Perang KPK-Polri: Titik Balik Pemberantasan Korupsi
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilanda suasana mencekam pada Jumat (5/10/2012) malam hingga Sabtu dini hari. Puluhan polisi berpakaian preman terlihat berlalu-lalang di markas pemburu koruptor itu. Dua mobil pun terparkir tepat di gedung KPK. Beberapa pria berpakaian polisi juga berdiri di sudut-sudut sekitar kantor KPK.
Mereka 'menyerbu' KPK setelah Djoko Susilo, seorang Jenderal Polisi mantan pimpinan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, diperiksa terkait kasus Simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Para anggota Polda Bengkulu itu hendak menjemput paksa penyidik Kepolisian RI yang memilih bertahan di KPK.
Di antara para penyidik itu, ada nama Novel Baswedan yang tengah diincar oleh para perwira Polri. Mantan Kasatserse di Polda Bengkulu itu dituding punya kesalahan masa lalu, sehingga harus dicokok untuk mempertanggung jawabkan perpuatannya. Ia dituduh melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian warga di Bengkulu.
Anehnya, kejadian tersebut berlangsung pada 2004. "Mereka cari-cari kesalahan masa lalu Kompol Novel, penyidik utama kasus Korlantas. Ini kriminalisasi penyidik KPK," tutur Bambang Wijanarko, wakil ketua KPK dalam jumpa pers di gedung KPK pada Sabtu (6/10/2012).
Novel adalah penyidik utama dan sentral dalam kasus simulator SIM. Ia dianggap sebagai panglimanya para penyidik KPK. Dalam keributan di KPK Jumat malam, Novel menjadi target utama penjemputan paksa oleh petugas polisi.
Jika presiden RI tidak mau turun tangan, maka rakyatlah yang bergerak dalam aksi melawan 'para korupor'. Selamatkan KPK!
Kejanggalan Kasus Kompol Novel
Presiden harus segera turun tangan untuk menyelamatkan institusi Kepolisian dari tindakan pimpinan Polri terkait permasalahannya dengan KPK. Karena polemik Polri dengan KPK akan yang menggerus kepercayaan publik (public trust).
"Presiden wajib bertindak dan tidak menunda-nunda untuk bertindak. Hal ini karena setiap detik gerusan kepercayaan publik terus menurun tanpa dapat dibendung," ujar Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Hikmahanto Juwana dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Ahad (7/10).
Menurutnya, pasca keinginan Polda Bengkulu untuk membawa penyidik KPK Kompol Novel Baswedan, pers sangat aktif mencari informasi terkait sangkaan atas Novel. Pers seolah ingin membuktikan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Polda Bengkulu.
Namun hingga kini, lanjut Hikmahanto, Polda Bengkulu belum menyampaikan siapa pelapor Novel yang menjadi alasan untuk mereka bergerak. Di saat bersamaan pers sudah melakukan investigasi lapangan atas keluarga korban di Bengkulu. Sejauh ini belum ada yang mengaku sebagai pelapor.
"Polda Bengkulu telah menyampaikan kepada publik foto di mana peluru yang mengenai korban, namun tidak ada foto yang memperlihatkan Kompol Novel Baswedan melakukan penembakan. Bahkan menghadirkan saksi terkait hal tersebut. Foto atas korban yang terkena peluru yang disampaikan oleh Polda tidak menjawab dan menjadi bukti bahwa Kompol Novel yang melakukan penembakan," katanya.
Menurut Hikmahanto, tindakan sama dilakukan oleh Polri ketika mengargumentasikan Bibit Samad Rianto mantan Komisioner KPK menerima suap dari Ari Muladi. Dengan petunjuk adanya mobil KPK yang terekam dalam CCTV masuk ke Mal Bellagio seolah Bibit berada dalam mobil tersebut dan menerima uang suap.
"Saat ini Polri belum menjawab secara tuntas sejumlah pertanyaan masyarakat. Semisal mengapa waktu proses hukum atas Kompol Novel baru dilakukan sekarang, 8 tahun setelah kejadian, dan bertepatan dengan proses hukum Jenderal DS? Mengapa Polri merekomendasikan Kompol Novel ke KPK bila tahu ia terlibat dalam tindak kriminal? Bahkan mengapa Kompol Novel bisa naik pangkat beberapa kali?" cetusnya.
Semua pertanyaan ini, lanjut dia, belum terjawab dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang di Polri. Bahkan sejumlah jawaban justru menimbulkan pertanyaan baru dengan sejumlah kecurigaan. Sehingga kecurigaan publikpun semakin menggunung. Akibatnya kepercayaan publik terhadap institusi Polri terdampak secara negatif.
Hikmahanto mencontohkan, dalam kasus Cicak Vs Buaya, Presiden akhirnya turun tangan ketika kepercayaan publik terhadap Polri menurun. Presiden membentuk Tim 8 untuk melakukan verifikasi atas berbagai kecurigaan terhadap Polri saat itu.
Campur tangan Presiden saat itu, menurutnya, bukan dalam rangka hendak mengintervensi apa yang sedang terjadi, melainkan upaya untuk menyelamatkan institusi kepolisian dari kebijakan pimpinan Polri yang terus menggerus kepercayaan publik.
"Oleh karenanya saat ini kalaupun ada campur tangan Presiden maka campur tangan tersebut dalam rangka menyelematkan institusi Kepolisian. Jangan sampai Presiden tidak dapat mengendalikan situasi dan harus membentuk tim verifikasi kembali seperti kasus Cicak Buaya. Kearifan Presiden saat ini benar-benar dibutuhkan," tutur Hikmahanto.
CiCaK Tuntut SBY Copot Kapolri
Elemen masyarakat yang menamakan diri Cinta Indonesia Cinta KPK alias CiCaK menagih komitmen Presiden SBY dalam upaya pemberantasan korupsi. Mereka menuntut SBY menunjukkan sikap dan kepemimpinannya dengan memerintahkan Polri untuk tidak melakukan pembangkangan hukum dengan menyerahkan penanganan kasus simulator kepada KPK.
Dalam pernyataan tertulis CiCaK yang dimotori Usman Hamid, CiCaK juga meminta SBY memerintahkan Polri untuk menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap penyidik KPK beserta keluarganya. "Ketiga, mencopot Kapolri Timur Pradopo beserta jajarannya karena melakukan pembangkangan hukum dan keempat menindak tegas pelaku kriminalisasi pada penyidik KPK," tulis CiCaK.
CiCaK menulis, pada 2012 ini, kerja KPK melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia menemukan salah satu ujian terberatnya. Sejarah mencatat bahwa serangan balik koruptor ke KPK mulai berlangsung sejak 2009 melalui kriminalisasi pimpinan KPK Bibit S. Rianto dan Chandra M.Hamzah, hingga kemudian revisi UU KPK yang isinya serba menumpulkan wewenang KPK. Namun, kasus simulator Korlantas Polri yang diusut KPK ternyata membuat Polri sebagai sesama aparat penegak hukum melakukan langkah-langkah yang merugikan bagi pemberantasan korupsi sendiri.
"Meski tak pernah diakui oleh Polri, penarikan 20 orang penyidik Polri di KPK menimbulkan pertanyaan; mengapa penarikan tersebut saat KPK sedang mengusut kasus besar di kepolisian? Puncaknya adalah Jumat malam, aparat Polri menyambangi KPK dan bermaksud menahan penyidik KPK Novel Baswedan dengan tujuan kriminalisasi, seolah mengulangi kasus Cicak-Buaya 2009," ungkapnya.
CiCaK berpendapat, namun dari semua hal ini sebetulnya yang menimbulkan kemarahan masyarakat, selain kepongahan Polri bila mencermati pernyataan-pernyataan pejabatnya, adalah keberadaan Presiden SBY selama gonjang-ganjing kasus ini. Masyarakat membutuhkan kepemimpinan dan ketegasan dari Presiden akan dibawa kemana pemberantasan korupsi di Indonesia. "Sikap Presiden SBY dalam kasus simulator yang membatasi kewenangannya sendiri seolah memberi kesan dirinya memberi restu atas pembangkangan hukum yang dilakukan Polri," kritik CiCaK.
"Tuntutan kami adalah kehendak warga biasa yang menuntut komitmen penyelenggaraan negara yang bersih. Indonesia ini negara hukum dan komitmen ini harus dipegang seutuh-utuhnya secara jujur oleh seluruh warganya, terutama oleh aparat penegak hukum," dorong CiCaK. (IRIB Indonesia/Gatra/Detik)
Cara Polri Meneror KPK
Tindakan Kepolisian yang menjemput paksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kompol Novel Baswedan telah menghancurkan citra lembaga itu sendiri. Apalagi, penjemputan paksa itu dilakukan di tengah memanasnya hubungan KPK dan Kepolisian.
"Di tengah kemelut penarikan penyidik, lalu dimunculkan cara-cara seperti itu. Polisi menghancurkan citranya sendiri. Apapun alasannya, tindakan seperti semalam seharusnya tidak dilakukan. Ada cara lain yang lebih elegan," ujar Mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto dalam perbincangan dengan Media Indonesia, Sabtu (6/10).
Endriartono pernah memimpin Tim Analisis dan Advokasi KPK. Meskipun tidak ikut menyambangi KPK pada Sabtu (6/10) dini hari tadi, Endriartono mengaku terus berkomunikasi dengan para pimpinan KPK dan mengikuti perkembangan di sana.
Ia mempertanyakan, kasus Kompol Novel yang baru diproses saat ini oleh Kepolisian. "Kasus ini delapan tahun yang lalu. Tiba-tiba sekarang baru dituduhkan bersamaan dengan kisruh penarikan penyidik Polri di KPK."
Kalaupun Kompol Novel harus diproses, kata dia, seharusnya Kepolisian bisa melakukan dengan cara-cara yang lebih elegan sesuai prosedur. Hal itu juga untuk menjaga hubungan antara kedua institusi. Ia meminta kepolisian dapat menjelaskan dengan baik ke KPK untuk meredakan ketegangan akibat peristiwa semalam.
"Bisa bikin surat ke KPK, itu lebih bagus. Jelaskan dengan baik bahwa ada kesalahan prosedur, dan ada niatan memperbaiki," usul Endiartono.
Di sisi lain, KPK juga diminta untuk tidak menahan-nahan Kompol Novel. Kalaupun Novel lebih memilih untuk mengabdikan diri di KPK, harus dilakukan dengan mengikuti prosedur yang ada di Kepolisian terlebih dahulu.
"Novel harus datang melapor (ke Kepolisian). Menyatakan bahwa dia menginginkan jadi penyidik di KPK. Itu kan ada prosesnya, semua bisa dilakukan elegan. KPK harus mendorong itu (Novel menjalani prosedur). Kedua belah pihak harus lebih dewasa menyelesaikan masalah," tutupnya.
Bambang: Ini Bentuk Kriminalisasi KPK
Pimpinan KPK menjelaskan kasus Novel Baswedan yang menjadi alasan Polri untuk menangkap penyidik andalan KPK itu.
Pimpinan KPK Bambang Widjojanto, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Sabtu (6/10) dini hari, mengatakan kasus yang dituduhkan ke Novel adalah kasus penganiayaan berat tahun 2004 lalu.
Menurut Bambang Widjojanto, peristiwa tahun 2004 itu terjadi saat Novel menjabat sebagai Kasat Serse di Bengkulu periode 1999-2005. Saat itu, anak buah Novel melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan salah satu warga meninggal dunia. "Tindakan itu bukan dilakukan oleh saudara Novel," ujar Bambang.
Saat itu, Kapolres setempat meminta Novel untuk menghubungi keluarga korban menjelaskan duduk persoalan. Bahkan terkait kasus ini, polisi juga sudah menggelar sidang kode etik.
"Novel mengambil alih tanggung jawab anak buahnya dan sudah kena teguran keras. (Kasus itu) sudah selesai tahun 2004," tegas Bambang.
Namun, Jumat sore tadi Direktur Kriminal Umum Polda Bengkulu, Kombes Dedy Irianto bersama sejumlah polisi lainnya, mendatangi KPK. Mereka membawa surat penangkapan dan penggeledahan untuk Novel. Lucunya, surat itu belum ada nomornya dan juga belum ada persetujuan dari pengadilan.
"Hari ini datang aparat dari Polres Bengkulu. Dedi Irianto, membawa surat penangkapan dan penggeledahan untuk Novel terkait kasus di Bengkulu itu," kata Bambang.
Selain itu, tambah Bambang, rumah Novel di Kelapa Gading juga dipermasalahkan. "Didatangi aparat untuk menanyakan asal usul rumahnya. Ini juga terjadi pada beberapa penyidik lain," kata Bambang.
Terkait dengan itu, Bambang menegaskan KPK akan melindungi Novel dan semua penyidik KPK serta elemen-elemen KPK.
"Inilah bagian dari tindakan kriminalisasi terhadap KPK. Kami mengharapkan dan menghimbau supaya tindakan-tindakan seperti ini tidak lagi dilakukan. Cukup sudah itu terjadi di masa Orde Baru," tegas Bambang.
KPK menduga tuduhan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap penyidiknya. Sebab, Novel adalah penyidik berbagai kasus besar korupsi, seperti kasus korupsi simulator kemudi. Kemarin, Novel juga yang memeriksa tersangka simulator kemudi, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Polri Semakin Diajuhi Publik
Pakar hukum Universitas Indonesia yang juga mantan Anggota Tim 8, Hikmahanto Juwana menuding pimpinan Polri telah membawa institusi kepolisian semakin berjarak dan dijauhi publik.
"Semalam ada upaya menciduk penyidiknya di KPK Kompol Novel Baswedan atas dugaan kejahatan yang dilakukan pada 2004," kata Hikmahanto di Jakarta, Sabtu (6/10).
Menurut Hikmahanto, pimpinan Polri tidak sensitif ketika mengambil kebijakan tersebut. Pimpinan Polri menganggap publik bodoh dan akan mudah mengikuti alur argumentasi yang diberikan oleh Polda Bengkulu berikut buktinya.
"Bahkan pimpinan Polri tidak memiliki sensitifitas pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah dihadang oleh banyak masalah," tegas Hikmahanto.
Seharusnya, imbuhnya, pimpinan Polri tidak menambah pekerjaan Presiden SBY tetapi justru meringankan beban beliau.
"Publik saat ini sudah sangat cerdas dimana ketika mereka mendukung KPK sebenarnya yang mereka dukung bukanlah institusinya melainkan upaya melawan korupsi," jelas Hikmahanto.
Publik juga paham mereka tidak bermusuhan dengan Polri sebagai institusi karena institusi Polri sampai kiamat akan tetap eksis dan dibutuhkan untuk ketertiban.
"Saat ini, yang dilawan publik adalah pengambil kebijakan di tubuh Polri yang tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi dan justru melakukan pelemahan. Bahkan publik menduga ada upaya untuk melindungi individu-individu tertentu di tubuh Polri," papar Hikmahanto.
Presiden, tuntut Hikmahanto, harus segera mengambil sikap terhadap sejumlah pimpinan Polri berikut kebijakan mereka sebelum terjadi eskalasi kemarahan publik.
"Saya sebagai pribadi yang mantan anggota Tim 8 dengan ini menolak dan tidak bersedia untuk diminta menjadi anggota sebuah tim untuk melakukan verifikasi dugaan kejahatan yang dilakukan oleh penyidik KPK, bila Presiden SBY membentuk tim semacam itu," tegas Hikmahanto.
Di pihak lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mendapatkan laporan ihwal ketegangan di kantor KPK akibat kedatangan sejumlah anggota kepolisian. "Apa yang terjadi semalam juga dipantau Presiden," kata juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, saat dihubungi.
Atas laporan tersebut, menurut Julian, Presiden SBY telah memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto agar menyelesaikan dengan baik apa yang tengah terjadi. "Menko Polhukam diperintahkannya agar menangani situasi tersebut secepatnya," ujar dia.
Dikriminalisasi, KPK Tak Gentar Usut Simulator SIM
Meskipun para penyidiknya dikriminalisasi, Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan tak akan mundur untuk mengusut kasus korupsi simulator alat uji surat izin mengemudi. "Kami akan tetap mengusutnya sampai tuntas," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto.
Dalam kasus simulator SIM, KPK menetapkan dua jenderal polisi aktif sebagai tersangka, yakni Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal Didik Purnomo. Ada lagi dua orang dari swasta yang dijadikan tersangka, yaitu Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S Bambang.
Dalam kasus serupa, Polri berkukuh ikut menyidiknya dengan menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Didik Purnomo, Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan, Komisaris Legimo, Budi Susanto, dan Sukotjo Bambang.
Gara-gara kasus ini, hubungan antara KPK dan Polri memanas. Sebab, kedua lembaga sama-sama berkukuh mengusut proyek berbiaya Rp 196 miliar tersebut.
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan komisi antikorupsi itu akan mengusut kasus tersebut sampai tuntas kepada siapa pun yang terlibat. (IRIB Indonesia/Antara/Media Indonesia/Tempo)
Jakarta – KabarNet: Desakan dari masyarakat agar tersangka kasus Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo segera ditahan oleh KPK semakin meluas. Ketua KPK, Abraham Samad menegaskan, hari ini siap menandatangani Surat Penahanan (SP) atas Djoko Susilo. Pemanggilan oleh KPK terhadap Djoko Susilo dijadwalkan hari ini Jumat (5/10). Dan untuk itu Samad menyatakan kesiapannya untuk mengeluarkan SP tersebut.
Samad secara tegas menyatakan akan menahan langsung Jenderal bintang dua, Irjen Djoko Susilo saat pemeriksaan pertama. “Saya tetap tidak akan bergerak sedikit pun di kantor saya lantai 3 untuk menunggu penyidik dan penyelidik di lantai 7 untuk menyiapkan surat penahanan (Djoko Susilo),” kata Samad kepada wartawan di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (4/10) kemarin.
Pernyataan Samad ini merujuk pada desakan elemen aktivis berbaju hitam yang mengatasnamakan Warga Pendukung Pemberantasan Korupsi yang menginginkan Djoko Susilo ditahan. Sejumlah aktivis anti korupsi ini telah mengumpulkan petisi sebanyak 6609 tandatangan. Upaya ini dilakukan guna untuk mendukung KPK dari terjangan pemandulan lembaga anti korupsi itu.
Audiensi yang diterima langsung oleh Ketua KPK Abraham Samad bersama Wakil Ketua KPK Busyro Muqaddas ini dihadiri oleh beberapa aktivis seperti Anita Wahid, Benny Susetyo, Bambang Widodo Umar, Asep Rahmat Fajar, Effendi Gazali, Radar Panca Dahana, Romo Benny, Eep Saepullah, Tama ICW, Tamrin Amal Tumagola, dan mahasiswa.
Mereka secara serentak menyatakan untuk mendukung KPK menangani kasus simulator SIM dan menuntut kepolisian untuk menyerahkan proses hukum kasus ini ke KPK. Kedua, mereka mendukung KPK melakukan pembersihan Mafia Jenderal di Kepolisian. Ketiga, mendukung KPK untuk mengangkat penyidik sendiri. “Mendesak dengan sangat agar KPK segera menangkap tersangka Jenderal Polisi Djoko Susilo sebagai langkah awal untuk membersihkan Polri,” kata Anita Wahid.
Kemudian, peserta forum tersebut mendesak Abraham Samad untuk memberikan pernyataan resmi mengenai tuntutan elemen masyarakat ini. Kembali, secara tegas Samad menyatakan tak akan mundur sedikit pun dari sekian banyak kasus yang ditangani, terutama kasus simulator SIM. “Maka dari itu saya tidak akan mundur dari kursi saya di lantai 3,” tuntas Abraham Samad.
Sebelumnya pada (1/10) lalu, Abraham menjelaskan kalau opsi memanggil paksa adalah pilihan yang terakhir. Namun sebelumnya yang bersangkutan akan dilakukan pemanggilan ulang terlebih dahulu. “Status tersangka dipanggil berulang-ulang dan tidak mengindahkan panggilan, maka upaya terakhir yang dilakukan adalah upaya paksa,” lanjutnya
Di lain kesempatan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas yakin bahwa Djoko Susilo akan datang pada pemanggilan kedua oleh KPK hari ini. Namun, KPK sendiri belum menerima konfirmasi dari pihak pengacara Djoko Susilo tentang kepastian kedatangan Djoko.
Menurut penasihat hukum Djoko, Hotma Sitompul, tersangka kasus dugaan korupsi proyek Simulator SIM itu akan hadir pada panggilan kedua, hari ini. Uniknya, janji yang diucapkan Djoko untuk hadir ke KPK karena takut mendengar ancaman yang diungkapkan oleh Ketua KPK Abraham Samad yang akan menjemput paksa jika tidak memenuhi panggilan. ”Sekarang kalau ada ancaman akan dipanggil paksa, siapa yang tidak takut,” papar Hotma.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari KPK, penyidik masih berkutat di berkas Irjen Djoko, terutama untuk perhitungan kerugian negara yang sampai kemarin belum rampung. Dan bila hari ini, penghitungan kerugian negara itu belum selesai dilakukan, Irjen Djoko akan tetap diperbolehkan pulang. Dengan demikian, pemeriksaan hari ini bisa jadi hanya sebagai pemanasan sebelum akhirnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang berujung pada penahanan. [KbrNet/DTC/Slm]
Jakarta – KabarNet: Perseteruan antara Markas Besar Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi makin meruncing. Setelah KPK memeriksa tersangka kasus simulator kemudi Inspektur Jenderal Djoko Susilo, malam tadi, personel Mabes Polri bermaksud menangkap seorang penyidik KPK bernama Novel Baswedan. Ketika dimintai konfirmasi, Novel membenarkan bahwa ia hendak ditangkap. “Sudah ada polisi di bawah,” katanya, Jumat malam, 5 Oktober 2012.
Puluhan personel kepolisian menyebar di depan kantor KPK. Pada mulanya, hanya tiga orang berpakaian lengkap yang berada di ruangan steril KPK. Namun, jumlah polisi bertambah banyak setelah puluhan aparat berpakaian batik dan preman berusaha meringsek masuk, ada sejumlah yang berseragam Provos.
Polisi yang berada di lobi KPK adalah personel Provos dari Mabes Polri dan Kepolisian Daerah Bengkulu. Mereka membawa surat penangkapan atas nama Novel dengan tuduhan pernah melakukan pelanggaran saat berdinas di Polres Bengkulu. Sekitar enam polisi yang datang ke KPK memang berasal dari Polda Bengkulu. Namun, ketika dimintai konfirmasi, mereka memilih bungkam. “Saya tidak tahu,” kata salah seorang di antara mereka.
Diketahui, Novel Baswedan adalah salah seorang penyidik terbaik di KPK. Novel yang berpangkat kompol itu juga ikut menangani kasus dugaan korupsi di Korlantas Mabes Polri. Bahkan saat penggeledahan, Novel ikut ‘mengobrak-abrik’ Korlantas Mabes Polri.
Sementara itu, Menko Polhukam Djoko Suyanto setelah mendapat kabar soal kedatangan belasan anggota Provost Mabes Polri serta polisi berseragam preman di KPK. Djoko Suyanto pun sudah meminta Kapolri untuk menarik kembali Provost tersebut.
Djoko mengaku sudah melakukan komunikasi langsung dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo terkait kedatangan provost ke KPK. Kepada Djoko, Kapolri menegaskan tidak pernah memerintahkan kedatangan provost. “Saya sudah komunikasikan dengan Kapolri. Beliau bilang tidak ada perintah itu. Saya sudah minta untuk ditarik,” kata Djoko, Jumat (5/10/2012) pukul 23.15 WIB.
Alasan Menangkap Kompol Novel Upaya penangkapan terhadap seorang penyidik di KPK, Kompol Novel, dengan tuduhan pernah melakukan pelanggaran saat berdinas di Polres Bengkulu. Novel diduga melakukan penganiayaan berat terhadap tersangka pencuri sarang burung walet di Bengkulu. Anehnya, dugaan penganiayaan berat itu dilakukan Kompol Novel pada tahun 2004. Menurut Boy, penangkapan baru dilakukan saat ini karena korbannya baru melapor sekitar sebulan lalu.
Hal itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar di Jakarta, Jumat (5/10/2012) malam. “Kompol Novel mau ditangkap karena terkait dugaan penganiayaan berat terhadap pencuri sarang burung walet di Bengkulu,” kata Boy, seperti dikutip kompas.com.
Penganiayaan berat yang dimaksud, penembakan pada kaki tersangka pencuri sarang burung walet itu, lanjut Boy, terjadi pada tahun 2004. “Waktu itu, Kompol Novel menjadi Kasatreskrim di Polda Bengkulu,” katanya. [KbrNet/Slm]
Jakarta – KabarNet: Demi melindungi penyidiknya, Kompol Novel Baswedan, pimpinan KPK pasang badan dari upaya penjemputan paksa oleh petugas Polri. Sepak terjang sang penyidik itu memang cukup mengesankan dalam menjalankan tugasnya. Novel Baswedan merupakan salah satu penyidik dengan kategori par excellence alias terbaik di jajarannya. Novel yang berpangkat komisaris polisi ini hampir selalu menjadi andalan Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menangani kasus-kasus besar.
Dalam kasus korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, Novel merupakan salah satu pimpinan satuan tugasnya. Biasanya, KPK selalu membentuk satuan tugas yang terdiri dari beberapa penyidik setiap kali menangani sebuah kasus korupsi.
Nama Novel sebenarnya tidak begitu asing, setidaknya bagi para majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang pernah beberapa kali akrab dengan namanya. Para kuasa hukum pekara yang ditangani KPK, pernah meminta penyidik dihadirkan, dan Novel setidaknya dua kali hadir.
Novel juga beberapa kali terlibat dalam upaya penggeledahan atau tangkap tangan. Dia merupakan penyidik yang terlibat dalam penangkapan bupati Buol Amran Batalipu, yang mana proses operasi itu diwarnai dengan penghadangan oleh puluhan pendukung Amran. Novel yang saat itu mengendarai motor untuk melakukan pengejaran, bahkan sempat akan ditabrak oleh romobongan Amran. Beruntung dia bisa menghindar, sedangkan motornya ringsek.
Tak hanya itu, Novel adalah penyidik KPK yang dengan keras menghadang upaya penghentian penggeledahan KPK di markas Korlantas bulan Juli lalu. Ketika itu Novel menunjukkan surat perintah pengadilan yang dimiliki KPK untuk menggeledah markas Korlantas, ketika ada petugas kepolisian dengan pangkat yang jauh lebih tinggi darinya yang sempat mempertanyakan izin KPK menggeledah. Ketika itu Novel menunjukkan surat perintah pengadilan yang dimiliki KPK untuk menggeledah markas Korlantas. Perdebatan pun terjadi. Ada informasi yang menyebutkan sejak itu, nama Novel masuk dalam daftar incaran.
Pada Jumat kemarin (05/10), Novel adalah salah satu penyidik KPK yang melakukan pemeriksaan langsung kepada Irjen Djoko Susilo, tersangka kasus Simulator SIM. Seorang perwira menengah berpangkat Kompol memeriksa jenderal aktif bintang dua. Atas adegan inilah, hubungan KPK – Polri kembali retak.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengakui, Novel adalah salah satu penyidik dengan kategori par excellence yang dimiliki KPK. Suatu saat Johan pernah mengungkapkan kepada sejumlah media, ingin mempublikasikan sosok Novel karena kemampuannya sebagai penyidik yang selalu diandalkan KPK dalam menuntaskan kasus korupsi skala besar. Novel kini tengah menghadapi ancaman penangkapan dari instansi asalnya. Dia dituduh terlibat kasus penganiayaan berat semasa bertugas sebagai polisi di Bengkulu delapan tahun yang lalu.
Sampai kini belum diketahui, mengapa kasus yang telah lama berlalu dan kabarnya telah selesai secara etik tersebut diangkat kembali untuk menjerat penyidik terbaik KPK ini. Yang jelas, Kompol Novel sampai saat ini adalah penyidik dengan kategori par excellence di KPK, seperti dikutip kompas.com.
Diketahui sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolsian Daerah Bengkulu, Komisaris Besar Dedy Irianto di Mabes Polri menegaskan, Komisaris Polisi Novel Baswedan adalah tersangka dalam kasus penganiayaan berat terhadap enam orang pencuri sarang burung walet. Kasus ini terjadi saat Novel pada tahun 2004 menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polda Bengkulu.
Novel dituding terlibat penembakan enam pencuri sarang burung walet di pinggir Pantai Panjang, Bengkulu. “Enam pencuri sarang burung walet, dibawa ke kantor polisi, diinterogasi, oleh yang bersangkutan kemudian dibawa ke pinggir pantai, di pinggir pantai satu orang diborgol, dijajarkan di situ lalu di tembak,” kata Dedy di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (6/10/2012).
Selanjutnya, keenam orang itu dilarikan ke rumah sakit, dan satu orang akhirnya meninggal dunia. Novel pun lalu terjerat kasus pembunuhan. “Dia yang menembak pada saat itu,” terang Dedy.
Namun, Bambang Widjojanto, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Sabtu dinihari (06/10), menegaskan kembali, bukan Novel yang melakukan penembakan yang dituduhkan tersebut. Namun sebagai Kasat Reskrim, Novel mengambil alih tanggungjawab atas penyimpangan prosedur yang dilakukan anak buahnya.
Menurutnya, kasus yang dikaitkan Kepolisian dengan penyidik KPK, Kompol Novel, sudah selesai pada 2004. Namun, menurutnya, Jumat (5/10/2012) ada seorang yang mengaku Kombes Dedi Iryanto dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Bengkulu membawa surat penangkapan atas nama Novel ke gedung KPK, Kuningan, Jakarta. “Untuk itu dia sudah mendapatkan teguran keras, dan kasus ini sudah selesai pada tahun 2004,” kata Bambang.
Dalam surat penangkapan tersebut Kombes Novel diduga melakukan tindak pidana penganiayaan berat sesuai dengan Pasal 351 Ayat 2 dan 3 KUHP. Bambang menjelaskan, saat Novel bertugas di Polres Bengkulu, ada anak buahnya yang melakukan pelanggaran hukum sehingga menyebakan seseorang tersangka meninggal dunia. Penembakan itu, katanya, tidak dilakukan oleh Novel. Atas tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan anak buah Novel tersebut, lanjutnya, sudah dilakukan sidang kode etik dan Novel sudah mengambil alih tanggung jawab perbuatan anak buahnya itu. “dan (Novel) sudah dikenakan teguran keras,” kata Bambang.
Dia juga mengatakan, KPK tetap melindungi Novel dan penyidiknya yang lain. Novel adalah salah satu pimpinan satuan tugas penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM di KPK. Karena kasus ini sudah dianggap selesai pada 2004.
Seperti diketahui sebelumnya, gedung KPK digeruduk anggota Kepolisian dari Polda Bengkulu dan Metro Jaya. Mereka berniat menangkap Kompol Novel Baswedan atas tuduhan salah tembak yang dilakukan anak buahnya saat bertugas di Bengkulu. Saat itu kejadian, Kompol Novel bertugas sebagai Kasatserse Bengkulu.[KbrNet/Kompas/Slm]
Alasan Polri Tangkap Kompol Novel Dibantah Pihak Korban
Bengkulu – KabarNet: Alasan Bareskrim Polda Bengkulu yang hendak menangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Kompol Novel Baswedan karena desakan pihak keluarga korban. Ternyata, alasan yang disampaikan oleh pihak Bareskrim Polda Bengkulu tersebut dibantah pihak keluarga korban. Keluarga Mulyan Johani, korban penembakan oleh Kompol Novel Baswedan di Kota Bengkulu delapan tahun silam (2004), mengaku tidak pernah mendesak kepolisian untuk kembali membuka kasus tersebut.
Hal itu disampaikan kakak sulung korban penembakan Antony Besmar (41), Sabtu (6/10). Antony menyatakan, dalam beberapa waktu terakhir ini keluarga tidak ada yang mendesak kepolisian untuk mengungkit kasus penembakan adiknya Mulyan Johani atau Aan delapan tahun silam.
“Buat apa repot-repot. Keluarga sudah ikhlas. Kalau saya tidak (mendesak polisi menuntaskan kematian adiknya). Siapa tahu Panca (adik bungsu) atau sanak keluarga yang lain,””…. “Kami tidak pernah melaporkan kasus itu ke Polda Bengkulu, karena sejak 2004 kami sudah menunggu janji polisi untuk mengusut kasus kematian adik kami. Tapi sampai hari ini tidak jelas,” kata Antoni Besmar, kakak kandung Mulyan Johani. Ia mengatakan itu saat dimintai konfirmasi tentang kasus yang menimpa adiknya delapan tahun silam yang dikaitkan dengan peyidik KPK, Novel Baswedan, di kediamannya di Bengkulu, Sabtu (6/10).
Menurut Antoni, pihak keluarga sangat setuju jika kasus itu diusut tuntas sehingga jelas kronologis pembunuhan adiknya itu. Namun, setelah delapan tahun menunggu, baru kini kasus tersebut muncul kembali dan ia mengaku sama sekali tidak pernah mendesak Polda Bengkulu untuk mengusut kasus tersebut. “Kalau mau diusut kami sangat mendukung, tapi jangan sampai keluarga kami dijadikan kambing hitam, karena saat ini Novel sudah menjadi penyidik di KPK, yang juga mengusut korupsi di Polri,” tambahnya. [KbrNet/Ant/MI])
Melirik Hubungan George Soros – Hary Tanoe Sudibyo
Siapa tak kenal George Soros, miliarder Yahudi berkebangsaan Amerika yang pernah mengantar Indonesia bersama sejumlah negara lainnya ke lembah kelam bernama krisis moneter, 1997-1998 silam. Indonesia dibuatnya porak-poranda, yang hingga kini jelas masih terasa. Soros dikenal memiliki kemampuan tinggi dalam berspekulasi di bidang perdagangan mata uang.
Bahkan, pada 1982, dalam waktu singkat Soros berhasil meraup keuntungan 1,2 miliar dolar dalam perdagangan mata uang Poundsterling. Akibatnya, sebagian perekonomian Inggris hancur. Ia pun dijuluki sebagai “Pria Yang Menghancurkan Pound” (The Man Who Broke the Pound).
Siapa pula tak mengenal Hary Tanoe Sudibyo, seorang bos media yang saat ini sedang mencoba peruntungan politik di Partai NasDem. Pria yang akrab disapa HT ini juga dikenal ulung mengelola keuangan. Kendati umurnya masih relatif muda, ia sudah mampu menguasai berbagai sektor penting, utamanya industri media.
Lantas, bagaimana keduanya bisa sehebat itu? Benarkah ada hubungan khusus di antara keduanya? Benarkah HT sengaja dipakai Soros untuk menguasai perekonomian Indonesia?
Info beredar, keduanya memang telah lama menjalin persahabatan. Salah satu indikasi persahabatan itu, Soros punya 15 persen saham di PT Bhakti Investama, milik Hary Tanoe. Perusahaan ini beberapa waktu lalu pernah terseret kasus penyuapan yang diungkap KPK.
Soros juga disebut-sebut berkaitan erat dengan skandal Bank Century. Itu karena Soros memiliki 19 persen saham di Bank CIC, cikal bakal merger Bank Century. Dengan cerdas, Soros lalu merampok kas Indonesia di pasar modal Indonesia.
Itu dia lakukan melalui Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac disatukan menjadi Bank Century. Caranya, Bank CIC melakukan transaksi surat-surat berharga (SSB) fiktif senilai 25 juta dolar AS yang melibatkan Chinkara. Pada 2003, Bank CIC memiliki surat berharga dalam valuta asing sekitar Rp 2 triliun dan US Treasury Strips senilai 185,36 juta dolar AS.
Selanjutnya, Bank Indonesia pada 2004 menyetujui proses merger Bank Pikko dan Bank Danpac ke dalam Bank Century. Robert Tantular menjadi pemegang saham Bank Century bersama Alwarraq Hesyam Talaat dan Rafat Ali Rizvi tanpa fit and proper test sebagai bankir. Paska merger tersebut, Soros dikabarkan lebih banyak berperan di belakang layar, karena Bank Century dianggap sudah mampu dikendalikan Robert Tantular.
Kiprah Soros lainnya adalah pernah terlibat dalam proses tender saham yang dimiliki pemerintah di PT Astra International Tbk. Soros menyusup ke Astra melalui PT Bhakti Investama yang sahamnya dimiliki Quantum Fund, induk perusahaan milik Soros. Nilai investasi Soros saat itu diperkirakan sekitar Rp 203,5 miliar.
Dalam berbagai kebijakan HT, kuat dugaan ada Soros yang setia melindunginya dari belakang layar. Termasuk ketika HT membeli saham Bentoel, SCTV, Astra Internasional, dan PT Artha Graha Investama Sentral (AGIS). Soros memberikan konsultasi agar HT fokus pada bisnis media cetak dan televisi. Alasannya, prospek bisnisnya cukup besar.
Atas saran Soros, Hary Tanoe lantas melepas saham SCTV dan membeli RCTI dari Bimantara, kemudian memborong saham TPI (sekarang MNC TV) dan Global TV. Saham HT lalu melebar ke Music Televisi Indonesia , radio Trijaya dan ARH, Harian Seputar Indonesia dan Tabloid Gennie; Majalah Trust (sekarang Majalah Sindo). Konsep yang ditawarkan Soros adalah dengan menguasai industri media, maka bisnis lain akan terbantu. Termasuk mampu menembus dunia politik. Usai meraup keuntungan dari industri media, Soros-Hary Tanoe lalu membidik pasar telekomunikasi dengan layanan seluler Fren.
Lihat saja, dua presenter Indonesia yakni Rosianna Silalahi (SCTV) dan Putra Nababan (RCTI) pernah mewawancarai dua presiden AS. Rosianna untuk Presiden Bush, sementara Putra untuk Presiden Obama. Ditengarai, keberhasilan dua presenter itu juga tidak terlepas dari jasa Soros.
Sejak awal, Hary Tanoe memang sudah dipersiapkan Yahudi AS untuk menguasai Indonesia. Hal itu ia peroleh saat masih kuliah di Ottawa University, Kanada. Saat itu, HT sudah berpengalaman bermain saham di bursa Toronto.
Soal terjunnya Hary Tanoe ke dunia politik tentu saja bukan karena kebetulan. Meski harus diakui, langkah HT tersebut mendapat perlawanan ‘kecil’ dari kaum nasionalis. Bukan kebetulan juga ketika HT menjanjikan modal Rp 5 miliar bagi kader NasDem yang ingin bertarung di Pemilu Legislatif 2014 nanti.
Kepiawaian HT menggoreng pundi-pundi Keluarga Cendana (Titik Prabowo dan Bambang Soeharto) melalui PT Bhakti Investama juga berasal dari Soros. Kesimpulannya, Soros- Hary Tanoe memang memiliki kisah yang mirip. Atau boleh disebut, Hary Tanoe Sudibyo adalah anak didik sang miliarder Soros. [KbrNet/Monitor]
Ada penyataan tolol dari anggota wakil rakyat yang terhormat. Pernyataan itu terlontar saat media rame-rame membahas soal kunjungan kerja anggota dewan ke luar negeri, yang katanya studi banding, yang menghabiskan uang rakyat sampe ratusan milyar. Bahkan anggaran perjalanan luar negeri itu menempati posisi kedua besarnya setelah lembaga kepresidenan. Sebuah angka yang fantastik, 170.351.584.00 (Kompas, 20/9/2010). Tololnya lagi, anggota dewan itu malah membandingkan dengan kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya yang juga biasa pergi ke luar negeri. Katanya, “Kami setahun paling dua kali, kok ribut. Itu kan aneh,”
Menurut seorang anggota dewan itu, setiap anggota DPR dalam satu tahun rata-rata juga hanya dua kali studi banding ke luar negeri. Pada saat yang sama, anggota lembaga eksekutif dan yudikatif dapat lebih sering pergi ke luar negeri. ”Direksi badan usaha milik negara setiap dua bulan bisa ke luar negeri dengan biaya negara.”
Lebih tolol lagi ada yang menuding kalau ada pihak yang sengaja mengkritik DPR untuk membuat buruk citra lembaga itu. Bahkan menuduh media telah berat sebelah dalam memberitakan studi banding DPR. Mereka juga tidak terima jika kunjungan kerja ke luar negeri, terus dipersoalkan. Menurut mereka, tidak hanya DPR yang sering pergi. Lembaga pemerintah juga sering melakukan itu, termasuk lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Katanya lagi, “Sebenarnya itu tidak hanya DPR (yang ke luar negeri), pemerintah, dan KPK juga sering perjalanan ke luar negeri ya. Terus kemudian dalam negeri dan kementerian luar negeri juga.” Betapa tololnya pernyataan-pernyataan ini.
Sebagai seorang rakyat yang ikut milih mereka mewakili saya di lembaga dewan itu, saya jadi mikir, kok mereka malah mencari-cari perbandingan pada lembaga lain. Seharusnya mereka yang mengontrol semua lembaga pemerintahan itu, termasuk KPK maupun BUMN, yang kata mereka itu juga suka berkunjung ke luar. Pernyataan itu kalau dipelintir sama saja jadi seperti ini, “Di lembaga lain korupsi kenapa kami juga enggak”. Tolol-kan! __________
Impotensi Wakil Rakyat
Kalau dianalogikan, wakil rakyat itu sudah impoten, nafsu besar tenaga kurang. Namanya analogi jangan diartikan secara eksplisit seperti dalam pengertian sehari-hari, karena saya yakin mereka tak impoten kalau menyangkut urusan selangkangan. Uups, maaf bukan menyinggung, tulisan ini jangan diartikan lain. Tulisan ini cuma opini saya tentang tingkah laku wakil rakyat yang saya amati lewat berita media massa dan pembicaraan para pengamat, ahli politik, anti korupsi maupun pakar pemerintahan dalam wawancara mereka di stasiun-stasiun televisi akhir-akhir ini.
Analogi impotensi ini saya ambil karena wakil rakyat tak punya kekuatan atau kejantanan dan tak bernafsu lagi untuk membela kepentingan rakyat. Fakta ini bisa dilihat dari makin tak bernafsunya mereka untuk hadir dalam sidang-sidang yang membahas soal kepentingan rakyat. Andaipun hadir mereka lebih sibuk Blackberry-an atau manggut-manggut sambil memejamkan matanya, entah tidur atau menyimak cuma dia yang tahu. Ironisnya, mereka lebih sibuk membenahi hal-hal yang menyangkut kepentingan dan kemapanan mereka.
Pembangunan gedung DPR yang super mewah merupakan salah satu ironinya. Saya jadi mikir, meski pembangunan itu dikaji ulang, tapi pelaksanaannya tetap akan berjalan. Heran ya, ibukota mau dipindah dan Jakarta yang mau amblas karena banyak bangunan dan jalan yang tak mengkaji amdal, kok bangunan itu masih mau dilanjutkan terus. Apa enggak takut amblas seperti Jalan RE Martadinata di Priok kemarin.
Ironi lain dari wakil rakyat adalah tentang studi banding mereka ke luar negeri, yang menghabiskan uang rakyat sampai ratusan milyar. Seorang wakil rakyat beralasan kalau tujuan studi banding atau kunjungan ke luar negeri itu agar DPR mendapatkan referensi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan legislasi. “Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, DPR harus melakukan kunjungan kerja,” demikian katanya. Pernyataan ini buat saya manggut-manggut, tapi bukan karena mengerti, cuma tak habis pikir. Kalau cuma studi banding, kunjungan atau apalah namanya, kenapa enggak pakai teknologi teleconference aja. Lewat teknologi ini, wakil rakyat di Perancis, Belanda, hingga Amerika Serikat bisa ngomong langsung dengan wakil rakyat kita di Indonesia. Toh sama saja, mereka bisa tetap tatap muka secara langsung tanpa harus berkunjung ke negara yang bersangkutan. Kalau mau melihat contoh undang-undang mereka tinggal diemail atau dikirim by post, simpelkan Pak. Benar apa kata pepatah, “Banyak jalan menuju Roma”. Kalau ini dilakukan bisa menghemat uang rakyat berapa milyar Pak.
Teknologi informasi dan komunikasi (tekinkom) itu sudah maju dan canggih, kenapa tak dimanfaatkan, apa wakil rakyat kita gaptek, atau pura-pura tak tahu. Kalau beneran enggak tahu, serahkan saja ke ahlinya, kan banyak pakar tekinkom, apalagi ada Pak Roy Suryo yang duduk di dewan juga. Lucunya lagi (meski saya tak bisa tertawa terbahak-bahak), wakil rakyat tadi menyatakan kalau kunjungan DPR ke luar negeri bukan kegiatan jalan-jalan yang memboroskan uang negara, melainkan melaksanakan tugas, yakni mencari masukan sebagai referensi untuk menyusun rancangan undang-undang (RUU) yang akan dibahas di DPR. Dalam hati saya langsung bertanya, RUU yang mana ya, kok sampai ke luar negeri. Masalahnya kan ada di Indonesia bukan di luar negeri Pak. Kalau cuma cari referensi, di internet kan banyak, tinggal digoogling aja. Kalau pengen hardcopy RUU dari negara-negara maju itu tinggal minta dikirim aja pakai TIKI. Kalau ingin tatap muka dengan orang-orang itu, tinggal teleconference aja, gitu aja kok REPOT! Pak, Pak, menuju Roma itu banyak jalannya, kok males amat carinya ….
Penulis: Abdi Husairi (Kompasiana)
SAVE KPK SAVE INDONESIA
ada arogansi yang coba membendung kemuakan rakyat terhadap praktek kotor hukum juga terhadap praktek menjijikkan korupsi di negeri ini. arogansi yang kini dipertontonkan dengan sangat vulgar (jika tidak mau dikatakan primitif dan brutal) oleh garda penjaga hukum terdepan yaitu polisi.
perseteruan polri dan KPK sudah memposisikan polri sebagai pihak antagonis dalam drama yang sedang berlangsung. selain rakyat sudah cukup cerdas mencerna logika kejanggalan dan ketidak-rasionalan langkah-langah polri terhadap kasus korupsi yang membelit pimpinan-pimpinan mereka, rakyat juga dari sejak lama mengetahui "kelakuan" aparatur negara yang satu ini dari berbagai macam kesempatan ketika rakyat berinteraksi dengan mereka.
muaknya rakyat ini boleh jadi merupakan suatu proses akumulasi kegeraman terhadap tingkah laku penegak hukum pada banyak aspek. dari pedagang kaki lima yang harus di bayar upeti kepada preman yang dibeckingi oleh polisi, masyarakat berkasus yang harus mengeluarkan biaya-biaya siluman jika tidak mau berhadapan dengan konsekwensi hukum yang lebih besar, rekayasa kasus dan kriminalisasi demi kepentingan segelintir orang yang berkuasa dan kaya, kongkalikong aparatur dalam binkai mafia hukum yang sudah menjadi rahasia umum, sampai dengan pengendara motor dan mobil yang kerap "dikerjai" polisi di jalanan.
alih-alih polisi melakukan pembenahan diri dalam rangka memenuhi tuntutan rakyat pada kebersihan aparat dan keprofesionalan pelayanan serta menyikapi gelombang semangat perbaikan negeri, polisi malah melakukan langkah-langkah konyol yang mempertontonkan kearogansian, langkah yang memposisikan mereka sebagai musuh bersama (common enemy) dari rakyat.
tapi apapun itu, inilah momentum!!! inilah saat yang tepat rakyat menuntut perubahan dramatis ditubuh penegak hukum yang satu ini. SAATNYA MENYELAMATKAN DAN MEMUNCULKAN APARAT-APARAT BERSIH YANG JUGA MUAK DENGAN KEBOBROKAN SISTEM DAN PELAYANAN HUKUM BAGI RAKYAT. SAATNYA MENYELAMATKAN INDONESIA!!http://abiaqsa.blogspot.com/2012/10/save-kpk-save-indonesia.html
…”KALAUPUN SAYA DIBUNUH, SAYA AKAN MENJADI SETAN YANG MENGHANTUI SBY SEUMUR HIDUPNYA”…
Jakarta – KabarNet: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad, meluapkan kekecewaannya atas pembiaran upaya pelemahan KPK. Menurut Abraham, kriminalisasi terhadap Novel oleh Polri dilandasi oleh argumen dan logika yang menghina akal sehat publik. Saya terus terang sudah geram terhadap perilaku Polri sebagai institusi yang melemahkan pemberantasan korupsi dan Presiden yang diam saja.
Posisi Presiden yang membiarkan Polri menyalah-gunakan otoritasnya untuk meneror KPK adalah sangat disayangkan. Diamnya Presiden membuat dirinya curiga, jangan-jangan dia atau anggota keluarganya disandera oleh Polri terkait suatu kasus.
Abraham mengatakan, sumpah Presiden yang akan memimpin pemberantasan korupsi dan berada di garda paling depan adalah omong kosong. Dia bersumpah, tidak akan mundur sejengkal pun berjihad melawan koruptor, walau kami diteror oleh polri atas sepengetahuan Presiden. Bahkan Abraham mengancam akan menangkap Presiden SBY.
“Dan demi Allah SWT, saya tidak akan berhenti sampai presiden ditangkap. Bahkan kematian pun tidak akan menyurutkan langkah saya”…. “Kami berlima akan membuat sejarah sebagai kepemimpinan KPK pertama di dalam sejarah yang akan menangkap seorang presiden”, tulis Abraham Samad pada akun twitternya, Ahad, (07/10/2012).
Abraham juga mengatakan, bahwa melawan korupsi adalah perjuangan yang berat dan beresiko dibunuh. “Ini sungguh perjuangan yang berat. Kalaupun saya dibunuh, saya akan menjadi setan yang menghantui SBY seumur hidupnya”… “Dan sampaikan kepada presiden, kami tidak akan berhenti bekerja sampai dia ditangkap dan dijebloskan atas kejahatannya kepada rakyat”, sambungnya.
“Dan kami berlima tidak akan pernah berhenti sampai kami mampu menangkap kepala dari korupsi di negeri ini. Yaitu dia yg bercokol di istana”… “Tanpa dukungan kalian saudara-saudaraku, kami tidak akan berdaya menghadapi para monster koruptor itu”…
“Korupsi adalah kejahatan terjahat. Korupsi tidak membunuh langsung akan tetapi menyengsarakan banyak orang untuk masa yang lama”… “Mati syahid memburu koruptor adalah jauh lebih mulia daripada hidup mewah dengan memakan uang rakyat”…
Demikian pernyataan Abraham Samad disampaikan melalui akun Twitternya. Ia juga mengucapkan terimakasih kepada semua rakyat dan para pegiat anti korupsi yang memberikan dukungan terhadap lembaga yang ia pimpin.
Sampai dengan berita ini diturunkan, masih belum ada konfirmasi dari Ketua KPK Bapak Abraham Samad terkait keabsahan tulisan yang beredar di akun twitter tersebut. [KbrNet/Slm]
Jakarta – KabarNet: Suasana menegangkan terjadi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, saat belasan polisi mengeruduk kantor lembaga anti korupsi. Banyak pihak yang menyayangkan aksi pengepungan gedung KPK oleh sejumlah aparat Polda Metro Jaya dan Polda Bengkulu di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Jumat malam, 5 Oktober 2012. Momentum ini menjadi penting karena kejadian pengepungan ini berkaitan dengan kelanjutan pemberantasan kasus korupsi skala besar di negeri ini.
Masyarakat tak boleh diam melihat kejadian ini, karena bila kriminalisasi terhadap KPK ini berlanjut, maka tipis harapan kasus korupsi kelas kakap di Indonesia bisa diungkap dan diganjar hukuman. Drama penggerebekan oleh pihak kepolisian yang bisa disaksikan langsung dengan mata kepala tersebut mengincar satu sosok penting KPK yang menjadi kunci pengungkapan beberapa kasus korupsi yang kita ketahui belakangan ini.
Bayangkan, mereka datang untuk menangkap salah satu penyidik terbaik KPK, Komisaris Pol. Novel Baswedan. Banyak yang melihat penyerbuan itu dipenuhi kejanggalan. Novel berperan penting dalam mengungkap kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian Surat Izin Mengemudi Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.
Novel dikenal sebagai penyidik kasus korupsi wisma atlet yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin. Metode penyidikan dengan sistem whistle-blower yang dikembangkan Novel mendapat protes dari para legislator di komisi hukum DPR. Novel pula yang menghalangi para anggota DPR yang ingin menjenguk Nazaruddin di Rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat.
Pernah ada upaya penekanan yang dilakukan oleh pihak Nazaruddin dengan mendesak pimpinan KPK mengganti Novel. Hasilnya, bukan Novel yang diganti. Atasan Novel, Brigjen Pol Yurod Saleh, malah dikembalikan pimpinan KPK ke Mabes Polri.
Pengungkapan barang bukti kasus Nazaruddin itu kini telah merembet ke kasus lain. Novel pula yang akhirnya menahan mantan anggota DPR Angelina Sondakh (Angie) dalam kasus suap soal penganggaran di Kemenpora dan Kemendikbud. Kasusnya berkembang ke dugaan suap penganggaran pengadaan Alquran dengan tersangka legislator Partai Golkar Zulkarnaen Djabar. Novel juga turut menggeledah ruang Zulkarnaen.
Novel juga beberapa kali terlibat dalam upaya penggeledahan atau tangkap tangan. Dia merupakan penyidik yang terlibat dalam penangkapan Bupati Buol Amran Batalipu, yang tertangkap tangan menerima uang Rp 3 miliar dari Yani Anshori, manajer PT Hardaya Inti Plantations, yang mana proses operasi itu diwarnai dengan penghadangan oleh puluhan pendukung Amran. Novel yang saat itu mengendarai motor untuk melakukan pengejaran, bahkan sempat akan ditabrak oleh romobongan Amran. Beruntung dia bisa menghindar, sedangkan motornya ringsek.
Puncaknya adalah, Novel menjadi ketua satuan tugas penyidikan kasus simulator SIM Korlantas Mabes Polri. Novel salah seorang penyidik KPK yang dengan keras menghadang upaya penghentian penggeledahan KPK di markas Korlantas bulan Juli lalu. Ketika itu Novel menunjukkan surat perintah pengadilan yang dimiliki KPK untuk menggeledah markas Korlantas, ketika ada petugas kepolisian dengan pangkat yang jauh lebih tinggi darinya yang sempat mempertanyakan izin KPK menggeledah. Ketika itu Novel menunjukkan surat perintah pengadilan yang dimiliki KPK untuk menggeledah markas Korlantas. Perdebatan pun terjadi. Ada informasi yang menyebutkan sejak itu, nama Novel masuk dalam daftar incaran.
Pada Jumat tanggal 05 Oktober 2012, Novel adalah salah satu penyidik KPK yang melakukan pemeriksaan langsung kepada Irjen Djoko Susilo, tersangka kasus Simulator SIM. Seorang perwira menengah berpangkat Kompol memeriksa jenderal aktif bintang dua. Atas adegan inilah, hubungan KPK – Polri kembali retak.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengakui, Novel adalah salah satu penyidik dengan kategori par excellence yang dimiliki KPK. Suatu saat Johan pernah mengungkapkan kepada sejumlah media, ingin mempublikasikan sosok Novel karena kemampuannya sebagai penyidik yang selalu diandalkan KPK dalam menuntaskan kasus korupsi skala besar. Novel kini tengah menghadapi ancaman penangkapan dari instansi asalnya. Dia dituduh terlibat kasus penganiayaan semasa bertugas sebagai polisi di Bengkulu delapan tahun yang lalu.
Sampai kini belum diketahui, mengapa kasus yang telah lama berlalu dan kabarnya telah selesai secara etik tersebut diangkat kembali untuk menjerat penyidik terbaik KPK ini. Yang jelas, Kompol Novel sampai saat ini adalah penyidik dengan kategori par excellence di KPK.
Belakangan Novel dituduh telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap salah satu dari enam pencuri sarang burung walet. Tuduhan penganiayaan oleh Novel itu terjadi saat menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resort Bengkulu, Sumatera Selatan, pada tahun 2004.
Alasan yang dipakai Kepolisian Polda Bengkulu terkait kasus Novel mengherankan dan menimbulkan banyak pertanyaan. Bayangkan, Kasus tersebut sudah terjadi delapan tahun lalu ketika Novel menjabat Kepala Satuan reserse Kriminal Polda Bengkulu, tetapi baru dipersoalkan saat ini. Kejanggalan itu semakin kuat karena upaya penangkapan terjadi ketika Novel tengah menangani kasus dugaan korupsi proyek simulator di Korps Lalu Lintas Polri.
Lalu bagaimana dengan kesimpulan sidang etik Polri delapan tahun silam yang menyatakan Novel bukan pelakunya? Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang atasan terhadap perbuatan anak buahnya, Novel hanya mendapat teguran keras. Apakah sidang etik itu rekayasa atau memang atas dasar fakta?”
Tindakan Polri yang mengundang pertanyaan itu, seharusnya dapat menjelaskan kepada publik berbagai kejanggalan dalam kasus yang dituduhkan kepada anggota Polri, Kompol Novel Baswedan. Langkah itu untuk mengklarifikasi penilaian adanya upaya kriminalisasi terhadap KPK. Jika tidak dapat menjelaskan secara logis, maka jangan salahkan apabila publik beranggapan apa yang dilakukan oleh Polri adalah bentuk kriminalisasi terhadap anggota KPK dan merupakan bentuk balasan bagi KPK.
Mengapa yang dibidik hanya Novel?, karena dia adalah pelopor yang membuka kasus Simulator SIM. Dia lebih tahu kasus korupsi itu dibanding para pimpinan KPK, sehingga keadaan ini dianggap membahayakan pihak kepolisian. Polri khawatir kasus ini merembet ke kasus-kasus lain.
Polri seharusnya tidak perlu takut apabila pada akhirnya kasus ini akan melebar ke mana-mana, termasuk jika ada pejabat tinggi polri lainnya yang disinyalir terlibat, demi terwujudnya cita-cita Indonesia bebas korupsi. [KbrNet/Slm]
0 comments to "KPK VS POLRI : CICAK VS BUAYA JILID 2"