Distorsi Sejarah dalam Serial Muawiyah, Hasan dan Husein (Bagian pertama)
Sejarah adalah ilmu yang membahas tentang peristiwa masa lalu. Dengan mengkaji sejarah, kita akan mengenal zaman dahulu, serta bagaimana dan dimana peristiwa itu yang mewarnainya. Para sejarahwan menyatakan bahwa sebuah peristiwa sejarah hanya bisa diterima jika didasarkan pada data-data dan bukti akurat yang mendukung kebenarannya. Sebab, ada semacam sensitivitas yang tak terbantahkan dalam menukil peristiwa sejarah. Sensitivitas ini dirasakan pada semua hal menceritakan peristiwa di masa lalu baik yang berbentuk tulisan, penukilan secara lisan maupun benda-benda peninggalan masa lalu. Di dunia sinema dan pertelevisian, sejak beberapa dekade silam muncul kecenderungan sebagian kalangan untuk merambah peristiwa sejarah. Kecenderungan itu semakin mengkristal ketika karya-karya sinema dengan topik sejarah mendapat sambutan luas.
Sejarah agama dan kehidupan para nabi utusan Allah seperti Nabi Isa as, Nabi Musa as, dan bahkan Nabi Muhammad Saw sudah pernah diangkat ke layar lebar oleh para produsen sinema. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya film-film seperti ini, yang jelas, film dengan durasi yang tentunya sangat terbatas ini hanya menggambarkan fase yang singkat dari kehidupan insan-insan agung itu. Di Iran, beberapa sutradara film punya pengalaman yang membanggakan dalam membuat film-film dan serial keagamaan. Diantara karya mereka adalah serial Imam Ali as, Imam Hasan as, Imam Ali Ridha as Nabi Isa as, Siti Maryam as, Nabi Yusuf as dan Nabi Ibrahim as. Karya-karya seniman sinema Iran ini juga sudah dinikmati oleh banyak umat Islam di berbagai negara.
Serial terakhir yang dibuat dengan tema sejarah keagamaan adalah serial tentang kebangkitan Mukhtar bin Abu Ubaid al-Tsaqafi, dengan judul ‘Mokhtar Nameh'. Serial ini berkisah tentang pembantaian Imam Husain as di Karbala dan kebangkitan Mukhtar yang menuntut balas atas darah Imam Husain as. Serial yang berhasil menarik perhatian dan diminati secara luas ini didasarkan pada riwayat dan data sejarah yang akurat. Selain di Iran, film serial ini juag dinikamti oleh para pemirsanya di berbagai negara lewat parabola. Salah satu faktor yang membuat Mokhtar Nameh diminati adalah karena film ini dibuat dengan penuh kehati-hatian dalam menyampaikan fakta sejarah.
Tidak semua orang menyukai serial Mokhtar Nameh. Sebab, sebagian kalangan di Dunia Arab tak bisa menerima pembeberan fakta sejarah ini. Ada kekhawatiran pada diri mereka akan terungkapnya hakikat sejarah bagi masayarakat umum. Penentangan pun bermunculan mengiringi sambutan baik dari banyak kalangan terhadap film ini. Sebagai reaksi pembalasan, para penentang itupun membuat serial tandiangan berjudul ‘Muawiyah, Hasan dan Husein' yang sudah mulai dibuat sejak tahun 2009. Film ini dibuat di beberapa negara Arab dan mulai ditayangkan sejak Ramadhan tahun ini, yaitu tahun 1432 Hijriah. Meski mengaku bahwa serial ini dibuat untuk mengungkap fakta sejarah permulaan Islam, para pembuat film menyusupkan kebohongan ke dalamnya. Kebohongan dan distorsi sejarah itu sedemikian jelas sehingga menuai kritik luas kalangan ulama, cendekiawan, sejawahran bahkan masyarakat luas hanya selang setelah penayangan beberapa episodenya.
Serial Muawiyah, Hasan dan Husain dimulai dari peristiwa pemberontakan massa terhadap khalifah ketiga Utsman bin Affan sampai naiknya Imam Ali aske kursi khilafah. Kisah berlanjut hingga khilafah Imam Hasan, hingga kehidupan di masa Imam Husein sampai kesyahidan beliau di Karbala. Para produser terkait mengaku bahwa film serial ini dibuat untuk memperkuat persatuan di antara umat Islam. Akan tetapi, fakta justru menunjukkan hal yang sebaliknya.
Dengan menyaksikan film ini pemirsa akan menangkap adanya distorsi besar-besaran terhadap sejarah. Produsen film pada langkah awal berusaha membersihkan figur-figur jahat dalam sejarah seperti Muawiyah dan Yazid. Berbeda dengan yang digambarkan dalam film ini, kedua figur yang ingin dibersihkan adalah orang-orang yang oleh sejarah dikukuhkan sebagai pembunuh dua cucu kesayangan Nabi Saw, perampas kekhalifahan umat Islam dan yang paling bertanggung jawab dalam perubahan alur sejarah umat ini.
Penulis naskah maupun sutradara film berusaha keras untuk menyembunyikan fakta permusuhan Muawiyah dan Nabi Umayyah terhadap keluarga Nabi Saw, padahal kisah permusuhan itu adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Mohammad Hoseein Rajabi Davani, peneliti sejarah Islam mengatakan, "Serial ini mengesankan Muawiyah yang telah menyimpangkan sistem kekhalifahan Islam dari jalurnya sebagai figur yang baik. Sementara, sumber-suber otentik sejarah tak pernah mengenal Muawiyah seperti yang digambarkan itu. Bahkan, serial ini melupakan peran utama Yazid dalam tragedi Karbala dan pembunuhan atas Imam Husein, keluarga dan para sahabatnya. Serial ini secara jelas telah melakukan distorsi sejarah untuk kepentingan kelompok dan aliran pemikiran tertentu."
Dari sisi lain, serial ‘Muawiyah, Hasan dan Husein' mengangkat sebuah kisah dusta dan riwayat palsu tentang Syiah dengan tujuan menciptakan perselisihan di tengah umat Islam. Dikisahkan dalam film ini bahwa Syiah adalah aliran yang kehadirannya dibidani oleh sosok manusia bernama Abdullah bin Saba'. Bagaimanakah sejarah bercerita tentang Ibnu Saba' dan sejauhmana perbedaannya dengan apa yang diklaim sutradara film Abdul Bari Abul Kheir. Thabari, sejarahwan abad ketiga hijriah menceritakan tentang seorang Yahudi yang menyatakan keislamannya di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Dia yang bernama Abdullah bin Saba' lalu berkelana ke sejumlah negeri termasuk Kufah, Basrah dan Syam untuk menyatakan pembelaannya kepada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Menurut Thabari, Ibnu Saba' adalah tokoh yang memprovokasi massa untuk memberontak dan membunuh khalifah Utsman.
Thabari menukil kisah ini dari seorang perawi bernama Saif bin Umar yang oleh para ulama dan ahli sejarah disebut-sebut sebagai perawi yang tak bisa dipercaya. Saif terbukti sering memalsukan hadis. Ia sering menyebutkan nama sejumlah orang yang diklaim sebagai sahabat Nabi, padahal tak ada satupun data sejarah yang menyebutkan nama mereka. Banyak pula kisah dan peristiwa yang ia ceritakan tanpa ada seorangpun yang meriwayatkannya. Tak heran jika di kalangan para ahli sejarah dan ilmu Rijal, Saif bin Umar ditetapkan sebagai orang yang tidak bisa dipercaya. Yang menarik, Thabari sering menukil kisah-kisah dari perawi ini. Kisah-kisah itulah yang di kemudian hari banyak dinukil oleh kalangan orientalis, termasuk kisah tentang keberadaan sosok Yahudi bernama Abdullah bin Saba'.
Meski banyak sejarahwan yang menafikan keberadaan orang bernama Abdullah bin Saba' namun sejumlah kitab dan data sejarah, mengakui adanya orang dengan nama itu. Hanya saja, dia disebut dengan tegas sebagai orang kafir dan sesat. Para ulama seperti Syekh Thusi, Allamah Hilli dan Ibnu Daud termasuk di antara sekian ulama besar dalam sejarah Islam yang melaknat Ibnu Saba' dan menyebutnya sebagai pembohong dan kafir. Meski demikian, masih ada sejumlah kalangan yang memasukkan Abdullah bin Saba' ke dalam kelompok tokoh-tokoh penting sejarah Islam, salah satunya adalah pembuat film serial ‘Muawiyah, Hasan dan Husein'.
Yang menarik, Allamah Thabathabai, penulis kitab tafsir al-Mizan sekitar 60 tahun dalam sebuah artikel menyatakan bahwa isu Ibnu Saba' bukan hanya dituduhkan oleh kelompok Sunni fanatik, tetapi juga disebarluaskan oleh kalangan orientalis dan pendukung Wahhabisme untuk tujuan-tujuan busuk mereka. Allamah mengatakan, "Jika satu atau dua abad yang lalu kisah fiktif Abdullah bin Saba' bisa ditemukan secara singkat dalam buku-buku sejarah, kini kondisinya sudah berubah. Kisah ini sengaja dibesar-besarkan tanpa ada dorongan untuk melakukan penelitian terhadap kebenaran atau kebohongannya.
Para ulama mengatakan, fiktif dan tidaknya tokoh bernama Abdullah bin Saba', tidak ada kaitan antara aliran Syiah dengannya. Apalagi, para ulama besar Syiah secara tegas menyebut Ibnu Saba' sebagai orang terlaknat, pembohong dan kafir. Thaha Husein, cendekiawan Mesir mengatakan, membesar-besarkan tokoh bernama Abdullah bin Saba' adalah kejahatan terhadap sejarah. (IRIB Indonesia)
Distorsi Sejarah dalam Serial Muawiyah, Hasan dan Husein (Bagian kedua)
Bulan ramadhan tahun 1432 Hq, sejumlah saluran televisi berbahasa Arab secara serentak menayangkan film serial bertema sejarah Islam. Namun serial berjudul ‘Muawiyah, Hasan dan Husein' ini sarat dengan kebohongan, distorsi dan pemutarbalikan fakta sejarah. Tebar kebohongan seperti ini tentu saja tidak sejalan dengan nuansa ruhani yang menyelimuti umat Islam di bulan Ramadhan. Serial ini dengan jelas berusaha menebar kebencian dan perselisihan di tengah umat Islam. Tak heran jika lantas serial yang dibuat dengan dana raksasa yang dikucurkan oleh salah satu perusahaan Kuwait ini menuai kritik, bahkan kecaman dan penentangan luas, padahal para pembuat film mengklaim adanya dukungan kuat dari para ulama terhadap muatan dan isi film.
Penentangan pertama muncul di Kuwait sendiri. Ayatollah Muhammad Baqir Muhri, pemimpin Syiah Kuwait melayangkan kecaman dan penentangannya. Muhri mengatakan, secara syariat, tidak ada satupun ulama dan tokoh Syiah yang mengizinkan pembuatan film ini. Sebab, film serial ini telah menghujat dua Imam Syiah dan melecehkan seluruh pengikut Syiah. Pernyataan itu disampaikan Ayatollah Muhri untuk menjawab klaim pembuat film yang mengaku telah mengantongi izin dan dukungan dari para ulama Syiah dan Sunni.
Di Iran, para ulama mengecam pembuatan film yang memutarbalikkan fakta sejarah ini. Ayatollah Makarim Shirazi, ulama dan marji Syiah mengeluarkan fatwa haram untuk pembuatan film yang merugikan Islam ini. Menurut beliau, penentangan muncul karena para pembuat film serial ini berusaha membersihkan dosa Muawiyah dan Yazid dari lembaran sejarah. Karenanya, serial ini bisa dimanfaatkan oleh musuh untuk kepentingannya. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ayatollah Safi Golpeygani dan Ayatollah Ja'far Subhani dua marji Syiah di kota Qom. Mereka menyatakan bahwa pembuatan film seperti ini akan menumbuhkan kemunafikan dan permusuhan di tengah umat Islam.
Penentangan tidak hanya datang dari kalangan Syiah. Universitas al-Azhar Mesir juga mengumumkan penentangannya terhadap serial ‘Muawiyah, Hasan dan Husein'. Al-Azhar yang merupakan pusat keilmuan agama paling bergengsi di kalangan Ahlussunnah menyatakan bahwa penentangan ini terjadi karena film terkait menunjukkan wajah Ahlul Bait Nabi, sementara para ulama al-Azhar mengharamkan penayangan gambar insan-insan suci itu. Syeikh Ali Abdul Baqi, sekretaris Forum Kajian Islam al-Azhar mengatakan, "Kami telah berulang kali menyatakan penentangan terhadap penyangan gambar para Nabi dan Ahlul Bait dalam sinema dan televisi. Mereka yang terlibat dalam dunia sinema harus memerhatikan pandangan fiqih ini."
Sekitar delapan juta orang di Mesir yang tergabung dalam kelompok Syurafa' menyatakan menolak serial Muawiyah, Hasan dan Husein. Menurut mereka, garis merah bagi mereka adalah Imam Hasan dan Imam Husain. Tak hanya bersikap, kelompok ini juga telah melakukan usaha keras untuk mencegah penayangan serial tersebut dari satelit Nile Sat, milik pemerintah Mesir. Akibat penentangan yang juga direstui oleh para ulama al-Azhar, televisi resmi Mesir tidak mengizinkan penayangan film ini, dan hanya sebagian televisi swasta yang menayangkannya.
Seiring dengan itu, gugatan terhadap para pembuat film serial ini juga sudah diajukan untuk diproses secara adil. Fakta-fakta lain di balik skenario pembuatan serial ‘Muawiyah, Hasan dan Husein' bakal terkuak. Jika sebelum ini, para pembuat serial mengaku mengantongi restu dari para ulama Syiah dan Sunni, kini terungkap bahwa klaim itu tak lebih dari kebohongan yang mereka tebar. Untuk rakyat dan masyarakat umum, banyak fakta yang sudah terjelaskan.
Di sini perlu dijelaskan bahwa fatwa haram penayangan gambar wajah Nabi Saw dan Ahlul Bait as bukan hanya pendapat para ulama al-Azhar. Sebab, hampir seluruh ulama baik Syiah maupun Sunni, memiliki pandangan yang sama dengan itu. Sayangnya, para pembuat film tak hanya memutarbalikkan dan mendistorsi sejarah tetapi juga menutup mata dari fatwa mayoritas ulama ini. Tak heran jika langkah itu direaksi keras oleh para ulama dan masyarakat umum. Banyak orang di berbagai negara yang melaksanakan fatwa para ulama mereka yang mengharamkan film ini. Masyarakat yang menolak film ini juga melakukan aksi umum lewat media internet. Via internet, mereka mengumpulkan jutaan tanda tangan untuk menghentikan penayangan serial kontroversial tersebut. Puluhan laman jejaring sosial facebook yang menentang serial ‘Muawiyah, Hasan dan Husein' dengan anggota ribuan orang juga ikut meramaikan aksi ini.
Beberapa episode dari serial ‘Muawiyah, Hasan dan Husein' sudah ditayangkan dan reaksi penentangan bahkan kecamanpun bermunculan. Semakin lama penentangan itu itu semakin meluas. Umumnya mereka yang menolak film serial ini menyebut penistaan terhadap Ahlul Bait Nabi as dan penafian peran utama Yazid dalam peristiwa Karbala dan pembantaian Imam Husein as sebagai alasan penentangan. Syeikh Abdul Mahdi Karbalai, wakil Ayatollah Sistani di Karbala mengatakan, "Tidak ada ulama Syiah yang menyetujui film serial ini. Dalam banyak episodenya, film ini telah melakukan distorsi sejarah besar-besaran terkait Imam Hasan dan Imam Husein."
Dr Mohammad Hossein Saei, pakar sejarah Islam menegaskan bahwa untuk mengetahui sejauhmana kebohongan yang sengaja ditebar dalam serial ini, cukup kita menyelidiki para pembuatnya. Penyandang dana serial ini adalah sebuah perusahaan Kuwait yang memiliki hubungan spesial dengan Wahid bin Talal, salah seorang pangeran Arab Saudi. Pangeran inilah pemiliki sejumlah stasiun televisi Arab yang menayangkan serial kontroversial tersebut. Stasiun-stasiun televisi ini umumnya menayangkan program-program yang bertujuan menyebarkan sekularisme dan gerakan anti Islam di Dunia Arab. Pemilik jaringan televisi itu punya hubungan perseroan dengan Robert Murdock, Zionis Amerika yang dikenal sebagai Raja Jaringan Informasi, dalam membangun sejumlah stasiun televisi.
Di akhir pembahasan ini perlu kita singgung bahwa agenda membuat serial dan film yang menyudutkan keyakinan Islam bukan hal yang baru. Perang media dan informasi terhadap Islam sudah ada sejak lama bahkan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Gerakan yang biasa disebut Islamophobia ini sebenarnya menunjukkan kekalutan kubu kafir terhadap pengaruh Islam yang semakin besar di dunia. Sebab, dalam beberapa dekade terakhir arus kebangkitan Islam kian membesar berkat teknologi modern di dunia informasi.
Bisa dikata bahwa kubu anti Islam dengan berbagai sarananya, khususnya media-media massa yang ada dalam genggaman hegemoni AS telah menyulut sebuah perang informasi besar-besaran terhadap Islam. Mereka biasa memutakbalikkan fakta dan mendistorsi ajaran-ajaran agama ilahi ini termasuk juga sejarah para pemuka agama. Tujuannya adalah untuk memburukkan citra Islam dan melemahkan keimanan yang sudah ada. Namun mereka melupakan satu hal yang sangat penting, yaitu bahwa usaha apapun yang mereka lakukan untuk memadamkan cahaya Allah tak berbeda dengan upaya sepenggal awan untuk menutupi cahaya dan panas matahari. Usaha mereka akan sia-sia sementara pancaran cahaya kebenaran dan nur Ilahi akan semakin besar untuk menerangi dunia. (IRIB Indonesia)
0 comments to "Distorsi Sejarah dalam Serial Muawiyah, Hasan dan Husein (serial)"