Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengaku malu jadi menteri. Rasa malu ini tak hanya kepada bangsa di negeri ini, tapi juga rakyat di negeri orang.
"Masa kita negara kepulauan, garamnya impor. Malu saya," ujar Fadel di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis 23 September 2010.
Fadel mengaku tidak rela Indonesia terus-menerus mengimpor garam. Karena itu, tahun depan ia akan menggelontorkan dana sebesar Rp63 miliar guna mengembangkan sumber garam.
Diharapkan mulai tahun depan, 200 ribu ton garam lokal tambahan bisa dipasok. Meski tak banyak, dengan dana Rp63 miliar itu tambahan investasi dari swasta bisa berdatangan. "Dana Rp63 miliar itu akan disebar di sembilan lokasi pada beberapa unit kelompok masyarakat," katanya.
"Sementara sentra garam kita di Pemekasan, Cirebon, Indramayu, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa lain. Nanti tempat-tempatnya akan kami kaji kembali," katanya.
Fadel mengakui penambahan produksi 200 ribu ton belum mampu mencukupi kebutuhan garam nasional yang mencapai 1,5 juta ton per tahun. Tapi setidaknya dengan produksi minimal 200 ribu ton pada tahun depan, impor garam sebesar 600-700 ribu ton bisa dikurangi hingga hampir setengahnya.
"Kita malu dong impor terus. Saya maunya kita bisa ekspor lagi seperti tahun 1980an, saat saya kuliah. Tahun 2012 kami harap (impor garam) itu terakhir," ujar Fadel optimis.
Fadel Muhammad bermimpi membuat sentra-sentra ekonomi baru berbasis perikanan diwilayah pantai. Untuk itu dirinya menganggarkan dana Rp1 triliun dan telah diajukan ke Menteri Keuangan dan kini tengah dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Fadel memohon restu ke Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar alokasi dana Rp1 triliun itu bisa didukung.
"Ini penting karena kita harus menciptakan kebanggaan untuk membantu rakyat," kata Fadel di Jakarta Convention Center, Kamis 23 September 2010. Fadel berjanji dengan dana Rp1 triliun ini, sentra-sentra baru produksi dan budidaya ikan di Indonesia akan tercipta sampai 2014 mendatang.
Dana ini diusulkan untuk mengembangkan kawasan minapolitan. Telah dipilih kawasan ini ada sembilan wilayah dan untuk budidaya 24 wilayah. "Termasuk nanti ada sentra garam delapan wilayah," kata Fadel.
Dana Rp1 triliun memang tidak banyak, tapi diyakini akan sangat membantu. Bahkan menurut Fadel, usulan dana Rp1 triliun ini telah mengorbankan banyak program-program kementerian.
"Bayangkan, dari anggaran kami Rp4 triliun di kementerian, Rp1 triliun dikhususkan untuk program ini," kata Fadel. Ia pun menyebut bahwa pembangunan dan pembelian barang yang sifatnya fisik akan dihentikan sementara pada 2011 mendatang.
Dari total Rp1 triliun yang tengah diusulkan ke DPR, kata Fadel, sebesar Rp500 miliar nantinya digunakan untuk mengembangkan wilayah minapolitan, contoh wilayah itu seperti Pelabuhan Ratu. Sedangkan Rp500 miliar sisanya akan dipakai untuk bantaun ke kelompok perikanan. (Vivanews/23/9/2010/irib)Menyusul terjadinya, serangan bersenjata ke Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, pasca insiden penggerebekan para tersangka teroris yang diduga terkait erat dengan perampokan Bank CIMB Niaga Medan, isu terorisme kembali marak dibicarakan di Indonesia.
Hasil investigasi Polri menunjukkan, saat ini terdapat tiga pola baru serangan teror. Pertama, berlatih menyerang orang asing. Sebegaimana kasus di Aceh beberapa waktu lalu.
Modus kedua adalah penyerangan yang bertujuan untuk pendanaan aksi terorisme, dengan cara menyerang institusi keuangan. Seperti merampok bank, money changer, ataupun menjarah showroom kendaraan untuk keperluan operasi.
Sedangkan modus ketiga adalah menyerang markas-markas institusi Polri atau instansi yang dianggap menghalangi upaya-upaya gerakan teroris, sebagaimana yang terjadi di Polsek Hamparan Perak baru-baru ini.
Menanggapi kondisi perang anti-terorisme di Indonesia belakangan ini, kolom Opini Jawapos mengangkat tulisan Hasibullah Satrawi, pemerhati politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta yang mencoba mengkritisi model perang anti-terorisme di Indonesia yang selama ini hanya mencontek gaya militeristik ala Amerika.
Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir itu mencatat:
Sudah sering polisi menggerebek dan menembak mati para teroris. Tapi, semua itu belum menjadi pertanda bahwa terorisme segera berakhir di negeri ini. Sebaliknya, penggerebekan dan penembakan terhadap para teroris seakan menjadi "penetas" para teroris baru yang berkembang biak dengan pola "mati satu tumbuh seribu".
Bila benar apa yang dilansir kepolisian bahwa para perampok Bank CIMB Niaga Medan terkait dengan jaringan terorisme, hal itu sungguh mengkhawatirkan. Di satu sisi, regenerasi dan ideologi terorisme terus berkembang. Di sisi lain, pola kejahatan para teroris semakin membabi buta. Bahkan, mereka berani merampok secara terbuka.
Pada tahap itu, polisi dan aparat keamanan terkait lain seharusnya melakukan koreksi serius terhadap pendekatan yang selama ini digunakan untuk memerangi para teroris, yaitu pendekatan angkat senjata. Koreksi tersebut diperlukan bukan semata-mata karena pendekatan angkat senjata tidak berhasil menumpas para teroris. Faktanya, sejumlah tokoh terorisme telah ditumpas dengan pendekatan tersebut. Selain itu, kini tentu persoalan terorisme jauh lebih ringan daripada saat tokoh-tokoh utamanya masih berkeliaran menebar ancaman.
Koreksi tersebut dibutuhkan untuk memperpendek masa perang melawan terorisme sehingga tidak menjadi berkepanjangan, apalagi tidak pernah selesai.
Kegagalan AS
Dalam konteks itu, pihak keamanan Indonesia harus mengambil pelajaran berarti dari perang terorisme global di bawah komando Amerika Serikat (AS). Telah maklum bersama, AS secara resmi memimpin perang global melawan terorisme pada 2001. Tepatnya, sesaat setelah tragedi 11 September 2001 meruntuhkan hampir semua simbol adidaya negeri itu, mulai ekomoni (WTC) hingga militer (Pentagon), serta mengorbankan ratusan ribu rakyat AS.
AS menuduh kelompok Osama bin Laden sebagai dalang utama di balik tragedi yang juga dikenal dengan istilah 9/11. Pada saat yang hampir bersamaan, AS menggalang koalisi putih untuk memerangi terorisme, terutama dari Osama dan kelompoknya yang saat itu berada di Afghanistan.
Tudingan pemerintah AS bahwa kelompok Osama adalah teroris merupakan tuduhan bersayap. Entah disengaja atau tidak (oleh pemerintah AS), tudingan itu kerap juga dialamatkan kepada agama yang dianut Osama dan kelompoknya, yaitu Islam. Akibatnya, Islam pun kerap dianggap sebagai agama kekerasan dan terorisme, terutama oleh orang-orang Barat.
Bahkan, tudingan tersebut juga mengarah pada latar belakang kebangsaan Osama dan kelompoknya, yaitu Arab. Orang-orang Arab pun cenderung diidentikkan dengan para teroris, terutama orang Arab yang hidup di Barat.
Tragedi 9/11 menjadi babak baru bagi hubungan Islam-Barat yang sarat akan ketegangan, rasa saling curiga dan memusuhi, bahkan aksi-aksi diskriminatif. Dalam konteks itu, orang-orang Arab-Islam di Barat cenderung dicurigai dan mendapatkan perlakuan diskriminatif karena memiliki nama berbau Arab atau berjenggot.
Tentu tidak semua tudingan tersebut benar. Tapi, juga tidak semuanya salah. Dikatakan tidak semuanya benar karena fakta memperlihatkan sangat banyaknya kelompok Islam yang moderat, anti kekerasan, dan mengecam terorisme. Bahkan, kelompok moderat di dunia Arab-Islam merupakan mayoritas. Namun, kalangan mayoritas muslim moderat tersebut cenderung diam dan pasif, sebagaimana pernah dikatakan oleh Prof Dr Khalid Aboe El-Fadl (silent majority). Karena itu, kalangan ekstremis dan teroris leluasa melukis wajah Islam dengan "tinta" darah.
Dikatakan tidak semuanya salah karena fakta juga menunjukkan bahwa sebagian kelompok dalam Islam gemar menyerukan pesan-pesan kekerasan, permusuhan, bahkan terorisme. Berdasar kuantitas, kelompok itu sangat kecil. Tapi, karena sering memosisikan diri sebagai musuh negara adidaya, seperti AS, kelompok tersebut kerap mendapatkan "dukungan tak langsung" dari media-media dunia. Sehingga, kelompok kecil seperti para teroris itu kerap menjelma sebagai kelompok yang besar, kuat, dan sangat tangguh. Bahkan, ajaran kasih sayang dan saling menghormati yang senantiasa diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW kerap tenggelam dan tertelan pesan-pesan kekerasan dari Osama.
Hal yang harus diperhatikan bersama, perang AS melawan terorisme di Afghanistan belum menunjukkan tanda-tanda kemenangan hingga hari ini. Walaupun, perang itu sudah memakan banyak korban dan berlangsung sepuluh tahun. Sebaliknya, hampir setiap hari tentara AS berjatuhan di pegunungan Afghanistan yang menjadi medan perang.
Hal itu tak berarti peluru yang ditembakkan oleh para tentara AS di Afghanistan tidak berhasil membunuh para teroris dan pengikut Osama atau Taliban. Hampir sama dengan aparat keamanan dalam menembak mati para teroris di Indonesia, tentara AS di Afghanistan telah membunuh banyak teroris, pengikut Osama dan Taliban, serta fundamentalis lain. Tapi, apalah arti keberhasilan menembak satu atau seratus teroris bila kemudian ideologi terorisme justru diikuti ribuan teroris baru? Itulah yang kurang lebih dialami AS di Afghanistan.
Hal tersebut terjadi karena pendekatan angkat senjata AS tidak dibarengi dengan pendekatan lain yang terkait langsung dengan sumber kebencian utama terhadap AS, terutama di Timur Tengah dan dunia Islam. Yaitu, kebiadaban Israel terhadap warga Palestina dan negara-negara tetangga lain. Sementara itu, kebijakan politik luar negeri AS (terutama pada pemerintahan Bush Junior) terus membela dan menutup mata dari kejahatan besar yang kerap dilakukan oleh Israel.
Konteks Indonesia
Perang terhadap terorisme oleh aparat keamanan Indonesia selama ini mempunyai kemiripan yang nyaris sempurna dengan yang dilakukan oleh AS itu. Aparat keamanan, terutama Densus 88, senantiasa mengutamakan pendekatan angkat senjata terhadap para teroris atau mereka yang baru diduga teroris. Sejauh ini, nasib perang terhadap terorisme di Indonesia pun nyaris sama dengan yang dialami AS dalam perang teorisme global. Yakni, sama-sama gagal memberikan rasa aman dari ancaman terorisme kepada masyarakat dan justru terjebak dalam perang yang berkepanjangan.
Sebelum perang terhadap terorisme di Indonesia benar-benar bernasib sama dengan yang dialami AS itu, aparat keamanan Indonesia dan pemerintah harus mengimbangi pendekatan angkat senjata dengan pendekatan-pendekatan lain yang menjadi solusi konkret bagi segenap persoalan yang ada. Misalnya, persoalan kemiskinan, aparat yang bersih dari korupsi, dan penegakan hukum yang adil. Juga, menyebarluaskan paham keagamaan dengan semangat persaudaraan-kebangsaan untuk melawan paham keagamaan yang memiliki semangat kebencian atau kekerasan. Itulah sumber kebencian dan terorisme di Indonesia. (irib/23/9/2010)
0 comments to "Negara kepulauan kita, Indonesia ternyata masih batukar uyah kaluar negeri!!!! (masih beli garam keluar negeri!!!)"