| Sudah Arifkah Kita ? | | | |
| | |
| Kemelut yang sedang kita hadapi erat bersangkutan dengan masalah etika. Demikian adanya kalau kita merujuk pada pendapat Prof Dr Sidney Hook (1902-1989), intelektual dan filsuf terkemuka asal New York, penulis lebih dari 20 buku dan puluhan artikel tentang sosial-politik, falsafah dan pendidikan. Doktor tamatan Universitas Columbia itu pernah mengajar di almamaternya, selain juga di Harvard, Universitas New York, dan Universitas California. Buku Paul Kutz menyebutnya sebagai filosof tentang demokrasi dan humanisme. Lebih daripada tiga setengah dasawarsa lalu, Prof Hook berkunjung ke Indonesia dan berdialog dengan sejumlah budayawan dan ahli pendidikan Indonesia. Hasil percakapan mereka dibukukan Prof Dr Harsja Bachtiar (alm); terbit pertama kali pada 1976, dicetak ulang pada 1980. Empat tema telah dipilih dalam dialog tersebut: etika, ideologi nasional, marxisme, eksistensialisme. Kami memilih menyimpulkan tema etika yang relevan untuk kolom ini. Kami memilihnya untuk mencoba lebih mengerti perilaku masyarakat dalam menghadapi kasus Century. Bagi masyarakat umum, sinyal-sinyal yang mencuat dari ekspose kericuhan sosial-politik yang terefleksi dalam kasus Bank Century menimbulkan beragam pendapat yang bertentangan. Maka konflik politik maupun intelektual antarpartai-partai politik, sebagai efek selisih-selisih pendapat dalam Pansus DPR, yang akhir-akhir ini berujung pada obral pengungkapan kesalahan para tokoh politik, malahan memperparah keadaan. Tujuannya tentu untuk memperkuat posisi, kalau bukan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kalau masyarakat ditanya mana yang benar, mana yang salah, jawabnya disesuaikan dengan pendapat yang didasarkan pengalaman atau pemahaman pribadi. Korban Lapindo, misalnya, dapat dipastikan akan berpikir beda dari pendapat para nasabah yang menjadi korban Bank Century. Dari ekspose beberapa bulan terakhir ini kita tahu Bank Century sebagai hasil merger telah bermasalah sejak 2003, yang makin lama makin parah. Lima tahun setelah itu, Menteri Keuangan digamit untuk penyelamatannya. Bagaimana BI sebagai lembaga pengawas perbankan tidak menengarai perongrongan selama lima tahun, tidak pernah dijelaskan. Juga tidak terlacak apa yang terjadi antara 21-25 November 2008. Kegagalan bank bermasalah itu akhirnya dianggap bisa berdampak sistemis, mengingat situasi ekonomi nasional maupun global waktu itu. Bailout tidak terelakkan. Bahwa penyelamatannya akhirnya menyerap Rp6,7 triliun,dan belum transparan ke mana dana mengalir, itulah yang masih menjadi persoalan besar. Rakyat pun mendapat pembelajaran bahwa mereka dirugikan karena uang rakyat dikorbankan. Mereka tidak tahu persis siapa yang harus mereka bela, siapa yang harus mereka musuhi? Di sinilah muncul situasi 'etis' yang menuntut sikap bijaksana. Kata Prof Hook: "...Kita dapat bertolak dari pengalaman biasa sebagai manusia, dan menemukan bahwa dalam semua kebudayaan, orang sepaham mengenai banyak hal yang baik dan yang buruk. Itu sangat mengesankan." Namun, filsuf itu berpendapat, "Memilih antara baik dan buruk itu bukan masalah etis, sebab Kita mengerti cara pandang Prof Hook. Dalam kasus Century, misalnya, ada bagian yang harus dinilai secara etis; khususnya penentuan kebijakan bailout. namun, ada bagian-bagian sebelum dan sesudah proses itu yang bisa dinilai dengan pemahaman sederhana--benar atau salah. Dengan terus-menerus menghindar-hindar dari realitas yang begitu jelas, berarti kita membohongi diri sendiri, dan berputar-putar dengan wacana-wacana yang tidak masuk akal, bagaimanapun cerdiknya argumentasi yang disampaikan. Tentu ada pihak-pihak yang akan memanfaatkan celah-celah hukum. Kita ikuti saja seberapa pintarnya mereka. Seorang pengacara andal mengatakan, "Mereka bisa membeli pasal penipuan untuk menggantikan kasus korupsi." Artinya, masalah korupsi diplesetkan menjadi masalah penipuan. Dengan demikian, hukumannya tidak seberat bila yang didakwakan adalah pidana korupsi. Ada ungkapan-ungkapan yang semestinya sejak awal diperhatikan, yakni bahwa Bank Century telah dirampok, dan bahwa BI waktu itu marak dengan tindak korupsi. Perampoknya terbukti para pemilik sendiri dan dana bailout,p> akhirnya mengalir tak tentu muaranya. Jadi bukan situasi etis semata. Masyarakat sudah lelah dengan 'sinetron politik', meminjam istilah penonton Bedah Editorial Media Indonesia. Sementara itu, Indonesia dengan budaya feodalistis dengan rakyat yang masih berkutat dengan kemiskinan dan demokrasi yang masih muda, kualitas sistem demokrasinya 'pura-pura'. Kekuasaan politik sesungguhnya dipegang oleh elite politik yang sudah mapan, berkolaborasi dengan para pemilik uang, maka fungsi partai politik sebenarnya tidak begitu dominan jika dibandingkan dengan peranan figur. Sebagaimana dilansir di berbagai media, sikap-sikap Partai Demokrat dalam kasus Bank Century berbeda dengan pendapat BPK sebagai badan pemeriksa keuangan konstitusional dan lembaga resmi, serta beberapa pendapat pejabat yang integritasnya dipercaya rakyat. Partai Demokrat justru menganggap bahwa tidak ada masalah pelanggaran hukum dalam penanganan Bank Century. Semua sudah sesuai peraturan dan tidak ada yang melakukan pelanggaran kebijakan apalagi kemungkinan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi. Sikap partai ini memang sudah bisa diduga sejak awal di saat mereka menolak pembentukan panitia khusus untuk menilai kasus ini. Namun karena desakan rakyat, akhirnya Partai Demokrat menyampaikan persetujuannya dengan hasil yang kita sebutkan di atas. Sikap Presiden bisa kita nilai mengambang dan tidak konsisten. Pada awal inisiasi pembentukan pansus ini SBY memiliki pendapat yang sama, tidak perlu ada pansus itu. Karena itu Partai Demokrat menolak semua kemungkinan pembentukan pansus pada awalnya. Namun kembali lagi, sebagaimana biasa, karena desakan dan tuntutan masyarakat yang begitu besar akhirnya SBY melantunkan pidato yang sangat 'ideal', beliau ingin agar kasus ini diungkap secara terang benderang sehingga tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Beliau juga mengaku tidak satu sen pun dana kampanye SBY dari sumber yang haram. Anehnya, sikap SBY yang sesuai dengan hati nurani dan tuntutan masyarakat ini tidak sejalan dengan sikap Partai Demokrat. Mengapa? Ini menunjukkan pertama, kebenaran hipotesis di atas bahwa yang menonjol adalah orang. Artinya sikap Partai Demokrat adalah sikap SBY. Sikap SBY yang dimaksud adalah sikap substansial yang mungkin disampaikan di balik layar, bukan sikap normatif yang disampaikan di dalam pidato-pidato. Secara logika memang tidak ada kemungkinannya ada seorang Menteri Keuangan sebagai pembantu yang berani memutuskan suatu keputusan penting tanpa persetujuan bosnya, yaitu Presiden. Apalagi waktu itu Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak dilibatkan. Walaupun pidato SBY meminta agar kasus ini dibuat terang benderang, kenyataannya sebaliknya, masalah Bank Century ditutup saja tanpa harus menindak mereka yang mengambil kebijakan yang merugikan negara. Kedua, ini menunjukkan sikap ketakutan atau sikap 'kalap' SBY atau mungkin juga sikap kader Partai Demokrat yang tidak matang yang tidak mampu bermain dalam pansus dengan kader-kader yang lebih berkualitas dengan argumen kuat. Apa dampak sikap mendua ini dan melawan arus kebenaran serta nurani rakyat ini terhadap nasib Partai Demokrat khususnya pada Pemilu 2014? (MI) |

0 comments to "nasib Partai Demokrat khususnya pada Pemilu 2014??"