Home , � Kedudukan Perempuan: Antara Budaya Islam dan Barat

Kedudukan Perempuan: Antara Budaya Islam dan Barat

Kedudukan Perempuan: Antara Budaya Islam dan Barat (1)

Bab Pertama: Perempuan Dalam Budaya Islam

Signifikansi Perhatian Terhadap Perspektif Islam
Mengamati peta pemikiran dunia dan mengkomparasikannya dengan pandangan Islam bisa dibuktikan bahwa solusi yang ideal bagi persoalan kaum perempuan dan hubungannya dengan kaum lelaki hanya akan dapat dicapai jika umat manusia memahami dan mengetengahkan konsep Islam secara proporsional, tanpa reduksi maupun eksesi. Apa yang ditawarkan oleh peradaban materialisme modern justru sama sekali tidak dapat diandalkan untuk menunjang maslahat kaum perempuan dan masyarakat secara umum.

Islam menghendaki kematangan pikiran, intelektual, sosial, politik dan terutama kedewasaan moral dan spiritual pada diri perempuan. Di mata Islam, kaum perempuan harus eksis sebagai elemen yang sangat substansial bagi masyarakat dan keluarga besar umat manusia. Idealisme inilah yang melambari ajaran Islam menyangkut perempuan, termasuk ketentuan hijab. Al-Quranul Karim memilih figur perempuan ketika menampilkan dua sosok tipe manusia protagonis dan antagonis, baik dan buruk; satu adalah isteri Fir'aun dan yang lain isteri Nabi Nuh as dan isteri Nabi Luth as;

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ

"Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman." (QS.66.11)

Adapun untuk tipe manusia protagonis dan batil, al-Quran menunjuk isteri Nabi Nuh as dan isteri Nabi Luth as;

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ

"Allah membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir." (QS.66.10)

Patut direnungkan, mengapa al-Quran tidak memilih satu figur laki-laki dan yang lain figur perempuan, misalnya, dan malah memilih perempuan untuk dua tipe manusia tersebut.

Kedudukan Perempuan Dalam Perspektif Islam
Ajaran Islam dan pemerintahan Republik Islam memandang kaum perempuan dengan kacamata takzim, rasional dan berorientasi pada maslahat. Islam memandang perempuan, laki-laki dan semua makhluk dengan pandangan realistis dan sejalan dengan fitrah dan bawaan alamiah masing-masing. Islam tidak menghendaki siapapun berbuat sesuatu lebih dari kemampuan yang dimilikinya.

Untuk mengetahui deskripsi Islam tentang kedudukan kaum perempuan, ada tiga persepktif yang patut diperhatikan.

Pertama, peran perempuan sebagai manusia yang menjalani perfeksi spiritual. Dari aspek ini, perempuan sama sekali tidak berbeda dengan laki-laki. Dalam sejarah, tak kurang tokoh besar yang berasal dari kaum hawa sebagaimana tokoh dari kaum adam.

Kedua, peran perempuan di bidang sosial, politik, ekonomi dan sains. Dalam pandangan Islam, semua pintu di bidang-bidang ini terbuka lebar bagi kaum perempuan. Syariat Islam tidak membenarkan siapapun melarang perempuan terlibat di dunia akademi, ekonomi, politik dan sosial. Perempuan boleh berpartisipasi di semua bidang ini sejauh kemampuan fisik dan kebutuhannya. Syariat tidak mengharamkan partisipasi perempuan. Hanya saja, karena secara fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki maka ada ketentuan-ketentuan khusus menyangkut perempuan. Pelimpahan pekerjaan berat terhadap perempuan dinilai sebagai tindakan zalim. Islam tidak menganjurkan dan tidak melarang perempuan bekerja berat. Dalam sebuah hadits disebutkan;

اَلْمَرْأَةُ رَيْحَانَةٌ وَ لَيْسَتْ بِقَهْرَمَانَةٍ

"Perempuan adalah bunga dan bukan pelayan."

Ungkapan ini ditujukan kepada kaum laki-laki bahwa perempuan dalam rumah tangga adalah ibarat bunga yang harus diperlakukan dengan lemah lembut. Perempuan bukanlah bawahan atau pelayan yang dapat diserahi pekerjaan-pekerjaan berat. Salah jika pria menentukan syarat, misalnya, terhadap perempuan supaya bekerja dan berpenghasilan untuk dapat dinikahinya. Karena meskipun tidak mengharamkan, Islam tidak menganjurkan demikian.Tidak benar anggapan bahwa syariat melarang perempuan terlibat di bidang ekonomi dan sosial. Yang benar adalah bahwa Islam hanya tidak menganjurkan perempuan ditekan supaya bekerja keras di bidang ekonomi, sosial dan politik. Islam bersikap moderat.

Artinya, Islam tidak melarang perempuan terlibat dalam bidang-bidang tersebut selagi memiliki kesempatan, berminat dan pekerjaan itu tidak mengusik kewajibannya merawat dan mendidik anak. Islam hanya melarang pemaksaan perempuan supaya bekerja dan mendapat penghasilan agar ikut andil dalam membiayai pengeluaran rumah tangga. Saya berpesan kepada semua keluarga agar membiarkan anak-anak gadisnya mengenyam pendidikan. Dengan alasan taat kepada agama, orang tua jangan sampai beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi.

Agama tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam kewajiban menuntut ilmu. Jika anak laki-laki kuliah, maka anak perempuan juga harus demikian. Anak perempuan harus mengasah ilmu, memperluas wawasan, menyadari dan mengapresiasi jatidirinya supaya terungkap bahwa propaganda kotor kaum arogan dunia tentang kaum perempuan sama sekali tidak berdasar. Semua ini bisa dicapai dengan pendidikan.

Ketiga, aspek status perempuan sebagai anggota rumah tangga. Aspek ini lebih penting daripada yang lain. Islam tidak membolehkan suami memaksakan sesuatu kepada isterinya. Demi hikmah dan maslahat, Islam membatasi hak dan kewenangan suami. Siapapun pasti akan respek terhadap ketentuan ini jika ketentuan ini terdeskripsikan dengan baik. Isteripun juga dibatasi haknya demi maslahat.

Suami dan isteri masing-masing memiliki karakter, perilaku dan naluri yang berbeda satu sama lain. Jika perbedaan karakter ini tersalurkan dengan benar dalam rumah tangga, maka suami dan isteri akan menjadi pasangan yang sempurna, sinergis dan harmonis. Jika suami atau isteri bersikap sewenang-wenang, keseimbangan rumah tangga akan kacau.

Dalam pandangan Islam, pasangan laki-laki dan perempuan ibarat dua sisi pintu, sepasang mata, dua benteng pertahanan dalam perjuangan hidup atau dua mitra dalam sebuah usaha. Namun, masing-masing memiliki bawaan dan karakter yang berbeda, baik secara fisik maupun mental dan naluri. Jika dua manusia yang berbeda jenis ini hidup berdampingan sesuai ketentuan yang diajarkan Islam maka rumah tangga akan langgeng, harmonis, penuh berkah dan produktif.

Islam menempatkan setiap manusia pada posisi dan martabat sejati masing-masing, termasuk mereka yang dipekerjakan secara sewenang-wenang, terutama perempuan, oleh orang-orang yang memiliki kekuatan, baik fisik maupun dana. Dalam beberapa hal, perempuan bahkan disejajarkan dengan laki-laki sebagaimana disebutkan dalam firman Ilahi;

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS.33.35)

Islam mengajarkan kesetaraan antara muslimin dan muslimat, hamba laki-laki dan perempuan. Islam menyejajarkan perempuan dengan laki-laki dalam hal derajat spiritual dan martabat kemanusiaan. Allah Swt juga berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS.16.97)

Dalam beberapa hal lagi, Islam bahkan lebih mengutamakan perempuan daripada laki-laki. Contohnya, seorang anak lebih diutamakan berbakti kepada ibunya daripada ayahnya. Ibu memiliki hak yang lebih besar atas anaknya, dan anak memikul kewajiban yang lebih besar untuk berbakti kepada ibunya daripada kepada ayahnya.

Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah; "Kepada siapa saya harus berbakti?" Rasul menjawab; "Ibumu." Orang itu bertanya sampai tiga kali, dan Rasul tetap memberikan jawaban yang sama. Baru ketika orang itu mengulangi pertanyaan tersebut sampai empat kali, Rasul menjawab; "Ayahmu."

Dengan demikian, dari sisi kekeluargaan dan hubungan orang tua dengan anaknya, perempuan memiliki hak yang lebih besar. Namun, pembedaan ini bukan karena Allah Swt menghendaki pengutamaan suatu golongan atas golongan lainnya begitu saja, melainkan karena jerih payah perempuan lebih besar daripada laki-laki. Inilah keadilan ilahi.

Dalam soal hartapun Islam juga menetapkan ketentuan yang seimbang dan proposional sebagaimana ketentuan hak keluargaan dan hak asuh keluarga berkenaan dengan tugas pengelolaan keluarga. Dalam semua persoalan ini, hukum Islam sangat antisipatif terhadap kezaliman atas perempuan maupun laki-laki. Laki-laki memiliki hak, perempuan juga memiliki hak. Ada neraca keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini tentu mudah dipahami oleh siapapun yang memiliki daya nalar dan kepekaan yang cukup. Banyak buku yang mengulas masalah ini secara detail.

Islam tidak pernah meributkan isu gender. Yang dikumandangkan Islam adalah keagungan martabat insaniah, etika kemanusiaan, aktivasi potensi manusia, penunaian tugas masing-masing manusia atau masing-masing jenis gender manusia sesuai bawaan masing-masing. Islam sangat mengindahkan perbedaan bawaan dan karakter alami antara laki-laki dan perempuan. Yang ditekankan oleh Islam adalah keseimbangan.

Dengan kata lain, faktor yang harus diindahkan sepenuhnya adalah keadilan antarmanusia, termasuk antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan hak memang ada dan diakui oleh Islam, tapi kesetaraan tidak menutup adanya perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam banyak hal terdapat perbedaan karakter dan bawaan alamiah antara laki-laki dan perempuan. Atas dasar ini, ajaran Islam adalah ajaran yang paling realistis dan mengindahkan fakta-fakta fitrah dan bawaan alami yang ada pada laki-laki dan perempuan.

Perempuan Dalam Lingkungan Islam
Di tengah masyarakat Islam Iran sekarang kaum perempuan diharapkan terdidik, berwawasan politik, mengerti kegiatan sosial, berpartisipasi di segala bidang; di dalam rumah mereka menjadi ibu rumah tangga yang mendampingi suami dan merawat anak, sedangkan di luar rumah mereka menjadi manifestasi kesucian dan keterjagaan. Inilah perempuan ideal yang diharapkan pemerintahan Islam masyarakat Iran. Di dalam rumah perempuan menjadi ibu yang membina dan mendidik anak serta menjadi sumber ketentraman jiwa suami, sedangkan di luar rumah bisa terlibat di gelanggang sosial, politik, intelektual dan pengabdian kepada masyarakat sambil menjaga semaksimal mungkin martabat dan kesuciannya. Agar bisa demikian, syarat pertama yang harus dipenuhi ialah penerapan hijab.

Idealisme itu tidak akan terwujud tanpa hijab. Tanpa hijab perempuan tidak akan dapat menemukan celah yang memadai untuk menggapai idealisme tersebut.

Dalam lingkungan Islam dan di tengah komunitas masyarakat Islam wanita muslimat harus memiliki kehormatan dan kepribadian yang tercitrakan dalam hijab. Orang yang terlindungi oleh hijab pastilah orang yang menjaga harga dirinya. Di zaman terdahulupun, perempuan berhijab selalu lebih dihormati daripada yang tidak berhijab. Hijab adalah rambu kehormatan, karena orang mengenakan hijab adalah orang yang mengawal martabat dan kehormatannya. Islami menghendaki kehormatan seperti ini bagi kaum perempuan.

Ketentuan Islam
Islam menerapkan ketentuan untuk aktivitas sosial. Hanya saja, ketentuan ini bukan berkaitan dengan perempuan dan soal boleh atau tidaknya perempuan terlibat kegiatan sosial, melainkan berkenaan soal pergaulan antara laki-laki dan perempuan, hal yang memang sensitif di mata Islam. Islam mengajarkan adanya batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan di mana saja, termasuk di jalan, kantor dan pasar.

Dengan kata lain, Islam menerapkan hijab antara laki-laki dan perempuan. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan tidak seperti pergaulan sesama laki-laki atau sesama perempuan. Ketentuan ini harus diindahkan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika ketentuan ini diindahkan maka segala sesuatu yang dapat dikerjakan oleh laki-laki di kancah sosial dapat dilakukan oleh perempuan selagi perempuan memang memiliki kemampuan fisik, berminat dan berkesempatan.

Teladan Yang Sempurna
Peristiwa blokade di lembah atau Syi'ib Abi Thalib terjadi ketika Sayyidah Fathimah Zahra as masih berusia enam atau tujuh tahun. Peristiwa ini tercatat sebagai kejadian yang sangat krusial dalam sejarah permulaan Islam. Saat itu Rasulullah Saw memulai dakwahnya secara terbuka. Penduduk Mekah, khususnya kalangan muda dan para hamba sahaya bersimpati kepada Rasul. Hal ini menggusarkan para pemuka Mekah sehingga mengusir Rasul dan para pengikutnya dari dalam kota Mekah.

Puluhan keluarga terpaksa mengungsi, termasuk keluarga Rasul sendiri dan pamannya, Abu Thalib, meskipun Abu Thalib adalah salah satu tokoh masyarakat Mekah. Anak-anak kecil juga terpaksa ikut mengungsi. Abu Thalib punya sebuah lembah kecil (di luar Mekah) dan beliau mengajak rombongan itu ke sana. Cuaca Mekah saat itu sedang ekstrim; panas sekali di siang hari dan dingin sekali di saat malam. Dalam situasi serba sulit itu mereka tinggal di gurun selama tiga tahun. Haus dan lapar serta berbagai kesulitan lainnya mereka jalani bersama. Ini merupakan salah satu peristiwa yang paling berat bagi Rasul.

Saat itu beliau bukan hanya bertanggungjawab sebagai pimpinan sebuah komunitas tetapi juga berjuang mempertahankan pendiriannya di depan para pengikutnya yang sedang terdera kesulitan. Tragisnya lagi, di tengah pergumulan jiwa Rasul ini, beliau kehilangan dua orang tambatan batinnya, yaitu Abu Thalib dan isteri tercinta beliau, Khadijah al-Kubro. Kedua pendukung mental terbesar bagi Rasul ini wafat hanya dalam selang waktu satu pekan. Rasulullah Saw tertinggal seorang diri.

Ketika itulah, puteri beliau, Fathimah Zahra as tampil laksana ibu, penasihat dan pelipur lara bagi Rasul sehingga Fathimah as mendapat julukan "ibu untuk ayahnya" (Ummu Abiha).

Di lingkungan Arab yang panas, anak perempuan cepat mengalami pertumbuhan fisik dan mental sehingga layaknya anak perempuan zaman sekarang yang berusia 10 atau 12 tahun. Dalam usia kanak-kanak, Fathimah AS telah memiliki rasa tanggung jawab. Karena itu, Fathimah as patut menjadi teladan bagi remaja dan pemuda agar cepat menyerap rasa tanggung jawab. Kebesaran jiwa dan semangat Fathimah as yang dalam usia kanak-kanak telah mampu menjadi pengayom dan pelipur lara bagi ayahandanya yang sudah mendekati usia tua, yaitu sekitar 50-an tahun, harus diteladani oleh para pemuda.

Teladan berikutnya berkenaan dengan status perempuan sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Orang terkadang berpikir bahwa perempuan dengan status demikian hanya identik dengan pekerjaan di dapur, membersihkan rumah atau, seperti zaman dahulu, menyiapkan alas yang empuk untuk suaminya yang akan datang dari tempat kerja. Tapi lihatlah bagaimana Fathimah Zahra as menjalani kehidupan sebagai seorang isteri. Selama 10 tahun keberadaan Rasul Saw di Madinah, sekitar sembilan tahun Fathimah as dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as menjalani kehidupan suami isteri.

Selama itu berbagai peperangan, dari yang kecil hingga yang besar, terjadi silih berganti. Ada sekitar 60 perang terjadi yang sebagian besar melibatkan Amirul Mukmin as. Ketika itulah perhatikan bagaimana Fathimah as menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga dan isteri yang sering ditinggal suami pergi ke medan pertempuran, sebab tanpa beliau prajurit Islam akan kewalahan. Kondisi kehidupan Fathimah as saat itu sangat bersahaja. Sebagai puteri seorang pemimpin dan Rasul, Fathimah as telah membuktikan sensibilitas dan responsibilitasnya.

Butuh spirit yang luar biasa agar manusia bisa berbuat seperti Fathimah; menyiapkan perlengkapan, memberikan dorongan mental kepada suami, membebaskan pikiran suami dari segala kegelisahan menyangkut kondisi keluarga, merawat anak-anaknya dengan sempurna. Mungkin Anda berpikir bahwa Imam Hasan as dan Imam Husain as adalah manusia istimewa yang memiliki bawaan imamah. Tapi ketahuilah bahwa Zainab as bukanlah imam. Selama itu Fathimah as juga merawat Zainab as. Fathimah as wafat tak lama sepeninggal Rasulullah Saw.

Fathimah Zahra as telah sedemikian rupa menjadi seorang isteri, ibu rumah tangga dan poros kehidupan keluarga yang melegenda dalam sejarah. Lantas apakah semua ini tidak patut menjadi teladan bagi gadis maupun seorang ibu rumah tangga?! Teladan ini penting sekali.

Sakralitas Kaum Perempuan
Lebih dari 1.400 tahun silam, Rasul Saw telah membina dan mendidik anak gadisnya hingga ke tahap dimana beliau rajin mencium tangan sang anak! Ciuman Rasul untuk tangan puterinya itu sama sekali bukan karena faktor emosional orang tua kepada anaknya. Remeh sekali jika kita menganggap bahwa Rasul Saw selalu mencium tangan Fathimah as adalah karena Fathimah as puteri beliau. Pribadi sebesar, seadil dan sebijak Rasul Saw yang perilakunya selalu bersandar pada wahyu ilahi tidak mungkin begitu saja membiasakan diri mencium tangan puterinya. Perilaku ini jelas karena ada faktor lain, yaitu hakikat bahwa Fathimah Zahra as yang menjalani kehidupan fana ini hanya selama sekitar 18 sampai 25 tahun adalah insan malakut dan sangat luar biasa. Perilaku Rasul Saw ini memperlihatkan pandangan Islam tentang perempuan.

Perlindungan Hukum Islam Untuk Kaum Perempuan
Hukum-hukum Islam berkenaan dengan keluarga sedemikian cemerlang dan membanggakan sehingga jika seseorang menghayatinya pasti akan menemukan faktor kehormatan. Hukum Islam berkenaan dengan pemilihan jodoh yang merupakan titik awal proses pembentukan rumah tangga sangat membantu posisi perempuan. Islam mengawal pihak perempuan, karena sebagian lelaki cenderung bersikap zalim terhadap perempuan. Ketika rumah tangga sudah terbentuk, Islam memandang pasangan suami dan isteri sebagai dua mitra yang harus saling mengasihi satu sama lain. Suami tidak boleh bersikap kasar terhadap isteri, dan isteripun tidak boleh bersikap kasar terhadap suami.

Hukum dan ketentuan Islam mengenai hubungan antara suami dan isteri sangat rinci dan cermat. Allah Swt membuat ketentuan dan hukum demikian berdasarkan bawaan alamiah perempuan dan laki-laki, demi kepentingan masyarakat Islam dan demi maslahat kaum perempuan maupun laki-laki. Hanya dalam beberapa hal suami bisa memerintah isteri dan isteri harus melaksanakan perintah ini.

Contohnya ialah jika suami melarang isterinya keluar rumah tanpa seizin suami, dengan catatan tidak ada persyaratan tentang ini ketika akad nikah dilaksanakan. Ini merupakan salah satu keistimewaan hukum ilahi. Hanya suami yang diberi hak demikian, sedangkah ayah si isteripun tidak diberi hak demikian. Ayah si isteri tidak berhak membuat ketentuan bahwa anaknya harus meminta izin kepadanya jika akan keluar rumah. Begitu pula saudara laki-laki terhadap saudara perempuannya. Hanya saja, perempuan bisa mengajukan syarat tentang ini dalam pelaksanaan akad nikah.

Kontradiksi Antara Dua Kebudayaan
Islam dengan budaya dan peradabannya bukan dalam posisi yang harus menjawab kritik. Yang berada dalam posisi itu justeru budaya Barat yang telah mengalami dekadensi. Apa yang dipaparkan Islam untuk perempuan adalah suatu kebaikan bagi perempuan yang tidak dipungkiri oleh setiap manusia yang berpikir secara obyektif. Islam menyerukan kepada perempuan agar menjaga diri, menerapkan hijab, menghindari pergaulan bebas, memelihara martabat kemanusiaan dan tidak bersolek di depan pria asing untuk menarik perhatiannya.

Seruan ini adalah demi martabat kaum perempuan dan sama sekali tidak mengandung keburukan. Sebaliknya, tidak ada alasan bagi orang-orang yang menganjurkan perempuan agar bersolek demi memancing hasrat dan syahwat setiap laki-laki di jalanan. Untuk apa anjuran itu dipertahankan dan mengapa perempuan harus direndahkan sedemikian rupa?! Mereka harus menjawab pertanyaan ini.

Budaya Revolusi Islam Iran adalah budaya yang diakui kebenarannya oleh setiap pribadi luhur, termasuk di kalangan cendikiawan Barat sendiri. Dalam budaya ini, perempuan yang konsisten pada martabat dan kehormatannya tidak akan sudi menjadi obyek kecenderungan nafsu birahi laki-laki, hal yang banyak terjadi di lingkungan budaya Barat.

Tanggungjawab Budaya Barat
Budaya Barat menyangkut perempuan harus dilawan keras. Ini merupakan satu kewajiban. Barat telah merendahkan martabat perempuan dan berbohong ketika mengaku menyetarakan kaum perempuan dengan laki-laki. Klaim Barat ini tidak lebih dari upaya manipulasi serta trik politik dan budaya yang mengkhianati kehormatan kaum hawa. Islamlah yang benar-benar melindungi kehormatan kaum perempuan sehingga menerapkan hijab. Di setiap zaman dan tempat selalu ada pria berperilaku bejat, tapi pria di Barat ternyata berbuat lebih bejat lagi.
AlQuran menyerukan kepada kaum perempuan;

فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ

"Maka jangan kamu tunduk dalam berbicara." (QS. 33.32)

Perempuan tidak boleh bersikap merunduk kepada laki-laki. Ada ketentuan tersendiri menyangkut perbedaan bawaan alami dan naluri antara perempuan dan laki-laki, dan ini tidak jadi soal. Ketundukan perempuan kepada laki-laki adalah problema yang ada di kalangan Barat. Barat ingin menundukkan kaum perempuan. Kaum perempuan memang sudah tunduk, tapi bukan atas kemauan mereka sendiri.

Di lingkungan Barat, perempuan memang ditempatkan di depan dalam bepergian dan ini lantas dikesankan sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan. Tapi ini hanya sebatas permukaan, sedangkan isinya lain lagi. Di permukaan, orang-orang Barat gencar berpropaganda tentang martabat perempuan tapi di dalam mereka menghina kaum perempuan, sebagaimana terlihat dari tragisnya nasib kaum isteri dalam rumah tangga di Barat. Kekerasan terhadap perempuan yang sudah menjadi trend di dunia Barat ini mengingatkan kita kepada kasus-kasus yang juga biasa terjadi pada keluarga-keluarga terbelakang dan kolot di Iran, bagaimana perempuan menjadi sasaran pukulan, penganiayaan bahkan pembunuhan hanya karena masalah yang sepele.(IRIB/Khamenei/18/9/2010)

Kedudukan Perempuan: Antara Budaya Islam dan Barat (2)


Bab Kedua: Perempuan Dalam Budaya Barat

Perempuan Dalam Dunia Seni dan Kesusasteraan Barat

Orang-orang Barat terjerumus ke dalam sikap yang tidak proporsional (ifrat dan tafrit) berkenaan dengan karakter perempuan dan sikap masyarakat terhadap perempuan. Mereka pada dasarnya tidak mengakui adanya kesetaraan atau keseimbangan dalam memandang kaum perempuan. Slogan-slogan mereka absurd dan nonsen belaka. Barat memiliki paham dan penalaran tersendiri yang lahir di Eropa tentang perempuan. Di manapun paham ini ada, asalnya pasti Eropa.

Budaya Barat tidak dapat dibaca dari slogan-slogannya, melainkan dari literaturnya. Orang yang mengenal literatur Eropa, dari puisi-puisi, karya roman, novel sampai naskah-nasah drama Eropa pasti mengetahui bahwa dalam kultur Eropa sejak Abad Pertengahan sampai sekarang kaum perempuan dipandang sebagai makhluk kelas dua, walaupun slogan-slogan Barat berkonten sebaliknya.

Dari karya-karya tersohor William Shakespeare asal Inggris maupun karya-karya Barat lainnya bisa dilihat bagaimana mentalitas, tutur kata dan paradigma Barat tentang perempuan. Dalam kesusastraan Barat yang sebagian masih beredar di masyarakat sampai sekarang laki-laki dipandang sebagai juragan terhormat yang memiliki hak sepenuhnya atas perempuan.

Orang-orang Eropa menindas kaum perempuan bukan hanya dalam kegiatan industri dan lain sebagainya, tetapi juga di bidang seni dan kesusasteraan. Dalam karya-karya novel, roman, lukisan dan berbagai karya seni lainnya, bagaimana pandangan mereka terhadap kaum perempuan? Benarkah mereka memandang perempuan dari aspek normatis dan keagungan martabatnya? Apakah mereka mengindahkan kelembutan naluri yang dititipkan Allah kepada kaum perempuan, yaitu naluri keibuan dan animonya untuk merawat dan mendidik anak? Ataukah mereka hanya mengeksplorasi kaum perempuan dari aspek daya tariknya untuk memuaskan nafsu birahi atau apa yang mereka sebut secara salah kaprah dengan cinta?

Mereka sengaja membudayakan perempuan sebagai konsumen yang tak segan mengamburkan uang atau sebagai pekerja dan buruh murah yang tak banyak harap. Dalam karya-karya roman dan puisi Eropa banyak cerita pertengkaran rumah tangga yang berujung pada pembunuhan isteri oleh suami tanpa ada cemoohan dari orang lain! Seorang gadis di rumah orang tuanyapun tidak diberi hak untuk menentukan pilihan sendiri.

Dalam naskah-naskah drama mereka tergambar jelas bagaimana perempuan dipaksa menikahi seseorang, dihabisi nyawanya oleh suami dan tertekan total dalam kehidupan rumah tangga. Inilah yang terpampang dalam etalase kesusasteraan Barat. Hingga pertengahan abad inipun budaya ini masih berkelanjutan meskipun pada akhir-akhir abad ke-19 mulai terjadi gerakan-gerakan berlabel emansipasi wanita.

Kontra Peradaban
Peradaban Romawi yang dominan sekarang menyentuh semua persoalan, kecuali dua atau tiga item yang salah satunya -mungkin ini yang paling krusial- adalah pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Barat tidak betah tanpa kebebasan seksual; segalanya boleh saja diatur, kecuali yang satu ini. Di mata mereka, mengusik kebebasan ini adalah tindakan bodoh dan kolot. Negara manapun yang membatasi pergaulan laki-laki dengan perempuan mereka anggap sebagai kontra peradaban! Mereka benar, sebab hanya inilah peradaban yang mereka bangun di atas puing-puing peradaban Romawi. Hanya saja, secara normatis mereka keliru. Yang benar adalah sebaliknya.

Keteraniayaan Perempuan di Tengah Masyarakat Barat
Di tengah masyarakat berbudaya Barat, perempuan terjajakan sebagai obyek kenikmatan kaum lelaki, bukan sebagai pribadi independen yang tidak bersangkut paut dengan urusan lain. Perempuan di sana terdefinisi sebagai entitas yang harus menyesuaikan perilaku dan penampilannya dengan hasrat dan kesenangan para lelaki di jalanan.

Perempuan harus bersedia menerima perilaku-perilaku liar para lelaki! Inilah yang mewarnai mentalitas masyarakat di sana. Pengecualian tentu ada, tapi warna itulah yang menonjol. Sama sekali tidak ada sikap takzim untuk kaum perempuan. Di mana setiap lowongan dan rekrutmen buru tidak ada pembedaan untuk laki-laki dan perempuan. Tenaga perempuan harus diperah dimanapun juragan menemukan keuntungan.

Perempuan yang seharusnya dipertimbangkan untuk pekerjaan-pekerjaan harian yang keras sama sekali tidak dipertimbangkan. Sedangkan ketika kaum lelaki hendak menjadikan perempuan sebagai obyek pemuas hasrat laki-laki maka semua fasilitas dikerahkan demi obsesi ini tanpa ada celah lagi untuk pertahanan martabat perempuan.

Glamorisme Sebagai Faktor Penyimpangan
Menurut hemat saya, kecenderungan kepada glamorisme, hedonisme dan kosmetisme adalah faktor terbesar yang menyebabkan maraknya penyimpangan di tengah masyarakat dan kaum perempuan. Supaya perempuan menjadi obyek yang sesuai dengan selera mereka, Barat tak henti-hentinya membuat mode dan menyibukkan perhatian orang kepada tampilan-tampilan artifisial.

Ketika perhatian orang tertuju pada tampilan luar sedemikian rupa, lantas kapan ia bisa diharap menggapai norma-norma sejati?! Ketika benak kaum perempuan sudah terjejali oleh soal penampilan untuk mengundang perhatian laki-laki maka siapa lagi yang dapat diharap sudi memikirkan kebersihan moral?

Para imperialis Eropa tidak ingin melihat kaum perempuan di tengah komunitas masyarakat Dunia Ketiga tercerah dan tergerakkan oleh idealisme luhur, apalagi bersama suami dan anak-anaknya. Karena itu, kaum wanita muda yang hidup di masyarakat Islam harus berhati-hati agar tidak terjebak pada perangkap-perangkap budaya dan pemikiran Barat yang berbahaya dan menjerumuskan. Kaum muslimat harus menangkis budaya ini.

Pengertian Kebebasan Wanita Dalam Budaya Barat
Kebebasan wanita adalah salah satu slogan yang paling gencar dikumandangkan Barat. Emansipasi ini meliputi banyak hal, termasuk kebebasan dari pengekangan, kebebasan dari etika -sebab etika mengandung pengekangan-, kebebasan dari eksploitasi pengusaha yang mempekerjakan perempuan dengan upah lebih rendah dari laki-laki, kebebasan dari hukum yang mengikat perempuan di depan suaminya. Kebebasan mengandung makna-makna demikian. Namun, dalam konteks slogan yang sama, banyak sekali tuntutan dan aspirasi yang sebagian cenderung paradoks.

Apa sesungguhnya makna kebebasan ini? Secara naif, Barat lebih cenderung mengasosiasikan kebebasan pada makna yang salah dan menyesatkan. Barat kebablasan sehingga juga mengartikan kebebasan dengan pembebasan perempuan dari ketentuan keluarga, pembebasan mutlak perempuan dari kewenangan suami dan bahkan dari ketentuan perkawinan dan rumah tangga, termasuk kewajiban memelihara dan mendidik anak, walaupun semua ini harus dikorbankan demi kecenderungan-kecenderungan hewani dan kesenangan-kesenangan yang bersifat sementara.

Pembebasan seperti ini jelas keliru. Sedemikian parahnya kekeliruan ini sehingga di Barat bahkan muncul wacana kebebasan melakukan aborsi. Ini krusial sekali. Sepintas lalu terlihat sederhana, tapi konsekwensinya sangat berbahaya. Di Barat aborsi sering disuarakan sebagai slogan dan bagian dari gerakan kebebasan wanita.

Dunia arogan salah besar ketika beranggapan yang bahwa nilai dan reputasi perempuan terletak pada kosmetika dan daya tarik fisiknya untuk setiap laki-laki. Apa yang dikumandangkan sekarang di dunia sebagai kebebasan wanita dan tertanam kuat dalam budaya dekaden Barat selalu mengacu pada asumsi bahwa perempuan adalah obyek kesenangan setiap setiap laki-laki. Kaum jahiliah modern yang tersesat dalam peradaban Barat selalu mengaku peduli kepada hak asasi perempuan, tapi faktanya mereka justru menindas kaum perempuan.

Gerakan Pembelaan Kaum Perempuan di Barat
Di tengah iklim penindasan terhadap kaum perempuan, gerakan kepedulian kepada nasib mereka telah terjerumus kepada sikap-sikap ekstrim. Dalam beberapa dekade, maraknya amoralitas dan pergaulan bebas tanpa batas di Barat yang dikemas sebagai kebebasan wanita telah membuat para pemikir Barat sendiri miris. Orang-orang yang berakal sehat, bijak dan reformis sejati di dunia Barat sendiri kecewa menyaksikan apa yang terjadi di sekitar mereka tanpa mereka mampu berbuat sesuatu untuk mencegahnya.

Apa yang disebut sebagai pengabdian untuk kaum perempuan justru telah menyebabkan kehancuran yang paling tragis dalam kehidupan kaum perempuan. Merebaknya amoralitas dan kebebasan secara bablas dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan telah menggerogoti fondasi rumah tangga. Sebab, laki-laki pengumbar hawa nafsu tidak akan mungkin bisa menjadi suami yang baik, sebagaimana perempuan yang terbiasa hidup dalam pergaulan bebas dengan laki-laki tidak mungkin akan menjadi isteri yang baik.

Pada hakikatnya, gerakan peduli nasib kaum perempuan versi Barat adalah gerakan yang sangat memalukan, tidak rasional, bercorak jahiliah, menyalahi sunnatullah, berlawanan dengan bawaan alamiah perempuan dan laki-laki dan hanya merugikan bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Gerakan ini tak patut ditiru. Di negara Muslim manapun gerakan itu justru harus ditangkal.

Penindasan Perempuan Dalam Rumah Tangga
Dalam tradisi Barat, ketika perempuan sudah menikah, menjadi isteri dan hidup bersama suaminya dalam sebuah rumah tangga, nama famili atau nama marga isteri berubah menjadi nama marga suami. Di Iran tidak demikian, baik dulu maupun sekarang. Dalam budaya Eropa, perempuan yang sudah menikah bukan hanya harus mempersembahkan jasmaninya kepada suami, tetapi juga harus menyerahkan semua harta benda miliknya, termasuk harta yang diwariskan oleh kedua orang tuanya! Ini fakta yang tidak bisa disangkal oleh Barat.

Dalam budaya Barat, perempuan yang menikah dan masuk ke rumah suami, berarti suami memiliki hak bahkan atas nyawanya. Karena itu, dalam karya-karya roman dan sastra Barat terekam jelas banyak kasus pembunuhan perempuan oleh suaminya akibat percekcokan dalam rumah tangga tanpa ada orang lain mencela perbuatan suami. Kemudian, perempuan di rumah orang tuanya juga tidak diberi hak untuk menentukan pilihan sendiri. Meskipun dulu perempuan di Barat sudah relatif bebas dalam pergaulan dengan laki-laki tapi keputusan soal jodoh bagi seorang gadis hanya ada di tangan ayahnya.

Dalam rumah tangga, perempuan yang bekerja di luar rumah seperti suaminya memiliki jam kerja yang sama persis dengan suaminya. Ini juga merupakan satu bentuk penindasan terhadap perempuan. Mengapa? Sebab perempuan bukan laki-laki. Tidak seharusnya jam pergi dan pulang kerja serta waktu istirahat perempuan disamakan dengan laki-laki. Keduanya saling membutuhkan.

Penyamaan itu bahkan juga merupakan kezaliman terhadap laki-laki. Akibatnya, banyak kasus suami berselingkuh dengan perempuan-perempuan lain. Suami menjalin hubungan asmara secara gelap dengan perempuan lain yang tak kalah mesranya dengan kecintaan pada isteri sendiri. Ini jelas satu pukulan terbesar bagi perempuan. Seorang isteri pasti berharap dapat hidup sedekat dan semesra mungkin dengan pasangan hidupnya. Namun, harapan inilah yang justru pertama kali terampas dari kaum perempuan!

Penolakan Terhadap Budaya Muslimat
Hijab adalah ketentuan wanita muslimah yang paling dibenci Barat karena bertolak belakang dengan budaya Barat. Orang-orang Eropa merasa bahwa segala hasil pemikiran mereka harus diterima oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Mereka ingin menaklukkan ketercerahan dunia dengan kejahiliahan. Mereka berobsesi membumikan trend perempuan Eropa yang identik dengan modisme, hedonisme, kosmetisme dan keterpurukan perempuan sebagai obyek seksualisme. Mereka ingin semua ini dimainkan oleh kaum perempuan sendiri. Mereka berteriak kencang ketika obsesi itu mendapat perlawanan. Mereka pantang bersikap toleran terhadap segala sesuatu yang menyalahi prinsip-prinsip mereka.

Kegencaran mereka membuat mereka berhasil menebar pengaruhnya ke semua penjuru dunia, kecuali lingkungan yang benar-benar Islami. Mereka berhasil menebar trend kosmetisme, hedonisme dan sensualisme perempuan di negara-negara miskin di Afrika, Amerika Latin, Asia Timur dan berbagai belahan dunia lainnya. Peluru mereka menembus semua sasaran, kecuali lingkungan-lingkungan Islam, terutama masyarakat besar Republik Islam Iran sehingga Iran menjadi musuh besar mereka.

Hak Kepemilikan Perempuan
Sejak dahulu kala sampai sekitar 60 atau 70 tahun silam, perempuan di Eropa dan seluruh negara Barat berada di bawah kekuasaan penuh laki-laki, entah suami atau juragannya di pabrik atau perkebunan. Dalam masyarakat peradaban di sana perempuan tidak memiliki hak asasi apapun, termasuk hak suara, hak kepemilikan dan bertransaksi. Tapi di kemudian hari perempuan dibiarkan terjun ke lapangan kerja dan berbagai kegiatan sosial.

Sesuai penelitian ekstra cermat para sosiolog Eropa sendiri, perempuan diberi hak kepemilikan setelah sektor-sektor perindustrian modern di Barat mengalami perkembangan pesat dan membutuhkan buruh dalam jumlah besar. Karena itu, kaum perempuan akhirnya dipekerjakan, tapi dengan upah lebih rendah daripada laki-laki. Sejak itulah, yaitu pada awal-awal abad ke-20, Barat mendeklarasikan hak kepemilikan kaum perempuan! Tapi sejak itu pula Barat menebar jebakan-jebakan untuk menjerat kaum perempuan dan membiarkan mereka hidup tanpa perlindungan di tengah masyarakat; terjadi paradigma ekstrim dan kejam terhadap kaum perempuan di Barat dan Eropa.

Di Islam sama sekali tidak demikian. Islam mengakui hak kepemilikan perempuan atas harta benda. Tanpa memperhitungkan suka atau tidaknya pihak suami atau ayah, Islam membolehkan perempuan memiliki atau menggunakan harta benda miliknya sesuka hatinya. Dalam soal independensi ekonomi perempuan, dunia tertinggal 13 abad dari Islam. (IRIB/Khamenei/30/9/2010)

0 comments to "Kedudukan Perempuan: Antara Budaya Islam dan Barat"

Leave a comment