Indonesia menghargai komitmen Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang tetap menyatakan rencana kunjungan ke Indonesia dalam pidato pembukaan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, mengatakan meski waktu kunjungan tersebut tidak dinyatakan secara definitif namun Indonesia mengapresiasi pidato Obama tersebut.
"Kita apresiasi Presiden Obama tetap komitmen menyatakan niat kunjungannya. Dari sisi penjadwalan kan bisa lebih lanjut," ujar Faiza.
Ia menjelaskan sampai saat ini belum ada komunikasi lebih lanjut dengan pihak Amerika Serikat tentang kunjungan Presiden Obama ke Indonesia yang telah dua kali ditunda.
Presiden Obama awalnya berencana berkunjung ke Indonesia pada Maret 2010 namun ditunda karena memperjuangkan RUU Kesehatan di parlemen Amerika Serikat. Kunjungan yang diundur pada Juni 2010 pun akhirnya ditunda lagi sampai November 2010 karena bencana tumpahan minyak di Teluk Meksiko.
Dalam pidato pembukaan Sidang Majelis Umum PBB, Obama tidak menyebutkan waktu kunjungan ke Indonesia.
"Kita cukup positif menilai `statement tersebut, kita menangkap ada komitmen. Selama ini memang kendalanya banyak perkembangan dalam negeri Amerika Serikat menyebabkan Presiden Obama tetap tinggal di negaranya," jelas Faiza.
Dalam pidato pembukaan Sidang Majelis Umum PBB, salah satu pernyataan Obama adalah mengumumkan rencana kunjungannya ke Indonesia dalam waktu dekat.
Sekalipun Presiden Obama tidak secara tegas mengatakan tanggal pasti kedatangan ke Indonesia, tapi dalam pemahaman Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang menyimak pidato tersebut, kunjungan itu akan dilakukan sebelum akhir 2010 yang termasuk dalam rangkaian lawatan ke sejumlah wilayah Asia termasuk ke India.
Apa Yang Diharapkan dari Obama
Pemerintah tidak seharusnya mengemis memohon Obama supaya datang ke Indonesia. Obama hingga kini, tidak menunjukkan kinerjanya dengan serius dalam memperbaiki hubungannya dengan masyarakat muslim di dunia. Mengharapkan kedatangan Obama sama halnya dengan melukai Irak, Afghanistan dan Pakistan yang terus menjadi sasaran serangan militer AS. Bahkan AS hingga kini masih terus mendukung Zionis Israel yang menjadi biang pendudukan di Palestina dan blokade atas Gaza.
Lebih dari itu, Obama juga tidak menyikapi serius kasus pembakaran Al-Quran di AS yang tentunya menyakitkan hati ummat Islam sedunia, khususnya Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Belum lama ini, Amien Rais dalam wawancaranya dengan IRIB juga mengatakan, "Setelah rencana pembakaran al-Quran itu dicuatkan, ummat Islam tersinggung dan marah. Meski gagal, tapi ketersinggungan atas rencana itu tidak hilang begitu saja. Yang sangat disayangkan lagi, Presiden AS, Obama tidak langsung menyikapi rencana pembakaran al-Quran itu. Apa yang dilakukan oleh Obama hanya sebatas singgungan-singgungan, bukan tindakan tegas."
Obama dan Anti-Indonesia
IRIB sebelumnya juga mengungkap kedok di balik keterlibatan keluarga Obama dalam kudeta anti-Soekarno. Peneliti dan penulis asal AS, Wayne Madsen, mengungkapkan data terkait hubungan keluarga Presiden Barack Obama dengan Badan Intelijen AS (CIA). Madsen berhasil mendapatkan data-data yang menunjukkan bahwa CIA dan tokoh-tokoh badan ini mempunyai hubungan dekat dengan Obama berikut ibu dan ayahnya, bahkan hingga nenek dan kakeknya.
Berlandaskan data yang ada, pekerjaan Obama berhubungan dengan aktivitas spionase CIA. Ibu Obama yang bernama Stanley Ann Dunham diduga terlibat dengan kedeta dekade 60-an di Indonesia. Setelah kudeta itu, ia bekerja untuk sejumlah lembaga di bawah CIA. Di antara lembaga itu adalah Pusat Timur-Barat di Universitas Hawai, Badan Pengembangan Internasional AS dan Lembaga Freud.Berdasarkan laporan tersebut, Ann Dunham pada tahun 1965 berkenalan dengan ayah tiri Obama, Lolo Soetoro, dan kemudian keduanya menikah. Pada tahun itu, Soetor dipanggil ke Indonesia sebagai perwira militer dan asisten Jenderal Soeharto dan CIA yang berniat menjatuhkan Presiden Soekarno. Dengan demikian, ibu Obama termasuk pihak yang digunakan CIA untuk mengkudeta Presiden pertama RI, Ahmad Soekarno. Hal itu bisa dilihat dari hubungan dan pernikahan ibu Obama dengan ayah tiri Obama yang juga asisten Soeharto. (IRIB/Antara/AR/24/9/2010)
Setelah tenang beberapa waktu, Indonesia kembali digemparkan dengan munculnya fenomena teroris yang terjadi di Medan. Kali ini yang menjadi sasaran adalah aparat keamanan. Meski kematian tiga personel polisi di markas Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara. Muncul di benak kita pertanyaan, benarkah aksi kekerasan yang terjadi ini disebut didasari oleh keyakinan agama khususnya terkait jihad. Sudah sering Islam menjadi korban istilah terorisme baik itu di dalam negeri maupun di tingkat internasional.
Ambil contoh, peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat yang katanya dilakukan oleh milisi Alqaeda. Hal ini pulalah yang menjadi dalih AS menyerang Irak dan Afghanistan serta membantai ribuan warga sipil yang tak berdosa. Dari sisi korban saja, kita dapat menyaksikan bahwa perang yang dikobarkan AS di Irak dan Afghanistan puluhan bahkan ratusan kali lebih berar dari korban peristiwa 11 September. Apakah ini yang disebut aksi balas dendam atau ada tujuan tersebung lainnya ?
Dan kini di Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia pun tak luput dari istilah terorisme yang dilakukan oleh jaringan teroris yang juga beragama Islam. Jika hal ini terus berlanjut maka citra Islam akan terus tercoreng. Kelompok pembela Islam dan organisasi keislaman lainnya jelas-jelas menolak wacana teroris di Indonesia dipicu oleh Islam. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk berbuat kejahatan dan membabi buta. Dalam etika perang saja Islam sangat ketat dan melarang membunuh warga sipil serta yang tidak terlibat dalam peperangan.
Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) malah mengatakan bahwa jaringan teroris di Indonesia akan mengundang para gerilyawan mujahidin Iraq dan Afghanistan yang terlatih berperang kota untuk ''berjihad'' di Indonesia. ''Mereka sudah melakukan kontak (dengan pihak asing). Itu pengakuan mereka. Strategi yang digunakan persis di wilayah-wilayah Iraq, Afghanistan, dan Pakistan. Yakni, gerilya di perkotaan. Benarkah klaim kapolri ini ? Kita berhadap semoga hal ini tidak terjadi dan negara kita tetap aman.
Siapa Pengganti Hendarman Supandji ?
Wacana mengenai jaksa agung dari dalam kejaksaan atau dari luar (karier atau nonkarier) kembali mencuat setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan rencana penggantian Jaksa Agung Hendarman Supandji yang akan pensiun Oktober mendatang. Jaksa Agung Hendarman Supandji dipastikan akan diganti dalam waktu dekat, bersama-sama dengan penggantian Kapolri.
Perebutan kursi jaksa agung pun dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang menguasai media massa, ada yang memakai jalur-jalur khusus ke istana, ada yang memakai jalur parpol. Yang perlu diingat bahwa selama posisi kejaksaan di luar jalur konstitusi yang dimulai sejak Orde Lama, selama itu pula jangan ada orang berpikir ada supremasi hukum. Kejaksaan di negara mana pun menjadi titik sentral penegakan hukum. Oleh karena itu pekerjaan paling mendesak bagi jaksa agung baru adalah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Kejaksaan yang mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Jaksa agung pada Mahkamah Agung, bukan jaksa agung pada kabinet (Indonesia Bersatu). Hukum tidak boleh di-Kabinet-Indonesia-Bersatu-kan.
Hukum tidak mengenal anak atau cucu, hukum tidak mengenal teman atau lawan; harus ditegakkan kepada siapa pun juga dengan adil. Persyaratan utama yaitu penegakan hukum harus ditegakkan sama terhadap teman dan/atau lawan. Jika cukup bukti, dia harus ditangkap, tidak menjadi soal apakah dia teman atau lawan.
Untuk mengarusutamakan terwujudnya supremasi hukum, profesionalisme jaksa amat penting. Kejaksaan seharusnya mampu melaksanakan pembaruan dalam bidang penegakan hukum untuk mewujudkan jati diri lebih dinamis.
Lain halnya jika jaksa agung independen sama dengan Ketua Mahkamah Agung pensiun pada umur 65 tahun. Ia tidak bisa digeser sebelum mencapai umur 65 tahun, kecuali melakukan delik. Dengan sendirinya ia dapat mengalami dua atau tiga presiden. Ia bebas menegakkan hukum terhadap siapa pun juga, termasuk menteri atau pejabat negara yang lain. Ia diangkat dari wakil jaksa agung atau salah seorang jaksa agung muda yang terbaik, melalui fit and proper test. Ia harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Orang nonkarier hanya dapat masuk ke sistem ini pada tingkat jaksa agung muda, jika persyaratannya setara dengan jaksa agung muda, misalnya: guru besar hukum pidana, hakim agung, atau advokat yang telah berpraktik selama 25 tahun. Attorney general (jaksa agung) masa Presiden Bush adalah mantan Ketua Pengadilan New York.
Dari jaksa agung muda itulah ia bersaing untuk mencapai puncak karier jaksa, yaitu jaksa agung. Ada siswa pendidikan pembentukan jaksa mengeluhkan hal ini, bagaimana ia telah dididik demikian ketat dengan persyaratan psikotes, tes akademik, kesehatan (termasuk buta warna), ukuran/tinggi badan, dan lain sebagainya; sedangkan ada orang tiba-tiba duduk di puncak piramida kejaksaan, yang bersangkutan belum tentu lulus psikotes? Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Gayus Topane Lumbuun, mengingatkan bahwa jangan pernah ada pihak yang menyepelekan kualitas jaksa karier. Masih banyak kader kejaksaan yang berkualitas.
Kalangan Kejaksaan Agung sendiri tampaknya lebih cenderung untuk menyukai 'orang dalam' yang jadi bos mereka. Alasannya sederhana 'orang dalam' sudah mendalami budaya kerja (corporate culture) mereka sehingga tidak perlu ada orientasi serta adaptasi lagi. Pejabat karier sudah pasti melalui proses panjang pendidikan sebagai jaksa. Mereka sudah mengenal karakter, leadership, sikap, serta integritas orang ini. Mereka dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan irama kerja bos baru yang sudah dia kenal. Secara teknis yuridis jaksa agung harus lebih pintar daripada semua jaksa di bawahnya.
Akhirnya, bila jaksa agung yang baru tetap pada keadaan dan kondisi seperti sekarang, penegakan hukum akan jalan di tempat karena ia tidak independen bergantung pada kemauan politik pemerintah. Demikian dikatakan Prof Dr (Jur) Andi Hamzah Pensiunan jaksa utama; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti dalam tulisannya yang dimuat di Koran Media Indonesia.
Sementara itu Republika Online menurunkan laporan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian dengan hormat Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi ketika dihubungi Antara di Jakarta, Sabtu, mengatakan Keppres bernomor 104/P/2010 itu dikeluarkan Presiden pada Jumat 24 September 2010.
"Beliau memutuskan memberhentikan dengan hormat Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan selanjutnya Presiden menugaskan Wakil Jaksa Agung untuk melaksanakan tugas dan wewenang jaksa agung hingga terpilihnya jaksa agung definitif dalam waktu dekat," tutur Sudi. Dengan demikian, sejak 24 September 2010, Hendarman resmi memasuki masa pensiun dan tidak lagi berkantor di gedung bundar.
Wakil Jaksa Agung Darmono akan melaksanakan tugas-tugas jaksa agung sampai Presiden mengangkat jaksa agung yang baru. Sudi mengatakan proses pemberhentian Hendarman dilakukan untuk menghormati dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan pada 22 September 2010 dan agar status Hendarman tidak lagi menimbulkan polemik.
"Jadi ada satu hari Presiden memproses itu untuk menghormati putusan MK yang dikeluarkan 22 September kemarin," ujar Sudi. Ia menjelaskan proses penunjukan jaksa agung yang baru saat ini belum selesai karena Presiden Yudhoyono masih mencari masukan untuk mencari calon terbaik. Staf Khusus Kepresidenan Bidang Hukum, Denny Indrayana, memastikan penunjukan jaksa agung baru oleh Presiden Yudhoyono akan dilakukan dalam waktu dekat.
Lagi-lagi kasus pemberhentian pejabat masih diselipi dengan ketidaksiapan sang presiden menentukan penggantinya. Kita hanya dapat berharap supaya kasus seperti ini cepat ditanggapi dan tidak berlarut-larut.(irib/25/9/2010)
0 comments to "Obama dan Anti-Indonesia dan Benarkah Indonesia Sarang Teroris ?"