Pilkada 2010: Tantangan Menjaga Aset Banua
Apakah ajang pilkada dalam konteks memilih dan mencari pemimpin baru, akan seirama dengan upaya memajukan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Oleh: Taufik Arbain
Ataukah justru pilkada secara sistematik telah dan akan menggerogoti aset pembangunan sebagai konsekuensi harga demokrasi? Itulah tren pertanyaan yang diajukan publik ketika melihat proses pilkada, realitasnya melibatkan banyak variabel yang saling terintegrasi.
Dalam konteks ini menarik mengutif pendapat Thomas Vinod (1999) yang melihat bahwa tiga prinsip pembangunan sebuah negara atau daerah, akan bertemu pada situasi yang akhirnya menjadi pilihan bagi pengambil keputusan. Yakni: (a) Menekankan pada keseimbangan aset modal fisik, aset modal manusia dan aset modal alam; (b) Menyelesaikan aspek distributif sepanjang waktu; (c) Menekankan kerangka kerja institusional bagi pemerintahan yang baik.
Pendapat Vinod relevan untuk menjelaskan apa dan bagaimana sepak terjang gaya kepemimpinan kepala daerah dalam membangun daerah yang dipimpinnya. Sebab keberhasilan pembangunan fisik misalnya, terkadang dijadikan sebagai simbol keberhasilan. Justru dominan menjadi political market karena kemampuan nalar awam hanya pada ‘penglihatan fisik’ semata, tanpa melihat relasi dan integrasi dengan aset modal yang lain.
Kita melihat bahwa sebagian besar pemimpin daerah menyelesaikan urusan pembangunan dan kesejahteraan rakyat telah melakukan tabrakan dalam ketiga aset utama tersebut. Pembangunan daerah yang menekankan pada fisik seperti infrastruktur, justru dilewati dengan pengeksploitasian sumber daya alam yang luar biasa.
Praktik obral izin kuasa penambangan kepada investor tanpa memberikan kontribusi berarti kecuali kontribusi politik personal atau kelompok, adalah bagian dari pembusukan dan penghancuran banua yang sistematik.
Itulah yang kita maksudkan dependensia pemimpin daerah kepada investor, menyebabkan terjadi proses pengurangan aset modal alam yang luar biasa. Tampaknya jalan mudah membiayai pembangunan adalah dengan pendekatan eksploitasi sumber daya alam (pertambangan sporadis). Salah satu pilihan dalam memainkan otoritas yang dimiliki pemkab/pemkot, bagian dari desentralisasi kekuasaan dalam menetapkan alokasi sumber penghasilan daerah.
Parahnya pola itu menjadi semacam oligarki kekuasaan di mana institusi kekuasaan lainnya turut terlibat mengamankan pendekatan seperti itu, ditambah adanya tiap kebijakan yang dibuatnya menghadirkan legitimasi simbol ‘tuan guru’ setiap ranah seremonial.
Sangat jarang daerah yang kaya sumber daya alam mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Karena, tidak diikuti dengan kemampuan dalam menyelesaikan aspek distributif berupa tingkat pendapatan, pelayanan pendidikan dan kesehatan serta sanitasi lingkungan dalam jangka panjang.
Artinya, penguatan aset modal fisik lewat pembangunan sarana infrastruktur dominan dinikmati kelompok kapital yang sedikit memberikan kontribusi kepada daerah dari keuntungan usaha mereka. Apalagi pilihan kontribusi bersifat personal dan komunal, jauh lebih menguntungkan untuk mengamankan aset modal kapital dan kekuasaan sang penguasa (discresi policy).
Gambaran sederhana, setidaknya itu bisa dilihat dari tren Human Development Indeks (IPM) dari komposit indikator pendidikan, pendapatan dan kesehatan suatu daerah. Di mana besarnya frekuensi pengurangan aset modal alam justru tidak sensitif terhadap kebutuhan dasar masyarakat (HDI 2009; Banjarbaru=73,2 HST= 68,9 Balangan=64,8 Tapin= 69, Tanbu=67,7). Fakta, sering terjadi eksploitasi alam berlebihan justru mengabaikan aspek manusia (sosial) dan lemahnya hak-hak kepemilikan.
Data menunjukkan serapan tenaga kerja yang berimbas pada ekonomi masyarakat, relatif kecil dibandingkan dengan serapan pada sektor pertanian dan perkebunan. Akibatnya, degradasi modal alam sekarang makin menjadi hambatan serius terhadap peningkatan kesejahteraan.
Kasus di Kalsel justru daerah yang tidak mengandalkan modal pembangunan lewat sektor pengurangan sumber daya alam, memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dengan pembangunan ekonomi dan peluang distributifnya. Sebab sekalipun pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi jarang linear dengan pembangunan ekonomi berupa pemerataan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan (data pertumbuhan ekonomi 2009; HST=6,41 persen, Balangan=5,12 persen, Tapin=4,17 persen, Tanahbumbu=8,05 persen).
Persoalannya adalah adanya terjadi praktik pemihakan penguasa pada kepentingan kelompok kapital, hingga mengorbankan kepentingan makro. Itulah yang kita maksudkan pembangunan mengedepankan prinsip manajemen pemerintahan yang mengabaikan kepentingan makro, memberikan dampak dari berbagai lini.
Gunnar Myrdal maupun Todaro telah mengingatkan, bahwa hal demikian akan melahirkan situasi dependensia di mana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terkebelakang. Padahal situasi itu tidak lebih dari pengurasan aset alam yang dominan sebagai modal untuk cost demokrasi (baca mengejar kekuasaan) bagi politisi, ketimbang kepentingan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks itu, Vinod membuat komparatif antara negara maju dan negara miskin/berkembang. Pada negara maju terjadi proses penguatan keseimbangan ketiga modal aset tersebut. Dengan indikator tingginya rate pembangunan fisik diikuti meningkatnya sumber daya manusia, dan perluasan lahan hutan bagian dari kenyamanan lingkungan. Sedangkan negara berkembang seperti Indonesia, Amerika Latin malah terjadi ketidakseimbangan dengan indikator pengurangan modal alam yang luar biasa yang selaras dengan kinerja pemerintah yang buruk dan korup.
Jika fakta Vinod diadopsi dalam konteks Kalsel, maka Kota Banjarbaru adalah daerah maju yang menjadi ranah pembelanjaan uang dari daerah terkebelakang. Justru Kota Banjarbaru terjadi proses penguatan pembangunan fisik, peningkatan SDM dan makin melakukan perluasan lahan hutan untuk kenyamanan penduduk yang bermukim. Sebaliknya kabupaten yang mengedepankan modal pembangunan dengan obral izin penambangan, pembangunan ekonominya tidak menggembirakan. Malah rentan terjadi proses pemiskinan karena degradasi lingkungan.
Pendekatan pembangunan dengan penyelarasan ketiga aset modal itu, penting menjadi cermin bagi kepala daerah maupun calon kepala daerah. Keseriusan institusi pemerintahan sebagai leading sector, menjadi penyelaras pembanguan ketiga aset modal tersebut. Jebakan modal pembangunan yang bertumpu pada pengurangan aset modal alam harus segera diakhiri, apalagi dijadikan sebagai sebagai modal politik untuk merebut kekuasaan.
Cukuplah belajar dari pascabooming kayu pada 1990-an. Bahwa penduduk banua tetap miskin, sementara orang luar pergi membawa segala aset modal.
*Dosen FISIP Unlam
sumber: b.post
Home � Berita , Politik � Pilkada 2010
Pilkada 2010
Posted by cinta Islam on 3:28 PM // 0 comments
0 comments to "Pilkada 2010"