Home � Pin Bergambar Nabi

Pin Bergambar Nabi

Pin Bergambar Nabi :Antara Simbol dan Substansi

Sejumlah teman meminta saya untuk memberikan pandangan saya terkait kasus pin yang bergambar Nabi Muhammad. Semual saya menolak karena hal itu dikahawtirkan makin menambah volume pemberitaan yang tidak seimbang dan fair. Namun, karena tetap didesak, saya pun memberanikan diri untuk mengemukakan pandangan pribadi saya. Semoga bermanfaat dan tidak menimbulkan hal-hal yang negatif, amin.

Kasus pin bergambar Nabi termulia, Muhammad saw, mencuat di Makasar dan diekspos oleh mungkin seluruh media utama di Tanah Air. Akibatnya, aparat kepolisian yang bertanggungjawab menjaga keterbitan melakukan penahanan terhadap orang-orang yang diduga menyebarkan atau memperjualbelikannya. Sejumlah tokoh agama dan terutama MUI pun mereseponnya dengan sejumlah penilaian yang intinya menentang bahkan menganggapnya sebagai penghinaan. Benar-benar gawat kedengarannya.

Pro dan kontra soal hukum penggambaran Nabi Muhammad pun mencuat. Sebagian besar atau seluruh tokoh agama di Makasar dan mungkin di Indonesia menganggapnhya sebagai perbuatan haram, dengan alasan tak seorangpun pernah bertemu dengan Nabi di zaman sekarang.

Tentu, soal halal dan haramnya menggambar Nabi ini bisa didiskusikan. Dan kalau kita mau mengedepankan argumen bukan sentimen dan dogma sektarian, boleh jadi pengharaman itu merupakan kesimpulan yang bisa dipertanyakan, karena sejumlah alasan. Salah satunya adalah gambar Nabi bisa jadi dibuat berdasarkan ciri-ciri fisik beliau yang termaktub dalam banyak riwayat, sehingga bisa jadi gambar itu tidak lebih dari sebuah skesta. Soal apakah itu penghinaan ataukah tidak, bisa diverifikasi langsung melalui penyeledikan yang objektif dan bebas dari tekanan pihak dan lembaga apapun termasuk MUI. Bila tersangka yang diamankan pihak Kepolisian tersebut terbukti tidak melakukan penisataan dan pembagian pin tersebut dilakukan dengan tujuan mengagungkan atau sekadar ekspresi kecintaan, maka kepolisian tidak berhak untuk menahannya lebih lama.

Namun, terlepas dari posisi hukum fikih tentang halal dan haramnya menggambar wajah Nabi Muhammad yang konon dibawa oleh orang yang membelinya di Iran itu, poin penting yang perlu diperhatikan, pengharaman gambar Nabi Muhammad di Indonesia lebih bersifat kultural dan mistikal, bukan diskursif dan yurisprodensial. Karenanya, menarik persoalan “pin bergamnar Nabi” ke meja diskusi hukum fikih, selain tidak efektif, bisa menimbulkan efek sosial dan kutur yang kurang baik.

Bukan rahasia lagi, Sunni dan Syiah dalam bidang fikih tidak selalu sama, karena sumber ijtihad para fakihnya berbeda. Islam Syiah yang dianut oleh mayoritas rakyat Iran, sejauh yang saya ketahui, tidak mengharamkannya secara spesifik, meski tidak juga menghalalkannya. Dalam kaidah fikih Syiah, ditetapkan bahwa segala sesuatu pada mulanya halal kecuali bila ditemukan teks ekspilist yang mengharamkannya. Selain itu, ditetapkan pula sebuah hukum fikih general yang berbunyi bahwa ‘penistaan terhadap Islam, Nabi, al-Qur’an, Nabi Muhammad dan simbol-simbol utamanya adalah haram”. Nah, berdasarkan hukum yang bersifat umum tersebut, membawa dan menyebarkan pin bergambar Nabi Muhammad (bagi yang meyakininya) selama tidak disertai dengan bukti-bukti nyata penghinaan, tidak bisa dianggap dan diberi hukum haram. Atas dasar itu, sebagian masyarakat awam Iran mempercayai gambar tersebut sebagai gambar Nabi Muhammad dan memasangnya di rumah atau menyimpanny dalam saku atau disematkan di dada kemaja dengan tujuan mengambil berkah. Penghormatan simbolik demikian memang merupakan ciri khas prilaku masayarakat awam Iran, bahkan telah mentradisi dan menjadi bagian dari kultur masyarakat disana.

Dari sini, pin bergambar Nabi Muhammad mesti dilihat dari dua persepktif, hukum dan budaya. Secara hukum keagamaan (fikih), ia masih berpeluang untuk diperdebatkan haram dan tidaknya karena dasar utamanya adalah unsur “penghinaan”.

Namun, secara kultural, apapun yang mengarah kepada visualisai Nabi Muhammad tidak bisa diterima oleh masyarakat Muslim di Indonesia karena kesan dan dogma yang telah terbentuk secara turun temurun ialah bahwa adalah wajah Nabi Muhammad tidak akan bisa digambarkan oleh siapapun selamanya, dan bila dilakukan maka itu adalah kelancangan dan penistaan terhadap beliau.

Meski mungkin tidak landasan hukum fikih pengharaman tersebut layak diperdebatkan dalam forum yang terbatas, namun menghargai dan mengakomodasi opini dan tradisi masyarakat adalah sikap arif yang akan sangat menguntungkan kelompok minoritas Muslim lain yang tidak mengharamkannya. Artinya, memilih untuk tidak mengadopsi budaya masyarakat lain dengan mengutamakan budaya lokal tidak bisa dianggap sebagai pengingkaran terhadap aspek hukum. Dengan demikian, masyarakat Syiah di Indonesia bisa meyakinakan masyarakat Sunni, yang merupakan mayoritas di Indonesia, bahwa mereka adalah bagian integral dari jatidiri dan budaya Indonesia. Karena itu, Islam Arab, yang direpresentasi oleh Wahabisme, mengalami reistensi kuat dari mayarakat Muslim yang bermazhab Syafii di Tanah Air. Sekali lagi, menurut saya, kita mesti bangga menjadi Syiah made Indonesia, Syiah Merah Putih!

Tantangan dan tentagan di depan kita makin berat seiring dengan makin giatnya sentra-sentra zionis dan imperialis untuk menancapkan taring hegemoni di dunia Islam melalui agitasi, provokasi, propaganda dan pemutarbalikan fakta demi menciptakan perpecahan umat Islam di dunia dan terutama kekacauan serta kemunduran Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Isi dan pandangan dalam artikel sederhana ini bersifat pribadi, dan ditulis dengan tujuan mengajak semua untuk bisa mengutamakan substansi ketimbang simbol seraya berharap semoga kita semua mendapatkan ampunan dari Allah serta syafaat Nabi Muhammad dan jejiwa suci di belakangnya, amin. Mohon maaf bila tulisan ini dirasa kurang berkenan.
sumber:muhsinlabib.wordpress.com

0 comments to "Pin Bergambar Nabi"

Leave a comment