Bagaimana Selanjutnya Nasib Century?
Kasus Bank Century semakin menyudutkan Boediono dan Sri Mulyani. Media Indonesia dalam editorialnya berjudul ‘Akhir Century' menyoroti kasus yang disebutnya memasuki drama baru. Drama yang memperlihatkan remuknya koalisi, bahkan dapat berujung pada diseretnya Boediono dan Sri Mulyani ke meja hijau. Dilihat dari sudut traksaksi politik, mestinya pemerintah memenangi pertarungan di Pansus Angket Bank Century. Sebab pemerintah didukung partai koalisi yang menguasai 76,7% dari 30 anggota pansus atau menguasai 75% dari 560 anggota DPR.
Akan tetapi, fakta dalam rapat pansus pada Senin (8/2) justru bicara lain. Dalam rapat mendengarkan pandangan awal fraksi atas kasus Century itu, koalisi pecah belah bergantung pada pokok perkara. Dalam hal pokok perkara menyangkut proses merger dan akuisisi Bank Century pada 2001, semua fraksi termasuk partai di luar koalisi (PDIP, Gerindra, dan Hanura), memiliki penilaian yang sama. Menurut mereka, Bank Century cacat sejak dilahirkan. Mereka satu suara karena sama sekali tidak memiliki kepentingan politik atas urusan yang terjadi pada 2001.
Sebaliknya, dalam hal pokok perkara menyangkut pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada November 2008 sebesar Rp689 miliar dan pemberian dana talangan (bailout) pada November 2008-Juli 2009 yang mencapai Rp6,7 triliun, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Koalisi terbelah karena kebijakan itu bermuatan politik. Bukankah kebijakan FPJP dan bailout itu melibatkan Gubernur Bank Indonesia Boediono yang kini menjabat wakil presiden dan Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan?
Hanya Fraksi Demokrat dan PKB yang menyatakan tidak ada masalah dalam pemberian FPJP dan bailout Bank Century. Itu berarti hanya dua fraksi tersebut yang menilai kebijakan yang diambil Boediono dan Sri Mulyani tidak melanggar hukum. Akan tetapi, dua fraksi itu minoritas di DPR, hanya menguasai 33,3% suara di pansus atau 31,43% dari total kursi di DPR.
Yang lebih banyak, yaitu tujuh fraksi lainnya termasuk empat fraksi yang bergabung dalam koalisi, menyatakan proses FPJP dan bailout melanggar hukum. Itulah selisih 'skor' yang sangat dahsyat karena dapat menyeret Boediono dan Sri Mulyani ke meja hijau.
Pertanyaannya, apakah skor 7-2 itu mampu bertahan sampai ke Sidang Paripurna DPR? Fraksi manakah yang akan 'gugur' karena berhasil 'digertak' atau 'dibeli'?
Sesungguhnya,
koalisi terbelah merupakan buah koalisi yang dipaksakan. Koalisi itu tidak diikat oleh persamaan ideologi dan platform. Mereka mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono semata karena kepentingan pragmatis.
Dugaan kepentingan pragmatis itu gugur manakala sikap awal fraksi tetap dipertahankan hingga akhir. Sebaliknya, dugaan itu menjadi kenyataan kalau sikap akhir fraksi berubah.
Jika pada akhirnya itu yang terjadi, sangat jelas pandangan awal fraksi dalam kasus Century terbelah hanya untuk menaikkan posisi tawar. Bukan mustahil sikap berbeda itu hanya alat transaksi dalam kasus pengemplang pajak, misalnya.
Untuk mencegah terjadinya tawar-menawar politik itu, tiada pilihan, publik harus tiada henti mengawasinya hingga akhir. Catatlah fraksi yang berubah sikap dan jangan pilih partai itu pada pemilu mendatang.
Editorial Media Indonesia dengan apik menyoroti kasus Bank Century. Para wakil rakyat di DPR sudah semestinya tidak memandang kepentingan politik semata dalam kasus yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar ini. Kepentingan negara dan rakyat mesti didahulukan dari kepentingan partai dan tawar menawar politik. Semoga mereka yang terlibat dalam penanganan kasus ini bisa berbuat sesuai dengan tuntutan rakyat.
Membantu Bank Century sama saja dengan menyokong kegiatan riba yang jelas-jelas haram.