Home , , � Petaka Dunia Maya

Petaka Dunia Maya

Petaka di Dunia Maya


 Marakanya, kasus anak hilang gara-gara Facebook di Indonesia akhir-akhir ini patut mendapat perhatian kita semua, karena itu menarik kiranya jika simak ulasan pendapat Bagong Suyanto yang diangkat situs Jawapos (Jumat, 12/2). Pengajar masalah sosial anak di FISIP Universitas Airlangga itu menilai persentuhan anak-anak dengan kemajuan teknologi informasi dan peluang anak untuk dapat berselancar di dunia maya, tampaknya, tidak selalu berdampak positif. Kendati di era revolusi informasi, anak-anak kita seyogianya tidak gaptek

serta tak asing dengan internet, tetapi ketika mereka tidak siap, jangan kaget jika efek samping yang timbul malah merugikan.

Kehadiran Facebook dan media berkomunikasi di dunia maya yang dramatis dalam dua-tiga tahun terakhir, mungkin benar telah membuka belenggu isolasi dan menjadikan wawasan dan jaringan sosial anak-anak makin luas. Namun, di saat yang sama tawaran keterbukaan informasi itu ternyata juga menyebabkan anak-anak rentan terpedaya.

Kisah yang dialami Nova, gadis 14 tahun di Tangerang yang kehilangan kesucian gara-gara terpedaya lelaki muda yang dikenalnya lewat Facebook adalah salah satu contoh betapa berisikonya kehadiran Facebook ketika anak-anak kita tidak siap mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul.

Di media massa, kita bisa melihat sejumlah contoh kasus tentang efek samping kehadiran Facebook. Di Surabaya, belum lama ini berhasil dibongkar adanya kasus perdagangan dan pelacuran anak yang pemasarannya mempergunakan jalur on line Facebook.

Berbeda dengan kontak-kontak langsung secara personal dan setiap pihak yang berinteraksi tahu persis sejarah dan latar belakang lawan bicaranya, kontak yang terbangun di dunia maya sering berlangsung penuh kemasan seperti dunia simulacra. Jean Baudrillard menyatakan bahwa simulasi adalah sebuah realitas semu yang tidak selalu identik deangan realitas nyata.

Di dunia maya, lewat Facebook, seseorang bisa memperkenalkan diri menjadi siapa pun, tanpa harus terikat dengan kondisi riil dirinya. Seorang lelaki iseng, playboy yang suka mempermainkan perempuan, melalui Facebook bukan tidak mungkin merepresentasikan dirinya sebagai sosok yang santun, penuh perhatian, dan jauh dari kesan menjengkelkan.

Di dunia maya, yang namanya identitas adalah sebuah bentukan citra, dan oleh karena itu yang penting di sini adalah image, konstruksi, dan seberapa jauh lawannya berinteraksi dapat dikecoh atau terkecoh.

Bagi seorang anak perempuan yang sehari-hari dibesarkan dalam keluarga broken home, atau bermasalah, apalagi menjadi korban child abuse, berselancar di dunia maya untuk mencari teman chatting bukan hanya menjadi alternatif kegiatan pelarian yang mengasyikan. Lebih dari itu, kegiatan tersebut juga menjadi kegiatan untuk mencari sosok-sosok idola substitutif yang ideal.

Seorang anak yang di dunia nyata memiliki ayah yang ringan tangan dan suka main pukul, biasanya dengan mudah akan terpedaya oleh kenalannya di dunia maya yang pandai menghibur, penuh perhatian, dan terkesan sabar. Seorang anak yang lugu seperti Nova, misalnya, niscaya dengan mudah jatuh cinta kepada cowok yang lewat Facebook tampak penuh perhatian dan bisa menjadi teman curhat yang mengasyikkan.

Sebagai bagian dari kemajuan teknologi, kehadiran media jejaring Facebook memang penuh pesona dan mampu membunuh rasa kesepian anak-anak kita yang sehari-hari kurang memperoleh perhatian orang tuanya. Di tengah kondisi kegiatan belajar-mengajar yang acapkali terlalu membebani dan menjemukan bagi siswa, ditambah lagi komunikasi dengan orang tua yang sangat minimal karena kesibukan bekerja, sering terjadi para orang tua menempuh langkah pragmatis.

Bagi anak-anak yang hidup di era revolusi informasi, menjalin jejaring sosial di dunia maya dan mendaftarkan diri dalam akun pertemanan Facebook, Twitter, atau situs yang lain memang merupakan konsekuensi kemajuan zaman dan menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Cuma, yang menjadi masalah: karena secara psikologis anak-anak dalam usia belia acapkali masih belum sepenuhnya matang, dan dalam banyak kasus mereka masih mudah terpedaya karena sulit membedakan mana kenalan yang benar-benar baik dan mana pula sesungguhnya yang termasuk predator yang tengah mencari mangsa lewat dunia maya, maka jangan kaget jika tiba-tiba ada orang tua yang kehilangan anaknya karena kabur atau tertipu kenalannya lewat Facebook.

Adalah tugas pemerintah, orang tua, pendidik, dan berbagai elemen masyarakat lain untuk mencegah anak-anak kita menjadi korban dunia simulacra yang ditawarkan kemajuan teknologi informasi. Sudah barang tentu solusinya tidak harus dengan mengeluarkan fatwa haram bagi Facebook dan semacamnya. Yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar kita semua tidak kehilangan hubungan sosial dengan anak-anak kita.

Musuh dan para predator yang mengancam anak-anak kita sesungguhnya tidak selalu ada di luar rumah, di jalanan, atau di tempat-tempat yang berbahaya. Di rumah kita sendiri, pada saat anak-anak dibiarkan terbenam berselancar di dunia maya, entah itu bermain Facebook atau membuka situs porno, maka di situlah mala petaka mulai mengancam anak-anak kita.


Formalinisasi atau Formalisasi Bahasa Indonesia?

Menyinggung isu formalisasi Bahasa Indonesia, Harian Kompas mengusung tulisan Saifur Rohman Peneliti Filsafat di Semarang. Dia beranggapan, pembakuan bahasa Indonesia dalam undang- undang mengarah pada pembekuan dan berbahasa Indonesia dalam konteks praksis mengarah pada pencarian (identitas baru) atau pencairan (identitas lama). Bila dibandingkan dengan bayangan Mohamad Jamin, apa yang sesungguhnya terjadi dengan bahasa Indonesia dalam konteks pembangunan identitas kebangsaan masa kini?
Menjadi asing

Bahasa Indonesia baku selama ini hanya digunakan dalam konteks yang tertentu dan sangat khusus. Bahasa baku telah menjadi bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari warga bangsa. Contoh, dari 24 jam siaran televisi, bahasa baku hanya tampak dalam siaran berita yang berdurasi sekitar 90 menit per hari.

Selebihnya, kita tidak menemukan dalam komunikasi periklanan, pemilihan nama acara, dan praktik berbahasa di dalam siaran itu sendiri. Alasannya, bahasa baku tidak bernilai jual (ekonomis), tidak gaul (komunikatif), tidak mengangkat gengsi (pencitraan), dan tidak mampu meraih penghayatan pembaca (intensitas). Kenyataan itu menempatkan bahasa Indonesia bukan lagi sebagai gaya hidup, bukan bagian dari jiwa penutur.

Kenyataan itu dapat dipahami melalui teori klasik Ludwig Wittgenstein. Katanya, "Tindak berbahasa sangat terikat dengan konteks yang membangun pembicaraan (Philosophical Investigaton, 1989:16)." Konteks itu adalah ruang dan waktu, tujuan penutur, dan segmen pendengar. Ketika seorang penutur berbicara, hal itu berarti mengikuti aturan yang ditentukan oleh kontekstualitas.

Bila teori itu sahih, penerapannya dalam konteks masa kini menjadi jelas bahwa bahasa Indonesia hanyalah menjadi satu dari sekian banyak aturan permainan dalam berbahasa. Posisinya tidak lagi dominan sebagai pembentuk aturan kuat dalam komunikasi di Indonesia. Sebab, tindak berbahasa masyarakat dibimbing bukan oleh budaya Indonesia (sebagaimana dicita-citakan Mohamad Jamin), tetapi budaya dominan yang diimpor.
Keinggris-inggrisan

Konfirmasi faktual, bila di Singapura ada tindak berbahasa Singlish (Singapore English), di Indonesia ada Indlish (Indonesia English). Singlish di Singapura adalah bahasa Inggris dengan logat Melayu (Singapura). Tetapi, bagi masyarakat Indonesia, Indlis diterjemahkan sebagai bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan: bahasa Indonesia bukan, bahasa Inggris juga bukan.

Hal itu mengingatkan kita tentang sebuah fenomena berbahasa pada masa kolonial ketika bahasa daerah dicampur dengan bahasa Belanda. Fenomena ini disebut dengan bahasa petjoek (Sumber: Djoko Soekiman, 2000:215). Subagyo Sastrowardoyo menyebut dengan istilah belletrij (1983: 75). Referensi mutakhir didapat dari VE de Gruiter dalam Het Javindo, de Vorboden Taal (1990). Disebutnya gaya campuran itu sebagai kroyo.

Gruiter mencatat percakapan sehari-hari masyarakat Hindia Belanda sebagai ungkapan percampuran antara bahasa Jawa dan Belanda.
Gaya petjoek itu masih terlihat dalam pidato-pidato Soekarno. Uniknya, ketika Mohamad Jamin menegaskan tentang pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan Indonesia, dia menggunakan bahasa Belanda jekek.

Fakta-fakta itu menegaskan, tindak berbahasa memberikan ilustrasi tentang hadirnya budaya dominan yang menjiwai kesadaran para penutur bahasa. Pada masa prakolonial, bahasa dominan adalah bahasa Arab sehingga menghasilkan kebudayaan Arab pegon (bahasa Jawa berhuruf Arab) dan Arab Jawi (bahasa Melayu berhuruf Arab). Pada masa kolonial, bahasa Melayu berada di bawah bayang-bayang bahasa Belanda. Masa pascakolonial, bahasa Indonesia seperti menjadi catatan kaki dari bahasa Inggris.

Strategi pembakuan bahasa Indonesia tanpa disertai upaya sungguh-sungguh membangun identitas keindonesiaan, seperti mengganti plastik baru untuk ikan busuk. Gamblangnya, formalisasi bahasa Indonesia yang berlebihan hanya akan menjadi formalinisasi bahasa. Mewah, segar, tetapi beracun.


sumber:http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=19542&Itemid=59

0 comments to "Petaka Dunia Maya"

Leave a comment