Home , � Peristiwa politik (‘bom atom’) pemilukada di Banjarmasin

Peristiwa politik (‘bom atom’) pemilukada di Banjarmasin


Tujuh Hal Kemenangan 2M
Kamis, 17 Juni 2010 | 01:22 WITA/b.post

Oleh: Taufik Arbain(* Dosen FISIP Unlam)

PERHELATAN Pemilukada Wali Kota Banjarmasin 2010, boleh jadi membuat warga kota mengalami political shock (keterkejutan politik).

Hal itu disebabkan dalam tataran awam bahwa incumbent akan sulit terkalahkan selama tidak ada negative momentum yang mengiringinya bersentuhan dengan emosional pemilih. Seperti kasus korupsi, seks ataupun kebijakan kontraproduktif hingga menjelang pencoblosan.

Bahkan ekspose lembaga survei nasional sekelas LSI yang disewa Partai Golkar maupun lembaga survei lokal lainnya pada Mei pun rontok. Survei yang mengunggulkan pasangan AYUHA di atas 50 persen, sementara angka 2M di kisaran angka 30 persen. Padahal deference angka itu relatif permanen untuk tidak tergoyahkan. Kalaupun terjadi ‘peristiwa politik khusus’ dalam skala sedang, kemungkinan tergerus angka penurunan sekitar 10 persen.

Jadi, peristiwa politik pemilukada di Banjarmasin menarik dicermati. Dalam konteks ini analisis yang dikembangkan bahwa ada tujuh hal penyebab kemenangan pasangan 2M.

Pertama, solidnya mesin partai politik PBR dan tim suksesnya sebelum pemilu legislatif hingga pemilukada dalam melakukan serangan udara, darat dan gerilya sehingga konstituen cenderung terpelihara.

Langkah itu sebenarnya merupakan aktivitas yang sering dilakukan kader PKS sebelumnya, tetapi tampaknya PBR lebih masif dan militan. Sekalipun berbarengan dengan pemilukada gubernur, namun kerja aktivis sepenuhnya untuk memenangkan Ketua Partai H Muhidin yang mencalonkan diri menjadi wali kota. Itu linear dengan konsistensi pemilih PBR pada pemilu legislatif terhadap pasangan 2M mencapai 72.9 persen.

Kedua, silaturahmi politik (SP). Sekalipun semua kandidat melakukan pola yang sama terhadap pemilih, namun 2M melakukannya jauh-jauh hari hingga semakin militan menjelang hari H dengan makin memperbesar boncengan fasilitas publik dan individual. Dalam gerakan SP, 2M sangat pandai membaca faktor demografi sosial-ekonomi, khususnya masyarakat miskin kota pinggiran yang secara piramida penduduk lebih besar. Konsep perang Mao Zedong ‘Desa Mengepung Kota’ menjadi andalan pergerakan silaturahmi politik 2M. Pola itu menegaskan gerakan politik populis melawan gerakan politik elitis.

Ketiga, konstruksi jaringan sosial keagamaan dan relawan. Itu pola yang sering digunakan kelompok sosialis sayap kiri. Di mana pembinaan dan konstruksi jejaring adalah taktik populis dan relatif permanen, lebih-lebih terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Kegiatan keagamaan setiap minggu selain memenuhi simbol ‘rasa religius’ orang Banua, sekaligus konsolidasi pemilih. Mereka yang datang ke kegiatan tersebut dijadikan sebagai relawan dan tim untuk memenangkan 2M. Maka, sangat memungkinkan jejaring itu menambah anggota. Tak syak lagi, tiba-tiba orang sekampung dan sekompleks menjadi anggota atas nama relawan yang mendapatkan ‘honor’ atas jasanya, di mana Panwas akan sulit menjerat dalam pasal money politic.

Keempat, pendekatan sosial ekonomi, di mana kuatnya jejaring sosial dan militansi tim sukses sebagai mesin yang sering mengantar publik pemilih masuk ke dalam ranah ‘memecahkan masalah tanpa masalah’. Publik pemilih yang bermasalah persoalan ekonomi akan selesai masalahnya dengan datang kepada H Muhidin.

Konstruksi mainset itu menjadi kampanye gratis yang didengung-dengungkan warga, dengan membandingkan bantuan dari pemerintah kota (wali kota). Performance kedermawanan itu sesuatu yang berada di puncak pikiran mereka dibandingkan kepintaran seseorang, kapabilitas dan lainnya dalam membangun kota sekalipun sekelas incumbent.

Kelima, resistensi isu miring. Itu situasi yang berbeda dengan kasus Zairullah Azhar yang sibuk mengatasi isu miring, sehingga segala kebaikan yang dibangun kepada pemilih relatif tidak efektif mengantarkan pada elektabilitas. H Muhidin relatif kecil memiliki isu miring tentang siapa dirinya. Performa kedermawanan H Muhidin mematahkan jargon ‘ambil duitnya (kebaikannya), jangan pilih urangnya!

Keenam, adanya pilihan alternatif. Perang bintang di Kota Banjarmasin sebenarnya diprediksi antara AYUHA dengan 2M. Itu akhirnya bisa dilihat hasil rekap KPUD Banjarmasin. Pergerakan suara pemilih pada masa kampanye ada di dua pasangan tersebut, antara melanjutkan pembangunan dengan kedermawanan. Sebab tidak ada calon memiliki visi-misi yang spektakuler dan memberikan kuat kepercayaan publik.

Bagi masyarakat pinggiran nonsen atas visi-misi, sehingga aspek performa yang menjadi nilai tertinggi. Itu pula yang diduga rendahnya dukungan birokrat terhadap incumbent, semisal berkaitan tidak adanya tunjangan tiap tahun.

Ketujuh, adanya peristiwa luar biasa. Bentuk itu oleh kalangan lembaga survei dianggap sebagai tsunami politik. Karena peristiwa itu mampu menggeruskan tingkat kepercayaan survei 95 persen dengan margin of error di kisaran tiga-lima persen.

Peristiwa luar biasa itu adalah dugaan ‘bom atom’ yang berskala daya ledak peruntukan Kalsel, tetapi jatuh di lingkup kota dengan luas hanya 72 kilometer persegi dengan pemilih sekitar 450-an ribu. Hal itu mengalahkan peristiwa luar biasa lain berkaitan dengan kebakaran Ujungmurung yang menciderai elektabilitas incumbent. Benar atau tidak, setidaknya goncang-ganjing ‘bom atom’ begitu meluas khususnya di space pinggiran. Jadi, fenomena politik selalu mengejutkan!

* Dosen FISIP Unlam

Tags: ,

0 comments to "Peristiwa politik (‘bom atom’) pemilukada di Banjarmasin"

Leave a comment