Tahun lalu, Presiden AS Barack Obama memutuskan untuk mengirim pasukan tambahan ke Afghanistan sebanyak 51 ribu tentara dalam dua tahap. Dengan keputusan ini, maka jumlah tentara AS di Afghanistan sejak Obama menjadi presiden, bertambah dua kali lipat. Rencananya hingga Juni tahun ini, tentara AS bakal ditingkatkan menjadi 100 ribu pasukan. Lewat penambahan pasukannya itu, Obama berjanji bisa mengalahkan milisi Taleban. Namun berbagai laporan menunjukkan, pengiriman pasukan tambahan 21 ribu personil ke Afghanistan di awal tahun 2009 ternyata tak banyak berpengaruh untuk menekan tingkat kekerasan dan ketidakamanan di Afghanistan. Karena itu, sebagian besar pengamat berkeyakinan, penambahan lagi 30 ribu pasukan baru tidak akan banyak mengubah kondisi negara itu secara mendasar.
Tentu saja, keputusan Obama itu menyulut silang pendapat yang tajam di dalam negeri. Karena itu, untuk meredam penentangan itu, Obama segera menjanjikan bakal menarik tentara AS secara bertahap mulai tahun 2011, jika kondisi keamanan di Afghanistan mulai membaik. Namun janji Obama itu pun segera ditampik sendiri oleh menteri pertahanan dan luar negeri AS. Mereka menafikan segala bentuk rencana penarikan pasukan secara bertahap. Yang jelas, tahun 2009 yang semestinya diharapkan bisa menjadi momentum untuk mengakhiri perang warisan George W Bush, ternyata justru berakhir dengan keputusan Obama untuk memperuncing perang.
Tahun lalu, defisit anggaran pemerintahan AS menembus rekor tertinggi. Pada tahun anggaran 2009 yang berakhir pada 30 September, defisit anggaran AS mencapai angka fantastis 1,421 triliun USD. Defisit ini setara dengan 10 persen produk domestik bruto (PDB) dan terhitung rekor tertinggi pasca Perang Dunia II. Pada tahun anggaran 2008, defisit anggaran AS hanya tercatat 459 miliar USD. Dengan kata lain, dalam jangka setahun, defisit anggaran AS meningkat 3 kali lipat.
Selama krisis ekonomi mendera AS, Gedung Putih berupaya menangkalnya dengan mengucurkan dua paket stimulus ekonomi besar-besaran. Di era pemerintahan Bush, Washington menggolontarkan paket stimulus 700 miliar USD sementara di masa Obama, meningkat menjadi 787 miliar USD. Dengan demikian, anggaran untuk pembiayaan publik melonjak tajam dan menambah beban anggaran. Salah satu faktor penyebab melambungnya anggaran pembiayaan publik adalah pembayaran pesangon pengangguran. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi telah menyebabkan angka pengangguran menanjak menjadi dua digit dan terbilang sebagai rekor tertinggi semenjak 26 tahun terakhir. Bersamaan dengan itu, utang nasional AS hampir mendekati level yang ditetapkan Kongres sebesar 12 triliun USD. Kondisi ini memperlihatkan bahwa AS benar-benar terpukul oleh krisis finansial dan resesi ekonomi yang mendera negara itu selama dua tahun belakangan. Jika kondisi itu terus berlangsung maka posisi ekonomi AS di kancah global bakal terancam, apalagi reputasi dolar sebagai mata uang dunia makin merosot.
Di penghujung tahun 2009, Presiden Barack Obama memperoleh hadiah Nobel perdamaian. Hadiah itu diberikan lantaran Obama dianggap berjasa dalam memperkokoh diplomasi dan kerjasama internasional. Tentu saja pemberian Nobel kepada Obama itu mendapat penentangan luas masyarakat internasional. Banyak kalangan yang menilai pemberian Nobel kepada presiden pertama berkulit hitam AS itu terlalu dini. Apalagi 9 hari sebelum Obama melawat ke Oslo, Norwegia untuk menerima Nobel Perdamaian 2009, ia memerintahkan pengiriman 30 ribu tentara tambahan ke Afghanistan.
Oleh karena itu banyak media yang ramai mengistilahkan bahwa Nobel Perdamaian diberikan kepada pengobar perang. Namun, para pembela pemberian Nobel kepada Obama berkilah bahwa penganugerahan itu sejatinya merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah AS sebelumnya. Mereka berharap dengan pemberian itu, Obama bisa lebih berkomitmen untuk mewujudkan perdamaian dan merealisasikan janji-janji perubahan yang selama ini kerap ia lontarkan. Dengan kata lain, hadiah Nobel Perdamaian 2009 diberikan bukan untuk mengapresiasi masa lalu tapi kepada harapan atas terwujudnya perdamaian di masa mendatang. Tak ayal pemberian Nobel kepada Obama dengan dalih semacam itu menunjukkan bahwa penganugerahan tersebut sama sekali tidak memiliki landasan opini pubik.
Tahun lalu, pangkalan militer terbesar AS dilanda insiden berdarah. Setidaknya 13 tentara tewas dan 31 lainnya terluka saat seorang tentara dengan dua buah pistol mengamuk di pangkalan militer terbesar Amerika Serikat. Tentara yang bernama Mayor Nidal Malik Hasan (39), kemudian ditembak pihak berwajib di pangkalan militer di Fort Hood, Texas, dan sekarang dalam kondisi stabil di rumah sakit. Tentara kelahiran Virginia ini marah atas invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Irak dan Afganistan.
Peristiwa ini merupakan insiden paling berdarah di lingkungan militer AS dan sangat mengejutkan publik Paman Sam. Menanggapi insiden tersebut, Presiden Barack Obama menilai kejadian itu lebih mengerikan ketimbang apa yang terjadi di Afghanistan. Dikatakannya, "Bagi kita sangat sulit rasanya, ketika kita banyak kehilangan tentara pemberani di medan perang luar negeri, ternyata orang-orang kita menjadi sasaran tembakan dan tewas di dalam negeri sendiri itu pun di sebuah markas militer.
Insiden berdarah di pangkalan militer Fort Hood ini membuktikan bahwa penentangan terhadap perang Afghanistan telah menyebar pula hingga ke tubuh militer AS. Sejak 2001 sampai kini, Washington terus mengobarkan perang berdarah yang menghabiskan dana miliaran USD di Afghanistan dan Irak. Dalam perang ini, sekitar 5 ribu tentara AS tewas sementara lebih dari 50 ribu lainnya cidera. Perang Irak dan Afghanistan terbilang sebagai perang terbesar dalam sejarah AS, baik dari sisi besarnya dana ongkos perang, jumlah korban, maupun waktu.
Menjelang tahun 2010, Pemerintah AS akhirnya memutuskan tidak akan menandatangani perjanjian PBB yang melarang penggunaan ranjau darat. Jurubicara Departemen Luar Negeri AS, Ian Kelly menegaskan, setelah mengkaji secara keseluruhan, Washington memutuskan untuk tidak bergabung dalam perjanjian tersebut. Kelly berdalih, sesuai dengan pendapat para ahli militer, keamanan AS bakal terancam jika negaranya tidak menggunakan ranjau darat.
AS merupakan satu-satunya negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang tidak menandatangani perjanjian larangan penggunaan ranjau darat. Hingga kini, tercatat 156 negara telah menandatangani perjanjian tersebut. Tentu saja sikap arogan AS mendapat kecaman para aktifis pembela HAM. Sylvie Brigot, direktur Kampanye Internasional untuk Larangan Ranjau Darat (ICBL) mengkritik tajam sikap Gedung Putih dan menyatakan, "Kami tak bisa memahami keputusan yang memalukan itu". Ia juga menyebut AS telah membuat marah orang-orang yang selamat dari serangan ranjau darat.
Sementara itu Direktur bidang persenjataan Human Right Watch, Steve Goose menyebut keputusan AS itu bertentangan dengan komitmen negara itu terhadap peraturan internasional dan isu-isu kemanusiaan.
Saat ini jumlah ranjau darat di dunia diperkirakan sekitar puluhan juta buah. Selama bertahun-tahun, ranjau darat telah menelan banyak korban dari warga sipil, terutama kalangan anak-anak. Sebagian besar korban cedera ranjau darat mengalami cacat seumur hidup. Sejak satu dekade lalu, masyarakat dunia telah berupaya untuk melarang produksi dan penggunaan ranjau darat. Namun upaya itu selalu gagal lantaran mendapat penentangan negara-negara besar, khususnya AS. AS sendiri merupakan negara pembuat, penjual, dan pemakai terbesar ranjau darat di dunia. Tanpa partisipasi negara ini, maka prospek dunia yang bebas dari ancaman ranjau darat bakal tetap suram.
Home � Berita , Politik , Wahabi � Kilas Balik Amerika Serikat 2009
Kilas Balik Amerika Serikat 2009
Posted by cinta Islam on 5:15 PM // 0 comments
0 comments to "Kilas Balik Amerika Serikat 2009"