Tak mau menyinggung dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, Presiden SBY berbicara mengenai petaka tabung gas di kediamannya, Cikeas, Bogor. Presiden berbicara dalam acara buka bersama dengan petinggi Partai Demokrat, partai yang dibentuk dan telah membesarkan namanya.
Respons presiden mengenai persoalan tabung gas dalam pidato peringatan hari kemerdekaan ke-65 RI di DPR sebenarnya sangat ditunggu-tunggu. Ketika itulah, sebagai kepala negara, presiden seharusnya berbicara mengenai problem bangsa paling mutakhir, termasuk program konversi energi dari minyak tanah ke gas berikut baik dan buruknya hingga saat ini.
Tapi, apa mau di kata, persoalan itu tak dibahasnya sama sekali dalam dua kali pidato pagi dan sore hari. Partai oposisi seperti PDIP langsung melontarkan kekecewaannya terhadap pidato SBY itu. Masyarakat pun pasti ikut-ikutan kecewa. Seolah-olah, presiden menganggap insiden tabung gas yang telah merenggut nyawa manusia itu tidak penting.
Kenyataannya tabung demi tabung terus meledak. Dalam 3 hari ini saja, mulai Jumat (20/8/2010) yang lalu, terjadi 3 ledakan tabung elpiji 3 Kg di 3 kota yang berbeda. Tabung meledak di Tambora, Jakarta Barat (Jakbar), Bandung, Jawa Barat (Jabar), serta Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Seorang ibu penjaga warteg di Tambora dilarikan ke rumah sakit karena menderita luka bakar. Sedangkan ledakan di Jl Veteran Bandung telah menghanguskan puluhan rumah begitu pula di Makassar.
Harga Gas Malah Dinaikkan
Beberapa saat kemudian, muncul berita dari Cikeas bahwa Presiden sedang berbicara soal gas. Sedikit ada harapan bahwa ia akan mengemukakan solusi yang solutif untuk mencegah kembali terulangnya musibah itu dari sekian langkah yang diambil namun gagal. Namun, maski masih terkait dengan penanggulangan tabung gas, Presiden justru berbicara tentang sesuatu yang menambah sensitifitas publik. Ia menyampaikan kemungkinan perubahan harga tabung gas 3 Kg dan 12 Kg.
SBY menyebutkan, harga tabung gas antara 3 Kg dan 12 Kg itu akan ‘disesuaikan'. ‘Penyesuaian' itu untuk menekan disparitas (perbedaan) harga antara kedua jenis tabung tersebut yang saat ini cukup besar. Disparitas diketahui memicu sebagian masyarakat untuk mengoplos gas. Mereka menyuntik gas dari tabung 3 Kg yang murah ke tabung 12 Kg, sehingga memperoleh banyak keuntungan. Pengoplosan itulah yang dianggap sebagai biang kerok terjadinya serentetan ledakan hingga saat ini.
Presiden memang tidak secara eksplisit mengumumkan bahwa harga tabung elpiji 3 Kg, yang pada tahap pertama dahulu diberikan gratis itu, akan dinaikkan. Namun, dari kata-katanya bahwa nantinya harga tabung elpiji 3 Kg tidak akan membebani rakyat kecil dan pemerintah akan memberikan kompensasi, jelas menyiratkan harga tabung akan naik. Lagi pula, desas-desus akan adanya kenaikan harga itu sudah lama terdengar di kalangan pengambil keputusan.
Menaikkan harga tabung elpiji sesungguhnya hanya akan menambah rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap program alih energi ini. Kuantitas ledakan tabung gas belum berhasil ditekan, justru malah naik. Tingkat keamanan dan keselamatan bagi penggunanya pun masih rendah. Seperti disebutkan sebelumnya, belum ada solusi yang jitu mengenai masalah ini. Karena itu, menaikkan harga tabung gas sama saja dengan menambah beban masyarakat.
Saya tidak yakin apakah masyarakat miskin nantinya mau membeli tabung elpiji 3 Kg itu dengan harga baru yang jauh lebih mahal itu. Bayangkan saja, mereka harus merogoh kocek lebih dalam, sementara risiko kecelakaan tabung gas masih sama besarnya. Pemerintah saat ini belum bisa memberikan jaminan keselamatan bagi masyarakat. Pemerintah baru memberikan jaminan kesehatan dengan menanggung semua biaya berobat di rumah sakit bagi para korban ledakan tabung gas.
Solusi Efektif
Malam hari di Cikeas itu SBY mengatakan, meledaknya tabung gas 3 Kg semula hanya dikira karena selang dan regulator yang bocor saja, rupanya ada masalah lain yakni pengoplosan. Selayaknya, aktivitas pengoplosan yang membuat rusaknya tabung sehingga rawan meledak ini harus dicari lagi kebenarannya. Sebab, setiap kali kembali ke PT Pertamina (Persero) untuk diisi, tabung melon tersebut dicek kondisi fisiknya. Bila ada tabung gas yang rusak, tentu akan diperbaiki oleh Pertamina. Tabung yang rusak pasti tidak akan dilempar begitu saja ke masyarakat karena mengandung risiko. Dengan kata lain, tabung yang kembali keluar dari depo Pertamina dalam kondisi yang bagus sesuai SNI.
Untuk persoalan pengoplosan itu, jalan yang paling efektif adalah pengawasan yang lebih ketat dari Kepolisian maupun kementerian terkait. Kabareskrim Komjen Ito Sumardi mengatakan polisi agak sulit mengidentifikasi pengoplos gas, karena mereka hampir serupa dengan agen-agen tabung elpiji yang banyak bertebaran di masyarakat. Namun, justru karena sama itulah, polisi lebih mudah untuk mengenali praktek-praktek kejahatan tersebut. Selain itu, razia pabrik-pabrik pembuatan tabung gas tidak sesuai SNI juga harus lebih digiatkan. Hingga saat ini, kepolisian belum memproses satu pun pembuat tabung gas palsu ke pengadilan untuk memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku lainnya.
Dibanding dengan pengoplosan, usangnya selang dan regulator yang dimiliki masyarakat memberikan sumbangsih lebih besar terhadap ledakan tabung gas. Kebocoran memang terjadi pada selang, bukan tabung. Meledaknya tabung lebih karena gas yang memenuhi dapur setelah bocor dari selang. Pemerintah sebenarnya telah menggelontorkan dua macam assesoris yang baru itu dengan harga cukup terjangkau dan ber-SNI. Namun, akibat kurang gencarnya penjualan dan sosialisasi, hanya sebagian kecil saja yang terserap oleh masyarakat. Karena itu, sebaiknya penjualan selang dan regulator anyar itu kembali diprioritaskan supaya masyarakat memperoleh peralatan yang aman saat memasak dengan kompor gas. (Detik/IRIB/AR/23/8/2010)Pemerintah memberikan kado pahit saat ulang tahun ke-65 kemerdekaan Republik Indonesia, pekan lalu. Kado pahit itu adalah rencana pemerintah menaikkan tarif listrik rata-rata 15% mulai Januari 2011.
Pangkalnya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pengantar nota keuangan RAPBN 2011 menyebutkan subsidi sektor energi, terutama listrik, bakal dikurangi dari Rp55,1 triliun pada 2010 menjadi Rp41 triliun pada 2011.
Jika usul itu disetujui DPR, berarti hanya dalam kurun enam bulan konsumen listrik di negeri ini harus menjerit dua kali. Jeritan pertama terjadi ketika tarif listrik naik rata-rata sekitar 10% pada 1 Juli 2010.
Penaikan itu terjadi di tengah impitan semakin mahalnya harga-harga bahan pokok, padahal daya beli rakyat tidak meningkat. Itulah kenapa, melalui forum ini pula, saat itu, kita menilai penaikan tarif listrik di tengah gejolak harga merupakan kebijakan yang amat tidak bijak.
Tidak bijak karena kenyataan menunjukkan rakyat yang negaranya telah merdeka 65 tahun ini masih terlalu rentan untuk menanggung keputusan negara mengurangi subsidi listrik. Boro-boro memikul ongkos penaikan tarif listrik, membayar utang Rp30 ribu saja tak sanggup, bahkan memilih bunuh diri.
Pemerintah jangan mengira bahwa rakyatnya telah semakin makmur sehingga layak beban hidupnya dinaikkan.
Situasi serupa masih melingkupi rencana penaikan tarif listrik pada 2011. Bahkan, pukulan tidak saja bakal dirasakan rakyat, tapi juga oleh dunia industri yang akan kian sesak napas karena mahalnya ongkos produksi. Ujung-ujungnya, daya saing industri kian tergerus lalu pelan-pelan mati.
Menaikkan tarif dasar listrik di tengah pengelolaan dan pelayanan listrik yang masih sangat jelek jelas keputusan yang memalukan. Hingga kini, publik tidak percaya Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah melakukan efisiensi demi menekan kerugian.
Ditambah lagi, belum ada jawaban pasti kapan listrik kita berhenti biarpet. Padahal, setiap hadir pucuk pimpinan baru PLN, selalu meluncur janji bahwa tidak akan ada lagi biarpet listrik. Bahkan, di bawah direksi baru yang sekarang ini, tidak tanggung-tanggung, perihal biarpet itu dicanangkan langsung oleh Presiden.
Janji belum ditepati, tapi tarif listrik terus dinaikkan. Itu bukan cermin korporasi yang bertanggung jawab.
Sebagai pemegang tunggal hak menyediakan listrik bagi jutaan rakyat di Tanah Air, mestinya tidak susah bagi pimpinan PLN untuk menjadikan BUMN itu efisien dan gesit mencari terobosan. Karena tidak punya saingan, PLN tidak dipusingkan memikirkan kompetisi di bidang kelistrikan.
Tapi, sesuatu yang mestinya mudah itu teramat susah direalisasikan. Maka, dicarilah jalan pintas dengan menaikkan saja tarif listrik demi melancarkan arus kas. Kalau bisanya hanya menaikkan tarif, apa gunanya mengganti pucuk pimpinan PLN dengan orang baru?
Pemerintah seperti tidak memiliki kemauan politik untuk mencari cara lain dalam menutupi pembengkakan subsidi listrik. Kita, misalnya, belum melihat pemerintah berupaya keras menurunkan biaya pokok penyediaan listrik dengan mengganti sumber energi primer pembangkit PLN, dari bahan bakar minyak ke batu bara maupun gas.
Jadi, sebaiknya pemerintah berhenti mengambil jalan gampangan dalam mengatasi listrik untuk rakyat. Dan berhentilah memberi kado pahit bagi rakyat. PLN itu hadir bukan terutama untuk matematika APBN, apalagi matematika arus kas PLN secara mikro, melainkan untuk kemaslahatan rakyat. (Media Indonesia/irib/23/8/2010)
0 comments to "SBY = Selalu Berbuat Yang kadang benar kadang salah..namanya juga manusia...!!!!! ^_^...????"