Home � ibuku..oh ibuku....

ibuku..oh ibuku....

Perempuan Senja dan Mata yang Menerawang Itu

Oleh: Afifah Ahmad*

"Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu"
(Khalil Gibran)

"Salam, dukhtarjan....ce mikhai?" Sapa perempuan lansia penjual makanan ringan itu, menanyakan apa yang kuinginkan. "Cake Shirin Ashal, Bibijan" Jawabku sambil menunjuk sebuah kue berlapis coklat lalu menyodorkan uang lembaran dua ribu rial.

Kutatap matanya yang terlihat menerawang namun teduh sebelum kami berpisah, tak lupa seulas senyum kuhadiahkan untuknya. Sedetik berikutnya aku sudah menuruni anak tangga menuju Husainiyah, ruang serba guna yang juga kami gunakan untuk istirahat saat pergantiaan jam pelajaran.

Entahlah siapa nama perempuan sepuh itu, aku hanya mengenalnya sebagai warga imigran asal Afghanistan yang sudah bertahun-tahun tinggal di Iran dan mendapat kesempatan mengais rezeki di kampusku. Barang yang dijajakkannya tidaklah seberapa, hanya beberapa buah cake dan minuman kemasan. Ia akan menatanya di atas peti kayu tua yang sekaligus berfungsi sebagai gudang penyimpanan, sangat sederhana. Di sudut ruangan lantai atas, tepat di depan ruang fitnes, di sanalah ia duduk menunggu para pembeli. Saat jam-jam kelas berlangsung, pernah sesekali kupergoki ia sedang memutar bulir-bulir tasbih yang selalu digenggamnya. Di waktu-waktu shalat, aku kerap menjumpainya sedang menata sejadah bersama para panitia lainnya.

Ah..... perempuan itu, selalu mengingatkanku pada banyak hal. Diamnya, membawaku pada sebuah kota kecil, tempat berteduhnya perempuan renta yang selalu kurindui, ibuku. Ibu yang tak banyak biacara dalam tumpukan kelukaan berundak selepas menjalani hari-hari panjang yang melelahkan. Cadur lusuhnya yang menjuntai, selalu menerbangkanku pada perkampungan sederhana yang pernah kulalui di masa kecil, penduduknya tertingkar kekurangan namun tak jera mendatangi suaru-surau dengan rukuh-rukuh lusuh sebanyak lima waktu, nun jauh di sana Kebun Batur, Semarang. Dan sorot mata menerawang perempuan itu, melemparkanku pada sebuah negeri yang terkoyak, Afghanistan di selatan Iran.

Perang dan kekerasaan di negeri ini, terus melaju tanpa memperdulikan penderitaan dan kecemasan penduduk sipil. Baik tentara NATO maupun kelompok Taliban memainkan logika masing-masing tanpa mendengarkan suara-suara parau anak-anak yatim yang setiap hari kehilangan ayah, janda-janda bermata cekung yang tak lagi punya harapan, perempuan tua itu sebuah fakta yang tak tertolak. Matanya yang menarawang adalah kerinduan berpuncak pada kehangatan masa kecil, keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Ia sendiri, terasing di belantara negeri yang tidak pernah melahirkannya.

Mata menerawangnya juga serupa dengan mata janda-janda yang kutemui di sebuah pemukiman, di belakang kampusku. Gedung itu dari luar tampak besar, aku dulu mengira bangunan itu masih milik rektorat kampus, karena letaknya persis bersebelahan dengan asrama mahasiswi yang belum berkeluarga. Tapi, setelah beberapa kali melintasinya, baru kusadari ada yang ‘berbeda' dengan perumahan ini. Dinding-dindingnya yang kusam, sebagian kaca-kaca pintu yang dibiarkan pecah tak terawat, kain-kain alakadarnya yang disulap menjadi tirai-tirai jendela. Perumahan ini, hanya diisi oleh janda-janda imigran dari Afghanistan dan Irak. Aku sering melihat mereka sedang berguyub mengerjakan kerajinan tangan untuk diuangkan, sembari menanti anak-anak mereka pulang dari sekolah, masih dengan mata menerawang.

Ada banyak versi cerita soal janda-janda itu, di antara pendapat kuat yang kudengar, para suami mereka meninggal akibat perang yang berkobar di perbatasan Iran dua puluh empat tahun lalu. Beberapa pengusaha dermawan asal Kuit lalu membangunkan rumah-rumah untuk mereka dan pengelolaannya diserahkan pada yayasan sosial setempat. Ya, rumah memang bisa meredakan penderitaan fisik mereka, setidaknya terlindungi dari sengatan membakar di musim panas dan cengkraman angin di musim dingin. Uluran dari pengurus asrama entah berupa makanan ataupun pakaian cukup menghibur mereka. Tapi, ada luka yang tak terobati, keterasingan yang kelak juga akan diwarisi anak cucu mereka.

Dari sudut Tehran ini, aku ingin kembali mengenang perempuan senja itu, yang mewakili kedukaan seluruh perempuan-perempuan di belahan negeri-negeri yang direnggut kebahagiaan masa depannya oleh rudal-rudal, granat, peluru, tank-tank dan pesawat tempur. Saat kusaksikan ledakan demi ledakan yang menjadi suguhan penduduk sehari-sehari lewat kanal-kanal PressTV, Al-alam atau tv lokal Iran, rasanya ada yang memeri-meri di ulu hati. Keinginanku untuk menyuarakan rasa empati pada berpasang mata-mata perempuan terluka diantara puing-puing bangunan yang luluh lantah, semakin terus membuncah.

Rasanya, aku ingin membentak para serdadu tak bernurani yang memisahkan para lelaki dari keluarganya atas sebuah alasan yang tak jelas. Aku setuju dengan rencanan beberapa negara, termasuk Indonesia dan Iran untuk mengusulkan definisi baru‘teroris', karena selama ini teramat bias.

Rasanya, aku ingin mengusulkan pada Hans Kung untuk membacakan mantra perdamaiannya, etika timbal balik (ethic of reciprocity) itu pada para pemimpin dunia yang mengirim serdadunya ke negeri-negeri miskin. Jejalkan dalam pikiran mereka: "Berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana Anda ingin orang lain berbuat kepada Anda. Jangan berbuat kepada orang lain, sebagaimana anda tidak ingin orang lain berbuat kepada Anda"

Aku yakin, para pemimpin yang menyulut perang itu, tak seorangpun menginginkan kejadian buruk menimpanya dan keluarga. Tapi, mengapa hanya untuk menangkap ‘sekawanan' teroris harus memusnahkan satu kota, bahkan negara? Tidakkah terbayangkan, berapa jumlah korban yang berjatuhan, berapa jumlah anak-anak tak berdosa yang tiba-tiba menjadi yatim dan berapa banyak perempuan-perempuan yang akan terus kehilangan kehangatan keluarga. Menurutku, sudah saatnya rumusan provokatif The Clash of civilizations milik Huntinton itu dipetikemaskan. Ramalannya hanya melahirkan kecurigaan antarbangsa dan menyeret pada kolonialisme jenis baru.

Ah...sayangnya, aku baru mampu sesumbar di balik komputer, di antara gundukan kata dan frase. Seperti banyak orang, aku belum melakukan apa-apa untuk saudara-saudara perempuanku yang terluka. Tapi aku berusaha dengan menuliskannya, akan membuka sebuah kesadaran baru, setidaknya bagiku dan mungkin siapa saja yang membaca tulisanku. Wahai perempuan senja...! Teruslah memutar bulir-bulir tasbihmu dan aku akan mengiringimu dengan doa-doa dan puisi pelipur lara yang sering didengungkan Gibran:

"Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu"

*penulis lepas dan ibu rumah tangga tinggal di Tehran

(irib/5/10/2010)

0 comments to "ibuku..oh ibuku...."

Leave a comment