Beginilah jadinya jika keputusan dibuat secara tergesa-gesa, mengesampingkan profesionalisme dan mungkin juga punya maksud-maksud tertentu. Adalah yang hal tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi sudah menjadi fenomena yang menyedihkan dan menyesakkan di Indonesia. Hampir semua -bila tidak kita katakan semua- lembaga dan institusi terjangkiti borok yang menjijikkan ini. Untuk membenarkan praktik itu dibuat jargon-jargon dan nama-nama yang sedap dan menipu. Ada yang menyebutnya uang admnistrasi, dana sumbangan bersama, dana bakti, dana aspirasi, dan sederet nama lainnya.
Akibatnya, desakan kepada pemerintah untuk bertindak memerangi fenomena buruk ini terus meningkat. Jika dulu era Orde Baru ditumbangkan karena dinilai sebagai rezim yang korup sehingga muncul istilah KKN, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kini era setelah reformasi kondisinya juga belum berubah. Bahkan -amat disayangkan- banyak yang meyakini praktik korupsi di negeri ini semakin parah pasca reformasi. Massa pemerjuang reformasi punya beberapa tuntutan yang sayangnya tidak terpenuhi. Salah satu dari tuntutan itu pemberantasan segala bentuk korupsi yang telah melumpuhkan negara.
Atas dasar itu pula pemerintah Indonesia membentuk lembaga khusus penanganan korupsi. Saat dibentuk, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK memunculkan harapan di hati rakyat. Keberhasilan dan keberanian KPK mengungkap berbagai kasus korupsi cukup bagus meski kasus-kasus yang disebut kelas kakap belum tersentuh.
Terseretnya ketua KPK ke sebuah kasus atau Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ke kasus yang lain, dinilai banyak pihak sebagai rekayasa dari pihak-pihak yang dirugikan oleh keberadaan KPK.
Para petugas pemberantasan korupsi itu akhirnya harus berjuang melawan tudingan. Tapi apa daya. Tak salah bila pertarungan mereka dengan mafia korupsi disamakan oleh sebagian orang dengan pergulatan antara cicak dan buaya. Ada mafia hukum yang bermain.
Keberadaan mafia itu diakui oleh semua pihak termasuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 37/2009, SBY membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Namun benarkah langkah yang ditempuhnya ini? Tuluskah SBY dalam membentuk Satgas itu, ataukah langkah tersebut hanya akal-akalan untuk merebut simpati? Bukankah itu tumpang tindih tugas yang seharusnya dipikul oleh kepolisian, pengadilan dan aparat penegak hukum lainnya? Inilah yang digugat oleh kelompok Petisi 28.
Uji Materi
Sejumlah aktivis yang bergabung dalam Petisi 28, Selasa lalu mengajukan uji materi terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 37/2009 tentang Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Sejumlah pengamat menilai, langkah itu wajar, apalagi Satgas ternyata lebih banyak mengintervensi proses hukum yang sedang dilakukan aparat penegak hukum.
Direktur Setara Institute Hendardi mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya mempercepat pemberantasan mafia hukum melalui pemberdayaan lembaga penegak hukum yang sudah ada, yaitu kejaksaan dan kepolisian. Presiden SBY juga perlu meningkatkan upaya pemberantasan mafia hukum di lingkungan aparatur negara, karena biasanya korupsi berakar dari tingkah laku aparat negara.
Dikatakan pula, gugatan yang diajukan sejumlah aktivis itu akan memperjelas, apakah selama ini Satgas memang berguna untuk memberantas mafia hukum dan memiliki eksistensi dalam perbaikan hukum.
Hakim Konstitusi Akil Mochtar menilai, keberadaan Satgas memang perlu dievaluasi, sebab selama ini belum memberikan hasil yang maksimal dalam upaya memperbaiki penegakan hukum di Indonesia. Selain kasus ruang tahanan terpidana suap Artalyta Suryani, belum ada gebrakan lain yang dilakukan Satgas.
Memberantas atau Membuat Citra
Media Indonesia dalam editorialnya menurunkan tulisan tentang gugatan kelompok Petisi 28 terhadap keputusan pembentuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
SEKELOMPOK anak bangsa yang peduli pada kemurnian semangat konstitusi menamakan diri Petisi 28. Mereka menggugat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ke Mahkamah Agung.
Satgas yang dibentuk atas dasar ketetapan presiden itu dianggap tidak sejalan dengan semangat murni konstitusi. Lembaga itu dianggap lebih berperan sebagai jendela kampanye citra daripada sungguh-sungguh memerangi mafia hukum.
Terlepas dari pijakan hukum yang oleh banyak orang dianggap lemah, gugatan mereka memiliki rasionalitas yang bisa diterima akal sehat. Terutama dari segi efektivitas lembaga dan administrasi negara.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum merupakan rentetan kebijakan yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjawab rekomendasi Tim 8. Tim yang dibentuk untuk menangani heboh rekayasa kriminalisasi terhadap dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dengan Anggodo Widjojo sebagai otak yang memiliki jaringan yang merasuk sampai ke Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dari kasus Bibit-Chandra melawan Anggodo yang kemudian dikenal sebagai perang buaya melawan cecak, terbaca jelas bahwa telah terjadi upaya sistematis melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga dengan kekuasaan super yang sengaja dibentuk untuk memerangi korupsi.
Apa yang terjadi? KPK dibiarkan terseok-seok, sementara satgas hanya memiliki nama angker tanpa kewenangan eksekusi sedikit pun. Tidak memiliki hak penindakan, penyelidikan, apalagi penyidikan.
Hak-hak itu tetap saja ada di KPK, polisi, dan jaksa. Bila satgas yang mengemban tugas pemberantasan, tetapi tidak memiliki senjata untuk memberantas, lantas untuk apa lembaga itu diciptakan? Ironi ketika Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dibentuk tanpa peluru yang mematikan, tetapi setiap hari membuat gaduh karena ikut mengurus banyak perkara. Lalu, untuk mengaktualisasi diri, satgas rajin berbicara kepada media sehingga terjadi persaingan tidak sehat dengan kepolisian dan kejaksaan bahkan dengan KPK.
Jadi, terlepas dari legal standing yang dianggap lemah, gugatan Petisi 28 ke Mahkamah Agung sesungguhnya lebih memiliki pesan tentang protes terhadap inflasi lembaga dan kemerosotan determinasi pemerintah memerangi korupsi. Pemerintah terus saja menambah lembaga pemberantasan mafia di tengah situasi mafia hukum semakin perkasa karena KPK yang lemah, polisi yang lemah, kejaksaan yang lemah, dan kehakiman yang lemah. Mengapa menambah lembaga satgas yang juga lemah?
Jadi, terlepas dari banyak kasus yang diklaim sebagai kesuksesan satgas, kehadiran lembaga pemberantasan yang tidak memiliki kontribusi bagi penguatan lembaga yang ada justru semakin menambah kegaduhan.
Kita lebih sibuk dan terhibur dengan kehadiran satgas dan melupakan penguatan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan lembaga yang secara eksplisit diperintahkan konstitusi. Konstitusi tidak menyebut satgas satu kata pun. Inilah alasan Petisi 28 menggugat satgas. (IRIB/Suara Pembaruan/Media Indonesia/AHF/24/6/2010)
0 comments to "SBY lagi SBY lagi....kasian..kasian..kasian......"