Home , � Terorisme, Konspirasi Global !

Terorisme, Konspirasi Global !

Aksi penumpasan terorisme yang gencar dilakukan Densus 88 belakang ini menuai kritik dan kecaman dari berbagai kalangan. Aktivis hak asasi manusia dari Pusat Studi HAM Universitas Indonesia Yogyakarta, Eko Prasetyo menyinggung indikasi adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88.

Penulis prolifik lebih dari 20 buku ini mengungkapkan tiga faktor utama yang menyebabkan Densus 88 cenderung melanggar hak asasi manusia dalam aksinya. "Pertama, Densus diberi kewenangan hukum yang besar sehingga bisa leluasa melakukan aksinya. Kedua, Dukungan publik terutama kalangan menengah yang sangat kuat dan tidak diimbangi dengan informasi media yang berimbang. Ketiga, penanganan kasus terorisme di Indonesia mencontoh Singapura, Amerika dan negara lain yang mengedepankan kekerasan," tutur penulis buku, "Orang Miskin Dilarang Sekolah" "ini.

Di bagian lain statemennya, inisiator Pusham UII ini menyinggung stigmatisasi intensif yang dilakukan media massa mengenai isu terorisme, seraya menegaskan, Media massa Indonesia cenderung menampilkan informasi tunggal yang timpang.

Terkait pengaruh hegemoni global tehadap aksi Densus 88, penulis buku Assalamulaikum, Islam Agama Perlawanan" ini menuturkan, "Aksi Densus 88 adalah operasi yang dikendalikan oleh oleh kapitalisme global, yang lebih bertujuan melakukan konsolidasi modal lebih besar."(IRIB/PH/10/10/2010)

Wakil Iran: Agama Tolak Kekerasan dan Terorisme

Wakil Tetap Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Mohammad Khazaee mengatakan, semua budaya dan agama menolak terorisme.

Mohammad Khazaee dalam sidang pendahuluan PBB tentang "Langkah-langkah untuk Menghapus Terorisme Internasional" memaparkan pandangan Republik Islam Iran soal terorisme. Dikatakannya, sebuah agama yang benar tidak akan mengizinkan aksi kekerasan buta dan operasi teror terhadap warga tanpa dosa.

"Iran mengutuk segala bentuk terorisme termasuk terorisme negara dan menilai kekerasan tanpa sebab yang dilakukan oleh kelompok teroris atau pasukan keamanan sebuah rezim sebagai tindak kejahatan," tegasnya.

Khazaee menilai penting masalah terorisme negara dan menyebut dampaknya juga sangat menakutkan. Ditambahkannya, terorisme negara pada abad 20 telah menyebabkan kejatuhan dan instabilitas beberapa pemerintahan di Amerika Latin dan Timur Tengah.

Menyinggung kondisi bangsa Palestina, Khazaee menandaskan, sejumlah besar orang diculik dan dibunuh oleh teroris rezim Zionis Israel.

Pada kesempatan itu, ia mendesak PBB memperjelas definisi terorisme dan strategi memeranginya. Ditambahkannya, Iran termasuk korban teroris dan beberapa kekuatan asing mendukung mereka.

Tehran kurang dari enam bulan ke depan, berencana menggelar konferensi internasional tentang terorisme dengan tujuan membahas kriteria-kriteria teroris. (IRIB/RM/8/10/2010)

Jurnalis Beken Amerika Terbukti Agen Pentagon

Bob Woodward, wartawan investigasi Washington Post, yang sukses membongkar konspirasi Presiden Richard Nixon pada 1974 yang dikenal dengan skandal Watergate, terbukti tidak sepenuhnya independent dan netral dalam perjalanan karir jurnalismenya.

Situs The Global Review Senin (4/10/2010) menurunkan laporan bahwa wartawan kawakan ini punya kedekatan dengan kalangan petinggi militer di Pentagon dan manuver politik George Herbert Walker Bush.

Perannya dalam membongkar kecurangan Nixon dalam pemilu presiden 1972, harus dibaca sebagai bagian integral dari manuver politik George Herbert Walker Bush ketika pada periode itu menjabat sebagai Direktur Central Intelligence Agency (CIA).

The Global Review menambahkan, kemunculan Woodward dalam percaturan politik tingkat tinggi di Gedung Putih, sepatutnya mengundang kecurigaan. Pasalnya Woodward mulanya adalah seorang perwira intelijen angkatan laut Amerika. Namun selang beberapa waktu kemudian, dia melamar bekerja sebagai wartawan di harian Washington Post. Padahal dia sama sekali belum memiliki pengalaman sebelumnya di dunia kewatawanan.

Dalam artikel yang ditulis oleh wartawan lepas Russ Baker, disebutkan bahwa ketika Woodward membongkar operasi terselubung CIA dalam kasus Iran Contra, ternyata Woodward sama sekali tidak menyinggung-nyinggung keterlibatan George Herbert Walker Bush yang ketika itu menjadi Wakil Presiden di bawah era kepresidenan Ronald Reagan. Padahal menurut studi dari Webster Tarpley dalam bukunya George HW Bush, the un-authorized Biography, terbukti bahwa justru Bush lah yang menjadi aktor intelektual dari operasi rahasia bernama Iran Contra. Sementara Reagan praktis tidak tahu menahu dalam serangkaian operasi siluman CIA yang seluruhnya dirancang oleh Herbert Walker Bush.

Tidak mengherankan jika di saat gencarnya George W Bush melancarkan perang terhadap terorisme menyusul pemboman gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001, Woodward merilis buku yang menyanjung-nyanjung kepresidenan Bush lewat karyanya yang bertajuk BUSH at WAR. (IRIB/TheGlobalReview/MZ/PH/5/10/2010)

FBI Tangkap Para Aktivis Anti-Perang.

Demokrasi dan Kebebasan? Direktur International Action Center, Sara Flounders menyatakan, tujuan pemerintah Amerika menyerang rumah para aktivis perdamaian dan membasmi penentangan rakyat adalah karena Gedung Putih mengkhawatirkan protes rakyat di jalan-jalan.

Dalam wawancaranya dengan Fars, Flounders menyinggung serangan polisi federal Amerika (FBI) ke rumah-rumah para pemimpin aktivis anti-perang di Amerika seraya mengatakan, "Serangan tersebut tidak lain bertujuan membungkam penentangan masyarakat terhadap politik 'perang tanpa akhir' pemerintah Amerika. Pemerintah Amerika juga berupaya memutuskan hubungan rakyat Amerika dengan perkembangan dan masyarakat dunia."

Flounders menambahkan, "Orang-orang yang rumah mereka disatroni aparat FBI adalah para individu terhormat dan tokoh terkenal serta dicintai masyarakat. Mereka semua menentang politik konfrontatif Amerika Serikat di seluruh penjuru dunia."

Direktur IAC ini menegaskan, "Pemerintah Amerika tengah menghadapi berbagai masalah besar termasuk krisis ekonomi yang mencuatkan ketidakpuasan rakyat. Pemerintah khawatir ketidakpuasan itu meluap hingga ke dalam bentuk protes di jalan-jalan."

"FBI menangkapi para pemimpin gerakan anti-perang dan orang-orang yang menentang campur tangan Amerika di Timur Tengah dan Amerika Latin."

Rabu pagi dini hari (29/9), aparat FBI menyerang rumah para pemimpin kelompok anti-perang di Minnesota, Michigan, dan Illinois, menyusul instruksi pengadilan terkait penyelidikan masalah terorisme. Dalam serangan tersebut, aparat FBI merampas file dalam komputer, foto, buku-buku catatan milik aktivis.

Orang-orang yang tertangkap dan diinterogasi oleh FBI adalah para aktivis peserta sebuah konferensi nasional yang berlangsung di New York pada tanggal 23-25 Juli lalu. Konferensi tersebut diikuti oleh 800 aktivis dari 35 negara bagian Amerika. (IRIB/Fars/MZ/MF/30/9/2010)

60 Persen Warga Jerman: 11 September Tidak Ada Kaitannya dengan Islam

Hasil jajak pendapat di Jerman menunjukkan mayoritas warga negara ini berpendapat bahwa serangan 11 September tidak ada kaitannya dengan Islam.

Televisi Alaalam melaporkan, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan lembaga Forsa, 60 persen warga Jerman berpendapat, serangan terorisme 11 September terhadap menara kembar New York sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran pokok Islam.

Hanya 24 persen responden yang menyatakan bahwa serangan tersebut berhubungan erat dengan ajaran Islam sementara 7 persen sisanya menyatakan tidak tahu.

Forsa melakukan jajak pendapat itu dengan mengontak 17.000 orang dewasa di Jerman pada bulan September 2010 dan dirilis pada 19 September 2010.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kelompok serta para politisi dan tokoh Barat berupaya mengaitkan kelompok-kelompok ekstrim Muslim dengan pokok ajaran Islam seraya menyebutkan potongan ayat-ayat al-Quran tanpa memperhatikan sebab-sebab nuzulnya. Namun dalam berbagai analisa miring itu tidak disebutkan bahwa kelompok-kelompok seperti al-Qaeda mendapat dukungan dari Barat khususnya Amerika Serikat.

Di sisi lain, aksi para ekstrimis Kristen beberapa waktu lalu dalam membakar al-Quran juga perlu dicermati. (IRIB/MZ/MF/27/9/2010)

Indonesia Tak Butuh Perang Anti-Terorisme Ala Paman Sam

Menyusul terjadinya, serangan bersenjata ke Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, pasca insiden penggerebekan para tersangka teroris yang diduga terkait erat dengan perampokan Bank CIMB Niaga Medan, isu terorisme kembali marak dibicarakan di Indonesia.

Hasil investigasi Polri menunjukkan, saat ini terdapat tiga pola baru serangan teror. Pertama, berlatih menyerang orang asing. Sebegaimana kasus di Aceh beberapa waktu lalu.

Modus kedua adalah penyerangan yang bertujuan untuk pendanaan aksi terorisme, dengan cara menyerang institusi keuangan. Seperti merampok bank, money changer, ataupun menjarah showroom kendaraan untuk keperluan operasi.

Sedangkan modus ketiga adalah menyerang markas-markas institusi Polri atau instansi yang dianggap menghalangi upaya-upaya gerakan teroris, sebagaimana yang terjadi di Polsek Hamparan Perak baru-baru ini.

Menanggapi kondisi perang anti-terorisme di Indonesia belakangan ini, kolom Opini Jawapos mengangkat tulisan Hasibullah Satrawi, pemerhati politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta yang mencoba mengkritisi model perang anti-terorisme di Indonesia yang selama ini hanya mencontek gaya militeristik ala Amerika.

Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir itu mencatat: Sudah sering polisi menggerebek dan menembak mati para teroris. Tapi, semua itu belum menjadi pertanda bahwa terorisme segera berakhir di negeri ini. Sebaliknya, penggerebekan dan penembakan terhadap para teroris seakan menjadi "penetas" para teroris baru yang berkembang biak dengan pola "mati satu tumbuh seribu".

Bila benar apa yang dilansir kepolisian bahwa para perampok Bank CIMB Niaga Medan terkait dengan jaringan terorisme, hal itu sungguh mengkhawatirkan. Di satu sisi, regenerasi dan ideologi terorisme terus berkembang. Di sisi lain, pola kejahatan para teroris semakin membabi buta. Bahkan, mereka berani merampok secara terbuka.

Pada tahap itu, polisi dan aparat keamanan terkait lain seharusnya melakukan koreksi serius terhadap pendekatan yang selama ini digunakan untuk memerangi para teroris, yaitu pendekatan angkat senjata. Koreksi tersebut diperlukan bukan semata-mata karena pendekatan angkat senjata tidak berhasil menumpas para teroris. Faktanya, sejumlah tokoh terorisme telah ditumpas dengan pendekatan tersebut. Selain itu, kini tentu persoalan terorisme jauh lebih ringan daripada saat tokoh-tokoh utamanya masih berkeliaran menebar ancaman.

Koreksi tersebut dibutuhkan untuk memperpendek masa perang melawan terorisme sehingga tidak menjadi berkepanjangan, apalagi tidak pernah selesai.

Kegagalan AS

Dalam konteks itu, pihak keamanan Indonesia harus mengambil pelajaran berarti dari perang terorisme global di bawah komando Amerika Serikat (AS). Telah maklum bersama, AS secara resmi memimpin perang global melawan terorisme pada 2001. Tepatnya, sesaat setelah tragedi 11 September 2001 meruntuhkan hampir semua simbol adidaya negeri itu, mulai ekomoni (WTC) hingga militer (Pentagon), serta mengorbankan ratusan ribu rakyat AS.

AS menuduh kelompok Osama bin Laden sebagai dalang utama di balik tragedi yang juga dikenal dengan istilah 9/11. Pada saat yang hampir bersamaan, AS menggalang koalisi putih untuk memerangi terorisme, terutama dari Osama dan kelompoknya yang saat itu berada di Afghanistan.

Tudingan pemerintah AS bahwa kelompok Osama adalah teroris merupakan tuduhan bersayap. Entah disengaja atau tidak (oleh pemerintah AS), tudingan itu kerap juga dialamatkan kepada agama yang dianut Osama dan kelompoknya, yaitu Islam. Akibatnya, Islam pun kerap dianggap sebagai agama kekerasan dan terorisme, terutama oleh orang-orang Barat.

Bahkan, tudingan tersebut juga mengarah pada latar belakang kebangsaan Osama dan kelompoknya, yaitu Arab. Orang-orang Arab pun cenderung diidentikkan dengan para teroris, terutama orang Arab yang hidup di Barat.

Tragedi 9/11 menjadi babak baru bagi hubungan Islam-Barat yang sarat akan ketegangan, rasa saling curiga dan memusuhi, bahkan aksi-aksi diskriminatif. Dalam konteks itu, orang-orang Arab-Islam di Barat cenderung dicurigai dan mendapatkan perlakuan diskriminatif karena memiliki nama berbau Arab atau berjenggot.

Tentu tidak semua tudingan tersebut benar. Tapi, juga tidak semuanya salah. Dikatakan tidak semuanya benar karena fakta memperlihatkan sangat banyaknya kelompok Islam yang moderat, anti kekerasan, dan mengecam terorisme. Bahkan, kelompok moderat di dunia Arab-Islam merupakan mayoritas. Namun, kalangan mayoritas muslim moderat tersebut cenderung diam dan pasif, sebagaimana pernah dikatakan oleh Prof Dr Khalid Aboe El-Fadl (silent majority). Karena itu, kalangan ekstremis dan teroris leluasa melukis wajah Islam dengan "tinta" darah.

Dikatakan tidak semuanya salah karena fakta juga menunjukkan bahwa sebagian kelompok dalam Islam gemar menyerukan pesan-pesan kekerasan, permusuhan, bahkan terorisme. Berdasar kuantitas, kelompok itu sangat kecil. Tapi, karena sering memosisikan diri sebagai musuh negara adidaya, seperti AS, kelompok tersebut kerap mendapatkan "dukungan tak langsung" dari media-media dunia. Sehingga, kelompok kecil seperti para teroris itu kerap menjelma sebagai kelompok yang besar, kuat, dan sangat tangguh. Bahkan, ajaran kasih sayang dan saling menghormati yang senantiasa diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW kerap tenggelam dan tertelan pesan-pesan kekerasan dari Osama.

Hal yang harus diperhatikan bersama, perang AS melawan terorisme di Afghanistan belum menunjukkan tanda-tanda kemenangan hingga hari ini. Walaupun, perang itu sudah memakan banyak korban dan berlangsung sepuluh tahun. Sebaliknya, hampir setiap hari tentara AS berjatuhan di pegunungan Afghanistan yang menjadi medan perang.

Hal itu tak berarti peluru yang ditembakkan oleh para tentara AS di Afghanistan tidak berhasil membunuh para teroris dan pengikut Osama atau Taliban. Hampir sama dengan aparat keamanan dalam menembak mati para teroris di Indonesia, tentara AS di Afghanistan telah membunuh banyak teroris, pengikut Osama dan Taliban, serta fundamentalis lain. Tapi, apalah arti keberhasilan menembak satu atau seratus teroris bila kemudian ideologi terorisme justru diikuti ribuan teroris baru? Itulah yang kurang lebih dialami AS di Afghanistan.

Hal tersebut terjadi karena pendekatan angkat senjata AS tidak dibarengi dengan pendekatan lain yang terkait langsung dengan sumber kebencian utama terhadap AS, terutama di Timur Tengah dan dunia Islam. Yaitu, kebiadaban Israel terhadap warga Palestina dan negara-negara tetangga lain. Sementara itu, kebijakan politik luar negeri AS (terutama pada pemerintahan Bush Junior) terus membela dan menutup mata dari kejahatan besar yang kerap dilakukan oleh Israel.

Konteks Indonesia

Perang terhadap terorisme oleh aparat keamanan Indonesia selama ini mempunyai kemiripan yang nyaris sempurna dengan yang dilakukan oleh AS itu. Aparat keamanan, terutama Densus 88, senantiasa mengutamakan pendekatan angkat senjata terhadap para teroris atau mereka yang baru diduga teroris. Sejauh ini, nasib perang terhadap terorisme di Indonesia pun nyaris sama dengan yang dialami AS dalam perang teorisme global. Yakni, sama-sama gagal memberikan rasa aman dari ancaman terorisme kepada masyarakat dan justru terjebak dalam perang yang berkepanjangan.

Sebelum perang terhadap terorisme di Indonesia benar-benar bernasib sama dengan yang dialami AS itu, aparat keamanan Indonesia dan pemerintah harus mengimbangi pendekatan angkat senjata dengan pendekatan-pendekatan lain yang menjadi solusi konkret bagi segenap persoalan yang ada. Misalnya, persoalan kemiskinan, aparat yang bersih dari korupsi, dan penegakan hukum yang adil. Juga, menyebarluaskan paham keagamaan dengan semangat persaudaraan-kebangsaan untuk melawan paham keagamaan yang memiliki semangat kebencian atau kekerasan. Itulah sumber kebencian dan terorisme di Indonesia. (IRIB/MZ/MF/23/9/2010)

Senat Ungkap Kucuran Dana Tidak Langsung AS untuk Taliban

Satu komisi di Senat Amerika Serikat membongkar dan mengkritik pengucuran dana secara tidak langsung kepada Taliban melalui para pengusaha dan kontraktor Amerika Serikat.

IRNA melaporkan, laporan tersebut dikemukakan oleh Komisi Angkatan Bersenjata Senat Amerika. Sebelumnya, hasil penyelidikan pada bulan Juni lalu menunjukkan bahwa para kontraktor dan penguasaha Amerika Serikat memberikan uang suap kepada para Taliban agar menjaga properti mereka aman.

Dalam hal ini, Hindustan Times menulis, Senator Carl Levin, Ketua Komisi Angkatan Bersenjata Senat, menyatakan kekhawatirannya atas semakin menguatnya Taliban berkat bantuan Amerika.

"Pengucuran dana kepada para milisi Taliban dan "makelar kekuatan" itu harus dicegah karena sikap mereka bertentangan dengan kepentingan-kepentingan kita," tambahnya.

Pada saat yang sama, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat meski secara lahiriyah tidak menentang pendapat Levin itu, namun tetap berpendapat bahwa penarikan sekitar 26 ribu tentara bayaran dan pegawai perusahaan keamanan swasta yang aktif di Afghanistan itu tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat.

Di lain pihak, para pejabat militer dan kubu Republik Amerika memperingatkan bahwa larangan pemanfaatan jasa pasukan lokal, akan semakin memperparah kondisi keamanan di Afghanistan. Pasalnya, memperkerjakan pasukan asing untuk melakukan tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh pasukan lokal, hanya akan meningkatkan kebencian warga Afghan terhadap pasukan asing. Disebutkan pula, lowongan kerja dan menyediakan pekerjaan untuk warga Afghan, akan mencegah mereka bergabung dengan Taliban. (IRIB/MZ/SL/8/10/2010)

Tags: ,

0 comments to "Terorisme, Konspirasi Global !"

Leave a comment