Home , , , , , , , , , � Pernikahan, Hubungan Keluarga, Mencintai Anak & Istri serta Suami menurut ISLAM dan BARAT

Pernikahan, Hubungan Keluarga, Mencintai Anak & Istri serta Suami menurut ISLAM dan BARAT

Hak-Hak Suami dan Istri (Bagian Pertama)

Senin, 2013 Desember 09 05:56

Seperti dua orang Partner, Seperti dua orang sahabat
Terkadang kita menyaksikan seorang suami menilai seorang istri sebagai makhluk derajat kedua! Namun sebenarnya kita tidak punya makhluk derajat kedua. Keduanya sama. Keduanya memiliki hak yang sama dalam urusan kehidupan kecuali perbedaan yang telah ditetapkan oleh Allah antara suami dan istri dan hal itu karena sebuah maslahat. Tidak menguntungkan suami dan juga tidak merugikan istri. Keduanya harus hidup dalam sebuah rumah seperti dua orang partner, seperti dua orang sahabat. (Khutbah Nikah 19/3/1372)

Suami adalah Pemimpin dan Istri adalah Bunga
Islam menilai lelaki sebagai pemimpin (*mengisyaratkan ayat; arrijaalu Qawwaamuuna ‘Alannisaa'. Surat Nisa: 34) dan perempuan sebagai bunga (*mengisyaratkan hadis terkenal Imam Ali as; Almar'atu Raihaanatun Wa Laisat Qahramaanatun.(Bihar al-Anwar, jilid 100, hal 253). Hal ini tidak menyinggung istri dan juga tidak menyinggung suami. Tidak melanggar hak istri dan juga tidak melanggar hak suami. Bahkan melihat dengan baik tabiat keduanya. Timbangan keduanya kebetulan berbanding sama. Yakni bila kita meletakkan sesuatu yang lembut, indah dan menjadi penyebab ketenangan serta hiasan spiritual lingkungan hidup dalam sebuah timbangan dan meletakkan sesuatu yang bisa mengatur, bisa dipercaya dan bisa menjadi sandaran bagi seorang istri di bagian lain dari timbangan itu, maka timbangan ini akan menjadi seimbang dan sama. (Khutbah Nikah 22/12/1378)

Dilarang Menukar Peran!
Sebagian perempuan ingin melakukan pekerjaan yang bukan spesialisasinya. Orang-orang lelaki juga demikian. Mereka ingin mengatakan; mari kita tukar peran perempuan dan lelaki. Bila kita kita tukar apa yang akan terjadi?
Yang bisa kalian lakukan hanyalah melakukan kesalahan dan merusak penciptaan yang sudah indah dan bagus, tidak lebih. Merusak manfaat masing-masing. Merusak kepercayaan lingkungan rumah tangga. Menjadikan suami meragukan istri dan sebaliknya istri meragukan suaminya. Merusak kasih sayang dan cinta yang selama ini menjadi modal utama kerja.
Terkadang di dalam rumah seorang suami memainkan peran sebagai istri. Istri menjadi pemimpin secara mutlak dan mengatur suami; lakukan ini dan jangan lakukan itu. Sang suamipun menerima dengan pasrah. Iya, suami semacam ini tidak bisa lagi menjadi tempat sandaran bagi istri. Istri senang bila memiliki tempat sandaran yang baik.
Terkadang dari sisi lain suami memaksakan hal-hal tertentu kepada istrinya. Katakanlah bahwa semua urusan belanja, pekerjaan dan berurusan dengan orang lain menjadi tanggung jawab istri. Mengapa? Karena saya ada urusan, tidak punya waktu. Alasannya adalah tidak punya waktu!
Dia katakan, saya mau pergi ke kantor. Sang istri yang harus mengerjakan semua pekerjaan. Yakni pekerjaan-pekerjaan yang berat diserahkan kepada istrinya. Tentu saja dalam sehari dua hari hal ini bisa menyibukkan dan menjadi hiburan bagi sang istri, namun ini bukan tugas dia. (Khutbah Nikah 22/12/1378)

Istri adalah Bunga, Bukan Pelayan Anda!
Di dalam riwayat dikatakan, "Almar'atu Raihaanatun"...Perempuan adalah bunga. Sekarang lihatlah, bila seorang lelaki tidak peduli dan berbuat kasar terhadap sekuntum bunga dan tidak menghargainya sebagai bunga, maka betapa zalim dan buruknya dia. Seperti sikap suami yang memaksa, berlebihan dan banyak menuntut dan berharap tidak pada tempatnya terhadap istri.
"Almar'atu Raihaanatun Wa Laisat QahramaanatunQahramaan adalah pelayan kehidupan zaman ini. Istri bukan pelayan kalian! Sehingga kalian menyerahkan semua urusan kehidupan kalian kepadanya apalagi setelah itu kalian menyalahkannya. Tidak! Istri adalah sekuntum bunga di tangan anda! Meskipun dia adalah seorang ilmuan atau politikus. Di dalam rumah tangga dia adalah bunga. (Khutbah Nikah 28/6/1379)

Suami Harus Bekerja!
Al-Quran mengatakan, "Arrijaalu Qawwaamuuna ‘Aalannisa' yakni kepemimpinan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami. Seorang suami harus bekerja dan urusan nafkah rumah tangga menjadi tanggung jawabnya. Istri sekaya apapun, hartanya adalah milik dia sendiri dan urusan nafkah rumah tangga bukan tanggung jawabnya. (Khutbah Nikah 28/6/1379)

Bukan Suami yang Berkuasa dan juga Bukan Istri
Kita tidak mengatakan bahwa istri harus menaati suami secara total. Tidak! Yang demikian ini tidak ada dalam Islam juga syariat. "Arrijaalu Qawwaamuuna ‘Aalannisa' bukan berarti istri harus menaati suami dalam semua urusan. Tidak! Atau sebagaimana orang-orang yang tidak pernah tahu tentang Eropa tapi melebihi dan mengikuti orang-orang Eropa dan mengatakan bahwa istri adalah yang menentukan segalanya dan suami harus menaatinya. Tidak! Yang demikian ini juga salah. Tentunya kalian adalah dua orang sahabat dan dua orang partner. Pada saat tertentu suami harus mengalah dan pada saat yang lain istri harus mengalah. Yang satu pada saat tertentu mengesampingkan kemauannya dan pada saat yang lain yang satunya mengesampingkan keinginannya supaya kalian berdua bisa hidup bersama. (Khutbah Nikah 19/1/1377)

Perbedaan Alami Suami dan Istri
Allah menciptakan struktur alami istri dalam bentuk yang halus. Sebagian jari-jari diciptakan dalam bentuk yang besar dan bagus untuk mengangkat batu dari bumi. Namun bila jari-jari yang besar ini ingin memegang dan mengambil permata yang cukup halus, belum tentu ia bisa mengambilnya.
Namun sebagian jari-jari dalam bentuk yang halus dan lembut. Ia tidak bisa mengangkat batu tersebut tapi bisa mengumpulkan potongan-potongan kecil permata dan emas dari tanah. Beginilah suami dan istri. Masing-masing memiliki tanggung jawab. Tidak bisa dikatakan bahwa yang satu tanggung jawabnya lebih berat. Tanggung jawab keduanya sama-sama berat. Keduanya diperlukan.
Jiwa istri lebih halus. Ia lebih banyak membutuhkan ketenangan. Ia membutuhkan ketentraman  dan sandaran yang bisa dipercaya. Siapakah tempat sandaran ini? Sandaran itu adalah suami. Demikianlah Allah menetapkan keduanya bersisian. (QS. Nisa: 34) (Khutbah Nikah 6/6/1381)(IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Hak-Hak Suami dan Istri (Bagian Kedua, Habis)


Dua Pandangan yang Berbeda, Keduanya Indah
Cara pandang istri kepada suami berbeda dengan cara pandang suami kepada istri. Keduanya berbeda dan tidak masalah. Suami memandang istri sebagai sebuah teladan keindahan, teladan kelembutan dan teladan sensitifitas. Suami memandang istri sebagai orang yang lembut. Islam juga menekankan hal ini. "Almar'atu Raihaanatun" yakni istri adalah bunga. Dalam pandangan ini, istri adalah sebuah makhluk yang halus, simbol keindahan dan kelembutan. Dengan pandangan ini suami memandang istrinya. Suami menggambarkan dan membayangkan kasih sayang istri dalam bingkai ini.
Suami di mata istri adalah simbol kepercayaan, titik sandaran dan kepercayaan. Istri menggambarkan kasih sayang suami kepadanya dalam bingkai ini. Keduanya memiliki dua peran yang berbeda dan kedua-duanya diperlukan. Istri saat memandang suaminya dengan pandangan kasih sayang dan cinta, ia memandang suaminya sebagai sebuah sandaran yang bisa menggunakan kekuatan jasmani dan pikirannya untuk memajukan kehidupannya seperti sebuah mesin. Suami saat memandang istrinya, ia memandangnya sebagai simbol keakraban dan ketenangan yang bisa menenangkan dan menentramkannya. Bila suami adalah titik sandaran dalam masalah-masalah lahiriah kehidupan, maka istri adalah sandaran untuk masalah-masalah kejiwaan dan spiritual kehidupan. Istri adalah lautan keakraban dan kasih sayang. Ia bisa mengeluarkan suaminya dari segala kesedihan masuk ke dalam suasana penuh kasih sayangnya. Semua ini adalah kemampuan suami dan istri. Kemampuan kejiwaan keduanya.(Khutbah Nikah 6/6/1381)

Hak Hakiki, Hak Khayalan
Hak bersumber pada sebuah tabiat alam. Hak hakiki harus bersumber dari tabiat alam. Hak yang disampaikan dalam sebagian pertemuan berdasarkan khayalan. Hak yang dimiliki oleh suami dan istri harus bersandarkan pada tabiat alami suami dan istri, harus bersumber pada struktur penciptaan alami suami dan istri. (Khutbah Nikah 22/12/1378)
Feminisme yang ada di dunia saat ini yang di sana ada segala macam laki-laki dan perempuan dan mengklaim membela hak-hak perempuan, menurut saya mereka sama sekali tidak mengenal hak-hak perempuan. Karena hak itu bukan perkara yang dicerapHak bersumber pada tabiat alam.(Khutbah Nikah 22/12/1378)

Permainan Barat
Orang-orang Barat yang kalian saksikan betul-betul membuat keributan tentang masalah perempuan, mereka telah terjebak sendiri dalam masalah ini. Mereka mengatakan, kami menjaga kehormatan perempuan. Iya.  Menjaga kehormatan perempuan  di dalam pertemuan resmi, di pusat-pusat perbelanjaan dan jalanan. Itupun yang bermakna menikmatinya. Apakah dalam rumah tangga suami juga menjaga kehormatan istrinya seperti ini? Betapa banyak penyiksaan terhadap istri, betapa banyak istri yang dipukuli suaminya, betapa banyak suami yang menciptakan bencana di dalam rumah, betapa banyak suami yang mentang-mentang dan lain-lain. (Khutbah Nikah 28/6/1379)

Suami Harus Mengerti Kebutuhan Penting Istri
Dari satu sisi, suami harus mengerti kebutuhan penting istri. Ia harus memahami perasaan istri. Ia tidak boleh mengabaikan keadaan istri. Suami tidak boleh menganggap dirinya sebagai pemilik dan penentu ikhtiyar istrinya secara mutlak di dalam rumah.
Suami dan istri adalah dua orang, dua partner, dua sahabat. Masing-masing memiliki kelebihan dari sisi pemikiran dan kejiwaan.
Suami harus membantu istrinya untuk menebus keterbelakangan yang terjadi di dalam masyarakat. Maksud dari keterbelakangan bukan berarti lantas harus mengikuti orang-orang Barat sebagaimana yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat. Maksudnya adalah makrifat. Maksudnya adalah pendidikan. Maksudnya adalah semangat pemikiran pada istri. Inilah maksudnya. Yakni, suami semaksimal mungkin harus membantu istrinya dalam bidang ini. Bila istri ingin melakukan sesuatu atau ingin berkecimpung dalam aktifitas sosial, maka suami jangan sampai menghalanginya sesuai dengan tuntutan kondisi kehidupan rumah tangga. (Khutbah Nikah 10/2/1375)
Suami jangan sampai mengkhayal bahwa karena ia pergi keluar dan bertemu dengan ini dan itu dan membawa uang ke rumah lantas segalanya adalah milik dia. Tidak! Apa yang didapatkannya separuhnya adalah untuk keluarga. Separuhnya lagi adalah untuk istri. Suami harus menjaga hak pilih istri, keberadaan istri sebagai pengurus rumah, pendapat dan kebutuhan jiwa istri.
Jangan sampai suami melanjutkan kebiasaannya saat masih lajang. Ketika masih lajang ia pulang ke rumah ayah dan ibunya setiap jam sepuluh malam. Jangan! Sekarang harus menjaga hak-hak istrinya. (Khutbah Nikah 2/9/1373)
Pada zaman dahulu, sebagian suami mengganggap dirinya sebagai pemiliki istri. Tidak! Sebagaimana kalian di dalam lingkungan rumah tangga punya hak, istri juga punya hak. Jangan sampai kalian berkata kasar kepada istri dan memaksanya. Karena dari sisi jasmani istri lebih lemah. Sebagian beranggapan bahwa sekarang saatnya berbicara kasar dan mengeraskan suaranya, memarahinya dan memaksanya. (Khutbah Nikah 11/12/1373)

Istri Cerdas Memenej Suami
Istri harus memahami kebutuhan penting suami. Jangan sampai dia menekan suami baik secara kejiwaan maupun moral sehingga membuat suaminya putus asa dan jangan sampai suami akhirnya menggunakan jalan yang tidak benar. Istri harus mendorong suami untuk bertahan dan bersikukuh di dalam kancah kehidupan. Jangan selalu mengungkit-ungkit suami yang pekerjaannya membuat dia tidak begitu sempat mengurusi kondisi rumah tangga.(Khutbah Nikah 10/2/1375)
Bila suami memiliki aktifitas baik keilmuan, jihad dan pembangunan maupun untuk mencari nafkah atau pekerjaan umum, maka istri harus berusaha menciptakan suasana rumah tangga sedemikian rupa sehingga suami bisa pergi ke tempat kerjanya dalam kondisi kejiwaan yang baik dan dengan semangat kembali pulang ke rumah. (Khutbah Nikah 2/9/1373)
Semua suami akan senang bila ketika masuk ke dalam rumah, rumah bisa memberikan ketenangan dan keamanan baginya dan ia merasa nyaman dan tentram. Ini adalah tugas istri. (Khutbah Nikah 24/1/1378)
Istri memiliki beberapa kewajiban dan harus memilahnya secara rasional. Para istri harus tahu bahwa bila ia seorang istri, maka ia akan memenej suaminya dengan menggunakan akal dan kecerdasannya. Benar, suami dari sisi jasmani lebih kuat, namun Allah menciptakan tabiat istri sedemikian rupa bila suami dan istri sama-sama sehat dan istrinya berakal, maka yang lebih berpengaruh pada yang lainnya adalah istri. Tentu saja yang demikian ini tidak bisa dicapai dengan kelicikan dan pemaksaan. Tapi dengan kelembutan, sikap yang baik, keramahan dan sedikit bersabar. Tentunya sedikit saja perlu kesabaran dan tidak perlu banyak-banyak. Allah juga telah menetapkan kesabaran ini pada tabiat istri...istri harus menghadapi suaminya demikian. (Khutbah Nikah 19/3/1372)
Sebagian istri mempersulit suaminya. Misalnya, kamu harus membeli ini! Kamu harus menyiapkan rumah demikian! Si fulan telah membeli yang demikian, bila aku tidak membeli yang demikian maka bikin aku malu. Dengan ucapan-ucapan seperti ini istri menyakiti suaminya dan ini tidak benar. (Khutbah Nikah 18/5/1374)(IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Nasihat Imam Husein as: Memperhatikan Hak Istri

Akhlak Keluarga
Kata keluarga mengingatkan manusia akan pengertian tentang ketenangan, cinta, komitmen dan kerelaan. Karena inti keluarga dibangun atas pengertian-pengertian ini. Dalam ajaran agama Islam, kasih sayang kepada keluarga sedemikian bernilainya sehingga Rasulullah Saw bersabda, "Manusia paling baik imannya adalah yang paling baik dan lembut memperlakukan keluarganya dan saya adalah yang paling lembut dari kalian dalam memperlakukan keluargaku." (Syeikh Hur al-Amili, Wasail as-Syiah, Tehran, Entesharat Eslamiah, 1403 HQ, cet 1, jilid 8, hal 507)
Sebagaimana manusia bertanggung jawab atas perilakunya, ia juga bertanggung jawab atas akhlak dan perilaku keluarganya. Bila setiap individu masyarakat menghargai keluarganya dan berusaha membawa mereka meraih kesempurnaan, dengan sendirinya itu menjadi sarana bagi kebahagiaan dan kejayaan masyarakat. Allah Swt dalam al-Quran mewajibkan setiap orang untuk memperhatikan keluarganya dan membimbing mereka. Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..." (QS. at-Tahrim: 6)
Dengan dasar ini, semua anggota keluarga harus mempelajari ahklak untuk dapat berperilaku baik dengan yang lain, selain untuk menciptakan keluarga yang hangat dan baik. Sekaitan dengan hal ini, memperhatikan perilaku para Imam Maksum as, khususnya Imam Husein as dapat membantu manusia bagaimana hidup dengan keluarganya yang berujung pada pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.

Memperhatikan Hak Istri
Suatu hari sejumlah sahabat Imam Husein as bertamu ke rumah beliau. Saat memasuki rumah beliau, mereka menyaksikan adanya permadani dan kain gorden baru kemudian berkata, "Di rumah Anda kami melihat sesuatu yang tidak ada di rumah Rasulullah Saw?"

Imam Husein as menjawab:
"Kebiasaan kami adalah memberikan mahar atau mas kawin istri kepada mereka setelah menikah. Dengan demikian mereka punya kemampuan finansial untuk membeli kebutuhan rumah dan barang-barang yang kalian lihat itu bukan milik kami." (At-Tamimi al-Maghribi, Da'aim al-Islam, Beirut, Dar al-Adhwa', 1411 HQ, cet 3, jilid 2, hal 159.)
Sebagian orang ketika menikah dengan istrinya telah menentukan jumlah tertentu sebagai mahar dan ketika terjadi perceraian, mereka tidak mau membayarnya. Mereka mencari pelbagai alasan untuk tidak membayarkannya, sehingga terkadang perempuan yang berusaha menyelamatkan dirinya dari kezaliman mereka merelakan haknya.
Ini merupakan pekerjaan buruk yang dilakukan oleh seorang suami dan banyak kasus yang terjadi terkait masalah ini. Akibat dari perilaku semacam ini adalah perempuan ketika diceraikan mereka selain tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadapnya, juga tidak memiliki kemampuan finansial. Hal ini menjadi sebab bagi banyak kerusakan sosial.
Oleh karenanya, memberikan mahar atau mas kawin, selain itu merupakan hak istri yang harus diberikan, juga menyebabkan masyarakat aman dari pelbagai kerusakan yang bakal timbul. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Nasihat Imam Husein: Silaturahmi

Silaturahmi

Imam Husein as berkata:
"Seseorang yang ingin memiliki usia panjang dan rezekinya banyak, maka ia harus menjalin hubungan dengan keluarganya." (Uyun Akhbar ar-Ridha as, jilid 2, hal 48, hadis 157) 
Manusia sebagai makhluk sosial dan kesempurnaannya berada di balik kerjasama dan gotong royong dengan orang lain, maka sudah semestinya ia memiliki hubungan yang lebih baik dan dekat dengan keluarganya. Hubungan dengan keluarga menciptakan kehangatan dan cinta yang lebih di antara anggota keluarga. Hal ini membuat mereka bisa saling melakukan kerjasama yang bermanfaat.
Hubungan kekeluargaan ini sangat berperan dalam menumbuhkan dan memperkuat semangat bersosialisasi antara anggota masyarakat.

Sukses Menjalin Hubungan Keluarga

Imam Husein as berkata:
"Orang yang paling berhasil dalam menjalin hubungan dengan keluarganya adalah memperbaiki hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan. Karena cabang pohon yang terpotong akan tumbuh kembali." (Bihar al-Anwar, jilid 78, hal 121)
Terkadang dalam sebuah keluarga muncul perselisihan yang bahkan menjurus pada kebencian di antara anggota keluarga. Bahkan betapa banyak kesalahpahaman sederhana dapat membuat terputusnya hubungan antara dua keluarga. Tapi betapa banyak juga mereka kemudian menyesali perilakunya dan berharap hubungan ini kembali baik seperti semula.
Dalam kondisi seperti ini, cukup satu pihak berinisiatif lebih dulu untuk menyampaikan permohonan maaf guna menyulam kembali persaudaraan yang ada, sekalipun dalam kasus ini ia berada di posisi yang benar. Dengan sikapnya ini, pada dasarnya ia telah mencuci segala kotoran perselisihan dan permusuhan di antara mereka. Tangkai persaudaraan yang sebelumnya putus telah mulai bertunas.
Imam Husein as dalam ucapannya ini menyebut orang yang bersikap demikian dan mengambil langkah lebih dahulu untuk menciptakan kembali persaudaraan yang sempat terputus sebagai orang paling sukses dalam hubungan keluarga. Benar, orang seperti ini dengan perilaku baiknya, bukan hanya tidak mengurangi kebesaran dirinya, tapi justru menambah kemuliaan dan kehormatannya. Ia menjadi teladan bagi anggota keluarga yang lain, bahkan oleh orang lain. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Nasihat Imam Husein: Menjaga Keamanan dan Kesejahteraan Keluarga

Menjaga Keamanan dan Kesejahteraan Keluarga

Imam Husein as berkata:
"Kehinaan manusia terdapat pada sikapnya yang melindungi dirinya, tapi membiarkan keluarganya menghadapi kesulitan dan bahaya sendirian." (Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 101)
Ketika seseorang membentuk rumah tangga dan menjadi kepala rumah tangga, hendaknya ia menerima segala tanggung jawab yang muncul setelah itu. Satu tanggung jawab penting kepala rumah tangga adalah melindungi keluarga dari segala kesulitan dan bahaya.
Seorang mukmin tidak akan pernah membiarkan istri dan anaknya di tengah kesulitan dan bahaya, sementra dirinya sendiri dalam keadaan senang. Tapi ia harus menanggung segala kesulitan itu agar keluarganya hidup dalam kondisi aman, tenang dan sejahtera. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Nasihat Imam Husein as: Mencintai Anak

Mencintai Anak
Seorang sahabat Imam Husein as mengatakan, "Aku sedang duduk di samping Imam Husein as dan tiba-tiba Ali bin Husein masuk. Imam Husein as memanggilnya. Ketika anak itu mendengar panggilan ayahnya, dengan segera ia mendekati ayahnya. Imam Husein as mengembangkan kedua tangannya lalu mendekapnya di dada. Setelah itu Imam Husein as mencium keningnya yang berada di antara kedua matanya lalu berkata, ‘Ayahku menjadi tebusanmu! Engkau sungguh tampan dan berbau wangi." (Bihar al-Anwar, jilid 43, hal 67)
Mencintai anak bersumber dari perasaan manusiawi yang dianugerahkan Allah Swt ke dalam hati ayah dan ibu. Rasa cinta kepada anak merupakan titipan ilahi kepada orang tua. Tapi yang terpenting dari rasa cinta adalah menyampaikannya kepada anak. Ketika orang tua menunjukkan rasa cintanya kepada anak, pada saat yang sama mereka telah mendidik anaknya.
Dengan kata lain, cinta hanya akan konstruktif dan berpengaruh positif, ketika seseorang yang ingin menyampaikan cintanya mengerti apa yang tengah dilakukannya. Hal yang dilakukan oleh Imam Husein as sebagai contoh dalam mendidik anak. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.

Kehangatan Rumah Tangga (Bagian Pertama)

Kalimat Thayyibah atau Lembaga Suci
Rumah tangga adalah Kalimat Thayyibah(QS. Ibrahim: 24). Ciri khas Kalimat Thayyibah adalah saat muncul di suatu tempat, ia senantiasa mengeluarkan keberkahan dan kebaikan dan menularkannya ke semua yang ada di sekitarnya. Kalimat Thayyibah adalah hal-hal yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia dengan dasar yang benar. Semua ini adalah Kalimat Thayyibah baik secara spiritual maupun materi. (Khutbah Nikah, 15/12/1379)

Sel Asli Kehidupan Masyarakat
Sebagaimana badan manusia tersusun dari sel-sel dan kehancuran, kerusakan serta kesakitannya baik secara terpaksa maupun secara alami berarti sakitnya badan dan bila penyakit ini menjalar  maka akan membahayakan seluruh badan manusia, Kehidupan masyarakat juga tersusun dari sel-sel yang bernama rumah tangga. Setiap rumah tangga adalah sel-sel kehidupan masyarakat. ketika rumah tangga ini sehat, ketika perilaku mereka benar, maka tubuh atau kehidupan masyarakat juga akan sehat. (Khutbah Nikah, 8/3/1381)

Rumah Tangga Sehat, Kehidupan Masyarakat Sehat
Bila sebuah masyarakat memiliki rumah tangga yang kokoh, suami-istri saling menjaga hak pasangannya, sama-sama berakhlak baik dan harmonis, keduanya bersama-sama menyelesaikan setiap permasalahan yang ada dan mendidik anak-anak dengan baik, maka masyarakat semacam ini akan damai dan sehat. Bila ada seorang muballig ingin memperbaikinya, maka ia akan berhasil memperbaiki kehidupan masyarakat semacam ini. Bila tidak ada rumah tangga yang sehat, maka muballig sehebat apapun tidak akan bisa memperbaikinya. (Khutbah Nikah, 14/36/1372)
Setiap negara yang pilar-pilar rumah tangganya kokoh, maka banyak masalah yang akan terselesaikan terutama masalah moral dan spiritual. Hal ini karena berkah rumah tangga yang sehat dan kokoh, bahkan tidak akan muncul masalah. (Khutbah Nikah, 2/9/1376)
Ikatan pernikahan dan perkawinan ini merupakan salah satu nikmat ilahi yang besar, salah satu rahasia penciptaan, salah satu faktor kekekalan dan keabadian, keselamatan dan kebaikan masyarakat. (Khutbah Nikah, 23/12/1379)
Bila rumah tangga dibentuk dengan baik dan akhlak mendominasi pasangan suami istri, benar, logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan yang ditetapkan oleh Allah, maka rumah tangga semacam ini akan menjadi dasar perbaikan masyarakat dan dasar kebahagiaan semua anggota masyarakat. (Khutbah Nikah, 8/3/1381)
Membentuk rumah tangga merupakan sebuah kebutuhan sosial. Bila dalam sebuah masyarakat semua rumah tangga baik, sehat dan kokoh, tidak goyah, batas-batas dan ketentuan rumah tangga terjaga, maka masyarakat seperti ini dengan mudah bisa diperbaiki. Anggota masyarakatnya dengan mudah mencapai pertumbuhan pemikiran, sehat dari sisi kejiwaan dan mereka bisa menjadi manusia tanpa memiliki rasa dendam. (Khutbah Nikah, 11/5/1374)

Masyarakat Tanpa Rumah Tangga, Sumber Masalah Kejiwaan
Sebuah masyarakat yang tidak memiliki rumah tangga adalah masyarakat yang kacau dan tidak bisa tenang. Masyarakat ini tidak dapat mewariskan budaya, pemikiran dan keyakinan kepada generasi akan datang dengan mudah. Pendidikan manusia tidak bisa dilakukan dengan mudah. Bila sebuah masyarakat tidak punya rumah tangga atau rumah tangga yang ada mengalami kegoyahan, maka manusia tidak akan bisa terdidik dengan baik sekalipun berada di dalam tempat pendidikan yang paling baik. (Khutbah Nikah, 29/10/1377)
Bila tidak ada rumah tangga, maka tidak ada remaja, tidak ada anak, tidak ada manusia, laki-laki dan perempuan tidak akan menjadi orang saleh, tidak ada akhlak, tidak ada peralihan pengalaman-pengalaman positif dan baik serta bernilai dari generasi lama ke generasi berikutnya. (Khutbah Nikah, 30/3/1379)
Ketika tidak ada rumah tangga, maka tidak akan ada pusat pengajaran keimanan dan kepercayaan agama. (Khutbah Nikah, 12/11/1372)
Masyarakat yang di dalamnya terdiri dari rumah tangga yang goyah dan tidak kokoh atau tidak ada sama sekali pembentukan rumah tangga atau hanya sedikit atau sekalipun ada pembentukan rumah tangga tapi rumah tangga yang goyah dan terancam kehancuran, maka masyarakat semacam ini lebih banyak menderita masalah kejiwaan dan cepat marah dibanding masyarakat yang di sana rumah tangganya kokoh, laki-laki dan perempuan berada dalam sebuah lembaga rumah tangga. (Khutbah Nikah, 21/12/1379)

Generasi Tanpa Penjaga
Rumah tangga adalah istitusi yang betul-betul penting. Faedah rumah tangga dalam mendidik generasi manusia dan mewujudkan manusia-manusia yang sehat dari sisi spiritual, pemikiran dan kejiwaan merupakan faedah yang tidak ada bandingannya. Tidak ada sesuatu apapun yang bisa menduduki posisi rumah tangga. Ketika ada sistem rumah tangga, milyaran manusia masing-masing memiliki perawat khusus dan tidak ada sesuatupun yang bisa menduduki posisi dua perawat ini. (Khutbah Nikah, 4/10/1381)
Rumah tangga merupakan sebuah lingkungan yang aman. Di sana, baik anak-anak maupun ayah dan ibu bisa menjaga dan mengembangkan jiwa dan pemikirannya dengan baik di dalam lingkungan yang aman dan bisa dipercaya ini. Ketika rumah tangga goyah, maka generasi yang silih berganti datang tanpa memiliki penjaga. (Khutbah Nikah, 18/12/1376)
Manusia untuk pendidikan.Manusia untuk hidayah, ketinggian dan kesempurnaan. Hal ini tidak bisa diraih kecuali dalam lingkungan yang aman. Lingkungan yang jangan sampai muncul rasa dendam, manusia harus mendapatkan kepuasan. Di dalam lingkungan rumah tangga terjadi peralihan pengajaran setiap generasi ke generasi berikutnya. Dari sejak kecil manusia berada di bawah pengajaran yang benar, mudah, alami dan fitri dua orang guru yang lebih menyayanginya dibanding manusia-manusia lain di dunia yakni ayah dan ibu. (Khutbah Nikah, 20/5/1376)
Bila tidak ada rumah tangga dalam masyarakat, maka semua pendidikan manusia dan kebutuhan jiwanya akan mengalami kegagalan. Karena dari sisi karakter dan strukturnya, manusia tidak akan bisa mencapai ketinggian jiwa dan mendapatkan pendidikan yang baik, sempurna, tanpa cacat, tanpa rasa dendam kecuali dalam lingkungan rumah tangga dan asuhan ayah ibunya. Manusia akan memiliki jiwa yang sehat dan sempurna bila ia terdidik dalam rumah tangga. Bila lingkungan hidup rumah tangga dipenuhi dengan ketenangan dan kebaikan bisa dijamin bahwa dari sisi kejiwaan anak-anak pasti sehat. (Khutbah Nikah, 11/5/1374)
Dalam rumah tangga ada tiga golongan manusia yang akan menjadi baik, pertama laki-laki yang menjadi ayah bagi rumah tangga ini. Kedua, perempuan yang menjadi ibu bagi rumah tangga ini  dan yang ketiga adalah anak-anak yang menjadi generasi baru masyarakat ini. (Khutbah Nikah, 19/2/74)

Ciri-ciri Rumah Tangga yang Baik
Rumah tangga yang baik artinya suami-istri harus saling menyayangi. Harus setia dan akrab. Saling mencintai. Satu sama lain saling menjaga perasaan. Saling menghargai dan menganggap penting kemaslahatan pasangannya. Ini yang paling penting.
Kemudian, bertanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan di dalam rumah tangga tersebut. Berkeinginan membesarkannya dengan baik dari sisi materi dan spiritual. Mengajarinya, memerintahkannya untuk mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan dan melarangnya dari sesuatu yang harus dijauhi. Mengajarkan sifat-sifat yang baik kepadanya. Rumah tangga semacam ini adalah pondasi segala reformasi hakiki dalam sebuah negara. Karena manusia akan terdidik dengan baik dalam rumah tangga semacam ini. Ia akan besar dengan sifat-sifat yang baik, pemberani, memiliki kebebasan berpikir, memiliki ide, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa kasih sayang, memiliki keberanian, berani mengambil keputusan, selalu menginginkan kebaikan bukan ketidakbaikan, menjaga kesucian. Ketika warga sebuah masyarakat memiliki ciri-ciri seperti ini, yakni menginginkan kebaikan, menjaga kesucian, pemberani, berakal dan pemikir serta mampu bertindak, masyarakat semacam ini tidak akan mengalami penderitaan. (Khutbah Nikah, 12/9/1377)

Rumah Tangga yang Sehat, Peralihan Kebudayaan
Peralihan kebudayaan dan peradaban, menjaga prinsip-prinsip sebuah peradaban dan kebudayaan dalam sebuah masyarakat dan peralihannya kepada generasi selanjutnya terjadi karena berkah rumah tangga. (Khutbah Nikah, 26/1/1377)
Dasar pernikahan dan maslahatnya yang terpenting adalah membentuk rumah tangga. Alasannya adalah bila dalam sebuah masyarakat ada rumah tangga yang sehat, maka masyarakatnya akan sehat juga dan warisan-warisan budayanya akan diturunkan secara benar. Di dalam masyarakat itu pendidikan anak-anak dilakukan dengan cara yang terbaik. Oleh karenanya, di negara-negara dan masyarakat yang rumah tangganya mengalami kekacauan biasanya terjadi kekacauan budaya dan moral. (Khutbah Nikah, 16/1/1378)
Bila para generasi manusia ingin mengalihkan hasil karya pemikirannya kepada generasi berikutnya dan masyarakat ingin memanfaatkan masa lalunya, ini hanya bisa terjadi melalui rumah tangga. Di dalam rumah tanggalah pertama kalinya terbentuk semua identifikasi dan kepribadian seseorang berdasarkan budaya masyarakatnya. Ayah dan ibulah yang mengalihkan kandungan pikiran, pemikiran, perbuatan, pengetahuan, keyakinan dan hal-hal yang dianggap suci kepada generasi berikutnya secara tidak langsung, tanpa paksaan dan tanpa dibuat-buat dan alami. (Khutbah Nikah, 15/10/1379)

Rumah Tangga yang Sehat, Penghuninya akan Tenang
Islam memandang rumah tangga dengan pandangan yang benar dan penuh perhatian serta menjadikan rumah tangga sebagai prinsip. Merusak pondasi rumah tangga atau mengacaukannya merupakan pekerjaan yang paling buruk. (Khutbah Nikah, 15/10/1379)
Rumah tangga dalam Islam yakni tempat tinggal dua orang manusia. Tempat ketenangan jiwa dua orang manusia. Tempat keakraban dua orang manusia satu sama lainnya. Tempat mencapai kesempurnaan seorang manusia dengan perantara seorang manusia lainnya. Lingkungan rumah tangga adalah tempat dimana seseorang menemukan kesenangan, tempat dimana seseorang menemukan ketenangan jiwa. Lingkungan rumah tangga dalam Islam benar-benar penting. (Khutbah Nikah, 4/10/1374)
Dalam al-Quran, dalam bebebapa tempat, penciptaan perempuan dan laki-laki dan kehidupan bersama mereka yang puncaknya adalah pasangan keduanya sebagai suami dan istri adalah untuk ketenangan dan ketentraman suami dan istri. (Khutbah Nikah, 6/9/1376)
Dalam al-Quran disebutkan, "Waja'ala Minha Zaujaha Liyaskuna Ilaihaa...Dia menciptakan istrinya, agar ia merasa tenang kepadanya. (QS. A'raf: 189). Seingat saya, di dalam al-Quran disebutkan kata ‘Sakana' di dua tempat, "Wa Min Aayaatihii An Khalaqa Lakum Min Anfusikum Azwaajan Litaskunuu Ilaihaa... Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenang kepadanya..." (QS. Rum: 21)
Allah menjadikan pasangan seseorang dari jenisnya sendiri, menjadikan istrinya dari jenisnya sendiri, menjadikan suaminya dari jenisnya sendiri ‘Liyaskuna Ilaihaa' supaya seseorang merasakan ketenangan, baik laki-laki maupun perempuan di samping suami atau istrinya. (Khutbah Nikah, 5/10/1375)
Ketenangan ini merupakan ketenangan dan keselamatan dari luapan dan depresi kehidupan. Kehidupan adalah kancah perjuangan. Seseorang senantiasa dalam kondisi depresi dan ini sangat penting. Bila ketenangan dan ketentraman ini bisa dicapai dengan cara yang baik, kehidupan akan diliputi kebahagiaan. Istri akan bahagia. Suami akan bahagia. Anak-anak yang dilahirkan dan di asuh di dalam rumah ini akan tumbuh dan berkembang tanpa ada rasa dendam dan akan bahagia. Yakni, dari sisi ini sarana untuk kebahagiaan mereka semua tersedia. (Khutbah Nikah, 31/4/13746) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Kehangatan Rumah Tangga (Bagian Kedua, Habis)


Manusia bukan Sebuah Mesin
Saat suami dan istri berjumpa setelah selesai mengerjakan pekerjaan sehari-hari atau di pertengahan hari, keduanya saling berharap pasangannya bisa menciptakan lingkungan yang ceria, nyaman dan menghilangkan rasa lelah. Ini adalah harapan yang pada tempatnya. Bila kalian bisa melakukan hal ini, maka kehidupan akan menjadi indah. (Khutbah Nikah 24/1/1378)

Dalam kehidupan penuh kegelisahan, manusia senantiasa mencari kesempatan untuk berlindung. Bila mereka adalah pasangan suami istri, maka dalam kegelisahan kehidupan ini masing-masing dari mereka akan berlindung kepada pasangannya. Istri berlindung kepada suami dan suami berlindung kepada istri. Seorang lelaki dalam tarik ulur kehidupan kelelakiannya memerlukan masa ketenangan untuk bisa melanjutkan perjalanannya. Kapankah masa ketenangan itu? Yaitu ketika ia berada dalam lingkungan penuh kasih sayang rumah tangganya. Ia merasa menyatu dengan istrinya yang mencintainya. Dengan dia, di samping dia dan bersama dia. Ketika ia berhadapan dengan istrinya, itulah masa ketenangan dan ketentraman. (Khutbah Nikah, 6/6/1381)
Seorang istri dalam tarik ulur kehidupan kewanitaannya menghadapi beragam krisis dan kegelisahan kehidupan baik saat sibuk melakukan pelbagai aktivitas politik dan sosial di lingkungan luar rumah dan lain-lain maupun saat sibuk di dalam rumah yang jerih payah dan nilainya tidak lebih kurang dari pekerjaan di luar rumah. Ketika seorang wanita mengalami kegelisahan dalam kehidupan, ia lebih banyak memerlukan ketenangan, ketentraman dan sandaran kepada orang yang bisa dipercaya karena jiwanya lebih lembut. Siapakah dia? Dia adalah suami. (Khutbah Nikah, 6/6/1381)
Manusia bukan sebuah mesin. Manusia adalah jiwa. Manusia adalah spiritual. Manusia adalah kasih sayang dan perasaan. Sekarang dia memerlukan ketenangan. Di manakah ketenangan ini? ketenangan ini ada dalam lingkungan rumah tangga. (Khutbah Nikah, 16/11/1379)
Lingkungan rumah tangga adalah lingkungan ketenangan. Lingkungan harus tenang. Kasih sayang yang ada antara suami dan istri inilah yang akan membantu ketenangan jiwa ini. ketenangan dan ketentraman ini bukan berarti ketenangan di hadapan gerakan. Gerakan itu baik. Ketenangan ini berarti ketenangan di hadapan kegelisahan. Manusia dalam kehidupannya terkadang mengalami kegelisahan. Pasangan hidup akan memberikan ketenangan pada pasangannya sehingga jangan sampai gelisah. Hal ini terjadi bila suasana rumah, tidak dalam kondisi kacau. (Khutbah Nikah, 8/3/1381)    

Rumah Tangga Lebih Tenang, Manfaatnya Lebih Besar
Setiap orang baik istri maupun suami dalam sehari semalam menghadapi beragam masalah, kejadian dan peristiwa. Peristiwa-peristiwa ini akan mengganggu jiwa dan melelahkan. Membuat seseorang merasa tidak tenang dan tergesa-gesa. Ketika ia memasuki lingkungan rumah tangga, lingkungan yang aman dan tentram ini akan memperbarui tenaganya lagi. Membuat dia siap menghadapi hari berikutnya dan malam selanjutnya. Rumah tangga sangat penting untuk mengatur kehidupan manusia. Tentunya rumah tangga harus dikelola dengan baik. Harus dikelola secara sehat. ( Khutbah Nikah, 29/10/1377)
Manfaat yang didapatkan oleh suami dan istri dari rumah tangga yang tenang ini akan meningkatkan manfaat pekerjaan mereka di luar rumah tangga. Menjadikannya penting, bernilai dan berkualitas. (Khutbah Nikah, 15/12/1379)
Kesempatan menikah dan hidup tenang  dalam sebuah rumah tangga merupakan sebuah kesempatan penting dalam kehidupan bagi seorang lelaki dan perempuan. Hal ini merupakan sebuah perantara ketenangan, ketentraman jiwa, perantara kesibukan untuk melanjutkan aktivitas kehidupan, perantara untuk keluar dari kesedihan, perantara untuk menemukan teman dekat dalam menghadapi kesedihan yang benar-benar diperlukan oleh seseorang sepanjang hidupnya. (Khutbah Nikah, 9/12/1380)

Kesempatan untuk Memperbarui Tenaga
Di dalam rumah tanggalah pasangan suami istri bisa memperbarui tenaganya. Bisa menyiapkan semangatnya untuk melanjutkan hidup. Kalian tahu bahwa kehidupan adalah perjuangan. Seluruh kehidupan adalah sebuah perjuangan jangka panjang. Perjuangan melawan faktor alami. Perjuangan melawan tantangan sosial. Perjuangan melawan hawa nafsu manusia sendiri. Manusia senantiasa dalam perjuangan. Tubuh manusia juga dalam kondisi berjuang. Jasmani manusia senantiasa berjuang melawan faktor-faktor yang membahayakan. Badan akan sehat selama kekuatan untuk berjuang ini ada dalam tubuh. Pada manusia, perjuangan ini harus benar, logis, di jalan yang benar. Dengan perilaku yang benar dan alat-alat yang benar.
Perjuangan ini terkadang membutuhkan istirahat dan pengosongan beban. Ini adalah sebuah perjalanan dan gerakan. Titik istirahat ini ada di dalam rumah tangga. (Khutbah Nikah, 8/3/1381)

Menghormati Perjanjian Pernikahan
Rumah tangga adalah sebuah perjanjian. Ia bukan perkara alami yang menggabungkan dua sesuatu. Bukan! Ia adalah sebuah perjanjian. Ia merupakan sebuah kesepakatan. Kelanggengannya bergantung pada apakah kedua belah pihak mau menghormati masalah rumah tangga, sosial dan undang-undangnya. Bila tidak mempedulikannya, maka ia tidak akan langgeng. (Khutbah Nikah, 19/1/1377)

Kebutuhan Seksual adalah Kebutuhan Dua Pihak
Islam menjadikan kebutuhan seksual sebagai sebagai jaminan bangunan rumah tangga. Maksudnya apa? Yakni ketika seorang istri dan suami adalah orang-orang yang mulia, agamis, bertakwa dan berdasarkan aturan Islam menjauhi dosa khususnya dalam masalah seksual, otomatis kecenderungan suami istri kepada yang lainnya terkait masalah ini lebih besar. Ketika keduanya saling membutuhkan, rumah tangga yang pondasinya adalah suami dan istri akan menjadi lebih kokoh. (Khutbah Nikah, 9/12/1380)
Islam tidak ingin mencabut jaminan ini dari rumah tangga. Islam menginginkan jangan sampai manusia-manusia ini memenuhi kebutuhan seksualnya di luar lingkungan rumah tangga. Sehingga tidak menjaga aturan, tidak peduli dan sembarangan terhadap rumah tangganya. Oleh karena itulah Islam mencegah penyimpangan ini. (Khutbah Nikah, 18/12/1376)


Keberagamaan Rahasia Kelanggengan Rumah Tangga
Yang perlu dilakukan dalam membangun, membentuk dan menjaga rumah tangga adalah menjaga hukum Islam supaya rumah tangga tetap langgeng. Karenanya, kalian menyaksikan bahwa dalam rumah tangga orang-orang yang beragama dimana suami-istri menganggap penting batas-batas dan aturan ini, mereka selama bertahun-tahun hidup bersama. Kasih sayang suami-istri satu sama lainnya tetap kekal. Berpisah dari pasangannya sulit bagi mereka. Hati mereka saling terikat satu sama lainnya. Kebaikan dan kasih sayang inilah yang melanggengkan rumah tangga. Oleh karena itulah Islam menganggap penting masalah ini. (Khutbah Nikah, 23/12/1379)
Bila gaya hidup islami ini menyebar, maka rumah tangga-rumah tangga akan menjadi kokoh. Sebagaimana pada zama dahulu kita -bukan pada zaman celakanya Pahlevi- pada masa itu iman masyarakat masih lebih sehat dan lebih sempurna dan masih belum tercemar. Pada zaman dulu, rumah tangga lebih kokoh. Suami dan istri lebih saling mencintai. Anak-anak terasuh di dalam lingkungan yang aman. Sekarang juga demikian adanya. Rumah tangga-rumah tangga yang menjaga aturan-aturan Islam mayoritas rumah tangga mereka lebih kokoh, lebih baik, lebih kuat dan lingkungannya lebih aman bagi anak-anak. (Khutbah Nikah, 15/1/1378)

Peran Suami-Istri
Suami dan istri harus berusaha menjaga ikatan ini. Kewajiban salah satu dari mereka bukannya lantas kita katakan bahwa ketika yang satu melakukan sesuatu maka yang lainnya harus bersabar. Tidak. Keduanya harus saling tolong menolong supaya pekerjaan ini terjadi. (Khutbah Nikah, 30/7/1376)
Tidak bisa kita katakan bahwa suami bagiannya lebih lebih banyak atau istri bagiannya lebih banyak. Keduanya memiliki peran dalam menjaga pilar-pilar ini dan dalam menjaga komunitas yang teridiri dari dua orang ini yang selanjutnya secara bertahap peran keduanya semakin bertambah. (Khutbah Nikah, 16/5/1379)
Jauhilah segala hal yang menyebabkan kekacauan rumah tangga, depresi dan emosi yang tidak jelas. Baik suami maupun istri harus mengutamakan perdamaian dan kebersamaan. Kebaikan-kebaikan yang ada dalam rumah tangga adalah milik suami dan istri dan akhirnya adalah milik anak-anak. Bukan milik sepihak. Bila (jangan sampai terjadi) dalam rumah tangga tidak ada rasa kasih sayang, tidak ada kepercayaan dan keakraban, maka kesusahannya akan dirasakan oleh kedua pasangan suami-istri. (Khutbah Nikah, 6/9/1376)
Suami dan istrilah yang lebih banyak memiliki peran dalam mengokohkan pilar-pilar rumah tangga. Dengan berkorban, kerjasama, kasih sayang dan akhlak yang baik mereka bisa menciptakan kelanggengan ini dan senantiasa menjaga kesepahaman ini. (Khutbah Nikah, 17/11/1379)

Rumah Tangga di Tengah-Tengah Masyarakat Islam
Dalam lingkungan islami, suami-istri ada bersama-sama. Ada keterkaitan satu sama lainnya. Keduanya adalah penanggung jawab. Di hadapan anak-anak mereka adalah penanggung jawab. Di hadapan lingkungan rumah tangga mereka adalah penanggung jawab. Lihatlah betapa pentingnya rumah tangga dalam pandangan Islam. (Khutbah Nikah, 18/6/1376)
Dalam lingkungan islami, rumah tangga sedemikian kokohnya sehingga terkadang sampai pada dua generasi dimana kalian melihat kakek, ayah dan cucu hidup dalam satu rumah. Betapa tinggi nilai kehidupan seperti ini. Tidak satupun dari mereka merasa bosan dari yang lainnya dan juga tidak ada masalah buruk dengan yang lainnya bahkan satu sama lainnya saling tolong menolong. (Khutbah Nikah,20/10/1372)
Di tengah-tengah masyarakat Islam yakni masyarakat beragama, kita menyaksikan dua orang manusia bertahun-tahun hidup bersama. Masing-masing dari keduanya tidak merasa bosan, bahkan keterikatan hati mereka semakin kuat. Keakraban, kasih sayang dan kesetiaan mereka semakin kuat. Inilah khasiat keberagamaan dan menjaga hukum-hukum ilahi. (Khutbah Nikah, 2/1/1380)
Di dalam Islam dan budaya Islam, rumah tangga benar-benar kokoh. Dalam sebuah rumah tangga ada kakek, nenek, ayah, ibu. Mereka melihat para cucu dan cicitnya. Mereka saling mengalihkan peradaban yang ada. Generasi sebelumnya mengalihkan peradaban yang didapatnya ke generasi berikutnya. Mereka tidak terbentuk sebagai orang yang tidak punya asal usul dan sendirian serta tidak punya kasih sayang. (Khutbah Nikah, 24/5/1374)

Rumah Tangga Iran, Teladan Dunia
Alhamdulillah, di negara kita dan mayoritas masyarakat Timur, khususnya masyarakat Islam sampai saat ini pilar-pilar rumah tangga masih terjaga. Ikatan rumah tangga Alhamdulillah masih ada. Keakraban, keceriaan dan kasih sayang masih ada. Istri masih memikirkan suaminya. Suami juga masih memikirkan istrinya. Satu sama lainnya dari lubuk hati saling mencintai dan memiliki kehidupan yang akrab. Di tempat lain hal-hal seperti ini sudah sangat sedikit. Di negara kita khususnya di Iran sangat banyak. Penuhilah hal-hal seperti ini. (Khutbah Nikah, 31/4/1376) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Pernikahan: Hukum Alam dan Aturan Syariat (Bagian Pertama)

Tujuan Hidup
Kehidupan bak karavan panjang yang memiliki sejumlah tahapan dan tujuan yang tinggi. Tujuan manusia dalam kehidupan adalah memanfaatkan keberadaan dirinya dan segala yang ada di sekitarnya demi kesempurnaan spiritual dan jiwanya.
Kita lahir memang untuk ini (untuk kesempurnaan spiritual dan jiwa). Kita muncul ke dunia di saat tidak punya pilihan. Kita sebagai anak kecil dan hanya bisa menerima pengaruh. Namun secara bertahap akal kita berkembang dan memiliki kemampuan untuk memilih. Di sinilah manusia harus berpikir dan memilih secara benar dan bergerak maju berdasarkan pilihan ini.
Bila manusia menggunakan dengan baik kesempatan ini dan memanfaatkannya dengan baik saat-saat keberadaannya di dunia ini dan bisa menyempurnakan dirinya, maka suatu hari ketika meninggalkan dunia ini ia seperti orang yang keluar dari penjara dan dari saat itulah ia akan menjalani kehidupan yang hakiki. (Khutbah Nikah, 18/11/1380)

Pernikahan Sebuah Nilai Islami
Masalah penting dan utama; pernikahan yang ditetapkan sebagai Sunnah oleh Allah ini juga merupakan tuntutan alami merupakan satu dari sekian nikmat dan rahasia ilahi. Pernikahan adalah fenomena kehidupan manusia yang tidak bisa dijauhi.
Bisa saja dalam hukum syariat, Allah menetapkan masalah ini sebagai sesuatu yang lazim, wajib dan pasti atau sesuatu yang dibolehkan dan membiarkan manusia begitu saja melakukan pernikahan, namun Allah tidak melakukan hal ini. Bahkan Allah menjadikan pernikahan sebagai sebuah nilai. Yakni, barangsiapa yang tidak menikah, maka ia telah menjauhkan dirinya dari nilai ini. (Khutbah Nikah, 6/10/1372)

Nilai yang Mendapat Perhatian Allah
Dalam Islam, membentuk rumah tangga merupakan sebuah kewajiban. Sebuah aktivitas yang harus dilakukan oleh setiap lelaki dan perempuan sebagai satu pekerjaan ilahi dan sebuah tugas. Meskipun secara syariat tidak termasuk dalam jajaran kewajiban, namun begitu ditegaskan sehingga manusia memahami bahwa Allah menekankan masalah ini. Itupun tidak ditetapkan sebagai sebuah pekerjaan tetapi sebagai sebuah peristiwa abadi dan memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, adanya ikatan antara lelaki dan perempuan senantiasa ditekankan dan sebaliknya perceraian sangat dikecam. (Khutbah Nikah, 11/12/1377)

Allah Tidak Menyukai Lelaki dan Perempuan Lajang
Allah Swt tidak menyukai lelaki dan perempuan lajang, khususnya mereka yang masih muda dan belum pernah menikah. Tapi masalah ini tidak khusus hanya bagi para pemuda saja. Allah menyukai kehidupan berumah tangga. Orang yang menyendiri, lelaki lajang, perempuan single yang menjalani hidupnya sendiri, menurut Islam merupakan sesuatu yang tidak baik. Seperti ada sesuatu yang asing dalam tubuh manusia. Islam menginginkan rumah tangga menjadi sel-sel hakiki dalam kehidupan masyarakat bukan orang yang melajang. (Khutbah Nikah, 5/10/1375)

Menikah Pada Waktunya
Ada riwayat, Rasulullah Saw bersabda, "Nikah adalah Sunnahku." Tentunya Sunnah ini adalah Sunnah penciptaan. Sunnah antara manusia dan seluruh kaum dan agama. Lantas mengapa beliau bersabda Sunnahku? Mengapa harus dikhususkan? Boleh jadi karena Islam lebih menekankannya dan dalam agama lain tidak begitu ditekankan. Coba perhatikan, pernikahan yang ditekankan dalam Islam tidak ditemukan dalam ajaran-ajaran sosial, filsafat sosial dan politik dunia. Islam menekankan agar lelaki dan perempuan menikah di usia ketika siap menikah. (Khutbah Nikah, 28/6/1379)
Selain pernikahan itu tuntutan alami, ia juga merupakan Sunnah agama dan islami. Karenanya, sangat mudah bagi seseorang dapat memenuhi kebutuhan alaminya sekaligus mendapat pahala. Ini dapat terjadi dikarenakan pernikahan merupakan Sunnah. Seseorang dapat menikah dengan niat melakukan Sunnah Rasulullah dan menaati perintahnya. (Khutbah Nikah, 9/11/1376)
Pernikahan adalah Sunnah ilahi dan alami. Rasulullah menyebut pernikahan sebagai Sunnahnya. Artinya, Islam memberikan penekanan khusus terkait masalah ini. Mengapa? Hal itu kembali pada pentingnya masalah pernikahan itu sendiri. Karena begitu besarnya dampak pengaruh pembentukan rumah tangga dalam pendidikan manusia; baik dalam pertumbuhan akhlak, pembentukan manusia yang sehat dari sisi emosi, perilaku, kejiwaan dan pendidikan lanjutan. (Khutbah Nikah, 29/4/1379) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Pernikahan: Hukum Alam dan Aturan Syariat (Bagian Kedua)

Menikah Dengan Semangat Masa Muda
Rasulullah Saw menegaskan agar para pemuda, baik laki-laki maupun perempuan agar segera menikah. Tentunya atas dasar kemauan dan pilihan mereka sendiri, bukan pilihan orang lain. Kita sendiri juga harus mensosialisasikan masalah ini di tengah-tengah masyarakat. Para pemuda hendaknya menikah saat mereka belum keluar dari masa mudanya dan dengan semangat yang masih menggebu-gebu. Ini berbeda dengan pemahaman banyak orang yang menganggap bahwa pernikahan di usia muda adalah pernikahan prematur dan tidak akan bisa langgeng. Justru sebaliknya, tidak seperti anggapan orang lain. Bila pernikahan ini dilakukan dengan baik, maka yang ada adalah pernikahan yang sangat langgeng dan baik serta suami-istri benar-benar akan akrab dalam rumah tangga yang demikian ini. (Khutbah 23/12/1379)

Menikah Saat Pertama Kali Membutuhkan
Islam menegaskan bahwa pernikahan hendaknya dilakukan sesegera mungkin saat pertama kali merasa membutuhkan. Ini merupakan kekhususan Islam. Semakin cepat semakin baik. Yang kita maksud dengan cepat adalah ketika anak lelaki dan perempuan merasa butuh untuk memiliki pasangan hidup. Semakin pernikahan ini segera dilakukan, maka semakin baik. Apa alasannya? Alasannya adalah pertama keberkahan dan kebaikan yang ada dalam pernikahan akan didapatkan oleh seseorang pada waktunya dan lebih cepat daripada waktu berlalu dan umur bergulir sia-sia. Kedua, mencegah luapan-luapan seksual. Karenanya disebutkan, "Man Tazawwaja Ahraza Nishfa Diinihi...barang siapa yang menikah, maka ia telah menjaga separuh agamanya." (Bihar al-Anwar, jilid 100, hal 219) Berdasarkan riwayat ini, jelas bahwa setengah dari ancaman yang dihadapi manusia terkait agamanya adalah luapan-luapan seksual dan ini merupakan angka yang cukup tinggi. (Khutbah 9/12/1380)

Berkah dan Faedah Pernikahan
Kesempatan menikah dan bersikap tenang dalam sebuah rumah tangga merupakan salah satu kesempatan penting dalam kehidupan. Bagi seorang perempuan dan laki-laki, pernikahan merupakan perantara ketenangan dan ketentraman jiwa dan kesibukan untuk melanjutkan aktivitas kehidupan. Pernikahan diperlukan sebagai perantara kebahagiaan, perantara untuk mencari teman dekat dalam kesedian sepanjang hidup. Selain sebagai kebutuhan alami manusia yakni kebutuhan biologis dan seksual, masalah regenerasi dan memiliki anak merupakan salah satu kebahagiaan hidup yang besar.
Lalu, bila seseorang melihat dari dua arah, pernikahan merupakan sesuatu yang memiliki berkah dan fenomena yang sangat berfaedah. Tentunya manfaat yang paling penting dari pernikahan adalah membentuk rumah tangga dan masalah lainnya merupakan cabang, derajat kedua dan mendukung masalah ini, seperti regenerasi atau memenuhi kebutuhan biologis seseorang. Semua ini adalah derajat kedua. Derajat pertama adalah membentuk rumah tangga. (Khutbah 9/12/1380)
Pondasi generasi manusia adalah pernikahan. Kokohnya dunia dengan pernikahan. Peralihan peradaban dan kebudayaan dengan pernikahan. Kekekalan kebebasan masyarakat dengan pernikahan baik dari sisi politik maupun sisi yang lain. Dengan menikah akan muncul keberkahan yang banyak di dalamnya. (Khutbah 26/1/1377)

Syarat Kesempurnaan Pernikahan
Di dalam syariat dikatakan bahwa jagalah kekokohan pernikahan. Kemudian menyebutkan banyak syarat pernikahan di semua bidang. Di bidang akhlak dan perilaku dikatakan, ‘Ketika kalian menikah, maka perbaikilah akhlak kalian! Kalian harus berkerjasama. Kalian harus berkorban. Kalian harus menyayangi. Kalian harus mencintai dan kalian harus setia kepadanya. Semua ini adalah hukum syariat. Semua ini adalah perintah. (Khutbah 6/10/1372)
Tentunya yang paling mudah adalah dari sisi syarat materi. Yang penting dalam pernikahan adalah menjaga hal-hal yang bersifat manusiawi. Menjaga akhlak; suami dan istri harus saling menjaga satu sama lain sampai akhir hidupnya dan yang utama adalah menjaga ikatan ini. (Khutbah 6/10/1372)
Dalam hubungan sosial, syariat Islam menyetujui hal-hal yang berkaitan dengan manusiawi dan telah menetapkan syarat-syaratnya. Salah satu syaratnya adalah hal-hal terkait manusiawi, jangan sampai pernikahan keluar dari hubungan manusiawi dan menjadi transaksi perdagangan. Yang demikian ini tidak disukai oleh syariat. Tentunya syarat ini adalah syarat kesempurnaan bukan syarat sah. Namun benar-benar sebagai syarat. (Khutbah 4/9/1375)

Sekufu Dalam Pandangan Islam
Yang ditetapkan dalam syariat Islam adalah perempuan dan lelaki harus sekufu. Inti masalah dalam hal sekufu adalah iman. Yakni keduanya harus beriman. Keduanya harus bertakwa. Keduanya harus meyakini prinsip-prinsip ilahi dan islami lalu melakukannya. Bila masalah ini terpenuhi, maka masalah yang lain tidak penting. Ketika ketakwaan dan kesucian perempuan dan lelaki jelas, maka Allah akan memenuhi yang lainnya.
Dalam Islam, parameter kerjasama yang disebut dengan pernikahan  adalah agama dan ketakwaan. ‘Almu'minu Kufwul Mu'minah Wal Muslimu Kufwul Muslimah' (Wasail as-Syiah, jilid 20, hal 67). Ini adalah parameter agama.
Tentunya, dalam bidang ini barangsiapa yang maju di jalan Allah adalah yang lebih dahulu dan lebih berkorban. Lebih tahu, lebih berguna dan lebih bermanfaat bagi hamba-hamba Allah, maka ini lebih tinggi dan lebih baik. Boleh jadi perempuan tidak sampai pada batas itu, tidak masalah. Dia bisa mensejajarkan dirinya dalam kebaikan ini dengan suaminya. Atau istri lebih tinggi dan suaminya tidak sebatas dia. Maka suami harus mensejajarkan dirinya dalam masalah ini dengan istrinya. (Khutbah 11/6/1372)

Kesadaran Orang Berakal atau Orang Lalai yang Mabuk
Terkadang seseorang menikah dan mengatakan, "Ya Allah saya menikah" atau kejiwaannya demikian meski tidak mengucapkannya dengan lisan atau bahkan tidak terlintas dalam pikirannya. Dengan kejiwaan ini, saya akan memenuhi kebutuhan alamiku. Kebutuhan alami ini juga bukan hanya kebutuhan seksual. Tapi istri dan suami keduanya membutuhkan pernikahan, kehidupan bersama, membentuk rumah tangga bersama dan berkumpul bersama. Ini juga merupakan sebuah kebutuhan seperti kebutuhan-lebutuhan lainnya yang ada. Berkata, "Ya Allah saya memenuhi kebutuhan ini. Saya berterima kasih kepada-Mu karena telah memberikan fasilitas ini kepadaku. Engkau telah memberikan izin kepadaku. Engkau telah menyiapkan perantara ini. Saya telah mendapatkan istri yang baik, setelah ini, dalam kehidupan yang baru dan kondisi yang baru saya akan berusaha berbuat sesuai dengan apa yang Engku kehendaki." Yang demikian ini adalah model sebuah pernikahan.
Terkadang tidak demikian. Seseorang menikah, namun ia tidak tahu menghargai Allah dan juga tidak tahu menghargai istrinya. Tidak juga tahu menghargai kesempatan yang diberikan kepadanya. Seperti orang yang mabuk dan lalai. Kehidupan yang demikian ini sekalipun langgeng, namun tidak akan indah dan tidak akan dibarengi dengan melakukan kewajiban. (Khutbah 29/3/1381) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Pernikahan: Hukum Alam dan Aturan Syariat (Bagian Ketiga, Habis)

Mensyukuri Nikmat Pernikahan
Memasuki tahap kehidupan berumah tangga merupakan salah satu nikmat yang besar yang diberikan oleh Allah dan syukurilah. Segala yang kita miliki berasal dari Allah. ‘Wa Maa Binaa Min Ni'matin Faminallah...' (Bihar al-Anwar, jilid 49, hal 269) Namun, yang paling penting adalah perhatian kepada nikmat ini. Manusia tidak melihat nikmat-nikmat yang ada. Sebagian orang telah menikah dan mereka banyak mendapatkan kebaikan. Mereka juga menjalani kehidupan yang indah dan baik, tapi tidak mengerti betapa besarnya nikmat ini dan betapa ini merupakan peristiwa yang menentukan dan penting. Ketika mereka tidak mengerti, maka tidak akan mensyukuri dan mereka akan terjauhkan dari rahmat ilahi. Oleh karenanya seseorang harus perhatian betapa besarnya nikmat ini dan bagaimana caranya mensyukuri nikmat ini.
Terkadang seseorang bersyukur hanya mengucapkan dengan lisan ‘Ya Allah, terima kasih' tapi di hatinya tidak terlintas sama sekali. Ini hanya goyangan lidah dan tidak bernilai. Namun terkadang seseorang bersyukur dari lubuk hatinya yang paling dalam. Yang ini sangat bernilai. Ia mengerti bahwa Allah telah memberikan sebuah nikmat kepadanya dan ia menunjukkan rasa syukurnya secara hakiki. Ini adalah syukur yang baik. Tentunya ketika kita bersyukur kepada Allah, maka perlu dibarengi dengan sebuah pekerjaan, sebuah gerakan dan sebuah tindakan berdasarkan syukur ini.
Baiklah...sekarang Allah telah memberikan nikmat ini kepada kalian. Apa yang harus kalian lakukan? Tidak berharap banyak kepada kita...yang diharapkan dari kita atas nikmat ini adalah berbuat baik terhadap nikmat ini. Perbuatan baik ini telah ditentukan dalam Islam. Yakni, akhlak rumah tangga dan hikmahnya. Yakni, bagaimana harus berbuat dalam kehidupan rumah tangga sehingga kehidupan ini menjadi baik. (Khutbah Nikah, 29/3/1381)

Mana yang Menjadi Tujuan; Harta, Kecantikan atau Kesempurnaan?
Bila seseorang menikah karena harta dan kecantikan, berdasarkan riwayat boleh jadi Allah akan memberikan harta dan kecantikan kepadanya dan boleh jadi juga tidak memberikannya. Namun, bila ia melangkah dan menikah demi ketakwaan dan kesucian, maka Allah akan memberikan harta kepadanya dan juga kecantikan. Boleh jadi seseorang mengatakan bahwa kecantikan bukan sesuatu yang bisa diberikan. Seseorang boleh jadi cantik atau tidak. Artinya, karena kecantikan itu ada di mata kalian, di hati kalian dan ada pada pandangan kalian, maka di saat kalian mencintai seseorang, maka kalian akan melihatnya sebagai orang yang cantik meski ia tidak begitu cantik. Bila kalian tidak mencintai seseorang, maka bagi kalian orang itu tidak cantik meski ia sangat cantik. (Khutbah Nikah, 13/10/1377)

Cara Pernikah dalam Islam Lebih Baik
Pernikahan ini tentunya juga ada dalam agama Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya, namun dalam bentuk yang lain. Islam juga mengakuinya. Islam menganggap keduanya sebagai pasangan suami-istri dan mengganggap anak-anak mereka sebagai anak halal. (Khutbah Nikah, 11/5/1375)
Cara dan model pernikahan dalam Islam lebih baik dari agama-agama lain dan bangsa-bangsa yang lain. Mukadimah, prinsip dan juga kelanjutan pernikahan ditetapkan berdasarkan kemaslatan dan kebaikan manusia. Tentunya, pernikahan agama-agama lain menurut kami juga sah dan terhormat. Yakni, akad nikah yang dilakukan oleh seorang Kristen di gereja atau seorang Yahudi di sinagog atau yang dilakukan oleh setiap kaum dan bangsa dengan model apapun, menurut kami adalah sah dan kami tidak menganggapnya batal. Namun, model pernikahan yang ditetapkan oleh Islam lebih baik. Islam menetapkan adanya hak bagi seorang suami, hak bagi seorang istri, tatakrama dalam kehidupan dan cara dalam pernikahan. Prinsipnya adalah agar keluarga tetap kokoh dan bahagia. (Khutbah Nikah, 19/1/1377)

Semudah Ini!
Dalam akad nikah yang kita bacakan ini, hakikatnya adalah menyambung dan menghubungkan dua pihak yang sama-sama asing dengan beberapa kata sehingga keduanya menjadi muhrim, lebih dekat dan lebih saling menyayangi dari semua yang ada di alam.
Kedua, dengan akad ini kita telah mewujudkan satu sel dalam kehidupan masyarakat dimana kehidupan sosial ini tersusun dari sel-sel keluarga.
Ketiga, kalian berdua; yang satu wanita dan yang satu lagi pria, masing-masing memiliki kebutuhan terhadap lawan jenis.
Kebutuhan ini kami selesaikan dengan beberapa kata ini.
Kamilah yang melakukan tiga hal ini. Ini adalah awal dan pondasinya.
Mulai saat ini dan selanjutnya menjadi tanggung jawab kalian sendiri. (Khutbah Nikah, 11/12/1377)

Faedah Yang Paling Penting
Masalah pernikahan dan membentuk rumah tangga dalam syariat Islam merupakan masalah yang sangat penting dan memiliki banyak faedah. Namun, faedah yang paling penting dan tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga itu sendiri. Ikatan pernikahan dan terbentuknya satu kesatuan yang baru ini berperan sebagai sumber ketenangan suami-istri dan kesempurnaan kepribadian mereka.  Tanpa adanya pernikahan perempuan maupun laki-laki tidak akan sempurna. Sementara masalah lainnya termasuk cabang. Bila kehidupan rumah tangga ini sehat dan kokoh, maka pengaruhnya bisa dirasakan di masa depan maupun kondisi sosial saat ini. (Khutbah Nikah, 10/2/1376)
Pernikahan pada hakikatnya adalah pintu gerbang untuk membentuk sebuah rumah tangga dan membentuk rumah tangga merupakan asas semua pendidikan sosial dan kemanusiaan. (Khutbah Nikah, 18/5/1374)
Prinsip dalam pernikahan adalah ikatan perkawinan perempuan dan laki-laki dan pembentukan rumah tangga. Begitu perempuan dan laki-laki bertemu dan melakukan akad nikah dan keduanya menjadi suami istri, maka telah terbentuklah sebuah rumah tangga baru. Islam menyukai rumah tangga muslim dan sehat. Ketika sudah terbentuk sebuah rumah tangga, maka banyak keberkahan yang akan menyelimutinya. Kebutuhan suami dan istri akan terpenuhi, generasi umat manusia akan berlanjut. Namun masalah prinsipnya bukan masalah anak, kecantikan dan kekayaan. Masalah prinsipnya adalah dua orang membentuk kehidupan bersama dan lingkungan ini harus lingkungan yang sehat. (Khutbah Nikah, 22/9/1373)
Yang terpenting dari semunya adalah mewujudkan sebuah rumah tangga dan sebuah lembaga baru. Prinsip penciptaan manusia baik perempuan maupun laki-laki adalah seorang lelaki dan perempuan bersama-sama harus membentuk satu kesatuan supaya kehidupan mereka nyaman, tanpa kekhawatiran dan siap memenuhi kebutuhan manusiawi. Bila yang demikian ini tidak dilakukan, maka satu tiang penting dari kehidupan akan pincang. ( Khutbah Nikah, 16/5/1379) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Sirnanya Cinta dan Krisis Kasih Sayang di Barat (Bagian Pertama)

Generasi tak Beridentitas
Sekarang apa yang terlihat di negara-negara Barat adalah generasi yang tidak beridentitas, generasi yang gagal dan kebingungan, ayah dan ibu yang bertahun-tahun tidak tahu akan kabar anak-anaknya, padahal mereka hidup dalam satu kota, apalagi bila hidup berlainan kota. Rumah-tangga telah mengalami kehancuran. Manusia hidup sendirian. (Khutbah Nikah 28/2/1374)

Di negara-negara Eropa dan Amerika jumlah perempuan tidak bersuami dan lelaki tidak beristri sangat tinggi dan akibatnya adalah muncul anak-anak yang tidak berayah dan tidak beribu, anak-anak gelandangan dan anak-anak pelaku kriminal. Di sana, suasananya adalah suasana kriminal. Sebagaimana berita-berita yang kalian dengar; seorang anak tiba-tiba melakukan pembunuhan di sekolah, jalanan dan dalam kereta api. Ia membunuh sejumlah orang. Tidak hanya sekali dua kali. Tidak hanya membunuh satu dua orang. Tingkat usia pelaku kriminal juga semakin menurun. Tadinya yang melakukan kriminal adalah pemuda-pemuda usia dua puluh tahun kemudian menjadi pemuda-pemuda yang berusia enam belas tujuh belas tahun, sekarang anak-anak berusia empat belas tahun di Amerika melakukan kriminal, begitu mudahnya mereka membunuh seseorang. Ketika masyarakat mencapai tahapan seperti ini, maka ia hampir tidak bisa dikontrol lagi. (Khutbah Nikah 9/11/1376)

Dosa Besar Barat
Salah satu ketimpangan dunia Barat yang secara perlahan-lahan dan berjangka lama menghancurkan peradaban Barat bak rayap menghancurkan kayu, meskipun di sisi lain memiliki kemajuan industri dan keilmuan adalah masalah tidak adanya perhatian terhadap rumah tangga. Mereka tidak mampu menjaga rumah tangga. Di Barat rumah tangga terasing, tidak dipedulikan dan dilecehkan. (Khutbah Nikah 1/12/1374)
Salah satu dosa besar peradaban Barat terhadap umat manusia adalah mencitrakan pernikahan menjadi remeh di mata masyarakat. Menganggap kecil masalah pembentukan rumah tangga. Menjadikan masalah suami istri seperti mereka mengganti pakaian. (Khutbah Nikah 24/1/1378)
Negara-negara yang di dalamnya rumah tangga sedang mengalami kehancuran pada dasarnya adalah pilar-pilar peradaban mereka sedang bergoncang dan pada akhirnya akan mengalami kehancuran. (Khutbah Nikah 9/11/1376)

Tidak Punya Teman Akrab, Tidak Juga Punya Seorang Pendamping Hidup
Di dunia Barat, sekalipun kebanyakan mereka memiliki ilmu, kekayaan dan politik yang kuat di kalangan pemerintahan, namun kehidupan setiap orang dari sisi rumah tangga benar-benar memprihatinkan. Pertemuan keluarga dimana para sesepuh keluarga dan mereka yang lebih muda berkumpul bersama, saling menyayangi, saling tolong menolong, saling memperhatikan satu sama lainnya, saling menganggap lainnya seperti dirinya sendiri, saudara dengan saudara, rumah tangga yang ada saling bersatu padu, hal-hal semacam ini sampai saat ini menjadi tradisi di kalangan kita dan merupakan hal yang wajar, di Barat hal-hal semacam ini tidak ada. Betapa banyak perempuan hidup sendirian. Perempuan hidup sendirian di apartemen dan terpisah dari keluarganya. Malam pulang dari kerja sendirian di rumah, pagi bangun juga sendirian. Tidak ada teman akrab, tidak ada suami, tidak ada anak, tidak ada cucu dan juga tidak ada famili yang hidup akrab dengannya. Orang-orang hidup sendirian di lingkungan sosial semacam itu. Kebanyakan mereka hidup sendirian. Mengapa? Karena lingkungan rumah tangga di sana sudah terlupakan. (Khutbah Nikah 5/8/1375)
Sangat disayangkan kini di Barat manusia menyaksikan bahwa rumah tangga satu persatu sedang mengalami kehancuran. Akibatnya adalah tidak adanya identifikasi kebudayaan dan kerusakan yang melanda mereka. Dan hal ini semakin hari juga semakin meningkat dan sisa-sisa yang mereka miliki juga sedang mengalami kehancuran. (Khutbah Nikah 18/4/1377)

Kebebasan Seksual, Kehancuran Rumah Tangga
Di dunia Barat, terutama di Amerika dan negara-negara Eropa Utara terkenal bahwa pilar-pilar rumah tangga di sana sangat goyah. Mengapa? Karena di sana kebebasan dan penyimpangan seksual merajalela. Ketika perselingkuhan merajalela yakni lelaki dan perempuan memenuhi kebutuhan seksualnya di tempat lain selain rumah tangga, maka pada hakikatnya rumah tangga merupakan sesuatu yang tidak bermakna dan merupakan sesuatu yang dipaksakan dan formalitas saja. Oleh karenanya dari sisi kasih sayang mereka tidak menyatu dan pisah. Secara lahiriah mereka tidak berpisah, namun tidak ada rasa cinta dan keterikatan. (Khutbah Nikah 9/12/1380)
Bila manusia dibiarkan dan memenuhi kebutuhan seksualnya seenaknya sendiri, maka rumah tangga tidak akan terbentuk atau rumah tangga menjadi sesuatu yang lemah dan sia-sia, terancam kehancuran dan akan terombang ambing oleh setiap tiupan angin. Oleh karenanya, di dunia bagian mana saja kalian menyaksikan adanya kebebasan seksual, di sana pula rumah tangga mengalami kelemahan dan kegoncangan. Karena lelaki dan perempuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tidak memerlukan rumah tangga. Namun, di tempat-tempat yang agama di sana mendominasi dan tidak ada kebebasan seksual, segalanya ada bagi lelaki dan perempuan. Oleh karenanya, rumah tangga terjaga. (Khutbah Nikah 20/4/1370)

Cinta Palsu
Di sebagian negara-negara dunia yang mengalami kemajuan pesat ilmu dan peradaban. Kehidupan memaksakan anggota keluarga untuk tidak saling berurusan dengan yang lainnya. Ayah sibuk di suatu tempat. Ibu sibuk di suatu tempat. Keduanya tidak saling bertemu. Keduanya tidak saling memasak untuk yang lainnya. Keduanya tidak saling menyampaikan rasa kasih sayangnya. Keduanya tidak saling menanyakan isi hati yang lainnya dan tidak juga ada urusan penting dengan yang lainnya. Pada saat itu, hanya karena untuk memenuhi anjuran psikolog urusan anak-anak, ayah dan ibu sepakat dan berjanji untuk bertemu selama satu jam di rumah mengadakan pertemuan keluarga. Bila sebuah rumah tangga yang sehat melakukan pertemuan keluarga seperti ini secara alami, mereka melakukannya secara palsu dan dibuat-buat. Pada saat itu istri atau suami akan senantiasa melihat jamnya dan berharap, kapan berakhirnya waktu ini karena misalnya jam enam dia ada janji di tempat lain. Pertemuan keluarga semacam ini tidak akan terwujud dan anak-anak juga tidak akan merasakan keakraban. (Khutbah Nikah 22/4/1379)
Rumah tangga di sana tidak akan bisa akrab dan nyaman. Rumah tangga di sana tidak ada kenyataannya. Suami istri hidup dalam sebuah rumah tangga namun pada dasarnya mereka berpisah. Di sana tidak ada lagi pergaulan rumah tangga, tidak ada lagi kasih sayang rumah tangga, tidak ada lagi kebersamaan penghuni rumah tangga, tidak ada lagi seorang suami merasa butuh kepada istrinya dan sebaliknya, istri yang membutuhkan suaminya. Mereka sebenarnya dua orang lain. Dua orang yang hidup dalam sebuah rumah dengan satu kesepakatan. Mereka menyebutnya keluarga yang dimulai dengan cinta! (Khutbah Nikah 2/9/1373) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

Sirnanya Cinta dan Krisis Kasih Sayang di Barat (Bagian Kedua, Habis)

Akibat Perkawinan dengan Gaya Barat
Di tengah-tengah masyarakat Barat, para pemuda menghabiskan masa mudanya secara bebas. Ketika giliran berumah tangga, pada hakikatnya sebagian besar kebutuhan seksual mereka telah meredam. Semangat, kasih sayang dan cinta yang seharusnya ada dalam lubuk hati suami dan istri sudah tidak ada lagi pada diri mereka atau hanya sedikit. (Khutbah Nikah 17/11/1379)

Ketika sebagian orang mengulur usia pernikahannya sampai usia agak tua dan hal ini di Barat dan peradaban Barat dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa, maka sebenarnya itu adalah salah dan bertentangan dengan fitrah dan maslahat umat manusia. Hal ini terjadi karena mereka lebih cenderung menjalani kehidupan penuh syahwat dan kebebasan tanpa batas. Dalam istilah mereka sendiri, mereka ingin menghabiskan umurnya dengan kesenangan dan memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, namun ketika mereka sudah tidak bernafsu lagi baru mereka tertarik untuk menikah. Kalian perhatikan, beginilah kehidupan di Barat. Banyak terjadi perceraian, banyak terjadi pernikahan yang tidak sukses, suami dan istri yang tidak setia, banyak terjadi kejahatan seksual, sedikit rasa melindungi kaum perempuan, beginilah kehidupan rumah tangga di sana. (Khutbah Nikah 25/1/1377)

Barat Sedang Meluncur Menuju Kehancuran
Bila saat ini kalian mau memperhatikan sebagian masyarakat Barat, khususnya mereka yang bergelut dengan teknologi, komunikasi dan mesin, maka kalian akan melihat kerusaakan di sana semakin hari semakin meningkat. Ketika kerusakan moral dan kejahatan merajalela dalam sebuah masyarakat, maka masyarakat itu akan mengalami kehancuran. Perlu diingat bahwa kehancuran yang akan melanda mereka tidak terjadi sekaligus seperti gempa bumi dan banjir, tapi kehancuran mereka terjadi secara bertahap. Hanya saja tidak bisa diobati. Musibah yang bila menimpa sebuah masyarakat tidak bisa dideteksi dengan segera, namun secara bertahap baru bisa diketahui. Ketika penyakit menyerang mereka sampai ke akar-akarnya, mereka baru memahami. Maka pada saat itu tidak bisa lagi diobati. Sekarang masyarakat Barat sedang menuju pada kehidupan yang demikian ini. Itupun dengan kecepatan tinggi, yakni pada hakikatnya mereka sedang meluncur menuju pada titik-titik yang sangat membahayakan. Ini semua dikarenakan laki-laki dan perempuan tidak menikah pada waktunya dan membentuk rumah tangga secara abadi. Apalagi lingkungan rumah tangga mereka bukan lingkungan yang penuh kasih sayang. (Khutbah Nikah 23/12/1379)
Di dunia Barat, pondasi rumah tangga telah mengalami kegoncangan. Rumah tangga terlambat dibentuk namun cepat hancur. Kejahatan dan perbuatan keji semakin hari semakin banyak. Bila hal ini terjadi secara total, maka masyarakat itu akan dilanda musibah yang besar. Tentu saja penyakit dan kesusahan seperti ini tidak akan menampakkan dirinya dalam jangka lima atau sepuluh tahun, ia akan menghancurkan sebuah masyarakat secara total ketika telah menebarkan pengaruhnya setelah bertahun-tahun lamanya berlalu. Ia akan menghancurkan kekayaan ilmiah, pemikiran, materi dan segalanya. Masa depan seperti ini sedang menunggu sebagian besar negara-negara Barat. (Khutbah Nikah 3/8/1379)

Kesana Kemari Mencari Ketenangan
Sekarang lihatlah dunia Amerika dan Eropa. Lihatlah betapa mereka sedang mengalami kegelisahan. Betapa mereka mengalami ketidaktenangan. Betapa mereka mencari ketenangan. Betapa banyak mereka menggukan obat penenang dan obat tidur. Betapa anak-anak mudanya mengerjakan hal-hal di luar aturan. Mereka memanjangkan rambutnya, memakai pakaian ketat. Ini dikarenakan mereka tidak puas dengan kondisi masyarakat. Mereka marah. Mereka ingin mencapai ketenangan. Akhirnya juga mati dalam kegagalan. Kakek dan nenek meninggal dunia di panti jompo. Anak-anak mereka tidak bersamanya. Istri mereka tidak tahu kabar suaminya. Suami dan istri saling berjauhan. (Khutbah Nikah 22/1/1374)
Di Barat banyak anak yang tidak tahu siapa ayah dan ibunya. Banyak wanita dan lelaki yang secara formal sebagai suami-istri, tapi selama bertahun-tahun tidak saling tahu kabarnya masing-masing. Wanita-wanita yang sampai akhir hidupnya merasa tenang dan sampai masa tua berada di bawah naungan suaminya dan hidup bersama hanya sedikit. Para lelaki yang merasa tenang karena istri yang dicintainya tidak membiarkannya hidup sendirian hanya sedikit. (Khutbah Nikah 11/5/1375)

Siapa yang Mau Mendengarkan?!
Di Amerika sendiri, tingkat kenaikan kejahatan baik kejahatan moral, seksual, kriminal dan pembunuhan dan lain-lain, bahkan di kalangan anak-anak sangat tinggi. Media dan orang-orang yang sadar di tengah-tengah masyarakat Barat sedang menjerit. Mereka menulis artikel, mereka berbicara, mereka memperingatkan, namun tidak ada yang mau mendengarkan, yakni tidak bisa lagi diobati. Ketika mereka merusak kondisi dari dasar dan pondasinya dan selama tiga puluh, empat puluh atau lima puluh tahun berjalan dalam kondisi semacam ini, maka ketimpangan seperti ini tidak akan bisa terselesaikan dengan peringatan, jeritan dan siasat fulan. (Khutbah Nikah 3/6/1375)
Masyarakat Barat tidak memiliki kebahagiaan. Ini bukan kata-kata saya. Ini adalah kata-kata para pemikir mereka sendiri, orang-orang yang peduli kepada mereka, orang-orang yang memiliki pengetahuan, orang-orang yang memiliki akal, bukan para politikus, mereka yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Sekarang suara mereka keluar. Mengapa? Karena di sana tidak ada lagi kebahagiaan hidup. Kebahagiaan yang berarti ketenangan, merasa bahagia dan aman. (Khutbah Nikah 20/3/1379)
Sekarang orang-orang yang mengenal dunia internasional juga tahu bahwa orang-orang yang menginginkan kebaikan dan perbaikan khususnya dari Amerika dan juga negara-negara Eropa mengajak untuk memikirkan masalah ini; Mari kita pikirkan! Tentu saja mereka tidak bisa berpikir semudah yang dibayangkan. Sekalipun berpikir untuk memperbaiki, tidak akan bisa terobati semudah yang dibayangkan. (Khutbah Nikah 9/11/1376)

Tujuan Busuk; Strategi Setan
Orang-orang yang ingin menguasai sebuah negara atau sebuah masyarakat akan menggenggam budaya masyarakat tersebut dan memaksakan budayanya kepada mereka. Salah satu usaha mereka adalah menggoncangkan pondasi rumah tangga. Sebagaimana yang saat ini telah dilakukan di banyak negara. Mereka menjadikan para lelaki tidak bertanggung jawab dan para perempuan bermoral buruk. (Khutbah Nikah 18/12/1376)
Peralihan budaya dan peradaban serta menjaga prinsip-prinsip dan unsur asli sebuah peradaban dan kebudayaan dalam sebuah masyarakat dan mengalihkannya kepada generasi berikutnya terwujud karena berkah rumah tangga. Bila tidak ada rumah tangga, maka segalanya akan hancur. Bila kalian menyaksikan orang-orang Barat berusaha sekuat tenaga menyebarkan seks bebas dan kefasadan, untuk apa? Salah satu sebabnya adalah ingin menghancurkan rumah tangga agar kebudayaan masyarakat menjadi lemah sehingga bisa menguasai mereka. Karena selama kebudayaan sebuah bangsa belum lemah, maka tidak ada seorangpun yang bisa mengendalikannya, tidak seorangpun yang bisa mengaturnya, tidak ada seorangpun yang bisa menguasainya. Yang membuat sebuah bangsa tidak mampu bertahan dan menjadi tawanan asing adalah hilangnya identitas kebudayaan mereka. Usaha ini akan menjadi muda dengan cara menghancurkan pilar-pilar rumah tangga dalam sebuah masyarakat.
Islam ingin menjaga masalah ini. Islam ingin menjaga rumah tangga. Karena dalam Islam salah satu masalah penting untuk mencapai tujuan ini adalah membentuk rumah tangga kemudian menjaga pilar-pilar rumah tangga. (Khutbah Nikah 26/1/1377)

Hanya Satu Kata untuk Rumah Tangga
Dalam sebuah pertemuan di PBB, saya berpidato selama satu jam lebih tentang rumah tangga. Kemudian mereka mengabarkan kepada saya bahwa tv Amerika yang berusaha semaksimal mungkin untuk menyensor dan merusak ucapan kami, fokus pada kata-kata ini dan berkali-kali menyiarkan sekaligus menafsirkannya. Karena ucapan satu kata yaitu rumah tangga. Yakni pesan yang mencakup rumah tangga saat ini bagi Barat bak air segar. Karena mereka merasakan kekurangannya.
Betapa banyak perempuan yang hidup sendirian. Betapa banyak lelaki yang sampai akhir hidup sendirian. Hidup terasing dan tanpa teman. Betapa banyak pemuda yang hidup menggelandang karena tidak adanya rumah tangga. Di sana tidak ada rumah tangga, kalaupun ada seperti tidak ada. (Khutbah Nikah 24/9/1376) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Matla-e Eshq; Gozideh-i az Rahnemoudha-ye Hazrate Ayatollah Sayid Ali Khamenei Beh Zaujha-ye Javan, Mohammad Javad Haj Ali Akbari, Tehran, Daftare Nashre Farhanggi, 1387 HS, Cet 17.

0 comments to "Pernikahan, Hubungan Keluarga, Mencintai Anak & Istri serta Suami menurut ISLAM dan BARAT"

Leave a comment