Aku Belanja, Maka Aku Ada
oleh Muhsin Labib pada 06 September 2010 jam 18:31
Jelang lebaran orang-orang menyerbu mal. Pengusaha ritel memasang diskon besar-besaran. Di sini untung, di sana untung. Pembeli berjibaku demi baju baru.
Jika ungkapan Descartes “Aku berpikir, maka aku ada!” menjadi kebanggan dan wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang dominan adalah, “Aku berbelanja, maka aku ada!” Sebuah peneguhan eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar dengan prilaku konsumtifnya.
Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang, namun sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme pasar untuk terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan cara-cara persuasif, kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa henti. Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun lebih pada ingin (want).
Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola perilaku mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh Haryanto Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di sekitarnya. Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi konsumsi, dan periode posmodernis.
Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme.
Sementara itu, pusat-pusat pembelanjaan seperti mal, hipermarket, semakin merebak di berbagai kota. Hidup kita telah dikepung oleh pusat-pusat belanja itu dari berbagai arah. Di tengah ajakan untuk hemat energi, supermarket maupun hipermarket tidak juga sepi dari pengunjung. Orang-orang masih berjejal untuk memuaskan hasrat konsumsi mereka. Ditambah dengan iming-iming dari market melalui pemberian diskon atau pun fasilitas kredit.
Orang berebut membeli produk yang ditawarkan meskipun sadar kocek dan kondisi ekonomi tidak proporsional.
Inilah yang kemungkinan membuat pola hidup konsumtif masyarakat menjadi meningkat tajam. Seperti saat Ramadan seperti ini. Beberapa pengamat ekonomi menggaris bawahi terjadinya peningkatan konsumsi di tengah masayarakat. Ini berbanding terbalik dengan makna puasa yang harus mengerem prilaku konsumtif.
Lihat saja setiap ramadan, gerai-gerai yang menyediakan berbagai kebutuhan lebaran seperti misalnya gerai yang menjual kue-kue kering tiba-tiba bermunculan di setiap sudut kota. Sepertinya, kemunculan mereka memang menandai bahwa lebaran sudah semakin dekat.
Biasanya jumlah pembeli akan meningkat seiring dengan semakin mendekatnya hari ke tanggal 1 syawal.
Mengkonsumsi memang lumrah. Tapi, sekarang ini, dunia menawarkan beragam kebutuhan baru agar orang menkonsumsinya. Konsumerisme sebagai anak kandung kapitalisme telah merangsek sampai ke jantung masyarakat. Konsumerisme berhasil menciptakan kebutuhan baru di masyarakat. Pada kondisi ini, orang mengkonsumsi barang bukan lantaran butuh secara fungsional, melainkan karena tuntutanprestige (gengsi), status, maupun sekadar gaya hidup (life style). Ambil contoh, seorang yang sudah membeli mobil mewah bukan lantaran memenuhi kebutuhan fungsional akan alat transportasi, melainkan karena alasan status. Toh, di garasi rumahnya sudah terparkir dua unit mobil yang tak kalah mewahnya.
Konsumerisme tidak tanpa media. Melalui iklan baik yang terang-terangan maupun iklan terselubung, masyarakat disuguhi beragam produk baru. Lewat majalah maupun televisi, kita disuguhi tiada henti beragam iklan yang akhirnya memaksa kita untuk mengkonsumi produk yang diiklankan itu. Bahasa iklan begitu membujuk dan membutakan mata kesadaran kita. Kecenderungan konsumtif yang melanda masyarakat menurut Paidi Pawiro Rejo, ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya (LPKS) adalah kecenderungan yang bertipe price minded.
Menjelang lebaran ini misalnya, ledakan konsumerisme di kalangan masyarakat cenderung berkisar pada perkara harga, bukan perkara kualitas. Inilah yang menurutnya menjadi perbedaan negara-negara berkembang seperti Indonesia, dengan negara-negara barat yang telah maju. ”Di sini orientasinya cenderung pada harga. Sedangkan di sana (barat) lebih pada kualitas,” tegasnya.
Memang, tidak heran jika di Indonesia, keberadaan diskon atau potongan harga seolah menjadi senjata ampuh bagi pelaku bisnis ritel fashion. Betapa tidak dengan, memasang diskon atau potongan harga yang mencapai angka besar, maka sudah bisa dipastikan toko tersebut akan diserbu pengunjung. Seolah tidak peduli dengan kualitas barang yang akan dibeli dan hanya menaruh perhatian pada harga barang yang murah, masyarakat berburu barang keperluan lebaran dengan diskon yang paling besar. Padahal fenomena ini bagi Radu M Sembiring, selaku direktur Direktorat Perlindungan Konsumen Ditjend Perdagangan Dalam Negeri, sangat rentan akan kecurangan. Mulai dari manipulasi harga hingga paling parah adalah manipulasi barang itu sendiri.
Manipulasi harga merupakan permainan lawas yang terkait dengan keberadaan diskon. Akan tetapi untuk melakukan penyelidikan atas permasalahan ini, terbilang cukup mudah, yakni dengan cara membandingkan dengan harga standar dari outlet lainnya. Melihat fenomena ini, tidak terlalu berlebihan jika Paidi mengatakan bahwa hal itu merupakan bukti ketidakcerdasan masyarakat modern era kini.”Mereka cenderung grudak gruduk. Disana ramai, iku gruduk,” katanya.
Arus konsumerisme yang melanda negara-negara berkembang seperti Indonesia mengkondisikan masyarakatnya untuk (terus) hidup boros. Menyikapi kondisi ini masyarakat harus kritis terhadap praktik konsumtif. Masyarakat berlu berkomitmen untuk tidak hidup boros, tidak hanyut oleh iming-iming iklan, dan meningkatkan produktivitas sendiri. Jadi mari kita berpuasa yang sebenar-benarnya berpuasa. (Oleh Rakhmat Giryadi, Arief Junianto)
sumber:http://www.facebook.com/notes/muhsin-labib/aku-belanja-maka-aku-ada/471752820729
Idul Fitri 2010,Pada tahun 2010 nanti Idul Fitri akan jatuh pada tanggal 10-11 September.Adapun cuti bersamanya mulai dari 9 September hingga 13 September 2010. Atau mulai dari Kamis – Senin . Meski cuti bersama Idul Fitri hanya dua hari yakni 9 dan 13 September .
Idul Fitri 2010, Hari Libur Tahun 2010 Berdasarkan SKB Tiga menteri yang menandatangai surat keputusan bersama itu, Menteri Agama M Maftuh Basyuni, Menakertrans Erman Suparno dan Meneg PAN Taufik Efendi .
1.Hari Jumat, 1 Januari libur peringatan Tahun Baru Masehi
2.Hari Minggu, 14 Februari peringatan Tahun Baru Imlek 2561
3.Hari Jumat, 26 Februari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
4.Hari Selasa, 16 Maret peringatan Nyepi Tahun Baru Saka 1932
5.Hari Jumat, 2 April peringatan Wafat Yesus Kristus
6.Hari Kamis, 13 Mei peringatan Kenaikan Yesus Kristus
7.Hari Jumat, 28 Mei peringatan Raya Waisak Tahun 2554
8.Hari Sabtu, 10 Juli peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW
9.Hari Selasa, 17 Agustus peringatan Hari Kemerdekaan RI
10.Hari Jumat dan Sabtu, 10-11 September, Idul Fitri 1 Syawal 1431 H
11.Hari Rabu, 17 November Idul Adha 1431 H,
14.Hari Selasa, 7 Desember Tahun Baru 1432 H
15.Hari Sabtu 25 Desember perayaan Natal.
Cuti Bersama Tahun 2010
1.Hari Kamis, 9 September cuti bersama Idul Fitri
2.Hari Senin, 13 September cuti bersama Idul Fitri
3.Hari Jum’at 24 Desember cuti bersama Natal
Berdasarkan SKB tersebut, hari libur nasional terdiri dari 3 kategori. Kategori pertama Hari Peringatan Nasional, seperti Tahun Baru Masehi (1 Januari) dan peringatan Kemerdekaan RI (17 Agustus). Sedangkan kategori hari raya keagamaan untuk peribadatan, meliputi Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Paskah, Waisak, dan Imlek. Selain itu juga libur hari peringatan keagamaan, seperti 1 Muharam, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan Isrya-Mi’raj.
Aburizal dalam keterangannya mengungkapkan, latar belakang dibuatnya surat keputusan bersama tiga menteri ini, adalah untuk peningkatan efisiensi dan efektifitas dalam pemanfaatan hari-hari kerja, hari-hari libur, cuti bersama sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja.
terimakasih atas ulasan yang menarik. saya amat menikmati tulisan anda.
salam hangat,
"saya berbelanja,maka saya ada"
Terimakasih juga atas kunjungannya di http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/, salam hangat juga buat anda dan keluarga anda dari team banjarkuumaibungasnya.blogspot.com, semoga terus berkunjung dan ditunggu kritik dan sarannya yang membangun...
"kami ada karena anda" ^_^
mohon ijin utk dimuat dlm blog 'shopping talks' saya ya, bung...
(http://haryantosujatmiko.multiply.com)
salam hangat
Silahkan Bung, demi kebaikan dan pencerahan informasi silahkan..^_^..