Di negeri kita tercinta, menjadi seorang mubalig, kyai, ustadz, sangat mudah. Bila dia adalah anak seorang kyai, maka dengan mudah ia menjadi pewaris, apalagi punya pesantren dan majelis taklim.
Makanya perlu ada standarisasi dan sertifikasi ulama supaya tidak ada monster anti pluralitas yang berkedok ulama atau preman berdarah dingin berjubah dengan memajang titel kyai, ustadz, habib de es be.
Sementara di Iran fenomena kesemrawutan ini tidak ditemukan. Hal itu karena proses menjadi mulla (ulama) tidak mudah dan harus melalui jenjang yang berliku. Salah satunya adalah sertifikat dan liseni ijtihad.
Pemberian lisensi ijtihad atau ijazah al-ijtihad adalah sebuah pola tradisional yang bisa dianggap sebagai satu-satunya sertifikat akademik tertinggi yang diakui di seluruh hawzah. Disebutkan bahwa pemberian lisensi ini didasarkan pada kualifikasi dan kapabilitas intelektual dengan mempertimbangkan tingkat spiritualitas.
Pemberian lisensi kemujtahidan meliputi tiga kategori sebagai berikut:
1. Pemberi lisensi. Biasanya pemberi lisensi adalah para fakih (fukaha) terkenal di lingkungan hawzah. Tingkat kualifikasi dan kredibilitas masing-masing pemberi ijazah akan sangat menentukan bobot dan kualitas ijazah yang diberikan.
2. Penerima lisensi. ia adalah siswa atau seseorang yang selama beberapa tahun dikenal oleh pemberi ijazah berprestasi secara intelektual dan moral, dengan kata lain dikenal a’lam. Kadang kala demi alasan penyempurnaan dan pengukuhan, ia menjalani ujian tulis dan lisan.
3. Isi ijazah juga berbeda-beda. Ada yang berisikan kesaksian akan kemujtahidan seseorang saja, ada pula yang berisikan rekomendasi tentang keunggulan seseorang sebagai mujtahid. (Ibrahim Jannati, Adwar- e Fiqih, Kayhan, 1996.)
Umumnya, seseorang yang telah mencapai peringkat ijtihad (mujtahid, fakih) secara alami, tanpa proses wisuda resmi, diberi gelar Ayatullah. Namun ada pula yang masih menyandang gelar Hujjatul-Islam wal-Muslimin. Mujtahid yang telah ditaqlid biasanya diberi gelar Ayatullah uzhma. Ada pula mujtahid yang menyandang gelar tambahan dan bersifat monumental karena kepakarannya dalam bidang selain fikih, seperti Allamah untuk Ayatullah Muhammad Husain Thabathaba’i karena penguasaannya yang istimewa dan tak tertandingi dalam bidang tafsir dan filsafat; Ayatullah Murtadha Muthahhari, yang digelari “ustad” (profesor) karena pemikirannya yang amat luas dan multidimensional, dan gelar Muhaqqiq yang diberikan kepada Ayatullah Murtadha al-Askari karena keahliannnya yang unik dalam studi sejarah Islam. Di atas itu semua, gelar Imam, yang semula hanya diberikan kepada maksum dari Ahlulbait, diberikan secara simbolik kepada Ayatullah Uzhma Ruhullah al-Musawi Al-Khomeini.
Namun, pemberian gelar akhir-akhir ini juga berlaku atas ulama-ulama atau para kandidat mujtahid. Mujtahid mutajazzi’ biasanya dianugerahi gelar Hujjatul-Islam wal-Muslimin. Sedangkan muhtath atau kandidat mujtahid diberi gelar Hujjatul-Islam.
Yang menarik ialah para pelajar agama di hawzah-hawzah, terutama yang telah mengikuti jenjang atas pendidikan fikih dan ushul (bahts al-kharij) yang lazim diasuh oleh mujtahid kenamaan atau bahkan marja’ diberi gelar Tsiqatul-Islam.
Semua penuntut dan abdi ilmu-ilmu agama di hawzah-hawzah, terutama fikih dan ushul fikih diharuskan mengenakan pakaian keulamaan dengan kombinasi yang nyaris sama, yaitu serban, meski kadang berbeda ukuran dan pola lilitan; kemeja putih tanpa kerah yang mirip dengan baju koko; qaba’, yaitu pakaian panjang yang mirip gamis, yang umumnya berwarna tidak gelap dan tidak terang. Ia menutupi kemeja putih kecuali bagian kerah dan bagian bawah kerah sehingga yang terlihat hanya kancing pertama dan kedua, aba’ atau aba’ah (orang Arab menyebutnya abaya), yaitu kain tipis, bahkan pada musim panas cenderung transparan, berwarna hitam polos, atau coklat atau abu-abu yang berfungsi sebagai pelapis qaba hingga bagian atas kaki. Bisa dipastikan tidak ada yang mengenakan aba’ah berwarna biru, hijau, apalagi merah.
Penggunaan pakaian keulamaan dalam tradisi hawzah biasanya dilakukan dalam sebuah upacara wisuda yang dihadiri dan disaksikan oleh kerabat dan ulama. Biasanya pelajar agama (thalabeh) akan dilantik secara seremonial sebagai kandidat ulama oleh seorang mujtahid atau bahkan marja’. Konon, bila seseorang telah mengenakan pakaian keulamaan, maka perilaku dan sepak terjangnya akan diawasi dan bisa dikenai sanksi moral bila melakukan perbuatan yang melanggar syariat dan norma kepatutan yang berlaku dalam lingkungan hawzah. Bahkan sejak dulu telah terbentuk semacam dewan kehormatan ulama di hawzah yang akan memberikan sanksi pemecatan atau diskualifikasi terhadap pelajar agama bahkan ulama yang telah bergelar Ayatullah atau telah menjadi mujtahid. Disiplin kode etik keulamaan ini diterapkan secara ketat, sehingga tidak sedikit pelajar agama yang memutuskan meninggalkan hawzah karena tidak tahan. Pelajar agama yang telah mengenakan pakaian keulamaan mendapat perlakuan lebih istimewa karena beban syar’i yang ditanggungnya lebih berat dari pelajar agama yang tidak memakainya.
Mulai dari para pelajar agama sampai mujtahid yang telah teruji kemampuan intelektualnya mendapatkan pelayanan dan kemudahan finansial yang dapat membebaskannya dari kewajiban bekerja untuk memberi nafkah diri sendiri dan keluarga melalui sistem tradisional beasiswa. Kemudahan finansial tersebut diperoleh dari dana khumus yang dibagikan setiap bulan oleh setiap marja’ yang berwewenang mengalokasikan khumus yang disetorkan oleh masing-masing muqallid.
Para pelajar agama di hawzah fikih umumnya harus mengikuti jenjang-jengang pendidikan dengan kurikulum yang beragam. Para pemula memulai pendidikan dari tingkat dasar, yang disebut dengan peringkat muqaddimat. Dalam jenjang pertama ini, pelajar agama diharuskan menyelesaikan sejumlah mata kuliah dasar seperti gramatika Arab, ulumul-Quran, ulumul-Hadis, logika dan studi naskah fikih dan ushul fikih, seperti Halaqah atau al-Lum’ah ad-Dimasyqiyah. Bila telah dinyatakan lulus, maka ia diperbolehkan mengikuti jenjang di atasnya.
Tingkat pendidikan menengah disebut dengan suthuh. Pada tingkatan ini, pelajar agama mulai mengikuti sejumlah kuliah studi naskah-naskah fikih dan ushul fikih, seperti studi naskah al-Lum’ah ad-Dimasyqiyah, lalu al-Makâsib dalam fikih istidlali (fikih argumentatif), seperti Halaqah, Kifâyah dan Rasâ’il dalam ushul fikih.
Jenjang tertinggi dalam fikih dan ushul fikih, yang umumnya diikuti oleh para kandidat mujtahid, adalah bahts al-kharij, semacam studium general, yang paling sedikit dihadiri oleh seratus pelajar dan diasuh oleh sejumlah guru besar hawzah. (disarikan dari buku SEJARAH FIKIH,Al-Huda 2010)
Mahkamah Khusus Ulama di Iran
Yang paling menarik adalah jawabanya saat kami tanya tentang sepakterjang ulama. Sebagaimana kita ketahui bersama, di Indonesai setiap orang bisa mengklaim diri sebagai ulama sehingga sering muncul stigma negatif akibat prilaku oknum-oknum yang mengatasnamakan ulama, kyai dan habib demi kepentingan pribadi dan kelompok. Yang memprihatinkan adalah tidak adanya proses formal untuk seleksi dan verifikasi dan penetapan kriteria baku seorang ulama dan mubalig.
Menjawab itu, Durri Najaf-Abadi mengatakan, ada tiga mahkamah khusus di Republik Islam Iran, yang menangani kasus-kasus luar biasa terkait dengan penyalahgunaan wewenang publik, yaitu
1.mahkamah khusus militer,
2.mahkamah khusus aparat hukum dan
3.mahkamah khusus ulama.
Tentang Mahkamah khusus ulama, Durri menjelaskan struktur lembaga dan cara kerjanya sampai sanksi-sanksi dan contoh-contoh kasus yang sempat ditanganinya.
Mungkin pendirian Mahkamah khsusus ulama dan mubalig di Indonesia dapat mengurangi aksi main hakim sendiri, aksi lempar tuduhan ‘sesat’, penipuan berkedok ulama dan aksi jual beli dukungan politik yang kian marak di negeri kita.
0 comments to "Mahkamah Khusus Ulama di negara Islam untuk Habib maupun jaba/non habib..."