Home , , � Ketika Polri Menebar Kebohongan Publik : DPR dan Polisi Ingin Lucuti KPK

Ketika Polri Menebar Kebohongan Publik : DPR dan Polisi Ingin Lucuti KPK






Ketika Polri Menebar Kebohongan Publik



Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mendesak Polri berhenti menebar kebohongan dan bersilat lidah terkait penarikan 20 penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berasal dari institusi pelindung dan pengayom masyarakat itu.

Bambang menegaskan penarikan tersebut sangat tidak masuk akal. Pasalnya, semua penyidik dari kepolisian itu baru bekerja selama setahun dan belum habis masa tugasnya di KPK.

"Mereka sedang berkerja, kalau ditarik gimana? Hampir 50 persen (penyidik) baru (bekerja) setahun. Sudahlah jangan berbantah dan berbohong. Apa tidak sebaiknya bekerja menyelesaikan tugasnya," ujarnya di Jakarta, Selasa (25/9) malam.

20 penyidik itu diperkerjakan KPK dan diberhentikan sementara dari Polri sehingga mereka wajib menyelesaikan tugas-tugas yang tengah dikerjakan. Dari 20 orang, 4 orang menyatakan ingin kembali dan 16 orang ingin bertahan dan akan dipertahankan oleh KPK.

"Penarikan itu sangat mengganggu kinerja KPK dalam menjalankan fungsinya," pungkas Bambang.

Penarikan ini, tak pelak, mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Peneliti Indonesian Corruption Watch, Donal Fariz, menduga kebijaksanaan Polri tesebut terkait dengan kasus korupsi simulator pembuatan SIM yang sedang ditangani KPK. "Mengapa penarikan besar-besaran ini bersamaan dengan penyidikan kasus simulator?" ujarnya.

Koordinator Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai polisi selalu menggunakan taktik menarik penyidiknya ketika KPK sedang menangani kasus korupsi pejabat polisi. Tindakan yang sama pernah dilakukan Mabes Polri ketika KPK menangani perkara dugaan suap yang melibatkan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji.

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Nasir Djamil, mengatakan langkah tersebut bakal berdampak buruk bagi citra polisi. "Masyarakat bisa melihat tersebut sebagai aksi balas dendam," katanya. Nasir melanjutkan, penarikan penyidik sekaligus akan sangat mengganggu kinerka komisi antikorupsi. Apalagi jumlah penyidik KPK terbatas. "Seharusnya penarikan ini tidak dilakukan tiba-tiba, polri sudah harus mempersiapkan terlebih dahulu."

Para Pembesar Polri Bisa Terseret Kasus Simulator

Alasan di balik keengganan Mabes Polri menyerahkan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian Surat Izin Mengemudi kepada KPK sekarang kian jelas. Tempo memperoleh salinan surat keputusan tentang penetapan pemenang tender pengadaan simulator ujian SIM senilai Rp 142, 4 miliar rupiah. Surat itu ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo.

Surat yang mengindikasikan adanya peran Kapolri ini berjudul ‘Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia' dengan logo resmi Mabes Polri. Nomor surat itu adalah Kep/193/IV/2011 bertanggal 8 April 2011. Isinya ada dua poin: mempertimbangkan dan menetapkan. Ada 11 poin yang tercantum dalam bagian ‘mempertimbangkan'. Ini mengindikasikan bahwa pengadaan simulator SIM ini merupakan program resmi Mabes Polri.

Yang menarik, sebelum Kapolri membubuhkan tandatangannya, ada enam pejabat Mabes Polri yang sudah meneken parafnya, menegaskan bahwa lelang dan penetapan pemenang lelang dalam surat itu sudah sesuai prosedur. Keenam pejabat itu adalah: Kepala Korlantas sendiri selaku konseptor, Kepala Sekretariat Umum (Kasetum) Polri, Asisten Bidang Sarana dan Prasarana (Assarpras) Kapolri, Asisten Bidang Perencanaan Umum dan Pengembangan (Asrena) Kapolri, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri dan Wakil Kepala Polri.

Wakapolri Komjen Nanan Sukarno menolak berkomentar soal parafnya di surat yang bermasalah itu. "Silakan tanya ke Humas saja," katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar kemarin menjelaskan bahwa surat Kapolri ini hanyalah pengesahan atas hasil penetapan tender. "Itu hanya prosedur administrasi," kata dia.

Di bagian akhir suratnya, Kapolri meminta Kepala Korps Lalu Lintas Polri selaku kuasa pengguna anggaran menindaklanjuti ke proses selanjutnya. Kepala Korlantas saat itu, Irjen Djoko Susilo, kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Dengan adanya surat ini, besar kemungkinan KPK harus memanggil Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk diperiksa --setidaknya sebagai saksi-- di kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan.

Pemeriksaan Kapolri Tergantung Penyidik KPK

Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, menyatakan bisa saja Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo dimintai keterangan dalam kasus korupsi simulator alat uji surat izin mengemudi 2011. " Kalau memang data-data itu berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani, bisa saja (Kepala Polri) diundang," kata Abdullah kemarin.

Namun, dia menegaskan, pemeriksaan terhadap Kepala Polri sangat bergantung pada perkembangan penyidikan kasus tersebut di KPK. "Semuanya bergantung pada penyidiknya, apakah dibutuhkan atau tidak," katanya.

Sejumlah politikus Dewan Perwakilan Rakyat, menilai KPK harus berusaha menghindari pemanggilan terhadap Kapolri Jenderal Timur Pradopo terkait pengusutan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator untuk ujian SIM.

Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori, meminta KPK meninjau ulang rencana tersebut. "KPK harus mempertimbangkan apakah memanggil Kapolri akan membuat kasus ini menjadi lebih jelas atau justru akan memperuncing masalah," ujarnya Selasa 25 September 2012.

Sedangkan, Martin Hutabarat, anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Gerindra, tak mau berkomentar banyak soal adanya tanda tangan Kepala Polri dalam penentuan pemenang kasus simulator SIM ini. Menurut dia, yang paling penting saat ini adalah KPK dan Polri meluruskan iktikad untuk menuntaskan penyelidikan. "Harus bersama-sama dan tidak boleh saling mereduksi," ujarnya.

Dia mengingatkan agar penegak hukum serius menangani kasus dugaan korupsi kasus simulator SIM. Menurut Martin, jika penanganan kasus ini membutuhkan kesaksian Kapolri, maka KPK tidak boleh ragu. "Rakyat menunggu keseriusan institusi penegak hukum," katanya.

KPK Kaji Peran Kapolri dalam Kasus Simulator SIM

KPK masih mengkaji adanya surat keputusan Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo tentang penetapan pemenang lelang proyek simulator ujian surat izin mengemudi. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto, data yang beredar di media massa itu akan menjadi bahan untuk memperdalam pengusutan proyek senilai Rp 196 miliar itu. "Informasi di media tentu akan diperkaya. Informasi itu, kami sedang mengkajinya," ujar Bambang di kantornya.

Bambang tidak menjelaskan secara detail kajian penyidik terhadap informasi tersebut. Dia malah mengatakan, "Kalau teman-teman media punya data soal itu, silakan berikan ke kami."

Sementara itu, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai Kapolri bisa dianggap ikut bertanggung jawab dalam proyek simulator tersebut. Sebab, sebagai pemimpin tertinggi Polri, Jenderal Timur sudah seharusnya tahu proyek ini sejak awal.

"Proyek itu dikerjakan secara benar atau tidak, Kapolri harus tahu," kata Bambang. Dia meminta KPK tak ragu-ragu menelisik peran dan tanggung jawab hingga dugaan keterlibatan Kapolri dalam kasus ini. (IRIB Indonesia/Media Indonesia/Tempo)

DPR dan Polisi Ingin Lucuti KPK



Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirisaukan banyak pihak, terutama para koruptor dan kaki tangan mereka. Karena itu, berbagai cara mereka lakukan untuk membonsai dan memereteli kewenangan KPK.

Upaya yang paling ampuh tentu saja dengan mencopot kewenangan-kewenangan substansial lembaga antikorupsi itu dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Undang-undang itu memberi sejumlah keistimewaan sehingga KPK menjadi lembaga superbody. Keistimewaan itulah yang membedakan KPK dengan kepolisian dan kejaksaan.

Di antara kewenangan superbody yang hendak dilucuti dari KPK ialah dalam hal melakukan penuntutan dan penyadapan, serta tidak mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Dalam draf revisi UU No 30 Tahun 2002, DPR mencabut kewenangan-kewenangan itu. Pencabutan itu tentu saja memperlemah KPK dan membuat lembaga itu menjadi ompong dalam memburu para penjahat yang menggarong keuangan negara. Melucuti kewenangan-kewenangan itu sama halnya dengan mencabut nyawa KPK.

Itulah sebabnya Ketua KPK Abraham Samad mengancam mundur sebagai pemimpin KPK jika DPR benar-benar memereteli kewenangan-kewenangan KPK itu. Bagi Abraham Samad, pencopotan kewenangan-kewenangan itu akan menggeser filosofi pemberantasan korupsi sekaligus memperlemah kekuatan KPK dalam men-trigger lembaga-lembaga lainnya.

Pemangkasan kewenangan itu sama saja dengan menyumbat jantung KPK kemudian membiarkan lembaga itu mati perlahan-lahan.

Kita menghargai sikap tegas Abraham Samad. Kita berpendapat, jika hak KPK untuk menyadap dicabut, jika hak KPK melakukan penuntutan dicomot, dan hak KPK tidak mengeluarkan SP3 ditanggalkan, untuk apa lagi KPK ada? Untuk apa lagi KPK hidup? Bukankah lebih baik KPK dibubarkan?

Agenda DPR membonsai KPK mudah dipahami. Parlemen gerah dengan gegap gempita KPK yang main tangkap dan menahan sejumlah wakil rakyat yang diduga terlibat suap dan korupsi. Puluhan anggota DPR telah dibui dan sejumlah lainnya antre menunggu giliran.

Akan tetapi, kita juga prihatin dengan KPK. Semestinya dengan semua kewenangan superbody yang diberikan undang-undang, KPK menjalankan fungsi pamungkas secara maksimal. Jangan sampai semua kewenangan itu menjadi majal dan sia-sia hanya karena KPK mendapat tekanan politik.

Ancaman Mundur Ketua KPK Mendapat Banyak Dukungan

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengancam mundur jika kewenangan lembaga yang dipimpinnya itu dipereteli. Sikap tegas itu pun mendapat dukungan dari banyak kalangan.

Ancaman Samad diungkapkan kepada Media Indonesia dan Metro TV di kediamannya di Rawamangun, Jakarta Timur, Ahad (23/9). "Kalau kewenangan KPK dipereteli oleh DPR, saya lagi berpikir-pikir untuk tidak melanjutkan kepemimpinan saya," tegasnya.

Upaya melemahkan KPK tengah bergulir lewat draf revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam draf itu, kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan, penyadapan, dan tidak mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan akan dicabut.

Pencabutan itu, tandas Abraham, sama saja menggergaji setengah napas KPK dan kemudian mati. Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki mendukung penuh sikap Abraham. Ia mengaku tak habis pikir rencana merevisi UU KPK yang sempat meredup kini kembali mencuat.

"Ini pasti usulan dari koruptor. Sudahlah, memang negeri ini negeri maling. Kalau benar kewenangan KPK dipereteli, lebih baik Samad mundur saja. Kalau perlu, semua pemimpin (KPK) mundur," cetus Teten.

Hal yang sama dilontarkan mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto. "Saya dukung. Daripada dilemahkan, lebih baik KPK dibubarkan saja."

Anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat Ruhut Sitompul juga menentang upaya pelemahan KPK. Menurutnya, KPK harus tetap kuat dalam memerangi korupsi. "Abraham Samad jangan khawatir, rakyat mendukung KPK. Kalau DPR mau aneh-aneh, rakyat siap melawan," tegas Ruhut.

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengatakan DPR harus terus diingatkan agar tidak melemahkan KPK melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

"Niat untuk memperlemah (KPK) tentu tidak akan pernah berhenti, karena itu kita mesti terus mengingatkan agar hal itu tidak dilakukan," kata Jimly melalui pesan singkat yang diterima, Jakarta, Senin (24/9).

Mengenai pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang mengancam mundur jika KPK diperlemah melalui peniadaan penyadapan dan penuntutan seperti dalam draf RUU KPK, Jimly setuju dengan hal itu.

"Ya, bila perlu semuanya saja mundur sekalian. Tapi itu kan baru kalau benar-benar jadi lemah, mudah-mudahan tidak begitu," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.

Jangan Biarkan KPK Dikebiri

Sekali lagi, politikus Senayan ngotot mengurangi wewenang KPK. Mereka sudah menyiapkan draf rancangan undang-undang yang mempreteli satu per satu keistimewaan lembaga ini. Jika manuver DPR ini berhasil, hampir dapat dipastikan perang terhadap korupsi akan reda.

Para politikus mengusulkan agar penyadapan harus dengan izin tertulis ketua pengadilan negeri. Sungguh usul yang tidak masuk akal. Dengan proses yang berbelit-belit ini, risiko bocor pun sangat besar. Padahal sebagian besar kasus korupsi terbongkar melalui penyadapan. Lagi pula, sulit membayangkan ketua pengadilan memberi izin bila targetnya, misalnya, hakim di bawah koordinasinya.

Dewan juga ingin memangkas fungsi penuntutan komisi antikorupsi. Mereka mengusulkan agar tugas KPK berhenti pada penyelidikan dan penyidikan. Tahap berikutnya, yaitu menuntut tersangka, harus diserahkan ke kejaksaan. Usul ini lagi-lagi tak masuk akal. Wewenang penuntutan justru merupakan kekuatan komisi antikorupsi. Dewan seolah lupa bahwa KPK lahir dan dibekali kewenangan penuntutan untuk mengatasi lemahnya penuntutan terhadap koruptor oleh kejaksaan.

Masih ada beberapa usul lain yang bersemangat serupa. Misalnya, usul agar komisi antikorupsi diberi wewenang menghentikan penyidikan. Sulit membayangkan bila KPK memiliki kewenangan ini. Para koruptor akan berusaha keras dengan berbagai cara menekan komisi antikorupsi ini agar menghentikan penyidikan kasusnya. Inilah yang sudah terjadi pada lembaga kepolisian dan kejaksaan.

Bukan kali ini saja politikus Senayan berusaha mempreteli wewenang komisi antikorupsi. Berbagai upaya melalui jalur legislasi maupun nonlegislasi mereka lakukan untuk menekan KPK. Bukan hanya Dewan, pihak lain yang merasa terancam oleh komisi antikorupsi pun melakukan hal yang sama. Sampai sekarang setidaknya sudah ada 15 kali upaya melumpuhkan komisi antikorupsi, baik melalui legislasi maupun kriminalisasi. Dalam legislasi, 13 kali uji materi diajukan, 11 di antaranya mengancam langsung keberadaan KPK.

Ancaman yang datang dari Dewan kali ini tergolong ancaman langsung dan jauh lebih serius dari upaya sebelumnya. Sekarang, draf revisi sudah masuk Badan Legislasi. Memang masih ada kemungkinan draf direvisi dan dikembalikan lagi ke Komisi Hukum. Tapi, dalam pembahasan, mayoritas anggota komisi ini tak menunjukkan keberatan atas substansi revisi. Pembahasan di Badan Legislasi pun biasanya lebih menyangkut hal teknis. Misalnya, sinkronisasi rancangan itu dengan undang-undang lain. Ini berarti, jika substansi revisi dianggap sudah layak, draf itu akan masuk tahap pembahasan bersama pemerintah. (IRIB Indonesia/Media Indonesia/Tempo)

0 comments to "Ketika Polri Menebar Kebohongan Publik : DPR dan Polisi Ingin Lucuti KPK"

Leave a comment