Home , , , � Hati-Hati Nikah Siri

Hati-Hati Nikah Siri


Hati-Hati Nikah Siri, Penjara Menanti Anda



Rencana negara mengatur perkawinan tanpa pencatatan dokumen negara mengundang perdebatan panjang dan beragam. Banyak yang mendukung, tapi juga tidak sedikit yang menolak rencana itu.

Model perkawinan tanpa pencatatan dokumen negara itu mencakup nikah siri, mutah (kawin kontrak), dan poligami. Perdebatan muncul karena ada embel-embel ancaman pidana bagi mereka yang terlibat dalam ketiga jenis perkawinan itu.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah (Kantor Urusan Agama) akan dipidana dengan ancaman hukuman beragam.

Sanksi hukuman untuk nikah siri, misalnya, dari enam bulan hingga tiga tahun penjara dan denda mulai dari Rp6 juta sampai Rp12 juta. Adapun kawin kontrak dihukum penjara maksimal tiga tahun dan perkawinannya batal karena hukum.

Salah satu alasan yang mengemuka ialah sanksi hukuman itu diperlukan karena begitu tingginya tingkat perceraian. Data Kementerian Agama menyebutkan setidaknya ada 200 ribu perceraian dari 2 juta pernikahan setiap tahunnya di Indonesia.

Malangnya, pada kasus perkawinan siri, kontrak, dan poligami, kaum perempuanâ termasuk anak-anaknyaâ kerap berada pada posisi yang rentan dan dirugikan. Kaum perempuan selalu menjadi korban perkawinan itu.

Penyebabnya tidak lain karena perkawinan seperti itu membuat perempuan tidak memiliki status yang jelas baik di hadapan negara maupun masyarakat. Akibatnya, kaum perempuan sulit memperoleh haknya sebagai seorang istri, misalnya yang terkait dengan warisan.

Tidak hanya itu, yang paling dirugikan adalah anak hasil perkawinan siri, kontrak, dan poligami. Mereka akan kesulitan memperoleh akta kelahiran, karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat secara resmi dalam dokumen negara.

Akibatnya, sang anak tidak bisa menikmati pendidikan lantaran semua sekolah sekarang mensyaratkan adanya akta kelahiran. Selain itu, sang anak juga bakal menemui rintangan terkait dengan masalah warisan, perwalian, pembuatan KTP, dan dokumen formal lainnya.

Dengan demikian, pengaturan perkawinan siri, kontrak, dan poligami haruslah dipandang sebagai upaya negara memperjelas sekaligus melindungi hak-hak kaum perempuan beserta keturunannya.

Dalam perspektif itulah gagasan mengatur semua jenis perkawinan harus dengan dokumen resmi negara hendaknya ditempatkan. Yaitu, registrasi terhadap semua bentuk perkawinan itu merupakan wujud pertanggungjawaban negara kepada warganya tanpa membedakan jenis kelamin.

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi menyatakan, jika praktik nikah siri hendak diberi sanksi maka cukup bersifat administratif, tidak perlu pidana.

Ia menandaskan, "Upaya untuk memberi sanksi pidana pada pelaku nikah siri sebaiknya tidak dilakukan, cukup sanksi administratif." Dikatakannya, dalam urusan perkawinan, aturan negara berada dalam konteks administrasi kewarganegaraan, sehingga kalau pun hendak diterapkan sanksi maka yang masuk akal adalah sanksi administratif.

Sebenarnya, lanjut Hasyim, ditinjau dari sisi agama, pencatatan administratif perkawinan juga sangat penting, terutama terkait dengan wanita dan anak-anak hasil perkawinan lebih dari seorang (poligami).

Menurutnya, "Jangan sampai nantinya terjadi anak sama anak dari istri yang lain pacaran karena tidak tahu masih satu keluarga."

Demikian pula perempuan yang bersuamikan pegawai negeri sipil (PNS). Jika perkawinannya tidak dicatatkan, maka ia dan anak-anaknya tak akan mendapatkan hak pensiun dan hak lain yang semestinya diterima dari suaminya.

Pada bagian lain Hasyim mengatakan, persoalan nikah siri juga harus dilihat dari aspek kultural. Ia mencontohkan banyak perempuan di Madura yang tak mempermasalahkan dirinya menjadi istri kedua atau ketiga seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama.

Antropolog Mudjahirin Thohir, menilai fenomena kawin siri yang dipraktikan sebagian masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh budaya feodalistik dalam sejarah peradaban negeri ini. Ia mengatakan, "Pada masa kerajaan yang menganut budaya feodalistik kental, seorang raja akan dianggap berwibawa dan berkuasa jika memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki banyak istri."

Ia mengatakan, raja-raja zaman kerajaan dulu yang rata-rata beristri banyak sebenarnya tidak lepas dari pengaruh penaklukan oleh kerajaan-kerajaan itu di wilayah-wilayah lain.

Menurut Mudjahirin, "Sebab, para istri itu biasanya berasal dari setiap wilayah yang berhasil ditaklukkan dan hal ini sangat memengaruhi kewibawaan raja yang bersangkutan, bahwa raja yang memiliki istri banyak akan disegani."

Menurutnya, budaya feodalistik zaman kerajaan itu sampai saat ini masih memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tidak mengherankan JIka seorang laki-laki bisa memiliki istri lebih dari satu. "Namun, masyarakat saat ini memilih mengambil segi praktisnya, yakni dengan nikah siri atau tanpa mencatatkan perkawinan ke lembaga yang berwenang. Hal ini justru menunjukkan sikap lelaki yang tidak `gentleman` (tidak berwibawa)," katanya.

Antropolog ini menilai perkawinan siri menciptakan celah untuk berbuat tidak adil, karena kawin siri hanya menuntut pelakunya bertanggungjawab hanya pada Tuhan. Ia menegaskan, "Kalau memang seorang laki-laki berani mempertanggungjawabkan perkawinannya pada Tuhan, mengapa mereka tidak mau mempertanggungjawabkan perkawinannya kepada manusia."

Mudjahirin menyetujui pemidanaan pelaku perkawinan siri seperti disebut rancangan undang-undang (RUU) Peradilan Agama, sebagai pengingat bagi pelaku nikah siri. Dia menepis anggapan bahwa negara telah memasuki wilayah privat manusia karena menurutnya negara berwenang mengatur manusia yang hidup dalam wilayahnya, namun tetap ada batasan-batasan tertentu.

Namun demikiaan benarkan nikah siri menciptakan ketidakadilan dalam berumah tangga ? Upaya pemerintah untuk mentertibkan pernikahan di Indonesia patut diacungi jempol, namun seperti menurut pendapat ketua PBNU, tidak seharusnya mereka yang melakukan model pernikahan ini dikenakan sanksi pidana, tapi cukup dengan sanksi administratif. Dengan adanya penertiban ini pihak perempuan pun mendapat hak dan anak-anaknya juga berstatus resmi. Kita harap upaya ini dapat berjalan lancar.



0 comments to "Hati-Hati Nikah Siri"

Leave a comment