negeri, memberi kesempatan para tahanan untuk dapat membayar utang-utangnya, bantuan dana kepada para mahasiswa dan pengangguran, membangun satu setengah juta rumah tinggal dengan harga murah dan meningkatkan anggaran polisi syariat.

Penguasa Arab Saudi pada pandangan pertama mengira pasca penumpasan aksi demo rakyat pada Hari Kemarahan 11 Maret, rakyat Arab Saudi akan diam. Terlebih lagi mereka telah mengalokasikan dana sebesar itu untuk membantu rakyat. Tapi beberapa hari setelah Hari Kemarahan, pasukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tiba di Bahrain untuk menumpas aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat Bahrain terhadap pemerintahnya. Tiga pekan setelahnya Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) memutuskan penyelesaian guna meredam krisis yang terjadi di Yaman.

Arab Saudi bagi penguasa Bahrain, Al Khalifa bukan saja sebagai saudara tua, tapi menjadi ayah angkat keluarga kerajaan Bahrain. Hampir setiap acara di Arab Saudi, bisa dipastikan Raja Bahrain ikut di dalamnya dan berada di sisi Raja Arab Saudi. Bahkan baru-baru ini anak laki-laki Raja Bahrain menikah dengan putri Raja Abdullah yang membuat hubungan keluarga di antara kedua raja ini semakin erat. Dengan melihat posisi penting dan strategis Bahrain bagi Amerika, Gedung Putih juga mendukung campur tangan penguasa Arab Saudi menumpas kebangkitan rakyat Bahrain. Belum lagi armada kelima Amerika yang berada di Bahrain. Artinya, bila terjadi perubahan di Bahrain, maka hal itu akan membahayakan posisi militer Amerika di Teluk Persia dan Laut Oman.

Penguasa Arab Saudi sangat pro aktif dalam menyikapi kebangkitan rakyat Yaman. Arab Saudi melihat Yaman sebagai negara penting dan sangat strategis. Sejatinya posisi geografis Yaman dan bentuk hubungannya dengan Arab Saudi pada tahun-tahun lalu sangat mempengaruhi keamanan nasional Arab Saudi. Yaman menempati posisi utama negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia. Oleh karenanya, Arab Saudi pro aktif dan ikut terlibat secara langsung pada seluruh krisis dan transformasi yang terjadi di Yaman.

Dimulainya kebangkitan luas rakyat Yaman berbarengan dengan lengsernya Mubarak di Mesir. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan Riyadh. Lengsernya Hosni Mubarak berarti Arab Saudi telah kehilangan sekutu utamanya di Timur Tengah. Saudi sekarang merasa ada bahaya yang siap mengancam dari selatan dan khawatir kebangkitan rakyat di Mesir menyebar ke negaranya.

Pasca aksi penumpasan yang dilakukan di Bahrain, Arab Saudi kembali berinisiatif dalam kerangka Dewan Kerjasama Teluk Persia untuk mempertahankan rezim Ali Abdullah Saleh dengan mengusulkan agar ia mengundurkan diri. Dengan cara ini, Arab Saudi berharap dapat menyimpangkan kebangkitan rakyat Yaman dari tujuan aslinya. Akhirnya, Ali Abdullah Saleh cedera berat akibat serangan roket ke gedung kepresidenan Yaman dan diterbangkan ke Arab Saudi guna mendapat perawatan medis. Tapi keluarnya Ali Abdullah Saleh dari Yaman tidak membuat rakyat Yaman mundur dari tuntutannya. Mereka tetap bersikeras agar Yaman menerapkan sistem demokrasi. Demonstrasi jutaan warga Yaman pekan lalu membuktikan kegagalan upaya yang dilakukan Arab Saudi untuk mengontrol kebangkitan rakyat Yaman.

Menghadapi kebangkitan Islam di Timur Tengah ada dua sikap yang ditunjukkan oleh penguasa Arab Saudi. Pertama, reaksi yang ditujukan terhadap krisis Mesir dan usaha keras agar protes tidak meluas ke Saudi. Kedua, mengambil langkah pro aktif menghadapi kebangkitan Islam di negara-negara tetangganya. Intervensi Arab Saudi di Bahrain, inisiatif mengontrol Yaman lewat P-GCC dan mengusulkan keanggotaan Yordania dan Maroko di Dewan Kerjasama Teluk Persia merupakan strategi Saudi menghadapi kebangkitan Islam.

Transformasi berlangsung cepat di Timur Tengah dan munculnya kondisi yang memungkinkan membentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat menggantikan sistem penindasan telah mengubah konstelasi politik Timur Tengah. Dampak dari perubahan ini, para penguasa Arab Saudi sudah tidak lagi memiliki posisi yang sama seperti dahulu. Di sisi lain, Arab Saudi sudah tidak bisa mengandalkan dolar yang berasal dari minyak untuk mempertahankan posisinya di kawasan sebagai saudara tua dan eksekutor kebijakan Amerika. (IRIB/SL/MF/12/9/2011)

Maliki:Berbicara Terorisme, Maka Kita Harus Bahas Arab Saudi

Al-Maliki (kanan) dan Dubes AS Ryan Crocker (tengah)

Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki menuding Arab Saudi menebar budaya terorisme dan menyebut kerajaan al-Saud dukungan Amerika Serikat itu sebagai sponsor terorisme di Irak dengan tujuan menyulut perang sipil.

Terkuak fakta rahasia baru oleh Wikileaks yang menyebutkan dalam pertemuan antara Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki dan Jenderal David Petraeus, serta Dubes Amerika untuk Irak, Ryan Crocker pada tahun 2008, al-Maliki menuding negara-negara Arab mendanai kelompok-kelompok bersenjata untuk menyulut kekerasan dan instabilitas di Irak.

Selain itu, pada bulan Mei 2007, Perdana Menteri Irak menyatakan kepada Petraeus dan Crocker, "Saya telah katakan kepada Wakil Presiden Cheney bahwa Pangeran [Saudi] Muqrin mendanai para militer Sunni untuk menentang menghadapi pasukan Syiah."

Maliki menambahkan bahwa Saudi memiliki kebiasaan mendukung terorisme dan bahwa jika negara-negara Teluk Persia ingin menyinggung masalah terorisme di kawasan maka mereka harus memulainya dengan Arab Saudi.

"Jika mereka (negara-negara Arab Teluk Persia) ingin berbicara tentang kekerasan, mungkin kita harus menggelar konferensi tentang Arab Saudi. Sebagian besar teroris adalah warga Saudi... Orang-orang Saudi punya budaya yang mendukung terorisme. Pemerintah Saudi tidak dapat mengontrol dan menghancurkan gerakan-gerakan teroris yang mereka ciptakan dan danai sendiri," tambahnya.

Sejak tahun 2003, ketika diktator Saddam Hussein digulingkan Amerika Serikat, para analis bersikeras bahwa Arab Saudi mendukung terorisme sektarian di Irak dalam meningkatkan pengaruhnya di kawasan dan dalam rangka memperlemah pemerintahan sipil di Baghdad.

Data menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir, mayoritas pelaku bom bunuh diri yang tertangkap atau tewas di Irak berasal dari Arab Saudi atau warga negara-negara Arab yang berhubungan dekat dengan Arab Saudi seperti Yordania, Kuwait, Yaman, dan Uni Emirat Arab.

Dalam sebuah pertemuan di kediaman Perdana Menteri Irak pada 14 April 2008, al-Maliki mengecam negara-negara tetangganya, khususnya Arab Saudi.

"Kami tidak melihat hal positif dari negara-negara tetangga Irak, mereka tidak mengurangi utang kami, mereka tidak kembali bertugas ke kedutaan besar mereka, dan mereka selalu menginterferensi masalah-masalah politik, militer, dan finansial kami," kata Maliki kepada para pejabat Amerika.
(IRIB/MZ/12/9/2011)

Kebencian Rakyat Saudi terhadap Pemerintah Riyadh Meningkat
Sikap dan kebijakan anti rakyat serta intervensi pemerintah Arab Saudi dalam kebangkitan Islam di negara-negara Arab di kawasan dan Afrika Utara, telah meningkatkan kebencian dan kemarahan rakyat Saudi kepada kelaurga Al Saud.

Sejak terjadi kebangkitan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara, pemerintah Riyadh dengan berbagai cara selalu melindungi para pemimpin diktator Arab. Di Bahrain misalnya, pemerintah Saudi mengirimkan pasukan ke negara tersebut untuk membantu rezim Al Khalifa. Partisipasi pemerintah Saudi dengan rezim Al Khalifa dalam membantai rakyat Muslim Bahrain, menunjukkan Riyadh telah melanggar secara terang-terangan masalah internal negara lain dan tidak menghiraukan hak rakyat negara tersebut untuk menentukan nasib mereka sendiri. Rakyat dan aktivis Bahrain beurang kali meneriakkan slogan "Kematian untuk Al Saud" guna memprotes sikap Riyadh tersebut.

Di Yaman, Al Saud juga berusaha keras menghalangi gerakan kebangkitan rakyat negara itu. Rezim Riyadh memberikan suaka kepada diktator Ali Abdullah Saleh dan memberikan fasilitas pengobatan kepadanya. Riyadh juga menyerahkan dana besar-besaran kepada para loyalis Saleh untuk membantai rakyat Yaman.

Pemerintah Saudi melalui program inisiatif Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) berusaha mati-matian untuk menjaga rezim Saleh agar tetap berkuasa. Menanggapi hal itu, rakyat Yaman berulang kali menyerukan slogan-slogan "Kematian atas Arab Saudi" di dalam aksi unjuk rasa mereka. Hal itu dilakukan untuk memprotes sikap dan kebijakan politik rezim Riyadh tersebut. Rakyat Yaman juga menuntut Riyadh untuk menghentikan intervensi ke negara mereka.

Tak jauh berbeda dengan di Yaman, pemerintah Riyadh juga berusaha mencegah meluasnya aksi unjuk rasa anti pemerintah di Yordania. Berkaitan hal itu, pemerintah Saudi telah memberikan bantuan finansial ke Amman sebesar 1,5 miliar dolar. Bahkan Riyadh mengusulkan kepada Yordania untuk menjadi anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia, padahal posisi Yordania tidak terletak dalam kawasan Teluk Persia. Rakyat Yordania, sebagaimana rakyat Bahrain dan Yaman, melampiaskan kebencian mereka kepada Riyadh lewat berbagai aksi unjuk rasa.

Pasca tumbanganya diktator Mesir, pemerintah Saudi juga berupaya keras menanamkan pengaruhnya di Kairo. Riyadh menghabiskan dana yang sangat besar di Mesir supaya kaum Wahabi mampu menanamkan pengaruhnya di tubuh pemerintahan Kairo.

Ratusan perusahaan dagang dan ekonomi Saudi berada di Mesir. Perusahaan-perusahaan itu menghasilkan keuntungan yang luar biasa kepada pemerintah Riyadh. Dengan banyaknya perusahan dagang Saudi di Mesir, Riyadh berusaha menyokong kelompok Wahabi di Mesir agar menanamkan pengaruh mereka dalam tubuh pemerintahan Mesir mendatang, dengan begitu rezim Riyadh mempunyai posisi kuat di Mesir. Berdasarkan hal itu, rakyat mesir kemarin (Sabtu, 10/9) bersamaan penyerangan ke Kedubes Israel di Kairo, mereka juga menuju Kedubes Arab Saudi untuk memprotes sikap-sikap Riyadh.

Alasan kuat rakyat Mesir menggelar aksi protes ke Kedubes Saudi adalah intervensi negara itu terhadap urusan internal Mesir dan dukungan rezim Riyadh terhadap kaum Salafiyah Mesir serta penghinaan terakhir Saudi kepada jamaah umrah Mesir.

Rakyat Mesir tidak punya pengalaman baik dengan Arab Saudi, mereka meyakini bahwa purusahaan-perusahaan dagang Saudi di Mesir mengeruk keuntungan yang sangat besar dengan mengekploitasi dan memanfaatkan tenaga kerja Mesir. (IRIB/RA/RM/11/9/2011)

Ikhwanul Muslimin: Sekuler No, Politik Islam Yes!!!
Ikhwanul Muslimin, menekankan bahwa fase berikutnya di negara Afrika Utara adalah menerapkan "politik Islam." Mohamed Ghanem yang juga wakil Ikhwanul Muslimin di Inggris, mengatakan bahwa Mesir setelah revolusi, akan mengambil metode politik Islam yang baik bagi demokrasi.

Pernyataan itu disampaikan Ghanem mereaksi apa yang disampaikan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang meminta Mesir untuk mengadopsi sebuah konstitusi sekuler.

Erdogan mengatakan pada hari Rabu bahwa sekularisme tidak berarti penolakan agama, menambahkan bahwa ia adalah perdana menteri muslim untuk negara sekuler.

Juru Bicara Ikhwanul Muslimin, Mahmoud Ghuzlan, menilai pernyataan Erdogan itu sebagai interferensi terhadap hubungan internal Mesir. Ditambahkannya bahwa pengalaman dari negara lain tidak harus "dikloning." Demikian dilaporkan al-Arabiya Rabu (14/9).

"Kondisi di Turki memaksanya untuk menerapkan konsep sekuler," kata Ghuzlan.

Sebelum kunjungannya ke Mesir, Erdogan dalam wawancaranya dengan sebuah televisi satelit swasta Mesir menegaskan, "Sebuah negara sekuler menghormati seluruh agama. Jangan takut terhadap sekulerisme. Saya berharap akan terbentuk pemerintahan sekuler di Mesir."

Ditekankannya bahwa rakyat berhak untuk memilih menjadi relijius atau tidak dan bahwa dirinya adalah perdana menteri Muslim dari sebuah negara sekuler.

Ikhwanul Muslimin tengah bersiap-siap berpartisipasi pada pemilu yang akan digelar November mendatang dengan membentuk Partai Kebebasan dan Keadilan. Partai tersebut menyatakan yakin akan memperoleh separuh kursi di parlemen. Para kandidat independen Ikhwanul Muslimin memenangi seperlima kursi di parlemen pada pemilu tahun 2005. (IRIB/PressTV/AR/PH/15/9/2011)

0 comments to "Wakil Menlu AS Bertemu Raja Saudi Membahas Ancaman dari Negara Islam ???!!!!...."

Leave a comment