Home � Sampah Internet...

Sampah Internet...




Jangan Jadi Sampah dan Korban Internet!

sumber:http://ejajufri.wordpress.com/

Ketika kemarin membaca artikel ini, saya agak tersindir atau mungkin tertohok telak. Di depan monitor yang tersambung internet, dunia serasa timeless. Sayangnya, dari sekian banyak jam yang terbuang (yang kalau ditotal mungkin sudah bertahun-tahun), kita hampir sulit mencari sisa-sisa kelakukan yang bermanfaat. Melihat orang lain juga melakukan hal yang sama tidak bermanfaatnya, kita pun menjadi jenuh dan bosan. Berikut ini artikelnya dengan judul asli “Terlena di Jejaring Sosial Maya”. Yah… semoga bermanfaat.

Oleh: Amir Sodikin

Apakah hingga kini kamu masih “nge- blog”, “nge-tweet”, atau “nge-Facebook”, hanya mengisinya dengan: “Lagi ‘boring’… jalanan macet!” Atau, “Pulang kampus, haus n lapar”. Bentuk lainnya, “‘Thank you honey’. Besok kita ke jalan lagi yuk!”

Jika iya, komentar kamu adalah bagian dari “sampah” yang mengakibatkan jutaan orang bosan dengan dunia maya. Mesin pencari juga telah memerangi website atau blog yang isinya sekadar “sampah”.

Jika kamu masih sekadar ber-ha-ha-hi-hi di dunia maya, update status gitu-gitu aja, tidak bisa tidur hingga larut malam hanya menunggu komentar “sampah”, dan mondar-mandir untuk browsing sesuatu yang tak berguna, kamu merupakan bagian dari netizen korban teknologi.

Sayangnya, sebagian kita masih seperti itu, menjadi orang yang sekadar mengonsumsi produk internet. Apa pun produknya, diikuti dan selalu dipakai. Tak ada kreativitas karena dikiranya internet ada untuk bermain atau mencari hiburan.

Kita merasa bangga hanya karena akun Twitter kita diikuti ribuan followers, padahal isi komentar kita tak jauh dari status “sampah”. Atau, merasa sudah seperti pesohor ketika grup di Facebook yang kita buat melejit. Padahal, itu tak memberikan arti apa-apa buat kamu di kemudian hari.

Di lingkungan sosial dunia nyata, persoalan ini pun diseret-seret untuk mengukur status sosial seseorang. Akhirnya, ketika si Andi, misalnya, tak suka dengan Twitter atau Facebook, dan tak mau bergabung, Andi dikucilkan dari komunitas. Padahal, boleh jadi Andi itu lebih melek teknologi dan menolak hal-hal yang sifatnya latah teknologi.

Fenomena menyesatkan ini tak hanya mengkhawatirkan di level remaja, tetapi juga orangtua. Apa sebabnya? Karena orang tua, yang biasanya buta teknologi, sudah abai ketika melihat anak-anaknya menggunakan internet di komputer, laptop, atau handphone hanya untuk keperluan hiburan semata.

Anak-anak sejak SD telah terpatri di ingatannya, membeli handphone harus bisa Twitter dan Facebook. Mereka mengenal internet dari telepon genggam pertamanya, dan menganggap semua itu fungsinya untuk hiburan.

Sejak kecil, generasi kini sudah canggih menggunakan internet untuk keperluan media sosial dan hiburan, seperti mendengarkan musik atau bermain game. Akan tetapi, mereka tak terbiasa menggunakan internet untuk membantu menyelesaikan PR sekolah, misalnya.

Mulai jenuh

Ketika “Kompas Kampus” memberikan tema terkait digitalisasi dalam kehidupan sehari-hari, awalnya hanya menjajaki seperti apa pengalaman warga kampus terkait tren yang berkembang kini. Hasilnya, banyak yang mengirim komentar soal kejenuhan terhadap fenomena ini.

Kejenuhan terutama melanda mereka yang terjejali berbagai produk era siber, terutama yang didominasi situs jejaring sosial. Era media sosial tak menjadikan kita semakin “sosialis” dan ramah dengan sesama di dunia nyata walau di kehidupan maya orang itu tersohor secara sosial.

“Jejaring sosial dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Darinya, tercipta individu-individu narsis. Kuantitas teman atau pengikut hanya dimanfaatkan untuk keuntungan dan kepuasan diri,” kata Khoirul Muzakki, Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris IAIN Walisongo, Semarang.

Semut di seberang lautan jelas kelihatan, tetapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Itulah arti harfiah yang bisa melukiskan kondisi kini. Di dunia maya, orang asing di seberang benua begitu digadang-gadang, sementara di dunia nyata teman kita di sebelah tak dianggap.

Ah, ironis sekali! Jika kita tak hati-hati melangkah, hanya “memakan” semua yang diberikan pengembang berbagai situs jejaring sosial itu, kita hanya menjadi penonton. Indonesia menjadi negeri yang tetap menggiurkan, tetapi dari sisi pasar sebagai bangsa yang rakus dan konsumtif.

Lalu, kapan kita memikirkan untuk produktif? Sudah saatnya kita memulai kampanye stop browsing yang tak berguna dan memikirkan untuk lebih kreatif dan produktif.

Beberapa anak bangsa sudah menunjukkan bahwa kreativitas mereka di dunia maya melahirkan miracle. Mereka pastinya rela tidak browsing hal-hal yang tak perlu, mendedikasikan waktunya untuk melahirkan atau mengelola produk.

Contoh kecil itu bisa dilihat, misalnya, bagaimana Andrew Darwis dulu mendirikan Kaskus, yang berkembang menjadi komunitas terbesar di Indonesia. Atau, Satya Witoelar, Fajar Budiprasetyo, dan Daniel Armanto yang mengelola Koprol, dan menjadi produk global karena diakuisisi Yahoo.

Dari sisi yang kelihatannya iseng, tetapi membuahkan hasil, bisa dilihat sepak terjang Audrey dan Gamaliel yang rajin mengunggah video menyanyi hasil kreasi sendiri di Youtube. Juga, pantas dicatat bagaimana Diana Rikasari konsisten mengelola blog khusus soal fashion.

Agar tak jadi korban

Stop browsing hal-hal yang tak perlu. Mulai berpikirlah untuk memproduksi sesuatu (misal: tulisan, video, lagu, memasarkan barang tertentu, menawarkan desain T-shirt, jasa membuat undangan online, membuat software, jasa membuat situs web, dan membangun portal web dengan tema spesifik), jangan sekadar menjadi target pasar.

Manfaatkan situs jejaring sosial untuk tujuan terfokus, misal promosi produk buatan kamu. Atau, jika fokus kamu ingin menjadi gitaris, ya isilah dengan hal-hal yang terfokus ke gitar. Jika kamu ingin jadi ahli pemasaran internet, isilah dengan teknik pemasaran internet yang dibutuhkan pembaca.

Hindari curhat murahan, caci maki, fitnah, berita sumir, copy + paste tulisan orang lain tanpa izin atau tanpa menyebutkan sumbernya.

Jangan latah, kreatiflah! Contoh: jika sudah banyak yang mengunggah video soal “Keong Racun”, ya kamu jangan mengikuti jejak itu.

Anggap seperti di dunia nyata. Jika kamu di dunia nyata tak mengumpat atau menghardik orang, maka di dunia maya juga harus begitu. Tetap sopan menggunakan gadget. Sopan kepada teman, saudara, orang asing, guru atau dosen, mitra, apalagi orangtua. Misalnya, hindari terlalu intens memandang layar telepon genggam saat berinteraksi dengan orang.

Apa yang disampaikan Angga Yudhiyansyah, mahasiswa CRCS UGM, pantas untuk melukiskan situasi kini.

Kata Angga, “Pada akhirnya kita tetap merindukan sesuatu yang real. Jejaring sosial, seberapa pun kita aktif di dalamnya tak mampu memberikan pertemuan yang material, yang menjadi kodrat manusia. Ada kealpaan yang tersembul dari interaksi kita di dunia maya, yaitu pertemuan wajah material yang menjadi sebuah kerinduan azali manusia sebagai makhluk sosial.”

Sumber: Kompas, 7 September 2010, http://ejajufri.wordpress.com/

0 comments to "Sampah Internet..."

Leave a comment