Home , , � Grup Facebook Hina Rasulullah Saw dan Ironi Piala Dunia di Gaza serta Gagalnya Sebuah Revolusi di Iran..???

Grup Facebook Hina Rasulullah Saw dan Ironi Piala Dunia di Gaza serta Gagalnya Sebuah Revolusi di Iran..???

Grup Facebook Bahasa Indonesia Hina Rasulullah Saw

Kemudahan membuat grup dalam jejaring sosial Facebook, seringkali disalahgunakan untuk menyebar kebencian diantara kehidupan beragama dan rasis. Belum lama, sebuah grup di Facebook mengajak anggotanya untuk menggambar Nabi Muhammad Saw.

Kini, sebuah grup Facebook nampak berusaha melakukan provokasi pada umat Islam di Indonesia. Hal itu bisa terlihat dari nama grup itu yang langsung menyebut nama sebuah binatang yang dianggap haram dalam agama Islam dan menyamakannya dengan Nabi Muhammad.

Upaya provokasi juga nampak jelas pada bagian Photos dari grup tersebut. Salah satunya, misalnya, menampilkan gambar seekor binatang sedang buang hajat di lokasi yang disucikan oleh umat Islam.

Saat dikunjungi detikINET, Rabu (16/6/2010), grup ini diketahui telah memiliki 1.123 anggota. Sedangkan admin grup ini pun nampak keroyokan dengan jumlah lebih dari 30 orang.

Hampir seluruh komunikasi dilakukan oleh pencipta kelompok itu dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian, dalam akun grup tersebut juga memuat foto-foto yang menghina Nabi Muhammad SAW yang dapat memicu kemarahan umat muslim.

Sebagai pengguna akun Facebook, dapat melaporkan setiap kelompok yang dirasa tidak pantas. Dengan klik tombol "report group" yang tersedia di bagian bawah dari akun tersebut.

Hingga saat ini, grup tersebut masih aktif dan pihak Facebook belum melakukan aksi apapun terhadap akun kelompok tersebut.(IRIB/AR/SL/16/6/2010)

Ironi Piala Dunia di Gaza

Ketika masyarakat di berbagai negeri asyik menonton pertandingan sepak bola Piala Dunia 2010, warga Palestina di Jalur Gaza masih didera blokade hingga tak mampu menikmati suguhan permainan bola dari Afrika Selatan. Hingga kini banyak warga di Jalur Gaza yang tidak bisa mengakses tontonan Piala Dunia lantaran tidak punya parabola atau televisi.

Akibat ketatnya blokade rezim zionis Israel, Gaza mengalami krisis listrik. Aliran listrik acap kali padam hingga warga pun tak bisa menikmati siaran televisi. Sudah empat tahun, Gaza mengalami kelangkaan listrik. Selama ini, warga hanya mengandalkan mesin genset untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Itupun hanya sebagian kecil saja yang mampu membeli. Akhirnya banyak warga yang terpaksa menonton siaran Piala Dunia secara beramai-ramai di rumah tetangga yang punya listrik dan mampu menyalakan TV.

Di sisi lain, lantaran ketatnya aturan rezim zionis, bukan perkara mudah bagi tim nasional Palestina untuk bertandang ke negara-negara tetangga sekedar bermain bola di tingkat regional ataupun internasional. Bahkan untuk menggelar pertandingan bola di tingkat lokal pun sulit untuk memperoleh ijin resmi.

Sama seperti para bocah dan remaja di belahan dunia lainnya, anak-anak dan pemuda Gaza pun ingin menyaksikan aksi bintang sepak bola mereka di lapangan Piala Dunia Afrika Selatan. Namun apa yang terjadi kini, anak-anak dan pemuda Gaza harus mengubur dalam-dalam harapan mereka itu. Tidak hanya itu saja, hak-hak mendasar anak-anak dan remaja Palestina juga tidak seperti kawan-kawan sepantaran mereka di negara-negara lain. Hak-hak mereka kerap dicederai dan dilecehkan oleh kebengisan rezim zionis.

Pesta sepak bola Piala Dunia di Palestina berbeda jauh dengan pesta serupa di belahan dunia lainnya. Sebagai ganti pesta yang penuh dengan suka cita, rakyat Palestina harus menikmati pahitnya sebuah penjajahan, kehancuran, pelanggaran hak asasi manusia, serbuan militer, pembantaian, dan aksi kekerasan berdarah. Tentu saja dibanding sebelumnya, nurani masyarakat dunia kini makin tersadarkan dan mereka pun "sedikit" lebih peduli terhadap rakyat tertindas di Palestina.

Baru-baru ini, sekedar untuk melupakan sejenak pedihnya kehidupan akibat pendudukan dan blokade zionis, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) menggelar ajang piala dunia simbolik di Gaza tak jauh dari himpitan tembok pemisah Israel. Namun Piala Dunia di Gaza punya cerita lain yang jauh dari riuh tawa dan hingar-bingar Piala Dunia di Afrika Selatan. Kalaupun ada keceriaan dan teriakan girang para penonton di Gaza, namun di balik itu semua tersimpan kepedihan yang dibungkus tawa sesaat.

Meski miniatur Piala Dunia di Gaza bisa sedikit menghapus air mata anak-anak dan remaja di sana, namun ironisnya ajang tersebut justru digelar tak lama setelah armada Freedom Flotilla menjadi sasaran brutalitas rezim zionis. Padahal masih segar dalam ingatan, bagaimana militer Israel membantai para aktifis perdamaian di Kapal Mavi Marmara. Tapi begitulah kisah tragis di Gaza. (IRIB/LV/NA/16/6/2010)

Gagalnya Sebuah Revolusi Semu

Pemilu di Iran

Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir semenjak kemenangan Revolusi Islam, rakyat Iran merasakan beragam pahit manisnya sejarah. Selama masa itu, mereka senantiasa membuktikan kewaspadaan dan kesetiaannya kepada Republik Islam Iran. Pemilu presiden 12 Juni tahun 2009 lalu dan rangkaian peristiwa setelahnya adalah salah satu ujian paling menentukan bagi bangsa Iran pasca Revolusi Islam. Pemilu presiden yang akhirnya mengantarkan kembali Ahmadinejad sebagai presiden untuk kedua kalinya itu merupakan pesta demokrasi Iran yang paling bersejarah dan mencatat rekor partisipasi tertinggi setelah referendum 1979. Sekitar 40 juta pemilih atau 85 persen dari konstituen yang memenuhi syarat dengan penuh antuisme memadati kotak-kotak suara.

Tingginya antuisme dan partisipasi rakyat Iran dalam pemilu presiden 12 Juni tahun 2009 lalu menunjukkan bahwa kesetiaan rakyat kepada Republik Islam dan cita-cita luhur revolusi masih bertahan meski sudah tiga dekade. Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei memuji peran aktif rakyat dalam pemilu kala itu dan menyatakan,

"Pemilu 12 Juni merupakan pementasan agung dari rasa tanggung jawab bangsa kita terhadap nasib negaranya, pementasan agung dari jiwa partisipasi umum masyarakat dalam mengelola negaranya, pementasan agung dari kecintaan rakyat kepada negaranya".

Pada pemilu presiden yang kesepuluh tersebut, Mahmoud Ahmadinejad kembali terpilih sebagai Presiden Republik Islam Iran dengan raihan suara sebanyak 63 persen dari total suara.

Di saat rakyat Iran bersuka cita atas prestasi demokrasi yang berhasil ditorehkannya dalam pemilu presiden 12 Juni 2009, namun Barat berusaha merusak kesuksesan itu dengan melancarkan beragam konspirasi dan fitnah. Sejumlah calon presiden mengklaim telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Meski protes semacam itu terbilang wajar dalam sebuah negara yang demokratis jika disampaikan melalui jalur konstitusional, namun apa yang terjadi pasca pemilu 12 Juni di Iran justru banyak mengundang pertanyaan. Beberapa calon presiden yang kalah, menuntut dibatalkannya hasil pemilu dan meminta digelar ulang. Sayangnya upaya protes itu tidak disertai dengan bukti-bukti kuat mengenai klaim yang mereka tuduhkan. Padahal kritikan dan persoalan yang mereka lontarkan pun telah dijawab secara detail oleh komisi pemilu Iran.

Mereaksi masalah ini, Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam Iran dan berperan penting dalam menyelesaikan persoalan negara mengajak seluruh pihak-pihak yang bersengketa untuk menaati konstitusi dan mengormati supremasi hukum. Ia menyatakan, "Republik Islam Iran bukan pengkhianat suara rakyat. Mekanisme hukum pemilu di negara kita tidak mengijinkan adanya kecurangan. Namun demikian, jika ada pihak yang memiliki keraguan dan bukti yang bisa disampaikan, maka hal itu harus diproses. Tentu saja mesti melewati jalur konstitusional. Dan saya tidak akan tunduk pada bidat-bidat inkonstitusional".

Pemimpin Besar Revolusi bahkan memerintahkan untuk bekerjasama dengan kalangan pemrotes pemilu sesuai dengan koridor hukum. Meski begitu, dua kandidat presiden yang kalah tetap saja menuntut digelarnya pemilu ulang. Padahal tuntutan perhitungan ulang suara sebanyak 10 persen telah dikabulkan dan tidak terbukti adanya kecurangan. Di sisi lain, para kandidat yang tidak puas mengajak para pendukungnya melakukan protes turun ke jalan tanpa ijin dari otoritas yang berwenang hingga akhirnya berujung pada aksi kerusuhan.

Namun apa yang menjadikan rangkaian peristiwa pasca pemilu 12 Juni 2009 Iran makin kompleks dan pelik adalah munculnya dukungan luas pemerintah dan negara-negara Barat terhadap para perusuh. Para pemimpin AS dan negara-negara Eropa ternyata malah mendukung aksi anarkis para perusuh dan mengintervensi urusan internal Iran. Tidak hanya itu, mereka bahkan terus memprovokasi para perusuh untuk terus melanjutkan tindak anarkisnya. Seiring dengan itu, media-media barat juga gencar melancarkan serangan propaganda anti-Iran dan terus menyokong aksi brutal para perusuh. Dalam serangan propaganda kali ini, BBC dan Voice of America serta sejumlah jaringan internet seperti Facebook, Twitter, dan Youtube memainkan peranan penting untuk mencoreng prestasi demokrasi di Iran.

Segera setelah munculnya beragam aksi mencurigakan pasca pemilu 12 Juni 2009, rakyat dan pemerintah Iran serta para analis politik independen segera menyadari bahwa Barat tengah berusaha memunculkan revolusi berwarna seperti yang terjadi di negara-negara bekas Uni Soviet. Revolusi semu semacam itu sebelumnya pernah dipraktekkan Barat di Ukraina, Georgia, dan sejumlah negara lain. Biasanya, ketidakpuasan atas hasil pemilu senantiasa dijadikan alasan untuk menciptakan revolusi berwarna. Jika kandidat yang diinginkan Barat gagal memenangi pemilu, niscaya pemerintah dan media-media Barat pun berusaha mendukungnya dengan beragam cara.

Protes jalanan merupakan bagian penting dari perang propaganda revolusi berwarna. Sedemikian dahsyatnya tekanan itu hingga memaksa pemerintah yang berkuasa tunduk dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada kandidat yang direstui Barat. Anehnya, pemerintahan hasil revolusi berwarna yang muncul lantaran dukungan dan rekayasa Barat ternyata hingga kini selalu gagal dan beberapa di antaranya bahkan tumbang di tengah jalan.

Bagi AS dan sekutu Eropanya, memenangkan perang urat syaraf dan revolusi berwarna melawan Iran merupakan langkah yang sangat menentukan. Republik Islam Iran adalah model pemerintahan demokrasi Islam yang menjadi tandingan sistem demokrasi liberal Barat. Selain itu Iran juga dikenal sebagai negara independen yang senantiasa menentang imperialisme dan arogansi AS dan negara-negara kuat lainnya. Karena itu pasca pemilu presiden 12 Juni 2009 tahun lalu, dengan bantuan anasir lokal, Barat melancarkan perang lunak untuk menumbangkan atau minimal memperlemah pemerintahan Republik Islam lewat Revolusi Hijau.

Meski demikian, realitas yang terjadi di Iran berbeda dengan kondisi negara-negara bekas Uni Soviet. Kendati mesin propaganda Barat gencar memprovokasi rakyat Iran untuk bergabung dengan gerakan Revolusi Hijau yang dimotori oleh sejumlah pendukung salah satu kandidat presiden yang kalah, namun konspirasi itu pun segera berhasil digagalkan. Sebagian kalangan yang sebelumnya turut mendukung Revolusi Hijau, belakangan mulai paham bahwa mereka hanya dimanfaatkan untuk memuluskan perang lunak Barat terhadap pemerintahan Islam Iran. Mereka sadar bahwa tujuan utama Revolusi Hijau bukan sekedar protes terhadap hasil pemilu, tapi merupakan upaya tak langsung untuk menumbangkan sistem pemerintahan Islam. Tudingan semacam adanya kecurangan dalam pemilu sejatinya hanya isu yang sengaja dimunculkan untuk menggelar revolusi berwarna.

Perlahan dengan berjalannya waktu, skenario tersembunyi di balik Revolusi Hijau pun makin terkuak nyata. Para pendukung revolusi semu ciptaan Barat dan antek-antek kontra-Revolusi Islam makin berani menampakkan sikap penentangannya dengan menistakan simbol dan nilai-nilai sakral masyarakat muslim Iran secara terang-terangan. Penistaan itu mencapai klimaksnya pada saat peringatan Hari Syahidnya Imam Husein as pada 10 Muharram. Para pendukung gerakan Revolusi Hijau melancarkan aksi kerusuhan justru pada hari yang sangat dikeramatkan dan dihormati oleh masyarakat muslim Iran.

Karuan saja, aksi penistaan tersebut mendapat reaksi keras rakyat Iran. Hingga kemudian muncullah aksi demontrasi akbar 30 Desember 2009 sebagai bentuk ungkapan kesetiaan rakyat terhadap pemerintahan Islam dan cita-cita revolusi Islam. Unjuk rasa akbar itu merupakan luapan perlawanan rakyat terhadap Revolusi Hijau hasil rekayasa Barat dan antek-anteknya.

Tak ayal aksi tersebut merupakan pukulan telak bagi Barat. Namun belum pulih menelan kecewa, Barat kembali dibuat lebih terpukul lagi dengan aksi demo besar-besaran rakyat Iran di seluruh pelosok negeri pada peringatan hari kemenangan Revolusi Islam, 11 Februari. Demo masif tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa rakyat Iran masih setia mempertahankan prinsip-prinsip Revolusi dan Pemerintahan Islam. Dengan demikian, konspirasi Revolusi Hijau yang mulai bergerak sejak Juni 2009 itu berhasil dipatahkan. Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyatakan, "Bangsa Iran memberikan pukulan terkuat dan pamungkasnya pada demo 30 Desember dan 11 Februari. Langkah bangsa Iran pada dua hari itu, merupakan langkah besar yang menunjukkan keutuhan dan persatuan bangsa".

Sejatinya, beragam rangkaian pasca pemilu 12 Juni lalu merupakan ujian besar bagi rakyat dan pemerintah Iran. Selama lebih dari tiga dekade semenjak kemenangan Revolusi Islam, musuh menggunakan beragam cara untuk menumbangkan revolusi. Dan kali ini, musuh menggunakan perang media dan propaganda untuk merongrong Iran dari dalam. Tidak diragukan lagi, meski Revolusi Hijau yang dilancarkan Barat berhasil digagalkan, namun musuh tidak akan berhenti begitu saja dan bakal terus melanjutkan konspirasinya. Namun begitu, selama rakyat dan pemimpin Iran waspada dan cerdas dalam menghadapi rongrongan musuh, niscaya segala bentuk tantangan dan ancaman pun bisa ditundukkan sebagaimana yang ditunjukkan rakyat dan pemimpin Iran dalam menghadapi gerakan makar Revolusi Hijau. (IRIB/LV/N16/6/2010)

Hamas: Kalian Tidak Akan Mampu Bungkam Seruan Muqawama!

Jurubicara Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas), Ismail Ridwan, mengecam keputusan pemerintah Perancis untuk memutus penayangan televisi al-Aqsa. Ditegaskannya bahwa aksi-aksi seperti ini tidak akan pernah mampu memadamkan seruan muqawama.

Menyusul desakan dari rezim Zionis Israel, Dewan Tinggi Media Audio-Visual Perancis memutuskan penayangan televisi al-Aqsa yang berafiliasi dengan Hamas di Palestina. Seluruh gelombang televisi ini diputus dari satelit UTELSAT.

Ridwan (Rabu 16/6/2010) dalam wawancaranya dengan televisi al-Alam, mengecam keputusan tidak bijak pemerintah Perancis yang melontarkan tuduhan dan klaim infaktual soal status teroris televisi al-Aqsa serta menilai keputusan tersebut merefleksikan kepatuhan Paris kepada para lobi Zionis di Eropa dan Amerika Serikat.

Lebih lanjut dijelaskannya bahwa televisi al-Aqsa telah membuktikan kemampuannya sebagai sebuah media bebas, jujur, profesional, dan transparan dalam mengungkap kebengisan rezim penjahat Zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Menurutnya, pemutusan penayangan televisi al-Aqsa ini sebagai upaya untuk mencegah pengungkapan kejahatan Israel.

Terungkapnya kejahatan rezim Zionis Israel dalam serangan 22 hari ke Gaza dan agresi brutal para komando Zionis terhadap konvoi kapal bantuan kemanusiaan untuk Gaza di perairan internasional, merupakan dua contoh dari peran signifikan televisi al-Aqsa dalam menunjukkan watak bengis Zionis Israel. Oleh karena itu para pejabat Zionis dan pendukungnya di Barat merasa khawatir atas keberadaan televisi al-Aqsa. (IRIB/MZ/17/6/2010)

500 Juta Dolar untuk Coreng Popularitas Hizbullah

Beirut (IRIB News)-Anggota Fraksi Hizbullah di Parlemen Lebanon, Nawaf Musawi menyatakan, "Amerika Serikat telah mengeluarkan dana hingga $500 juta untuk merusak citra Hizbullah di mata para pemuda Lebanon."

Anggota parlemen Lebanon ini mengatakan, dana tersebut khusus dibelanjakan untuk mencoreng citra dan menurunkan popularitas Hizbullah dalam masyarakat Lebanon. Dalam wawancaranya dengan OTV (16/6/2010) Musawi mengatakan, "Pada tahun 2006 Amerika mengucurkan dana hingga $600 juta kepada militer dan polisi Lebanon."

Ditambahkannya, "Jika $600 juta itu dikucurkan Amerika Serikat melalui sebuah kesepakatan dan kontrak resmi dengan pemerintah Lebanon, maka kali ini $500 juta itu diterima oleh siapa?"

Lebih lanjut dijelaskannya, "Kita harus mereaksi intervensi seperti ini yang dapat dikatakan sebagai serangan terhadap budaya sebuah bangsa." Pada hakikatnya hal ini, menurut Musawi, merupakan penistaan terhadap logika dan kesadaran rakyat serta penghinaan terhadap budaya sebuah bangsa. Musawi juga meminta parlemen Lebanon mengusut masalah tersebut. (IRIB/MZ/17/6/2010)

0 comments to "Grup Facebook Hina Rasulullah Saw dan Ironi Piala Dunia di Gaza serta Gagalnya Sebuah Revolusi di Iran..???"

Leave a comment