Home , � Kompetisi Media Menganalisa Kebangkitan Islam

Kompetisi Media Menganalisa Kebangkitan Islam


Alat Media

Beberapa dekade terakhir dapat disebut sebagai fase resesi politik di dunia Arab, sebab reformasi dan perubahan signifikan tidak terjadi dalam sistem politik negara-negara Arab. Pasca Perang Dunia Kedua hingga satu atau dua dekade kemudian, sejumlah negara Arab dilanda kudeta beruntun dan perubahan sistem pemerintahan. Namun sekitar tahun-tahun dekade 1970 dan setelahnya, relatif tercipta sebuah stabilitas di dunia Arab. Di negara-negara itu, lahir sistem monarki, yang memberi peluang kepada para diktator untuk mewariskan kekuasaan kepada anak-cucunya.

Menyusul transformasi dalam beberapa bulan terakhir di Timur Tengah, kondisi di negara-negara Arab mengalami perubahan total atau paling tidak bergerak menuju perubahan. Oleh karena itu, alat-alat propaganda media Barat dengan segala profesionalitasnya, berupaya menyimpangkan Kebangkitan Islam dan gerakan rakyat di Timur Tengan dan Afrika Utara. Sejak pecahnya Kebangkitan Islam di negara-negara Arab, kebanyakan media Barat berusaha menjustifikasi gerakan itu sesuai versi mereka. Sejumlah corong propaganda Barat menyebut kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sebagai alasan utama pecahnya revolusi. Mereka menayangkan gambar-gambar kehidupan masyarakat miskin dan menilai faktor ekonomi sebagai lokomotif gerakan tersebut.

Meski kondisi ekonomi menjadi salah satu faktor meletusnya kebangkitan rakyat, namun alasan itu tidak bisa disebut sebagai motivasi utama kebangkitan. Oleh sebab itu, media-media Barat sadar dan secara perlahan mulai menjaga jarak dari penafsiran seperti itu. Mereka tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaan tersebut dan kemiskinan di negara Arab selama berabad-abad lalu tidak melahirkan sebuah kebangkitan dan revolusi.

Media massa Barat akhirnya berupaya memberi justifikasi lain atas analisanya itu dan menyebut protes bangsa-bangsa regional sebagai revolusi Facebook atau Twitter. Klaim itu berujung pada apresiasi kepada Barat atas bantuan mereka dalam mendobrak monopoli media di negara-negara kawasan. Media-media Barat mengklaim bahwa masyarakat membangun komunikasi dan hubungan melalui jejaring dan situs-situs sosial, yang pada akhirnya melahirkan revolusi. Oleh karena itu, mereka mengabaikan dimensi agama revolusi dan kebangkitan itu dan menganggap teknologi sebagai faktor utama lahirnya gerakan rakyar. Tentu saja, jejaring sosial memainkan peran penting dalam gerakan rakyat di negara-negara Arab, tapi bukan faktor dan motivator pecahnya sebuah revolusi.

Kata-kata pemberontak, pemprotes dan semisalnya, merupakan idiom yang disematkan media-media Barat dan beberapa media regional kepada rakyat. Kata-kata ini ditujukan kepada mereka yang turun ke jalan-jalan dan meneriakkan slogan-slogan anti-rezim. Pada akhirnya, alat-alat propaganda Barat secara perlahan terpaksa mengakui sebagian realita guna menutupi sebagian yang lain. Media-media tersebut mulai berbicara tentang tuntutan dan aspirasi rakyat untuk perubahan dan menganggap tegaknya demokrasi sebagai tuntutan paling penting mereka.

Meski demikian, media Barat masih menyembunyikan tuntutan lain rakyat yaitu, kembali kepada nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, corong pemerintah Inggris (BBC) berupaya memperkenalkan Ikhwanul Muslimin Mesir sebagai sebuah ancaman bagi demokrasi. Mereka memperingatkan rakyat Mesir dan warga negara lain untuk mencegah jatuhnya kekuasaan ke tangan Ikhwanul Muslimin. Padahal di Mesir sendiri, kelompok Islam itu berjuang menentang kediktatoran Hosni Mubarak bersama partai dan kelompok-kelompok lain.

Media-media lain seperti televisi Al Arabiya juga mengusung kebijakan serupa dan dalam sebuah langkah yang tidak profesional, menyebut protes luas rakyat sebagai aksi sekelompok perusuh. Dari sisi lain, mereka mempublikasi luas pernyataan para pejabat pemerintah yang melawan kehedak rakyat. Mereka tengah berupaya membentuk opini publik bahwa pemulihan kondisi ekonomi akan meredam kebangkitan rakyat dan orang-orang yang berhaluan Islam tidak akan punya peran dalam masa depan negara. Kini tidak ada lagi pihak yang mampu menutupi realita Kebangkitan Islam, yang telah mengguncang negara-negara kawasan.

Sekarang jika kita cermati pemberitaan atau analisa media-media tersebut, segelintir analis berupaya menyangsikan tuntutan dan aspirasi umat Islam di negara-negara Arab. Negara-negara Barat juga melakukan berbagai trik untuk membajak kebangkitan rakyat dan menawarkan demokrasi-demokrasi semu.

Di balik semua itu, ada juga media-media yang menguak realita perkembangan di negara-negara Arab. Saluran-saluran internasional Iran termasuk kanal berita pertama yang memberi perhatian khusus seiring pecahnya transformasi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Televisi Al Alam, Press TV dan Suara Republik Islam Iran untuk negara-negara lain, secara khusus dan luas menyoroti dan menyiarkan demonstrasi massa dan Kebangkitan Islam. Iran juga mengirim sejumlah wartawan ke negara-negara tersebut untuk meliput dari dekat setiap perkembangan di kawasan.

Karena aksi beraninya itu, beberapa bulan lalu, negara-negara Barat dan regional memblokir dan memutuskan penayangan program-program televisi internasional Iran, yang disiarkan melalui satelit. Selain itu, mereka juga menyerang wartawan Iran dan melarang insan pers untuk menguak realita yang terjadi di negara-negara kawasan. Namun, tindakan itu tidak menciutkan media-media independen dalam menyuarkan aspirasi rakyat, yang menuntut keadilan dan menolak penindasan.

Media-media Iran secara serius dan luas mempublikasi perkembangan politik dan sosial negara-negara Muslim regional. Mereka menilai faktor utama transformasi itu adalah perluasan Kebangkitan Islam di tengah Muslim. Televisi-televisi internasional Iran juga dengan cepat menayangkan respon kelompok politik dan rakyat di sejumlah negara atas perkembangan tersebut. Oleh karena itu, kanal-kalan Iran mendapat sambutan luas masyarakat, khususnya generasi muda. Sebagai contoh, dalam sebuah aksi demo di Bundaran Tahrir Mesir, bendera dan logo televisi Al Alam terlihat dilambai-lambaikan di tangan demonstran.

Kita akan mendapatkan poin lain ketika mengkaji kinerja media-media Barat dan beberapa televisi negara Arab dalam meliput perkambangan di kawasan. Mengapa kanal-kalan berita tersebut gencar menyiarkan aksi protes di negara tertentu, sementara memilih bungkam atas pergolakan di negara lain? Mengapa aksi-aksi demo itu disebut pemberontakan di sebuah negara, sementara di negara lain diberi label protes rakyat?

Guru ilmu politik di Universitas California, As'ad AbuKhalil menguraikan metode peliputan media terhadap Kebangkitan Islam. Dikatakannya, "Menurut sebagian media, negara bernama Bahrain sepertinya tidak ada di planet ini. Mereka hingga kini tidak menghadirkan satu orang pun ke studio dari tokoh oposisi rezim-rezim diktator di Bahrain, Oman, atau Arab Saudi. Anehnya lagi, media-media itu tidak meliput kekerasan rezim dalam menumpas protes rakyat. Kebijakan standar ganda media telah melahirkan ketidakpercayaan rakyat terhadap mereka."

Media-media Barat hanya meliput sebagian peristiwa di negara-negara kawasan, yang kira-kira sesuai dengan kepentingannya. Mereka mengabaikan realita Kebangkitan Islam yang menyapu negara-negara Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara. Barat tidak tertarik melihat Islam sebagai sebuah agama yang progresif dan menjadi lokomotif bagi gerakan jutaan rakyat di negara-negara Timur Tengah. Kebangkitan Islam telah menumbangkan rezim-rezim diktator dan menguak kebohongan Barat di kawasan.(irib/1/10/2011)

0 comments to "Kompetisi Media Menganalisa Kebangkitan Islam"

Leave a comment