Home � POLIGAMI : Antara Akhlaq dan Fiqih

POLIGAMI : Antara Akhlaq dan Fiqih


Poligami yang seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh masyarakat malah dianggap sebagai solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama.

Trend mutakhir dari perkembangan sosial masyarakat saat ini adalah menuntut dan mempertanyakan kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama yang semakin hari dianggap tidak sesuai dengan masa kekinian. Kecenderungan ini tidaklah perlu ditakuti, bahkan hal ini adalah indikasi positif sosial, bahwa masyarakat benar-benar ingin menjalankan tatanan sosial dan tradisi berdasarkan logika dan nalar yang jernih. Islam sebagai agama yang fleksibel yang tercermin dalam al-Quran dan sunah, menyambut hangat reaksi sosial ini. Diantara kajian yang hangat dan kontroversial saat ini, adalah poligami. Meskipun polemik tentang poligami tidak bisa dikatakan sebagai hal yang baru, akan tetapi karena pembahasan ini sensitif khususnya bagi kaum hawa sehingga topik ini selalu menarik minat halayak.

Poligami yang seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh masyarakat malah dianggap sebagai solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama. Bahkan, figur manusia suci Rasulullah saw sendiri melakukan norma tersebut. Jelas, konsekwensi dari segala perbuatan Rasulullah saw selalu dianggap sebagai sunah untuk ummatnya. Memang terlalu sederhana memandang poligami dari sisi hukum fiqih. Bahwa hukum fiqih lebih cenderung kering apabila tidak diimbuhkan dengan nilai-nilai akhlak.

Dari satu pihak, saya sependapat dengan Faqihudin Abdul Qodir, bahwa ungkapan “poligami itu sunnah” sering digunakan sebagai pembenaran poligami, sehingga lebih cenderung kaku dalam melihat hukum tersebut, tanpa melihat latar belakang sunnahnya poligami Rasulullah saw. Akan tetapi dari sisi lain, pendapat yang mengatakan bahwa poligami sama sekali tidak benar dan bertentangan naluri manusia, khususnya wanita adalah pikiran yang dangkal.

Allamah Thabathabai seorang filosof dan mufasir kontemporer, dalam bukunya Maqalot secara jelas menyinggung bahwa pernyataan poligami bertentangan dengan naluri wanita sebagai manusia adalah tidak benar, karena yang menjadi istri kedua juga wanita yang dengan senang hati melakukannya. Seandainya bertentangan dengan naluri wanita, maka tidak akan ada wanita yang bersedia menjadi istri kedua.

Kecenderungan para sarjana Islam yang hanya memandang dari satu sisi di antara doktrinasi tersebut menyebabkan kesalahpahaman yang terus berlanjut. Seperti kajian poligami yang mempunyai aspek murni kajian akhlak dan sosial, kemudian dipaksakan sebagai wacana yang beraspek fiqih. Ayatullah Muhammad Husein Madzohiri, guru akhlak tersohor, dan juga dikenal sebagai pakar fiqih, menyatakan bahwa kajian poligami yang berkembang saat ini adalah murni kajian akhlak dan sosial, bukan fiqih.

Dalam bukunya “Akhlok dar Khoneh” Ayatullah Husein Madzohiri mengklasifikasi poligami menjadi beberapa tipe. Pertama, poligami darurat, bahwa kondisi menuntut untuk berpoligami. Sebagai contoh, apabila istri sakit, sehingga tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri, maka suami terpaksa berpoligami. Dan bentuk poligami inilah yang mendapatkan perhatian khusus hadis-hadis Rasulullah saw. Contoh lain, adalah istri yang mandul dan suami-istri menginginkan kehadiran seorang bayi, maka suami terpaksa berpoligami. Berkenaan dengan bentuk poligami ini, Ayatullah Husein Madhohiri menganjurkan, supaya istrinya yang mencarikan istri keduanya yang sesuai dengan kondisi spiritualnya. Kedua, poligami dengan motif birahi, bahwa suami membayangkan istri kedua akan memberikan kenikmatan seks yang berbeda. Yang jelas, seorang yang bertumpu kepada hawa nafsu tidak cukup beristri satu, bahkan apabila memungkinkan akan membangun lokalisasi pribadi.

Menurut sudut pandang akhlak, bentuk poligami yang kedua ini sangat berbahaya sekali. Karena mengikuti hawa nafsu seks akan menjebaknya di lembah marabahaya. Bahwa hawa nafsu seks tidak mempunyai batas akhir, yakni seseorang tidak akan pernah klimaks dan puas, sehingga orang yang terjebak didalamnya akan selalu menkonsentrasikan pikirannya demi tujuan-tujuan tersebut. Naluri seks juga akan mengalami krisis, yang biasa disebut dengan istilah “haus seks”.

Ayatullah Husein Madzohiri secara jelas dalam bukunya “akhlok dar khoneh” menyatakan bahwa naluri seks yang merupakan pemberian Tuhan akan mengalami haus seks, disaat istrinya tidak dapat menjaga “iffah” (kehormatan). Wanita yang tidak menjaga kehormatannya adalah wanita yang tidak menjaga tatanan agama, sebagai contohnya, wanita yang tidak menjaga auratnya.

Di dalam sejarah banyak contoh tipe poligami kedua ini, seperti yang telah menjadi kebiasaan para penguasa di masa kedigjayaan rezim Bani Umayah dan rezim Bani Abbas, yang hampir-hampir setiap dari mereka memiliki lokalisasi pribadi untuk melampiaskan hawa nafsunya. Semua ini adalah bukti ketidakpuasan individu, yang berangkat dari tidak terhormatnya istri disampingnya.

Ayatullah Husein Madzohiri juga menambahkan, bahwa kondisi haus seks tidak hanya dialami oleh laki-laki saja, tapi juga wanita. Indikasi ini dapat dilihat ketika wanita tidak menjaga auratnya, seperti memperlihatkan bagian-bagian sensitif kepada yang bukan mahramnya. Beliau juga mengingatkan, bahwa poligami jenis kedua ini sama sekali mengabaikan kesetiaan istri pertama, dan juga langkah yang salah.

Dalam buku tersebut beliau membawakan cerita seorang ulama besar dari Najaf yang mempunyai penghormatan khusus dikalangan komunitas pelajar agama, karena akhlak yang mulia dan ketakwaannya yang tinggi. Beliau adalah almarhum Sayid Ibrahim Ghozweini. Pada suatu hari, putri raja Fatah Ali Shah yang bernama Dziya’u Sulthonah telah bercerai dengan suaminya di umur yang relatif masih muda. Setelah perceraian, putri ini tidak ingin kembali ke Iran, tapi memilih hidup di kota Karbala.

Putri ini setelah beberapa lama hidup tanpa didampingi suami, tiba-tiba mengutus seseorang untuk menemui Sayid Ibrahim Ghozweini, dan mengatakan, “Aku ingin sekali, tangan anda menyentuh kepalaku, oleh karenanya aku berharap anda dapat menikahiku”. Beliau menjawab, “Sampaikan salam kepada Dziya’u Sulthonah dan katakanlah, Aku tidak sesuai dengan anda, dan juga tidak kufu (istilah fiqih yang menjelaskan ketidak sesuaian) karena aku tua, sedangkan anda masih muda. Anda juga anak raja, sedangkan aku seorang pelajar agama. Dan anda juga juragan sedangkan aku miskin”.

Pada hari berikutnya sampailah pesan putri yang menyatakan, “Aku bangga menjadi istri anda. Aku bangga tangan anda berada diatas kepalaku, yang artinya aku adalah istri anda. Masalah uang, aku tidak akan mengharap apa-apa dari anda, bahkan aku juga bersedia membiayai kebutuhan rumah istri pertama”.

Melihat kondisi ini, yang mana sang putri sepertinya tidak akan melepaskannya, tiba-tiba Sayid Ghozweini berwudhu’ (seakan beliau mencari ketenangan dengan bersuci melalui wudhu) dan menjawab yang kedua kalinya. “Sampaikan salam kepada Dziya’u Sulthonah dan sampaikan kepadanya, Bahwa aku mempunyai istri yang selama 40 tahun telah menanggung kefakiranku, dan juga menerima hidup dalam perantauan, sekaligus menanggung masa-masa susah dan setelah 40 tahun yang masih berkhidmat di rumah, melakukan tugas rumah tangga, melahirkan anak-anak, dan melayani suami, yang keseluruhannya dilakukan dalam kondisi berat dan pahit. Kemudian setelah itu, aku menikah dengan anda. Ini benar-benar menyakiti kesetiaan istri saya. Oleh karena itu, aku tidak rela menikahi anda”.

Cerita ini sangat menarik sekali, sekalipun Sayid Ghozweini mempunyai idealisme yang tinggi, tapi tetap menghiraukan masalah yang seringkali dianggap remeh. Ternyata idealisme beliau tidak menghalangi kesetiaannya terhadap istrinya. Beliau sangat merendah dan tidak segan-segan menyatakan bahwa istrinya telah memberikan kontribusi besar dalam kehidupannya.

Ayatullah Madzohiri setelah membawakan cerita ini, menganjurkan lebih baik biaya untuk berpoligami dihadiahkan kepada generasi muda yang berhalangan menikah karena kendala ekonomi. Beliau dalam buku tersebut juga menukil hadis Imam Musa al Kadzim As bersabda, “Seandainya aku dapat mengelola satu keluarga saja dalam satu minggu itu lebih baik bagiku dari 40 kali berhaji”.

Bentuk ketiga, poligami kejiwaan, bahwa manusia memiliki kecenderungan yang terkadang terpenuhi dan tidak terpenuhi. Dalam istilah ilmu psikologi disebut kecenderungan dibawah alam sadar. Pakar psikologi menyebutkan, ketika kondisi alam sadar berubah menjadi alam dibawah sadar, saat itu kondisi kejiwaan muncul. Kondisi kejiwaan sangat berbahaya sekali, karena telah kehilangan kontrol diri. Kondisi semacam ini akan muncul karena tekanan terus menerus.

Sebagai contoh, seorang istri yang kurang bisa menyambut suaminya ketika masuk rumah, yang mustinya harus menyambut dengan hangat, tapi malah menampakkan muka masam. Hari berikutnya, mengangkat suara tinggi dihadapan suaminya, sambil memerintah untuk membawa anak-anaknya yang terus mengganggu. Dan hari ketiga, meminta baju mahal yang suami tidak dapat membelinya. Semakin hari terus-menerus mendapat tekanan, sehingga suami merasa terbebani, akhirnya berfikir untuk berpoligami dengan harapan istri kedua akan memberikan ketentraman. Dan suami juga tetap akan melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan kondisi yang sama pada istri kedua, yang akhirnya, suami akan mengambil istri yang ketiga.

Ayatullah Madzohiri dalam menerangkan poligami tipe ketiga ini, beliau menyalahkan pihak istri yang tidak dapat melayani suaminya dengan baik, dan juga tidak menjalankan sesuai dengan tuntunan agama.

Dalam memberikan gambaran dari pernikahan poligami jenis ketiga Beliau menukil sebuah cerita suami istri tauladan yang terjadi di zaman Rasulullah saw. Seorang wanita Anshor (penduduk Madinah) yang bernama Ummu Salim yang mempunyai suami seorang pekerja. Keduanya adalah murid setia Rasulullah saw yang masing-masing menjalankan tugas kekeluargaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Mereka hanya mempunyai satu anak yang berumur dua tahun yang sangat disayangi.

Pada suatu saat, anak tersebut mengalami sakit berat dan akhirnya meninggal dunia. Istri tidak dapat menahan isak tangis, kemudian sadar bahwa suaminya akan datang dari kerja. Istri tidak ingin suaminya mengalami kegoncangan setelah bekerja seharian. Istri kemudian menyembunyikan anaknya, dan berusaha keras untuk tabah dan menghilangkan kesan sedih, sehingga ketika suami datang tidak akan curiga dengan apa yang sedang terjadi. Suamipun datang, dan disambut dengan hangat, senyum dan melayani suaminya dengan baik, seperti hari-hari biasa. Suami menanyakan kondisi anak, spontan istri menjawab: “Anak dalam kondisi sehat wal afiat”. Istripun tidak berbohong, karena anak tersebut telah pergi ke surga dan telah mendapatkan ketenangan sepenuhnya.

Setelah melayani suaminya dengan baik dan dan juga nampak wajah letihnya telah hilang, kemudian sang istri bertanya kepada suaminya, “Apabila seseorang menitipkan amanat kepada kita, kemudian setelah beberapa lama amanat tersebut diminta kembali, apakah kita berhak gusar dengan mengembalikan amanat tersebut kepada pemilik aslinya?” Suami spontan menjawab, “Tidak selayaknya demikian, karena berkhianat dengan amanat adalah dosa besar, maka kita harus mengembalikan amanat tersebut”.

Kemudian istri melanjutkan pembicaraannya, “Kalau memang demikian, beberapa tahun yang lalu, Allah swt telah memberikan amanat kepada kita. Dan amanat tersebut telah kembali kepada pemilik aslinya, bahwa sebenarnya anak kami telah meninggal dunia”. Suami mendengar berita ini, malah mengucapkan puji syukur kepada Allah swt. Memang, sewajarnya suami mensyukurinya, karena telah mendapatkan istri yang punya pengertian tinggi dalam kondisi yang gawat.

Kontributor : Alireza Alathas @Ama

(Bersambung) sumber : http://kampoengsufi.wordpress.com/2009/10/07/poligami-antara-akhlaq-dan-fiqih/

0 comments to "POLIGAMI : Antara Akhlaq dan Fiqih"

Leave a comment