Home � Suksesi Sulit Arab Saudi dan Mesir

Suksesi Sulit Arab Saudi dan Mesir

RAJA Abdullah dari Arab Saudi dan Presiden Mesir Hosni Mubarak sudah berusia 80-an. Mereka adalah aliansi Amerika Serikat (AS) yang pemerintahannya menghadapi masalah di dalam negeri, tetapi memainkan peranan penting di seluruh penjuru Timur Tengah.

Namun, saat ini, obrolan tentang suksesi di dua negara itu sedang menghangat di saat Washington, bersama Riyadh dan Kairo, berencana menavigasi sebuah era tanpa dua tokoh dominan di kawasan itu. Kedua orang ini sama sekali tidak memberikan indikasi bahwa mereka akan mundur. Masa jabatan Mubarak akan berakhir pada 2011, sedangkan kekuasaan Raja berlangsung selama dia sehat. Namun, baik Mubarak dan Abdullah sama-sama rapuh.

Di Mesir, ada obrolan bahwa putra bungsu presiden, Gamal, akan mengikuti jejak ayahnya dan di Arab Saudi, beberapa skenario kepemimpinan tersimpan rapat di Dewan Saud yang berkuasa. Menurut seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, Washington yakin bahwa hubungan mereka dengan dua negara ini cukup mendalam dan luas untuk bertahan pada suksesi apa pun. Namun, kepada Los Angeles Times, pejabat itu menambahkan, ketiadaan Mubarak yang sudah berkuasa sejak 1980 dan Abdullah yang bertahta pada 2005 tapi menjalankan pemerintahan Arab Saudi sejak 1996--saat Raja Fahd mengalami stroke-- meningkatkan kecemasan atas masa depan Timur Tengah.

Jejak yang ditinggalkan para pemimpin yang makin senja usianya itu memang tak terhapuskan. Mubarak sudah mempertahankan perdamaian dengan Israel. Abdullah mengubah kerajaannya yang kaya minyak menjadi kekuatan diplomatik setelah Riyadh punya pengaruh kuat dari Beirut sampai Kabul. Pasangan itu sudah mengesampingkan dendam masa lalu negara mereka untuk bekerja sama menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ancaman utama dunia Arab: prospek negara nuklir Iran dan kekerasan yang disulut militan dari Afrika Utara sampai Indonesia.

Strategi mereka diperkirakan tidak akan diikuti pengganti mereka, terutama karena pemimpin baru akan berasal dari orang dalam rezim berkuasa saat ini. Apa yang akan hilang adalah pengalaman puluhan tahun dan muka dunia yang sudah tumbuh bersama Mubarak (81)(dengan kacamata besarnya dan salut dari Angkatan Laut) serta Abdullah (85), pengawalnya yang superbanyak dan jenggot panjangnya.

"AS seharusnya mencemaskan kemungkinan kedua pemimpin ini menghilang dari peredaran. Iran dan Suriah akan mengeksploitasi menghilangnya Mubarak dan Raja Abdullah," tutur Amr Hamzawy, ahli Timur Tengah di Carnegiw Endowment for International Peace.

Namun, Nabil Fahmy, mantan Duta Besar Mesir untuk AS, mengungkapkan, "Saya tidak mengkhawatirkan perubahan kepemimpinan sebagaimana dicemaskan Barat." Yang berada di puncak daftar pengganti potensial di Mesir adalah putra Mubarak,Gamal,45,dan Omar Suleiman yang pada 1970-an adalah teman presiden dan kepala jaringan intelijen negara itu.

Gamal kurang memiliki pengalaman pemerintahan dan kebijakan luar negeri, tapi mendukung reformasi ekonomi dan tampak lebih memperhatikan hak asasi manusia daripada ayahnya. Suksesi di Arab Saudi terbelit pada umur, penyakit, dan perebutan kuasa di dalam tubuh keluarga kerajaan antara kaum moderat dengan garis keras.

Ahli waris langsung adalah Putra Mahkota Sultan bin Abdulaziz. Dia berusia awal 80-an dan menderita sakit selama bertahun-tahun. Di belakangnya adalah Pangeran Nayef bin Abdulaziz (76), Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, yang tahun ini diangkat Abdullah sebagai deputi perdana menteri.

Mubarak dan Abdullah dilihat sangat kuat menghadapi tekanan dalam negeri. Mubarak berkuasa setelah Anwar Sadat, pemimpin sebelumnya, dibunuh. Mubarak terus berkuasa dengan memberlakukan undang-undang darurat selama hampir 28 tahun. Abdullah ditunjuk sebagai putra mahkota pada 1982 dan telah menjalankan roda pemerintahan di Arab Saudi setelah Fahd, kakak tirinya, sakit. Usahanya melakukan reformasi memenangkan banyak pujian. Namun dia dikritik karena tidak terlalu keras kepada kaum konservatif dan tidak memberikan kebebasan bagi wanita.

"Memprediksikan apa yang akan terjadi di Arab Saudi sangatlah sulit," ujar Mohammad Fahad Qahtani, reformis dan asisten dosen ekonomi di Institute of Diplomatic Studies. "Anda tinggal di surga minyak. Negara ini adalah gudang uang, tapi Anda punya pengangguran dan 30% rakyatnya hidup miskin. Hanya 22% keluarga yang punya rumah sendiri." "Ini adalah gambaran sebenarnya. Rezim itu kehilangan kredibilitas," imbuhnya. Silahkan baca http://www.islammuhammadi.com/content/view/970/121/Persaingan di Lingkar Kekuasaan Saudi Arabia.

Persaingan di Lingkar Kekuasaan Saudi Arabia
Masih ingat kejadian di Washington pada 2006 lalu? Ketika itu terjadi peristiwa yang unik. Pangeran Turki al Faisal secara tiba-tiba mengundurkan diri sebagai Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS). Padahal, masa jabatannya sebagai Duta Besar di Washington baru sekitar 17 bulan.


Bandar dan Turki saling sikut
Lebih aneh lagi, Turki al Faisal bukanlah diplomat yang sembarangan. Dia sempat sekelas dengan mantan Presiden AS Bill Clinton. Sebelum menjadi Duta Besar untuk kerajaan Inggris dan AS, putra bungsu Raja Faisal tersebut sempat mengepalai dinas intelijen Arab Saudi selama 24 tahun. Guru intelijennya pun tidak tanggung-tanggung, mata-mata legendaris Perancis Count Alexander de Marenches.

Dari sini, jelaslah sudah bahwa Turki al Faisal merupakan kekuatan politik yang patut diperhitungkan di kerajaan Arab Saudi. Punya hubungan darah (trah) dengan keluarga kerajaan, punya akses ke sumber-sumber intelijen kelas satu, dan relasi yang luas dengan kalangan internasional di Amerika dan Eropa.

Namun Turki al Faisal bukanlah satu-satunya kekuatan yang patut diperhitungkan di lingkar inti kekuasaan Raja Abdullah. Adalah Pangeran Bandar bin Sultan, yang memiliki kedekatan dengan keluarga George Bush tua maupun muda.

Bandar bin Sultan, yang sekarang masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional kerajaan Arab Saudi, seperti halnya dengan al Faisal, juga pernah menjabat Duta Besar Arab Saudi di AS. Setelah kedua masa jabatan Bandar bin Sultan dan al Faisal sebagai Duta Besar Saudi di AS berakhir, kemudian Adil al Jubairi terpilih mengganti mereka berdua. Hanya saja, al Jubairi tidak termasuk golongan ”darah biru.” Dia hanya penasehat pribadi Raja Abdullah bidang kebijakan luar negeri.

Hubungan Bandar dan Turki memang tidak bisa dibilang mesra. Bandar yang sudah menjadi Duta Besar AS sejak era Ronald Reagan , tak heran jika punya hubungan persahatan yang dekat dengan beberapa kroni Reagan seperti George Bush Tua dan mantan Wakil Presiden Dick Cheney yang mendampingi George Bush muda sebagai presiden dalam periode kepresidenan AS antara 2000-2008.

Melalui hubungan Bandar dan kroni Bush inilah, kongsi bisnis antara para pengusaha minyak Saudi dan AS secara erat terjalin. Adanya ”perselingkuhan” kroni Bush dan Bandar inilah yang memicu pengunduran diri Turki al Faisal sebagai Duta Besar AS pada 2007. Beberapa sumber mewartakan bahwa meski sebagai Duta Besar, al Faisal merasa tidak dilibatkan dalam kunjungan kenegaraan Wakil Presiden Cheney ke Arab Saudi.

Beda Cara Pandang Melihat Iran Tujuan Sama
Meski tidak ada kaitannya dengan pengunduran diri al Faisal sebagai Duta Besar Saudi di AS, ada kejadian menarik ketika itu. Yaitu bocornya sebuah rencana Saudi di Irak. Nawaf Ubayd, bawahan Turki, dalam artikelnya di Washington Post 29 November 2006, menyatakan Saudi siap melakukan intervensi besar-besaran ke Irak membantu kaum ekstrem Wahhabi, melalui bantuan dana, senjata, dan logistik kepada milisi Wahhabi untuk menghantam kaum Syiah dan adu domba kaum Sunah dan Syiah.

Dari berbagai data dan sumber informasi [Global Future Institute], banyak kalangan elite Saudi yang sebenarnya menyokong pendapat Ubayd, termasuk Raja Abdullah.

Ketika itu berita Washington Post yang mengutip pernyataan provokatif Ubayd, memang sekadar uji materi untuk memancing opini publik, sekaligus menyudutkan Dubes al Faisal dalam posisi sulit. Alhasil, Ubayd tak lama kemudian dipecat dari jajaran staf diplomatik kedutaan Arab Saudi di Washington.

Harus diakui, perkembangan di Irak pasca kejatuhan Saddam Husein yang bergeser ke kelompok Islam Syiah yang berpenduduk mayoritas di Irak, Arab Saudi sebenarnya sangatlah ketakutan. Atau kalau mau lebih spesifik, ketakutan dinasti Saud terhadap perkembangan situasi di Timur Tengah dan utamanya di Irak, yang mengarah pada semakin menguatkanya pengaruh Iran dan Islam Syiah di Irak.

Apalagi ketika dalam menghadapi serangan Israel ke Lebanon, gerakan Islam bernama Hizbullah , ternyata memiliki kemampuan militer yang cukup mengagetkan. Bahkan dari segi peralatan militer pun, Hizbullah ternyata memilliki pesawat udara tanpa awak UAV.

Bisa dimengerti jika Bani Saud, yang mana Bandar bin Sultan termasuk di dalamnya, menganggap ekspansi kekuatan Syiah di Irak dan Iran bisa mengancam status quo kerajaan Saudi yang wahhabi.

Tak heran jika Saudi bersama dua negara sekutu Israel, Yordania dan Mesir, semakin erat dalam menjalin persekutuan taktis. Bahkan dengan Israel, Saudi pun diam-diam menjalin kontak untuk membendung ancaman Iran.

Sedemikian ketakutannya kerajaan Ibnu Saud ini, sehingga bila perlu Saudi akan merestui dan mendukung jika AS ataupun Israel suatu waktu menyerbu secara militer ke Iran.

Sebaliknya al Faisal, termasuk yang menganggap sikap konfrontatif Bandar bin Sultan sebagai tindakan yang tidak taktis. Dia lebih menganjurkan sikap yang menekankan kehati-hatian dan menggunakan pendekatan melalui jalur diplomasi.

Turki al Faisal, nampaknya lebih sehaluan dengan Presiden AS, Barrack Obama, untuk mengadakan dialog secara langsung dengan Iran dalam segala masalah.

Yang kiranya masih harus dipantau secara lebih seksama adalah, apakah perseteruan Bandar dan Turki hanya sebatas perbedaan metode Arab Saudi dalam mengembangkan politik luar negeri atau memang sudah pada taraf pertarungan perebutan kekuasaan di internal Bani Saud.

Bandar bin Sultan yang berasal dari klan Sudairi merupakan putra dari Sultan bin Abdul Azis yang sekarang putra mahkota, dikenal pro-barat dan dekat dengan kalangan kapitalis dari sektor bisnis industri berat, minyak, pertambangan dan energi. Sedangkan Turki al Faisal, yang terhitung keponakan langsung dari Raja Abdullah, cenderung menganut pendekatan realisme politik namun memiliki sikap nasionalisme arab yang tinggi.

Lepas dari itu semua, pertarungan antar pangeran di internal Bani Saud bisa-bisa akan menjurus ke pertumpahan darah atau pembunuhan politik bahkan kondisi di dalam kerajaan Saudi saat ini sudah mengarah ke arah sana. Sejarah mencatat Raja Faisal mati terbunuh akibat ulah salah seorang anggota keluarga kerajaan. Dan dimungkinkan kejadian yang menimpa Faisl bisa jadi terulang.

Perlu diketahui bahwa seluruh anggota keluarga kerajaan memiliki 7000 pangeran serta 23 ribu istri dan anak. Jelas sebuah pertaruhan hidup dan mati untuk menjaga keseimbangan antar faksi di dalam internal Bani Saud Al Wahhabi.[islammuhammadi/mt/theglobalreviews]

Tags:

0 comments to "Suksesi Sulit Arab Saudi dan Mesir"

Leave a comment