Oleh: Muhsin Labib
Namun Wahabisme tidak selalu bernasib baik. Dalam perkembangannya radikalisme yang berkembang di lingkungan kelompok ini akhirnya memancing keretakan dan konflik horizontal diantara mereka sendiri Fenomena radikalisme Juhaiman yang menguasai Masjidil Haram beberapa tahun silam, Ben Laden dengan Al-Qaedah serta Talibanisme membuat melahirkan perpecahan dalam simpul-simpul Wahabisme. Di Arab Saudi, tempat kelahirannya, wahabisme radikal mulai mendapatkan tekanan dari aparat Kerajaan. Islam Sunni yang semula dianaktirikan, mulai mendapatkan kelonggaran. Muslim Syiah, yang menjadi mayoritas di wilayah Timur, mulai diperlakukan dengan baik.
Di Indonesia ada dua jenis majalah hot. Jenis pertama adalah majalah yang meniru gaya penjual daging di pasar Kramatjati, menjual paha, dada dan kadang kepala. Jenis kedua adalah majalah panas, bukan karena menawarkan jasa fantasi seks atau menjual daging yang bisa menambah kolsterol, tapi karena menjual arogansi, curiga, dan benci. Sebagian dari majalah-majalah hot jenis kedua ini mengusung jargon ‘salafi’, sebutan lembut untuk Wahhabisme.
Aliran ini didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, nama lama Riyadh ibukota Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.].
Karena dianggap sebagai tempat kelahiran Nabi, banyak orang Indonesia yang tanpa sadar mengirimkan anaknya ke Arab Saudi untuk mempelajari agama Islam di sana dengan harapan menjadi penguat Islam non wahabi di Tanah Air dan kampung halamannya. Namun, karena paham Wahabi menjadi mazhab resmi di Arab Saudi dan sejumlah negara Teluk sejak keruntuhan kerajaan Turki Ottoman, para pelajar itu pulang ke Indonesia dengan membawa paham wahabi. Sejak saat itulah wahabi masuk ke Indonesia.
Kaum Wahabi melakukan sejumlah aksi misionari dengan mengusung jargon ‘pemurnian Islam’ dan ‘pembasmian TBC’ (takhayul, bidah dan khurafat), seperti tahlil, maulid dan semacamnya, seraya menganggapnya sebagai pengaruh paham Syiah yang dianggap sesat bahkan kafir. Tentu saja kasar ini tidak dibiarkan. Konflik pun tak terhindarkan.
Konflik terjadi pertama kali di di Indonesia pada abad 19 di Minang Kabau. Kemunculan kelompok ini menimbulkan perang terbuka dengan kalangan muslim lain, yang mayoritas beraliran Sunni (Syafii) dan Syiah yang dikenal dengan perang Paderi. Konflik ini menjadi amunisi bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menguatkan cengkramannya. Paham ini dalam versinya yang lebih moderat dianut oleh ormas keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis) yang mempunyai basis di Bangil dan Bandung. Metode dakwahnya yang kasar dengan membidahkan tahlil dan tradisi-tradisi lainnya, melaui majalah Al-Muslimun, cukup mengundang kecaman dan penentangan dari para kyai NU, terutama pada masa hidup Hasan Bandung dan putranya, Abdulkadir.
Pada awal 90 an gerakan Salafi memisahkan diri dari gerakan Tarbiyah dan mendirikan gerakan tersendiri yang lebih radikal. Tidak seperti kelompok Tarbiyah yang berbasis di daerah Jawa Barat, kelompok ini mengambil basis di beberapa kota besar di Jawa Tengah, seperti Jogjakarta dan Solo. Kini kelompok salafi radikal dikenal dengan ‘mazhab Saudi’, sedangkan yang lebih moderat diseknal dengan ‘mazhab Kuwait’. Dua negara kaya minyak ini, secara institusional mapun individual, memang dikenal sebagai donaturnya.
Kelompok Salafi juga aktif menyebarkan pandangan-pandangannya melalui buku, buletin dan majalah murah meriah, bahkan sebagian dibagikan secara gratis. Majalah-majalah hot jenis kedua juga menjadi corong misionarinya. Kelompok ini juga menggunakan media rekaman kaset ceramah/pidato tokoh-tokohnya yang disebarkan secara internal dari tangan ke tangan (dalam lingkungan gerakan) sebagai metode dakwah dengan materi dakwah yang sangat-sangat radikal, seperti menyebarkan kebencian terhadap para penganut agama selain Islam, bahkan selain Wahabi.
Namun Wahabisme tidak selalu bernasib baik. Dalam perkembangannya radikalisme yang berkembang di lingkungan kelompok ini akhirnya memancing keretakan dan konflik horizontal diantara mereka sendiri. Fenomena radikalisme Juhaiman yang menguasai Masjidil Haram beberapa tahun silam, Ben Laden dengan Al-Qaedah serta Talibanisme melahirkan perpecahan dalam simpul-simpul Wahabisme. Di Arab Saudi, tempat kelahirannya, wahabisme radikal mulai mendapatkan tekanan dari aparat Kerajaan. Islam Sunni yang semula dianaktirikan, mulai mendapatkan kelonggaran. Muslim Syiah, yang menjadi mayoritas di wilayah Timur, mulai diperlakukan dengan baik.
Karena itu tidaklah mengherankan bila Saudi Arabia dan negara-negara mayoritas Sunni lainnya kini memandang Iran sebagai sebagai mitra dalam membangun blok Islam yang disegani oleh Barat. Pintu rekonsiliasi Syiah dan Sunni pun makin terbuka. Indikatornya sangat banyak, antara lain sambutan hangat Raja Abdullah atas kedatangan Ahamdinejad ke Riyadh, dan pertemuan negara-negara Islam di baghdad beberapa hari ke depan dalam misi menyelesaikan konflik di Irak dan Libanon.
Di Indonesia yang majemuk ini, agaknya setiap kelompok keagamaan radikal, apalagi yang cenderung menggunakan pendekatan kekerasan, verbal maupun militer, tidak pernah mencapai hasil yang optimal karena kebinekaan dan kesantunan yang merupakan watak dan ciri khas bangsa ini pasti menolaknya.
Sayangnya, sebagian orang tidak cukup cerdas untuk membedakan antara Sunni asli Indonesia (Syafii) dan wahabi, yang belakangan mulai memakai nama Ahlussunnah sebagai strategi cerdiknya. Bahkan sebagian menganggap radikalisme sebagai pertanda relejiusitas dan keteguhan beragama. Ironis.[]
Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran. Saat ini aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL
0 comments to "HOT.........."