Ditulis oleh Sayyid Husain Husaini
Peran Nabi saw dalam membangun pilar persatuan umat Islam secara umum dapat dibagi dalam tiga hal yang esensial: Pertama, usaha mengubah kondisi masyarakat Arab di masa itu dan memanfaatkan faktor-faktor politik untuk mempersiapkan kondisi yang diinginkan; Kedua, perencanaan yang bersifat kultural dalam rangka membuat ilustrasi “umat bersatu” bagi kaum Muslimin dan menciptakan ruang bagi perkembangan pikiran dan pemahaman masyarakat terhadap tanggung jawab mereka; Ketiga, menerapkan solusi-solusi yang ditawarkan oleh Nabi saw sebagai sarana untuk mewujudkan persatuan.
Solusi-solusi ini adalah bagian dari dakwah Nabi saw yang mencakup “solusi kebangsaan-keagamaan”, “solusi kesukuan”, dan “solusi sosial-individual.”
Kini, kami akan membahas secara ringkas masing-masing dari tiga solusi ini.
1. Solusi Kebangsaan-Keagamaan
a) Menciptakan persatuan nasional dan solidaritas keimanan
Kedatangan Nabi saw ke Madinah disertai penandatanganan beberapa perjanjian antar pelbagai kelompok. Perjanjian-perjanjian ini bisa disebut sebagai salah satu bukti paling nyata perwujudan persatuan Islam di masyarakat zaman itu.
Perjanjian Umum Madinah: Salah satu perjanjian terpenting adalah kesepakatan antara Nabi saw dan kabilah-kabilah Yatsrib. Sebagian orang menilai bahwa kesepakatan ini sebagai “undang-undang dasar tertulis pertama di dunia”. Langkah beliau merupakan cara terbaik untuk menciptakan persatuan kebangsaan dan solidaritas keagamaan, karena persatuan antara kabilah yang saling berseteru juga menjamin hak sosial orang Yahudi dan kaum Muhajirin. Di sisi lain, kesepakatan ini merupakan sebuah pengantar menuju terbentuknya persatuan politik dan pemerintahan.
Sebagai contoh, dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa kaum Muslimin adalah umat bersatu yang terpisah dari umat lain; tidak ada hubungan antara kaum Muslimin dan kaum kafir; dan tidak boleh ada jarak antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya. Kendati inti dari kesepakatan ini adalah memanfaatkan sarana persatuan Islam demi memajukan masyarakat Muslim dan ini dibuktikan oleh tiap butir kesepakatan ini, namun ada baiknya kami menyinggung sebagian darinya:
* Kaum Muslimin harus bersatu dalam menghadapi kezaliman, perbuatan anarkis, dan konspirasi musuh.
* Tidak ada orang Muslim yang boleh berdamai (dengan musuh) di saat perang tanpa persetujuan kaum Muslim yang lain. Kesepakatan damai hanya bisa dilakukan atas nama semua kaum Muslimin.
* Semua kelompok yang ikut berperang akan mendapat giliran bertempur secara berurutan. Jadi, suatu kelompok tak akan dipaksa berperang dua kali berturut-turut.
* Hak masing-masing individu berkaitan dengan kewajibannya terhadap Allah Swt sama dan tidak ada perbedaan.
* Bila muncul perselisihan di antara kaum Muslimin, maka Nabi saw adalah pengambil keputusan terakhir.
* Orang yang terjerat hutang besar tidak akan dibiarkan begitu saja, tapi akan dibantu oleh seluruh kaum Muslimin.
Di bagian lain dari kesepakatan bersejarah ini, yang ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah, ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa Nabi saw bertujuan mewujudkan sebuah persatuan kebangsaan:
* Kaum Muslimin dan Yahudi adalah satu umat dan hidup berdampingan di Madinah sebagai satu bangsa. Masing-masing bebas menjalankan ajaran agamanya.
* Orang-orang Yahudi yang menandatangani kesepakatan akan mendapat bantuan dan dukungan kaum Muslimin. Di sisi lain, bila kaum Muslimin mengajak mereka untuk berdamai, maka mereka harus menerima ajakan itu.
* Kaum Muslimin dan Yahudi akan bahu membahu melawan pihak yang menentang kesepakatan ini.
* Kaum Muslimin dan Yahudi harus saling membantu dalam menghadapi serangan musuh ke Yatsrib.
* Tidak boleh ada orang kafir yang dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, kecuali jika membawa maslahat bagi keduanya.
Alhasil, dapat disimpulkan bahwa upaya untuk menciptakan sensitifitas keagamaan dan kebangsaan adalah salah satu langkah tepat Nabi saw demi mewujudkan persatuan Islam.
Mengukuhkan Solidaritas Keimanan: Di kesempatan lain, Nabi saw juga berkali-kali menegaskan pentingnya mengukuhkan solidaritas keimanan kaum Muslimin. Dalam salah satu pidatonya pasca penaklukan kota Makkah yang disampaikan di Masjid Al-Haram, beliau bersabda, ”Tiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain. Kaum Muslimin adalah satu tangan yang berada di atas tangan yang lain.”
Menciptakan rasa beragama yang kuat dan membangun ikatan keyakinan tunggal di antara orang-orang yang beriman ini dapat kita renungkan dalam sabda Nabi saw, ”Orang-orang beriman itu ibarat satu jiwa.”
Bak seratus pancaran sinar matahari di halaman rumah, tapi cahaya itu tetap satu
Jika kau ambil dinding-dinding, maka rumah pasti akan hancur, karena kaum mukminin itu bak satu jiwa
Tentunya simbol dari pancaran cahaya ini ada dalam tiap jiwa orang mukmin karena:
Binatang tak miliki jiwa persatuan, tapi kau melebur dalam jiwa persatuan
Jiwa serigala terpisah dari jiwa anjing, tapi jiwa para singa Allah (para pejuang yang berani) saling bersatu
b) Ikatan Persaudaraan
Ikatan sosial: Di tahun pertama kedatangan Nabi saw ke Madinah, beliau mengambil salah satu langkah terpenting dalam memanfaatkan faktor kesatuan agama, yaitu mempersaudarakan antar sesama Muslim, baik pria maupun wanita.
Dua suku bernama Aus dan Khazraj, satu sama lain saling membunuh
Tapi terhapus sudah kedengkian antara mereka berkat Musthafa dan cahaya Islam
Mantan lawan itu kini menjadi kawan, bertaut bak dahan-dahan anggur di taman
Karena sabda ,”orang mukmin adalah saudara,” kini mereka jadi satu badan
Terpujilah ia yang tebarkan ribuan benih persatuan
Dalam sebuah pertemuan umum, Nabi saw bersabda, ”Jalinlah persaudaraan di antara kalian demi ridha Allah.”
Persaudaraan kolektif ini bertujuan untuk menghapus motif kesukuan dan dilakukan berdasarkan kebenaran dan kerjasama social. Karena, Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara, maka damaikanlah antara dua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian dirahmati. (QS. Al-Hujurat:10).
Nabi saw mempersaudarakan tiap seorang Muhajir dengan seorang Anshar. Namun, sebagai pengecualian bersejarah, beliau menyebut Ali sebagai saudara beliau di dunia dan akhirat dalam sabdanya, ”Dia (Ali) bagian dariku dan aku bagian darinya.”
Alhasil, langkah cerdas ini adalah sarana paling efektif untuk mewujudkan persatuan kolektif di masa itu. Semua ini menunjukkan upaya serius Nabi saw demi menciptakan ikatan sosial yang berasaskan iman kepada Allah Swt.
Iman kepada Allah Swt merupakan pilar pembentukan masyarakat madani: Masyarakat yang dibentuk Nabi saw adalah suatu komunitas yang semua anggotanya memiliki ikatan persaudaraan yang berasaskan ajaran tauhid. Mereka bertugas untuk menjaga ikatan ini sehingga Allah akan melestarikan persatuan antara pelbagai hati dengan kuasa-Nya. Sehingga dengan demikian, dasar sikap saling memahami di tengah masyarakat Muslim akan menjadi kuat, Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. Al-Anfal: 62-63).
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, masyarakat tidak bisa dibentuk tanpa adanya suatu ikatan sosial; Kedua, terwujudnya hal ini hanya dengan kekuasaan Allah Swt semata; Ketiga, orang-orang mukmin mampu memprakarsai terwujudnya persatuan sosial.
Firman Allah Swt yang terkait dengan persaudaraan antar kabilah Yatsrib pun sangat jelas, Berpeganglah dengan tali Allah dan jangan bercerai-berai. Ingatlah nikmat Allah atas kalian, (yaitu) ketika kalian masih bermusuhan, kemudian Dia mempersatukan hati kalian, sehingga dengan nikmat-Nya kalian menjadi saudara. (QS. Al Imran: 103).
Masyarakat madani bentukan Nabi saw yang diliputi oleh spirit persaudaraan adalah masyarakat yang bersatu dalam memusuhi kekufuran dan menerima keimanan, Muhammad utusan Allah dan mereka yang bersamanya, adalah orang-orang yang bersikap keras terhadap orang kafir dan mengasihi kepada sesama mereka. (QS. Al-Fath: 29).
Masyarakat tersebut diumpamakan seperti satu badan, yang semua anggotanya saling berhubungan erat dan bersama-sama dalam naungan kasih sayang, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis, ”Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang antar sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka yang lain akan turut merasakannya.”
Memanfaatkan tradisi sosial: Dengan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar, maka Nabi saw telah memanfaatkan salah satu tradisi sosial masyarakat Arab, yaitu pembelaan terhadap sekutu perjanjian, guna mewujudkan umat yang bersatu. Keberhasilan Nabi saw ini tak hanya membuat takjub orang-orang seperti Abu Sofyan, tapi dampak positif dari kesetaraan yang terdapat pada ajaran Islam ini sampai mendorong setiap orang untuk lebih mementingkan saudaranya dalam kepemilikan harta. Para sejarawan menukil bahwa perjanjian persaudaraan Muhajirin dan Anshar juga meliputi hak bersama dalam kepemilikan warisan di antara mereka. Peristiwa pembagian ghanimah pasca perang Bani Nadhir adalah contoh terbaik dari sikap itsar (mementingkan orang lain) yang dipraktekkan kaum Anshar.
Alhasil, semua peristiwa dalam sejarah Islam membuktikan betapa pentingnya peran Nabi saw dalam mencegah terjadinya perpecahan di tengah barisan kaum Muslimin dan bagaimana langkah jitu beliau dalam memanfaatkan persatuan Islam. Langkah beliau merupakan pelaksanaan perintah Al-Quran, yaitu: Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang tercerai berai dan berselisih (QS. Al Imran:105). Rasul sawn telah mengerahkan segala upaya secara maksimal dalam mewujudkan persatuan di antara kaum Muslimin, karena beliau menganggap persatuan adalah salah satu misi pengutusannya dan amat mengkhawatirkan perpecahan kaum Muslimin. Ini pula yang telah ditegaskan oleh Al-Quran, Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah:128). Barangkali, beratnya misi ini pula yang menyebabkan beliau bersabda, ”Tak ada nabi yang disakiti seperti diriku.”
Mendamaikan pihak yang berselisih: Mendamaikan pihak yang berseteru dan nasihat serta sikap Nabi saw terkait dengan masalah ini, juga merupakan salah satu langkah efektif beliau dalam menciptakan rasa persaudaraan.
Abu Ayyub meriwayatkan, ”Nabi saw bersabda kepadaku, ’Wahai Abu Ayyub, maukah aku tunjukkan kepadamu sedekah yang disukai Allah dan Rasul-Nya?’ Aku mengiyakan. Lalu beliau bersabda, ’Yaitu hendaklah engkau mendamaikan orang-orang yang bertikai.’” (Dalam redaksi riwayat lain disebutkan, ”Yaitu dengan mendamaikan orang-orang yang berseteru dan mendekatkan mereka ketika saling membenci.”)
Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau ditanya tentang urgensi persaudaraan, beliau menjawab, ”Ganjaran bagi orang yang berusaha menciptakan perdamaian di tengah manusia, sama seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah.”
Kita bisa menyaksikan langkah cerdas beliau dalam mendamaikan umat pada kasus pembagian ghanimah (harta rampasan perang) perang Badar. Belum adanya undang-undang khusus pembagian ghanimah dan belum matangnya pendidikan moral kaum Muslimin di masa itu menjadi salah satu penghalang terciptanya persatuan di antara kaum Muslimin. Karena itu, beliau diperintahkan untuk menjaga kesatuan dan persatuan umat dan orang-orang yang beriman juga diharuskan mengikuti beliau di jalan ini, Maka bertakwalah kepada Allah dan damaikanlah (yang bertikai) di antara kalian, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian orang yang beriman. (QS. Al-Anfal:1).
Nabi saw berupaya sedemikian rupa untuk melenyapkan benih perselisihan, hingga beliau sama sekali tidak suka melihat sekecil apapun perpecahan terjadi dalam barisan kaum Muslimin. Para sejarawan menulis bahwa beliau tetap menyisihkan bagian ghanimah bagi mereka yang tidak ikut berperang guna menghindari prasangka diskriminasi.
Yang menarik, sebelum perang Badar, kendati sebagian kaum Muhajirin telah menyatakan dukungan mereka, namun Nabi saw tetap menunggu persetujuan kaum Anshar untuk berperang melawan musuh, sebab isi perjanjian beliau dengan kaum Anshar adalah membela beliau dalam batasan kota Madinah, sehingga membela beliau dalam peperangan di luar Madinah tidak termasuk dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu, Nabi saw terlebih dahulu menanyakan pendapat kaum Anshar dan setelah yakin akan dukungan mereka, beliau pun pergi ke medan perang.
Pada hakikatnya, hal ini menunjukkan perhatian Nabi saw dalam menjaga tradisi sosial dan kondisi khusus politik di masa itu.
Memaafkan kesalahan individu: Hal lain yang kita saksikan dalam peristiwa perang Uhud adalah perintah Al-Quran kepada Nabi saw untuk tidak mencela orang-orang yang lari dari medan perang. Bahkan, beliau diminta untuk memaafkan mereka dan bekerjasama dengan mereka, sehingga mereka tetap berada dalam barisan kaum Muslimin, Maka maafkanlah mereka dan mintakan ampun bagi mereka serta bermusyawarahlah dengan mereka. (QS. Al Imran:159).
Dapat dipastikan bahwa salah satu motivasi dari keputusan terpuji ini adalah upaya menjaga persatuan politik umat Islam. Dengan demikian, maka Nabi saw telah melenyapkan potensi perpecahan antara kelompok kaum Muslimin (lantaran penolakan terhadap mereka yang lari dari medan perang) dan lapisan masyarakat lain.
Sejarah menyebutkan bahwa dalam perang ini, seorang pemuda Muslim asal Iran—setelah memukul musuh—berkata, ”Terimalah pukulanku dan ketahuilah bahwa aku orang Persia.” Mendengar itu, Nabi saw mencelanya dan berkata kepadanya, mengapa kau tidak menyebut dirimu seorang Anshar? Maksud beliau adalah untuk menghapus segala bentuk fanatisme ras dan menjaga persatuan barisan Islam. Selain itu, dengan pengarahan ini, beliau hendak mengubah standar kebanggaan diri dari poros kesukuan dan ras menjadi poros keagamaan dan keimanan.
Dengan demikian, Nabi saw memanfaatkan segala peluang untuk tetap menjaga persatuan dan mencegah perpecahan, bahkan dalam peristiwa penghancuran Masjid Dharar (masjid yang dibangun kaum munafik) pun hal ini tetap beliau perhatikan!
Menjaga keutuhan masyarakat: Kebijaksanaan Nabi saw dalam menghancurkan Masjid Dharar bertujuan mencegah timbulnya lubang perpecahan dalam barisan masyarakat Muslim. Dengan demikian, maka keutuhan masyarakat tetap terjaga.
Dengarlah kisah lain Al-Quran tentang penyimpangan
Yaitu saat mereka bangun masjid selain masjid Nabi
Mereka hias permadani dan atap serta kubahnya
Tapi dengan niat cerai beraikan para sahabatnya
Namun siapa yang bisa pisahkan para sahabatnya?
Oleh karena itu, dalam nasihat terakhirnya kepada umat Islam, Nabi saw bersabda: ”Wahai manusia, darah dan harta kalian adalah terhormat, seperti kehormatan hari ini dan bulan ini…” Di akhir khotbah, beliau bersabda, ”Wahai manusia, dengarkan ucapanku dan pahamilah! Ketahuilah bahwa setiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain, dan bahwa semua kaum Muslimin itu bersaudara.”
2. Solusi Kesukuan
a) Melenyapkan rasisme dan fanatisme kesukuan
Solusi lain yang ditawarkan Nabi saw untuk menciptakan persatuan umat Islam adalah menghilangkan rasisme dan diskriminasi rasial.
Menghancurkan norma-norma Jahiliyah: Perjuangan Nabi saw melawan perbudakan di masa itu semakin luas menyusul bertambahnya kekuatan politik dan sosial beliau. Gerakan ini merupakan bagian dari tuntutan keadilan sosial yang beliau serukan demi menghadapi segala bentuk penindasan di masa itu. Sebab, beliau ingin membangun sebuah masyarakat religious dan pengikut partai Allah, Ketahuilah bahwa (para pengikut) partai Allah adalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Mujadilah:22). Beliau telah belajar dari Al-Quran bahwa kebahagiaan dan keberuntungan tidak dapat diwujudkan dengan kezaliman, Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan mendapat keberuntungan (QS. Al-An`am: 35).
Dakwah Nabi saw kepada tauhid dan kasih sayang sosial menyebabkan pudarnya diskriminasi dan standar Jahiliyah yang begitu memuja garis keturunan. Pada akhirnya, semua orang condong kepada Islam tanpa ada ikatan kesukuan dan nasab, sebab, “Tidak ada fanatisme dalam Islam.”
Buah dari keberhasilan Nabi saw dalam gerakan ini adalah masuk Islamnya beberapa orang dari berbagai keluarga dan suku kaum musyrik serta pemberontakan mereka terhadap tradisi kesukuan ala Jahiliyah. Langkah beliau ini, selain berdampak secara sosial, yaitu keputusasaan kaum musyrik dan kehancuran tradisi kuno, juga membuka jalan bagi kemunculan tatanan sosial baru.
Norma kesetaraan keagamaan: Melalui pelbagai perintah atau nasehatnya, Nabi saw mengajari kaum Muslimin untuk membebaskan para budak dan beliau sendiri adalah orang yang pertama melakukan hal ini. Ini adalah ajaran dari Allah Swt dimana iman kepada-Nya, akhirat, dan para nabi sejajar dengan menginfakkan harta di jalan-Nya dan memerdekakan hamba sahaya, Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, …(memerdekakan) hamba sahaya …(QS. Al-Baqarah: 177).
Dalam rangka melawan diskriminasi ala Jahiliyah, Nabi saw menjadikan para sahabatnya seperti Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan Islam; Bilal Habsyi sebagai muazin khususnya; dan memuliakan Salman Farisi, “Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka ia akan dimerdekakan oleh Allah.” Secara bertahap, beliau mengajarkan bahwa ketakwaan adalah standar baru dalam hubungan sosial, Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa (QS. Al-Hujurat:13).
Nabi saw secara terang-terangan juga menyatakan bahwa budak Ethopia dan majikan Quraisy berkedudukan sama di sisi beliau. Karena itu, beliau disebut sebagai pencetus kesetaraan derajat yang berasaskan agama. Beliau bersabda, ”Kalian semua adalah keturunan Adam yang berasal dari tanah. Tidak ada orang Arab yang lebih unggul daripada orang Ajam kecuali dari sisi takwa.”
Alhasil, kesetaraan dan keadilan sosial yang diterapkan Nabi saw dalam melawan diskriminasi dan penindasan di masa itu adalah salah satu solusi paling efektif dalam menciptakan persatuan di tengah masyarakat Muslim yang masih rentan tertimpa pelbagai masalah.
Dalam literatur sejarah dan riwayat kita membaca bahwa Nabi saw tidak pernah membedakan antara budak dan orang yang merdeka. Beliau sendiri yang mengajarkan manisnya kesetaraan dan keadilan sosial kepada umatnya. Bahkan di tengah kaum Muslimin sendiri pun, tempat beliau tidak dibikin istimewa dan menonjol, sehingga ketika beliau hadir di suatu majlis, orang-orang tidak bisa menemukan beliau dengan gampang. Keadilan dan kesetaraan ini bahkan juga diterapkan Nabi saw dalam memandang para sahabatnya, sebagaimana disebutkan bahwa beliau selalu membagi perhatiannya kepada para sahabatnya; memandang si fulan dan si fulan secara bergantian, tanpa ada perbedaan.
Jelas bahwa akhlak terpuji ini sangat efektif untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Dalam sebuah analogi, beliau pernah bersabda, ”Semua manusia dari zaman Adam hingga sekarang ibarat gigi-gigi sisir; tak ada keunggulan bangsa Arab atas bangsa Ajam, atau si kulit putih atas si kulit hitam, kecuali dari sisi ketakwaan.”
Tradisi Nabi saw ini terus berlanjut sepanjang masa pemerintahan beliau, sehingga tetap menjadi salah satu sarana pemersatu umat. Beliau bertujuan menghapus semua asas ketidakadilan Jahiliyah dan menghilangkan segala potensi kembalinya tradisi Jahiliyah ke tengah masyarakat, Dan apakah mereka masih menginginkan hukum Jahiliyah? (QS. Al-Maidah:50).
Nabi saw adalah perintis gerakan kesetaraan sosial ini dan memanfaatkan setiap peluang untuk mengukuhkan spirit keadilan di tengah masyarakat. Beliau pernah bersabda, ”Allah tidak suka melihat hamba-Nya berbeda dari orang-orang lain.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penghapusan rasisme dan fanatisme Jahiliyah selalu menjadi perhatian Nabi saw. Sejarah mencatat pelbagai kecaman beliau kepada orang-orang yang masih menjadikan jabatan dan nasab sebagai standar kemuliaan.
Diriwayatkan bahwa Salman Farisi sedang duduk di Masjid Nabi. Beberapa sahabat Nabi saw juga berada di sana. Ketika topik pembicaraan beralih kepada nasab, masing-masing dari mereka menyebut garis keturunannya, sampai tiba giliran mereka bertanya kepada Salman. Ia menjawab, ”Aku adalah Salman putra hamba Allah. Aku dahulu tersesat, namun Allah membimbingku melalui Muhammad. Aku dahulu miskin, tapi Dia membuatku kaya melalui Muhammad. Aku dahulu budak, tapi Dia memerdekakanku melalui Muhammad.” Ketika Nabi saw datang, Salman memberitahukan kejadian itu kepada beliau. Nabi saw lalu berpaling kepada kelompok Quraisy itu dan bersabda, ”Wahai orang-orang Quraisy, kehormatan seseorang ditentukan oleh agamanya, kemuliaannya oleh akhlaknya, dan nasabnya oleh akalnya.”
Dalam riwayat lain, beliau menyebut perilaku saling membanggakan diri atas dasar fanatisme kesukuan sebagai bagian dari neraka, ”Hendaknya orang-orang tidak membanggakan suku mereka, karena itu adalah salah satu bahan bakar neraka.”
Di samping itu, kehidupan Nabi saw yang bersahaja adalah cara lain untuk meningkatkan persatuan di antara umat. Menurut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Nabi saw bahkan tidak mengijinkan gorden bermotif dipasang di rumahnya. Hal ini adalah cara terbaik untuk menarik simpati kalangan dhuafa di masa itu dan menjadi salah satu faktor terwujudnya persatuan. Para sahabat menukil bahwa beliau hidup dengan anggaran yang sangat sedikit.
Ungkapan paling indah berkaitan dengan kesederhanaan para nabi disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghah, ”Para nabi hidup secara qana`ah (merasa cukup dengan rezeki yang didapat) yang memenuhi hati dan mata dengan kekayaan, serta kesulitan (hidup) yang memenuhi penglihatan dan pendengaran dengan gangguan.”
Pembelaan terhadap kalangan dhuafa: Dalam rangka menghapus fanatisme kesukuan, Nabi saw juga melakukan pembelaan terhadap kalangan dhuafa. Berdasarkan hukum masa itu, kalangan ini–yang kebanyakan terdiri dari budak pria dan wanita–tidak memperoleh dukungan dari suku manapun. Karena itu, mereka tidak memiliki hak sosial dan politik di tengah masyarakat. Lantaran atmosfer politik khas Jahiliyah dan beragam ketidakmampuan kalangan dhuafa ini, sehingga mereka tidak memiliki peluang membentuk sebuah komunitas independen.
Dalam kondisi semacam ini, penentangan Nabi saw terhadap diskriminasi dan fanatisme kesukuan serta pembelaan beliau terhadap kalangan dhuafa mampu menarik simpati mereka kepada Islam dan figur Nabi saw. Dengan demikian, banyak kelompok yang membentuk persatuan sosial dan politik dengan Nabi saw sebagai porosnya. Pada hakikatnya, dakwah Nabi saw dan penekanan beliau tentang takwa dan standar kemuliaan manusia berperan sangat efektif dalam mewujudkan persatuan Islam.
Pendeklarasian dukungan terhadap kalangan dhuafa ini—yang semakin meluas seiring perjalanan waktu—mampu membimbing mereka kepada satu tujuan dan mengukuhkan pondasi persatuan agama.
b) Peran Baitullah
Dengan mencermati beragam peristiwa dalam sejarah Islam, kita akan melihat beberapa langkah Nabi saw yang memanfaatkan sebagian kondisi dan tradisi masyarakat Arab masa itu untuk mewujudkan persatuan.
Berkaitan dengan masalah ini, yang patut diperhatikan adalah pengaruh Ka`bah dan cara Nabi saw memanfaatkannya sebagai sarana penyatu dan pemersatu umat, Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk manusia adalah yang terletak di Makkah; rumah yang penuh berkah dan petunjuk bagi semesta (QS. Al Imran: 96).
Nabi saw memanfaatkan dengan baik posisi geografis Makkah dan kesempatan musim haji ketika semua penduduk Semenanjung Arab berduyun-duyun pergi ke sana. Beliau memperkenalkan risalahnya kepada para pembesar kabilah yang datang ke Ka`bah. Literatur sejarah mencatat, kabilah-kabilah seperti Bani Hanifah, Kindah, Bani Sha`sha`ah, dan Kalb sebagai menjadi sasaran dakwah Nabi saw. Ketertarikan penduduk Yatsrib kepada Islam pun bermula dari digunakannya Ka`bah dan musim haji sebagai sarana dakwah oleh beliau, Allah menjadikan Ka`bah, Baitullah Al-Haram, sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) manusia. (QS. Al-Maidah: 97).
Cara di atas amat efektif dalam menarik perhatian khalayak kepada Nabi saw, sehingga membuat kaum musyrik dalam posisi terjepit. Sebelum dimulainya musim haji, mereka bermusyawarah untuk menghadang laju dakwah Nabi saw dan mencari propaganda paling tepat guna mengubah pandangan khalayak terhadap beliau. Slogan politis-psikis mereka adalah, Dan mereka berkata, wahai orang yang kitab diturunkan kepadanya, sesungguhnya engkau adalah orang gila. (QS. Al-Hijr: 6).
Yang patut diperhatikan adalah bahwa propaganda mereka selalu mencerminkan semangat fanatisme ras dan kesukuan, Mereka berkata apakah kami akan meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena seorang penyair gila? (QS. As-Shaffat: 36).
3. Solusi Sosial dan Individual
a) Karakteristik Moral Bangsa Arab
Nabi saw juga memanfaatkan karakteristik moral Arab Jahiliyah dalam mewujudkan tujuan-tujuan beliau, khususnya di bidang persatuan umat Islam.
Kondisi kejiwaan masyarakat di masa itu berkaitan erat dengan kondisi sosial dan latar belakang sejarah mereka. Nabi saw berusaha untuk mengarahkan potensi yang ada menuju kondisi yang ideal. Dengan kata lain, beliau menggunakan gabungan dari beberapa karakteristik moral. Jadi, beliau memanfaatkan potensi moral dan kejiwaan ini guna memunculkan keseragaman pikiran dan perilaku masyarakat Arab dalam rangka membentuk umat yang bersatu.
Semangat fanatisme dan kesombongan bangas Arab, kesetiaan kepada janji, keberanian, dan pemuliaan terhadap tamu, adalah beberapa karakteristik sosial Arab Jahiliyah yang menonjol, Ketika orang-orang kafir menjadikan kesombongan di hati mereka; (yaitu) kesombongan Jahiliyah. (QS. Al-Fath:26).
Nabi saw menganggap bahwa memperbaiki norma-norma yang berlaku di masa itu sehingga sesuai ajaran Islam adalah salah satu kunci guna mewujudkan persatuan umat. Fanatisme kepada suku, penghormatan terhadap kerabat dan pemuka keluarga, dan pembelaan terhadap warga kabilah (yang biasanya dinyatakan secara tersirat atau tersurat dalam bentuk perjanjian) berkali-kali menjadi motif yang melatarbelakangi dukungan terhadap Nabi saw, dan hal ini pada prinsipnya menjadi sarana terbentuknya persatuan politik pertama dalam Islam. Beliau sendiri sering bersabda, ”Kaum Quraisy tidak pernah menggangguku sampai Abu Thalib meninggal.”
Alhasil, baiat/perjanjian ini tak hanya berguna di lingkup internal kabilah, namun juga dirasakan oleh kabilah lain. Sesuai tradisi Jahiliyah, baiat ini akan tetap berlaku sampai salah satu atau kedua pihak menyatakan diri keluar dari baiat. Nabi saw juga menggunakan metode ini dalam berdakwah. Sepanjang sejarah, banyak perjanjian yang terjadi antara beliau dengan para sahabat, yang akhirnya berujung pada meluasnya ruang lingkup persatuan Islam, seperti yang terjadi pada baiat Aqabah Pertama dan Kedua, baiat Perang Badar, Baiat Ridhwan, dll.
Keberanian bangsa Arab yang berakar pada kondisi khas masyarakat dan persoalan geografis masa itu, juga tidak pernah dikecam secara mutlak oleh Nabi saw. Bahkan, beliau memanfaatkan karakteristik ini demi mewujudkan tujuan risalahnya. Tak diragukan bahwa sifat keberanian ini amat berpengaruh pada kemenangan politik Islam dimana hanya dalam jangka sepuluh tahun, ia sudah dihadapkan dengan delapan puluh lebih peperangan dan ekspedisi militer.
Dalam banyak perang, Nabi saw memuji keberanian para prajurit Islam dan membandingkan nilainya dengan ibadah dan ketakwaan, seperti sabda beliau, ”Satu pukulan pedang Ali di perang Khandaq lebih baik daripada ibadah jin dan manusia.” Dengan cara demikian, beliau menyeimbangkan dan mengarahkan karakteristik moral bangsa Arab. Di sisi lain, beliau juga berupaya memperkuat sifat keramahan terhadap tamu yang ada pada diri mereka, yang pada gilirannya juga berdampak positif dalam menarik simpati orang lain untuk memeluk Islam.
Nabi saw memerintahkan kaum Muslimin untuk bersedekah dan menginfakkan sebagian harta mereka berdasarkan ayat, Dan kalian tidak akan mencapai kebajikan sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai (QS. Al Imran: 92). Beliau juga bersabda, ”Tingkatkan nilai persahabatan kalian dengan sikap dermawan.” Pada permulaan terbentuknya masyarakat Islam, beliau meminta kaum Anshar untuk mendukung kaum Muhajirin. Para sahabat yang mulia—berdasarkan karakteristik moral bangsa Arab dan yang telah mendapat polesan agama sebagaimana dijelaskan di atas—mematuhi perintah ini dengan sebaik mungkin. Bahkan mereka sampai melakukan undian untuk mendapat kesempatan menempatkan (menjamu) kaum Muhajirin di rumah mereka, Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin), dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9).
Jadi, usaha Nabi saw yang memanfaatkan karakteristik moral bangsa Arab ini, yang telah dilegitimasi dan diarahkan beliau, kian memperkuat dan memperluas persatuan Islam dari hari ke hari. Tentu Islam menerima prinsip keberagaman suku dan bangsa, namun ia menolak perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam, sebab, Kami menjadikan kalian pria dan wanita serta membuat kalian dalam berbagai bangsa dan kabilah supaya kalian saling mengenal… (QS. Al-Hujurat: 13). Oleh karena itu, fanatisme yang tidak berdasarkan kebenaran dan norma agama, serta hanya berporos pada kesukuan dan ras, tidak akan diterima oleh agama dan Nabi saw, ”Tidak termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme.”
b) Norma-norma Akhlak
Nabi saw menyebut kesempurnaan akhlak manusia sebagai salah satu tujuan risalahnya, ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Karena itu, salah satu cara yang beliau lakukan dalam mewujudkan persatuan Islam adalah menunjukkan perilaku dan akhlak yang terpuji, karena, Sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang agung. (QS. Al-Qalam: 4).
Sikap simpatik: Kelembutan perangai Nabi saw adalah salah satu sarana terpenting dalam mewujudkan persatuan dan memadamkan perselisihan serta menarik hati manusia, Dengan rahmat Allah, engkau bersikap lembut terhadap mereka. Jika engkau orang yang kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauh dari sekelilingmu. (QS. Al Imran: 159).
Sejarah mencatat banyak peristiwa yang membuktikan karakteristik terpuji dari akhlak Nabi saw ini. Salah satunya sebagaimana dituturkan dalam kisah berikut ini, seseorang bernama Ghurits bin Harits menghadang Nabi saw dengan pedang terhunus dan berkata, ”Siapa yang bisa menyelamatkanmu dari pedangku?” Beliau dengan tenang menjawab,”Allah.” Seketika itu juga, badan Ghurits gemetar dan pedangnya terlepas dari tangannya. Beliau lalu memaafkan dan membebaskannya. Sejak saat itu, kemanapun ia pergi, ia selalu berkata, ”Aku kembali kepada kalian setelah aku bertemu dengan manusia terbaik yang pernah aku jumpai.”
Sungguh ungkapan “manusia suci yang paling baik perangainya dan dermawan yang paling baik pemberiannya” hanya pantas disematkan kepada Nabi saw. Akhlak mulia beliau-lah yang menjadikannya sebagai suri teladan dan insan kamil, sampai-sampai kasih sayang beliau mampu menarik para musuh ke barisan para pecintanya. Dakwah Nabi saw menghilangkan dahaga setiap jiwa yang kehausan dan menarik simpati setiap pencari kebenaran. Ini adalah sarana terbaik dalam mewujudkan persatuan di tengah umat.
Dalam hati tiap umat yang merasakan kebenaran, terdapat wajah dan suara Nabi
Saat Nabi berseru dari luar, maka bersujudlah jiwa umat di dalam
Hubungan kekerabatan: Terkait adab-adab khas Nabi saw, kita bisa menyinggung tentang hikmah hubungan kekerabatan beliau. Tidak diragukan bahwa adanya tatanan kesukuan yang berlaku di masa itu mempengaruhi terwujudnya keakraban, hubungan mesra antara kabilah dan persatuan antara lapisan masyarakat. Hubungan kesukuan ini bisa disebut sebagai pengganti perjanjian-perjanjian konstitusional yang bersifat resmi. Sebelum kedatangan Islam pun, hubungan pernikahan antar kabilah bisa mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Sebagai contoh, pernikahan Nabi saw dengan Huwairiyah binti Harits dari Bani Mushtaliq mendorong kaum Muslimin untuk memerdekakan orang-orang dari kabilah ini, sehingga akhirnya menyebabkan semua kabilah tersebut masuk Islam. Atau, pernikahan Nabi saw dengan Shafiyah binti Hay bin Akhtab (yang notabene adalah orang Yahudi). Setelah ditawan pasukan Muslim, Shafiyah lebih memilih menjadi istri Nabi saw ketimbang dibebaskan dan kembali ke kaumnya. Pada akhirnya, ia memeluk Islam dan diikuti oleh beberapa orang dari kabilahnya.
4) Umat Islam dan Persatuan
Kami akan mengakhiri pembahasan ini dengan melihat misi umat Islam dalam menjaga kesinambungan ajaran Nabi saw dan persatuan Islam.
Persatuan adalah prinsip kehidupan dan menjamin keabadian suatu ideologi. Para nabi diperintahkan untuk menghidupkan rahmat Ilahi di dunia:
Dedaunan alam tumbuh dari persatuan; demikian pula dengan kehidupan di dunia. (Iqbal Lahore)
Rahmat Ilahi senantiasa bersama dengan Nabi saw, Taatilah Allah dan Rasul supaya kalian dirahmati (QS. Al Imran: 132). Umat manusia berkumpul di sekeliling Nabi terakhir ini, Dan Muhammad bukanlah ayah salah satu dari kalian, tapi dia adalah utusan Allah dan nabi terakhir (QS. Al-Ahzab: 40). Dan beliau adalah mata air kasih sayang Ilahi, Dengan rahmat Allahlah, maka engkau bersikap lembut kepada mereka (QS. Al Imran: 159).
Seruan persatuan Nabi saw adalah seruan yang juga disampaikan semua nabi tanpa terkecuali, dan pada diri beliau-lah seruan ini mencapai kesempurnaannya:
Nama Ahmad adalah nama semua nabi, sebab saat seratus tiba, sembilan puluh pasti ada
Beliau adalah mata rantai terakhir dari rangkaian penyeru tauhid dan rahmat Ilahi; beliau adalah awal tujuan di balik pengutusan para nabi, namun yang terakhir diutus, “Jika bukan karenamu, niscaya Aku tak ciptakan semesta.”
Rahasia yang menyimpan inti semesta diletakkan terakhir
Dengan Muhammad-lah cinta suci berpasangan
Oleh karena itu, Muhammad-lah yang memberi kehidupan kepada semua bagian dari pohon mulia ini. Dengan risalahnya, pohon kenabian menemukan maknanya, ”Tak ada seorang nabi pun, baik Adam atau selainnya, kecuali ia berada di bawah panjiku.”
Sa’di, seorang penyair ternama dari Persia berujar:
Semua yang dimiliki orang terdahulu dan terakhir adalah bayangan dari Muhammad
Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa; semua berteduh di bawah naungan Muhammad
Oleh karena itu, maka umatnya adalah umat terbaik yang dipilih untuk menjadi pengikutnya.
Tiada keraguan bahwa umat Muhammad saw mengemban tugas menyebarkan dakwah beliau ke seantero dunia, sebab, Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan bagi manusia (QS. Al Imran: 110). Mereka adalah umat pilihan Allah dan selain mereka adalah orang-orang yang merugi, Siapa pun yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk golongan yang merugi (QS. Al Imran: 85).
Marilah kita berharap tibanya hari dimana persatuan Islam akan menyatukan umat, sehingga seruannya akan sama seperti seruan Allah, Dan Allah menyeru kepada darus salam dan membimbing siapa pun yang Ia kehendaki ke jalan lurus (QS. Yunus: 25). Inilah cakrawala cemerlang yang telah diilustrasikan oleh Nabi saw bagi umatnya, sehingga firman Tuhan ini relevan bagi mereka, ”Berbahagialah engkau wahai Muhammad dan umatmu.”
Persatuan umat dianggap sejajar dengan inti tegaknya agama, yaitu takwa dan penghambaan, Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku (QS. Al-Anbiya`: 92). Di sisi lain, penegakan agama yang benar berkaitan erat dengan persatuan, ”Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. As-Syura: 13).
Jelas bahwa memenuhi seruan Nabi saw untuk bersatu adalah sebuah upaya untuk menjamin kehidupan abadi umatnya, Wahai orang-orang yang beriman, jawablah seruan Allah dan Rasul ketika mengajak kalian kepada hal yang menghidupkan kalian (QS. Al-Anfal: 24). Ini adalah perintah tegas dari Allah bahwa, Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul, serta jangan gugurkan amal kalian (QS. Muhammad:33). Ini adalah perintah yang bila ditentang maka akan menyebabkan kebinasaan, Dan siapa pun yang membangkang terhadap Allah dan rasul-Nya, berarti dia telah tersesat dalam kesesatan nyata. (QS. Al-Ahzab: 36).
Jangan ada orang yang tempuh jalan berbeda dengan Nabi
Karena dia tak akan sampai ke tujuan
Wahai Sa`adi, jalan lurus bisa ditempuh
Hanya dengan mengikuti jalan Mushthafa
(Sa`adi)
Dengan demikian, persatuan umat adalah jalan menuju kemenangan, Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS. Al-Fath: 26).
Guna mewujudkan persatuan umat, yang diperlukan adalah adanya tekad kolektif dan kesabaran, Wahai orang-orang yang beriman, mintalah bantuan melalui kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang penyabar (QS. Al-Baqarah: 153); Bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar (QS. Ar-Rum: 60).
Kemah-kemah kita memang terpisah, tapi hati kita satu
Kita dari Hijaz, Cina, dan Iran, tapi kita adalah satu embun di pagi yang cerah
(Iqbal Lahore)
Masa depan yang gemilang adalah milik kaum mukmin yang gigih berjuang dalam naungan cahaya persatuan, Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tapi Dia tetap akan menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya (QS. At-Taubah: 32). Mereka-lah yang akhirnya akan bergembira memperoleh hadiah dari Tuhan, Dan ridha Allah itu jauh lebih agung, itu adalah keberuntungan yang besar. (QS. At-Taubah: 72).
Kesimpulan
Persatuan umat selalu menjadi salah satu idealisme ajaran para nabi. Oleh karena itu, salah satu poros utama dalam dakwah Nabi saw adalah menebar benih-benih persatuan.
Bila kita menganalisa pelbagai peristiwa dalam sejarah Islam maka kita dapat menyimpulkan bahwa demi menegakkan persatuan, selain memanfaatkan pendekatan politis dan kultural, Nabi saw juga menggunakan beberapa metode tertentu. Dengan memerhatikan kondisi sosial yang ada di tengah masyarakat, metode-metode alternatif ini mampu mengarahkan umat menuju persatuan.
Perjanjian Madinah adalah jalan terbaik dalam menciptakan persatuan dan solidaritas keagamaan. Memanfaatkan solusi kebangsaan-keagamaan hanya bisa menjamin tegaknya pondasi sosial masyarakat. Karena itu, dibutuhkan solusi lain yang berupa gerakan melawan fanatisme kesukuan dan rasisme untuk menciptakan persatuan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Nabi saw pun memanfaatkan pendekatan karakteristik moral-sosial dalam rangka mewujudkan persatuan.
Dengan demikian, salah satu metode efektif untuk mengukuhkan persatuan di tengah umat Islam adalah mengarahkan masyarakat guna menerapkan tiga metode di atas, yaitu: solusi kebangsaan-keagamaan, kesukuan, dan sosial-individual.
sumber: http://www.taghrib.ir/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=162:strategi-ampuh-dan-solusi-jitu-nabi-saw-dalam-mempersatukan-umat&catid=45:1388-06-21-07-31-46&Itemid=67
Home � Agama , Persatuan Islam � Strategi Ampuh dan Solusi Jitu Nabi saw dalam Mempersatukan Umat
Strategi Ampuh dan Solusi Jitu Nabi saw dalam Mempersatukan Umat
Posted by cinta Islam on 5:11 PM // 0 comments
0 comments to "Strategi Ampuh dan Solusi Jitu Nabi saw dalam Mempersatukan Umat"