Home , , , � Eropa bangkrut, Ekonomi Islam solusi dunia

Eropa bangkrut, Ekonomi Islam solusi dunia

Yunani Terus Terpuruk, Resep Uni Eropa Tak Manjur

Pemerintah Yunani tetap gagal menekan defisit anggaran meski berbagai langkah perbaikan ekonomi sudah dilakukan. Press TV dari Athena melaporkan, Kementerian Keuangan Yunani mengumumkan bahwa lambannya laju pertumbuhan ekonomi telah membuat pemerintah gagal mewujudkan target perbaikan ekonomi seperti yang disarankan oleh Uni Eropa terkait penekanan angka defisit anggaran.

Berdasarkan laporan ini, defisit anggaran Yunani untuk masa sepuluh bulan yang dimulai dari Januari sampai Oktober menunjukkan angka penekanan sampai 30 persen. Kondisi ini bisa dianggap sebagai pertanda akan membaiknya kondisi perekonomian Yunani. Namun kemajuan yang dicapai masih jauh dari harapan.

Kementerian Keuangan Yunani menambahan, data awal yang dipublikasikan menunjukkan bahwa defisit anggaran untuk sepuluh bulan tahun 2010 ini mencapai sekitar 17,4 miliar USD, sementara untuk tempo yang sama tahun 2009 angka defisit mencapai 24,8 miliar USD. (IRIB/AHF/11/11/2010)

Dinamika Perbankan Iran dari Masa ke Masa (1): Abstrak

Oleh: Purkon Hidayat

Perbankan memainkan peran vital dalam memompa jantung pertumbuhan ekonomi. Tidak mengherankan, jika perbankan menjadi institusi yang sensitif di sebuah negara. Sejarah mencatat, perkembangan perbankan di suatu negara acapkali diwarnai silang-sengkarut perhelatan politik, bahkan terselip aneka motif imperialisme asing. Fenomena ini terekam jelas pada lembaran dinamika perbankan di Iran. Perbankan Islam Iran yang kita saksikan dewasa ini, setidaknya menempuh lima fase dengan liku-likunya masing-masing.

Fase pertama, gelombang tuntutan kalangan pengusaha dan cendikiawan Iran agar pemerintah mendirikan bank di negara ini. Seiring dengan desakan tersebut, imperialisme mulai menancapkan kukunya di Iran, dan memanfaatkan dengan baik situasi tersebut. Baron Julius Reuters, Yahudi Inggris berkebangsaan Jerman berhasil meyakinkan pemerintahan Nasiruddin Shah mengenai pendirian bank pertama di Iran dengan nama, New East Bank. Namun, umur bank asing ini tidak bertahan lama.

Pada fase kedua, total aset New East Bank dibeli kerajaan Iran dan berdirilah Bank Shahanshahi (Imperial Bank). Rezim monarki Iran mendirikan Bank Shahansahi untuk mengambil alih aset New East Bank dan mengatur keperluan investasi pemerintah serta pendapatan negara yang bersumber dari sektor minyak. Alih-alih menjadi motor penggerak perekonomian nasional, Bank Shahansahi malah menjadi aset pribadi keluarga raja melalui kongsi haram dengan kerajaan Inggris.

Fase ketiga, menjelang kejatuhan dinasti Pahlevi hingga kemenangan revolusi Islam Iran. Pasca kudeta 28 Mordad 1332 Hs, pemerintah Iran menyempurnakan peraturan perbankan yang berdampak kian kondusifnya iklim investasi di sektor perbankan swasta. Saat itu, bank-bank swasta mulai menjamur, di samping bank pemerintah. Salah satunya adalah Bank Esteqrazi yang didirikan oleh seorang nasionalis Rusia bernama, Jacquet Plyakov. Lambat laun, kekuatan perbankan Iran tidak lagi berada di dalam genggaman pemerintah. Untuk mengawasi operasional berbagai bank yang marak saat itu, akhirnya dibentuk Bank Sentral Iran yang berperan mengendalikan kebijakan umum perbankan di negara ini. Pada periode ini, dinasti Pahlevi mendirikan Bank Pahlavi Qoshun untuk mengatur kebutuhan finansial militer Iran. Bank Pahlavi Qoshun diambil alih pemerintah Islam dan berganti nama menjadi Bank Sepah.

Fase keempat, perbankan Iran pasca kemenangan revolusi Islam. Pada tahap ini, terjadi perubahan mendasar dalam perbankan Iran. Pertama, Ditetapkannya undang-undang nasionalisasi. Dengan ketentuan ini, setahun setelah kemenangan revolusi Islam, Dewan Revolusi Islam menasionalisasi seluruh bank menjadi lembaga finansial pemerintah. Kedua, merger perbankan. Ketiga, penggantian sistem perbankan dari suku bunga menjadi bagi hasil.
Setidaknya ada enam sasaran utama perbankan Islam Iran. Pertama, menjamin kemandirian ekonomi dan finansial sehingga menyiapkan sarana produksi independen. Kedua, menjaga lonjakan inflasi dan nilai uang untuk mendorong produksi domestik dan konsumsi masyarakat. Ketiga, menciptakan sebuah kondisi yang adil dan setara agar semua pihak bisa mendapatkan akses fasilitas finansial. Keempat, memompa sektor riil sebagai sarana peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Kelima, seluruh bank memiliki tujuan ekonomi kolektif. Keenam, bank-bank Iran harus menjalin hubungan dengan negara-negara Islam dalam rangka menciptakan sebuah bank yang membanggakan di dunia Islam.

Fase kelima, seiring pesatnya pembangunan Republik Islam Iran, eksistensi perbankan di negara ini semakin vital dan menemukan bentuk barunya. Selain perbankan pemerintah, pada era ini mulai bermunculan bank swasta baru, seperti Bank Eghtesad Novin dan Bank TAT. Tidak hanya itu, muncul gelombang privatisasi perbankan pada masa pemerintahan Presiden Ahmadinejad menandai peningkatan profesionalisme perbankan di negara ini menghadapi tuntutan globalisasi dan tekanan embargo ekonomi kekuatan arogan global.( irib/18/3/2010)

Dinamika Perbankan Iran dari Masa ke Masa (2):

oleh Purkon Hidayat.

Sektor ekonomi acapkali menjadi pintu gerbang paling nyaman bagi kolonialisme di dunia. Jejak ini terekam jelas dalam rentangan historis kolonialisme di Iran. Peralihan kekuasaan dan instabilitas ekonomi di Iran menjelang abad ke 18, menjadi sarana empuk korporasi raksasa dan pemerintah asing dalam mengeruk kekayaan sumber daya alam Iran.

Kontrak ekonomi antara pemerintah Qajar dengan korporasi India Timur Inggris pada tahun 1790 dan pemerintah Inggris sembilan tahun kemudian, mengokohkan jejak kaki Inggris di Teluk Persia. Sejak itu, pengaruh Inggris semakin mengakar di Iran, bahkan mempengaruhi kebijakan pemerintah Qajar.

Gairah perdagangan yang menggeliat di permukaan saat itu, tenyata tidak dibarengi dengan kemajuan ekonomi nasional Iran. Bahkan pemerintah Qajar menghadapi gunungan masalah seperti tingginya investasi asing, besarnya hutang luar negeri, defisit anggaran dan merosotnya nilai tukar mata uang nasional.

Di tengah ketimpangan ekonomi yang menganga, pertumbuhan sektor ekonomi dengan neraca perdagangan mencapai 2,5 juta rial pertahun menuntut kebutuhan berdirinya lembaga keuangan modern yang menggantikan sistem pertukaran uang tradisional.

Para pengusaha, cendikiawan dan investor Iran merasakan urgensi keberadaan bank saat itu. lalu mereka mendesak kerajaan membangun lembaga keuangan modern. Pada tahun 1296, Haji Mohammad Hossein Aminnasab menulis surat kepada Nasiruddin Shah yang menegaskan urgensi pendirian bank di Iran. Selain itu, Mirza Molkam Khan Nazim al-Dooleh menulis makalah mengenai urgensi pendirian bank dan dibahas di Dar al-Soora pemerintah Iran. Dar al-Soora memutuskan bahwa raja harus mendirikan bank. Namun ditolak raja, karena pejabat teras dan putra mahkota tidak menyetujuinya dan menilai kondisi ekonomi Iran tidak membutuhkan keberadaan bank.

Inisiatif pendirian bank di Iran juga dilontarkan seorang warga negara Perancis bernama John Savalan pada tahun 1864 kepada Mirza Mahmoud Khan Nasir al-Mulk. Usulan ini dikemukan pada saat Nasir al-Mulk berada di London untuk membicarakan kontrak pembangunan jalan kereta api. Setelah itu, pada tahun 1886, perusahaan Paris, Erlangeh meminta hak izin pendirian bank di Iran. Namun, Nasir al-Mulk menolaknya.

Gagasan pendirian bank kembali bergulir kencang. Kali ini dikemukakan sejumlah investor Iran yang berdomisili di Turki pada tahun 1885. Mereka mengusulkan pendirian bank Iran dan Afghanistan dengan suntikan investasi dari para investor Perancis dan Turki Ottoman. Namun, bank pertama Iran ini kembali gagal berdiri, karena para investor Perancis masih meragukan keuntungan yang akan mereka raih.

Setelah mengalami kegagalan berkali-kali, akhirnya, pada tahun 1888 berdiri bank pertama Iran dengan nama New Est Bank. Pusat aktivitas bank ini berada di Tehran, Mashhad, Isfahan, Shiraz dan Boushehr. Namun operasional bank ini tidak berlangsung lama, dua tahun setelah pendiriannya, kerajaan membeli aset New East Bank senilai 20 ribu lira dan aktivitas bank ini berakhir.

Keberhasilan pendirian bank pertama Iran ini tidak bisa dilepaskan dari kiprah pengusaha Yahudi berkebangsaan Jerman, Paul Julius Freiherr von Reuter. Kapitalis Inggris ini berhasil menyuap sejumlah pejabat teras pemerintahan Nasir al-Din Shah dan mendapat izin eksploitasi hutan dan tanah serta membangun pabrik, jembatan, bendungan, jalan raya, jalan kereta api dan bank di Iran selama tujuh puluh tahun. Namun, kontrak ini menuai kecaman dari Rusia dan sejumlah pejabat kerajaan, yang berbuntut pembatalan kontrak tersebut oleh Nasir al-Din Shah, sepulang dari kunjungannya ke Eropa.

Menyikapi pembatalan sepihak tersebut, Reuters mengajukan gugatan kepada pemerintah Inggris dan menyebut kerajaan Iran ingkar janji. Akhirnya, Menteri Otonomi Inggris di Iran, Ser H.D.Wolf memberikan hak izin pendirian bank Shahanshahi (Imperial Bank) kepada Reuters sebagai penebus kontrak yang dibatalkan secara sepihak oleh Nasir al-Din Shah. Sebagian dari kontrak tersebut antara lain:
1. Nasir al-Din Shah memberikan hak kepada Reuters untuk membangun bank Shahanshahi (Imperial Bank) selama 60 tahun.
2. Kerajaan menetapkan investasi sebesar delapan juta lira Inggris.
3. Kerajaan mengizinkan bank Shahanshahi mengeluarkan uang kartal.
4. Bank shahanshahi mendapat dukungan kerajaan dan bebas pajak
5. Bank Shahansahi harus menyetorkan enam persen dari laba pertahun kepada kerajaan Iran.
6. Kerajaan membebaskan biaya penggunaan lahan bagi bank Shahanshahi.
7. Selain izin pendirian bank, pemerintah juga memberikan hak eksploitasi sumber daya alam Iran kepada Reuters, termasuk penambangan emas, perak dan batu mulia.

Pada tahun 1889, Bank Shahanshahi secara resmi tercatat di London dan William Keswick menjadi direkturnya. Meskipun dalam kontrak dinyatakan bahwa pusat aktivitas bank ini berada di Iran, namun pada penjelasan kontrak disebutkan bahwa kantor pusat berada di negara yang terbesar kepemilikan sahamnya. Pemerintah Inggris dengan baik memanfaatkan poin ini dengan mendongkrak pembelian saham dan mengendalikan bank ini langsung dari London.

Bank Shahanshahi secara resmi beroperasi di Iran pada tahun 1889 dan pemerintah Inggris memerintahkan pembelian seluruh kantor cabang New East Bank di Iran.

Cengkeraman kuku-kuku ekonomi Inggris begitu menancap di jantung kerajaan Qajar. Bank Shahanshahi berperan sebagai bank sentral Iran dan pusat aktivitas finansial di negara ini.

Bank Shahanshahi juga menerbitkan uang kartal dengan dukungan emas. Namun kemudian berganti menjadi perak. Perubahan tersebut menbuat bank Shahanshahi meraup keuntungan besar dari penjualan perak. Pengeluaran perak dalam jumlah besar menyebabkan turunnya cadangan logam di Iran dan rendahnya nilai tukar uang nasional. Buntutnya, terjadi gejolak finansial. Masyarakat beramai-ramai melakukan penukaran besar-besaran uang kertas menjadi uang logam. Akhirnya pemerintah terpaksa membatasi penukaran perorang hanya satu toman. Dari sektor ekonomi, pemerintah Inggris mulai mengendalikan situasi dan kondisi politik Iran.(Purkon Hidayat)/irib/25/3/2010

Ahmadinejad, Pendulum Ekonomi Iran



Oleh: Purkon Hidayat

Sejumput rumput menyembul dari bola basket warna merah tua yang dikerat manis, terpampang persis di samping tulisan selamat tahun baru, Sal-e Nou Mobarak. Papan reklame sebuah perusahaan saus terbesar pendukung olahraga Iran ini terbentang lebar di jalan raya Chamran, tepat menuju pintu gerbang utara kantor IRIB, Radio dan Televisi Iran, tempat saya bekerja. Meski bulan pertama tahun baru Iran sudah berjalan dua puluh hari, suasana Tahun Baru Nouruz masih melekat di hati masyarakat Iran.

Seiring merekahnya tangkai bunga dan hijaunya dedaunan di awal musim semi, masyarakat Persia berbinar-binar memasuki tahun baru dengan gunungan harapan. Dentang pergantian tahun menorehkan optimisme baru bagi bangsa Iran, mulai dari supir taksi hingga presiden. Persis seperti sapaan hangat di antara mereka yang sarat harapan, ‘Selamat tahun baru, semoga menjadi tahun yang baik bagimu.'

Bagi Presiden Iran, tahun 1389 Hs menjadi momentum yang tepat untuk merombak struktur ekonomi negeri Persia ini. Ahmadinejad acapkali menyuarakan urgensi reformasi ekonomi Iran. Tidak tanggung-tanggung, doktor transportasi jebolan Universitas Elm va Sanat Tehran ini menggulirkan ide kontroversial, subsidi terarah, hadafmand kardan-e yaraneh.

Pria bersahaja putra tukang besi ini gregetan menyaksikan besarnya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk mendanai impor bensin dari negara lain. Belum lagi, negeri para Mullah ini, terus-menerus digencet embargo ekonomi Gedung Putih, termasuk larangan ekspor bensin bagi perusahaan-perusahaan AS ke Iran.

Produksi bensin dalam negeri Iran hingga kini belum mampu memenuhi tingginya kebutuhan bensin di negeri kaya minyak ini. Pasalnya, perang delapan tahun yang dipaksakan rezim Baath Irak terhadap Iran memporak-porandakan instalasi minyak dan produk olahannya. Belum lagi, lonjakan kuantitas mobil-mobil pribadi yang berseliweran memadati ruas-ruas jalan Tehran terus-menerus menguras gelontoran bensin dari pom-pom bensin yang buka 24 jam. Prosentasi kepemilikan mobil di Tehran terbilang fantastis. Konon, satu dari sembilan warga Iran di Tehran memiliki satu buah mobil.Terang saja, kemacetan kian membengkak menghantui kota metropolitan ini.

Lima tahun lalu, bensin adalah komoditas yang lebih murah dari sebotol kecil air mineral. Semenjak Ahmadinejad menjabat sebagai presiden Iran, mantan walikota Tehran ini menerapkan kebijakan kontroversial dengan menaikan harga bensin dari 80 toman menjadi 100 toman (sekitar 1.000 rupiah).

Tidak hanya itu, dua tahun kemudian, Ahmadinejad malah menaikan harga dasar bensin menjadi 400 toman. Meski harga bensin dinaikan, namun setiap warga Iran yang memenuhi syarat diberi jatah subsidi bensin sebesar 100 liter perbulan dalam kartu bensin masing-masing.

Sebagai kompensasi kenaikan harga bensin, pria brewok kurus ini mengalokasikan dana subsidi untuk perbaikan infrastruktur dan jaring pengaman sosial di Iran, terutama di daerah.

Di Tehran utara, wilayah papan atas Iran, kebijakan Ahmadinejad memicu protes dari kalangan menengah ke atas. Imbasnya, pada pilpres 2009 silam, perolehan suara Ahmadinejad di Tehran kota, terutama Tehran Utara kalah tipis dari pesaing utamanya Mousavi. Namun, perolehan suara mantan Walikota Ardabil di Tehran besar, terutama di wilayah menengah ke bawah jauh mengalahkan mantan perdana menteri Iran itu.

Putra keluarga pandai besi ini senantiasa mendapat sambutan hangat rakyat dalam setiap safari provinsinya. Bagi orang daerah, naiknya Ahmadinejad adalah durian runtuh yang ditunggu-tunggu. Lima tahun menjabat sebagai presiden, Ahmadinejad telah menyulap desa-desa Iran. Selama lima tahun, pria yang membuat politisi Gedung Putih mencak-mencak ini, memfokuskan pembangunan di daerah-daerah, terutama perbaikan fasilitas umum, hingga ke desa-desa terpencil. Bagi Ahmadinejad, Iran bukan hanya untuk Tehran, Iran untuk seluruh bangsa Iran.

Lebih dari separuh bulan pertama tahun baru Iran dilalui. Penerapan program subsidi terarah makin bergulir kencang. Koran Donya Eghtesad dalam editorialnya baru-baru ini menyoroti penerapan subsidi terarah di Iran. Harian ekonomi berbahasa Farsi terbesar di Iran ini menyebut penyesuaian harga menjadi harga riil merupakan salah satu agenda utama reformasi Iran. Harga riil komoditas yang dimaksud adalah titik equilibrium, pertemuan antara supplay dan demand. Hingga kini, parlemen dan pemerintah masih membahas penerapan penuh program itu.Pemerintahan Ahmadinejad bertekad menjalankan penuh program subsidi terarah ini.

Saat menumpang metro membelah jantung kota Tehran, tidak sengaja saya mendengarkan percakapan warga Iran yang datang dari daerah tentang Ahmadinejad, Ou, mardom az jins mardom ast, dia adalah rakyat dari kalangan jelata.

Sejatinya, pembangunan, bagaimanapun adalah keberpihakan. Lalu, apa yang sedang diperjuangkan dan yang sedang dibela oleh Ahmadinejad? Bagi jutaan warga Iran di pelosok negara ini, Ahmadinejad adalah hero bagi mereka.

Di tengah pro kontra mengenai penerapan penuh program subsidi terarah, Ahmadinejad tetap optimis, penerapan penuh subsidi terarah adalah terobosan besar bagi Iran yang akan membawa negara ini mengulang masa keemasan dinasti Persia. Mungkinkan Ahmadinejad akan senasib dengan Deng Xiaoping, program ekonominya dikecam sekolompok orang pada masa hidupnya, dan dipuja setelah menutup hayatnya.

Seperti merekahnya Sabzi, hijaunya rumput dan membuncahnya harapan yang sesekali diselipi kecemasan kecil, Iran terus membangun dengan caranya sendiri di tengah himpitan sanksi negara-negara arogan global. Jika Elvis Presley masih hidup, barangkali ia akan menghibur Ahmadinejad dengan mengatakan, It's Now or Never, Tomorrow will be too late.(10/4/2010/irib)

Iran, Gulirkan Gelombang Keempat

Oleh: Purkon Hidayat

Ahmadinejad seorang diri adalah sebuah media, begitu Prof. Maulana berujar.

Presiden Iran ini menggegerkan dunia dengan pidato lugasnya di berbagai even nasional dan internasional.

Baru-baru ini, pria brewok kurus itu berpidato keras dalam konferensi peninjauan ulang Traktat Non-proliferasi Nuklir (NPT) mengenai solusi mewujudkan dunia tanpa senjata nuklir. Tentu saja, Ahmadinejad harus menanggung berbagai resikonya.

Seperti dugaan sebelumnya, sejumlah negara adidaya seperti AS, Inggris dan beberapa negara Barat lainnya walk out dari ruang sidang saat presiden Iran berpidato. Bukan hanya di luar negeri, Ahmadinejad pun dikecam kaum terdidik mapan Iran sebagai tidak becus berdiplomasi. Bahkan, dengan sinis mereka berkata, "Lelaki ini bikin malu kami saja, in mard abero ma ra mibare."

Beberapa bulan lalu, saat memasuki kantor Dekan fakultas ekonomi sebuah universitas negeri paling bergengsi di Iran, yang terletak dua ratus meter dari kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, saya mendengar obrolan lirih bernada sinis, "Pemerintah tidak becus mengurusi ekonomi negara ini, daulate ma namitune iqtishade kesvar ra idareh kune." Di perguruan tinggi inilah para ekonom Iran jebolan universitas Barat berdiskusi dan mencetak para ekonom dalam negeri.

Mereka adalah para pengajar dan penulis terkemuka di bidang ekonomi mikro, makro dan studi ekonomi pembangunan. Sebagaimana pendidikan ekonomi yang mereka adopsi dari Barat, resep-resep yang ditawarkan masih berkutat pada arus mainstrem ekonomi dunia. Bahkan, seorang profesor ekonomi lulusan Barat yang saya temui di kantornya mengajukan pertanyaan bernada mengejek, "Apa bedanya ekonomi Islam dengan kapitalisme?" Bukan sekali, saya menyaksikan pakar moneter Iran ini menyerang kebijakan pemerintah di televisi Iran sendiri.

Kali ini, resep ekonomi para ekonomi senior tidak laku di masa Ahmadinejad. Padahal, mereka adalah dokter ekonomi Iran yang senantiasa didengar resep ekonominya pada periode Rafsanjani dan Khatami.Tidak mengherankan, pada pilpres Iran lalu, bersama kaum borjuis sebagian dari mereka berkumpul mengelilingi Mir Hossein Mousavi, kandidat presiden yang gagal itu.

Sepertinya Ahmadinejad kapok dengan resep-resep para ekonom papan atas Iran ini. Sekitar lima tahun lalu, koran terkemuka Iran, Kayhan memuat kontroversi mengenai ide saham adalat (saham keadilan) yang digulirkan tim ekonomi Ahmadinejad.

Para penentang yang sebagian besar jebolan universitas terkemuka di Barat, mencibir saham adalat tidak memiliki model di dunia. Sebaliknya, Ahmadinejad dan timnya membalas dengan pertanyaan yang menohok. Haruskah segala yang kita lakukan mengikuti model mainstream? Sampai kapan kita akan terus menjadi pengekor. Sejatinya, kitalah yang harus menjadi model bagi negara lain.

Dengan spirit inilah, tim ekonomi Ahmadinejad merancang reformasi ekonomi Iran. Tim ekonomi Ahmadinejad adalah para ekonom yang dibantu pakar disiplin lain dari seluruh penjuru Iran. Bahkan tidak tanggung-tanggung, mantan walikota Tehran ini merekrut ulama yang mendalami ekonomi dan para akademisi dari universitas di daerah.

Pada saat Mullah konglomerat semacam Rafsanjani memimpin Iran dan Akhon reformis seperti Khatami menjadi Presiden, nama-nama tim ekonomi Ahmadinejad ini hanya terdengar sayup-sayup ditelan hingar-bingar nama ekonom lulusan Barat dan universitas terkemuka Iran.

Ahmadinejad tidak ambil pusing. Menurut mantan walikota Ardabil itu, tidak ada perbedaan antara lulusan ekonomi Harvard maupun universitas di pelosok Iran. Baginya, yang penting gagasan ekonom itu cemerlang secara teoritis dan praktis. Jebolan teknik sipil Universitas Ilm va Sanat ini berupaya menerapkan pesan Imam Ali, "lihatlah isi, jangan melihat siapa yang berbicara."

Dari sejarah, Ahmadinejad mempelajari pasang surut perekonomian berbagai negara dunia. Negara-negara yang kaya sumber daya alamnya dan sebagian besar negara muslim, adalah negara yang terpinggirkan secara ekonomi dan politik. Bahkan di segala sektor mereka harus mengekor titah adidaya global.

Tampaknya, Ahmadinejad memahami pesan Naomi Klien. Carut marut ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran vital Mafia Barkeley yang menggurita tahun 1960-an.

Tiga belas tahun kemudian, anak didik Friedman yang kembali ke tanah airnya berhasil mengubah Chile yang menganut ekonomi sosial menjadi kapitalis. Presiden Chile, Salvador Allende yang mengusung ekonomi kerakyatan, yang mirip dengan prakarsa Hatta di Indonesia, digulingkan oleh Jenderal Augusto Pinochet dukungan CIA. Buntutnya, Chile terperangkap utang dan kekuasaan asing akibat resep dosis tinggi para ekonom Friedmanis yang menguasai negara itu.

Lalu, apa yang sedang diperjuangkan tim ekonomi Ahmadinejad? Ekonomi yang mereka tawarkan dan telah dijalankan saat ini, memprioritaskan kemandirian ekonomi dan desentralisasi pembangunan berbasis keadilan. Untuk itu, pemerintah menggalakan pembangunan sektor industri utama supaya Iran bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak menengadahkan tangan ke negara lain.

Saat ini, pemerintah Iran sedang getol-getolnya membenahi dan melengkapi Infrastruktur di daerah. Berbagai pabrik dibangun di daerah untuk menyuplai kebutuhan komoditas dalam negeri. Untuk meminimalisasi defisit anggaran yang membengkak akibat lonjakan pembangunan industri di negara ini, Ahmadinejad menerapkan subsidi terarah, terutama subsisi BBM. Baginya, orang-orang kaya tidak layak disubsidi, selama kemiskinan masih gentayangan di negeri ini.

Di level internasional, Iran meneriakan reformasi sistem ekonomi dunia. Di mata Ahmadinejad, Kapitalisme dan Welfare State gagal membawa dunia pada kesejahteraan yang adil. Krisis ekonomi global adalah buah getir keserakahan para kapitalis.

Saat ini, Iran menekankan urgensi restrukturisasi tata kelola dunia yang adil dalam bentuk kelembagaan baru. Di sektor ekonomi, Iran berupaya mengarahkan arus global saat ini menuju titik keseimbangan baru dengan mengakhiri unilateralisme adi daya global semacam Amerika Serikat.

Bagi Ahmadinejad, krisis ekonomi global tidak terjadi spontan, tapi akumulasi dari kebijakan keliru yang berpangkal pada kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme.

Ahmadinejad tahu persis peringatan lampu merah ekonom peraih hadiah nobel tahun 1993, Douglass C. North. Dalam artikelnya, Economic Performance Through Time, North mengingatkan, mekanisme pasar bukan interaksi bebas antara supply dan demand semata. Namun juga diatur oleh perangkat keras dan lunak.

Sebuah mekanisme pasar diatur oleh perangkat keras berupaya tata kelola, hukum dan konstitusi. Selain itu juga dikendalikan oleh norma, perilaku, konvensi serta perangkat lunak lainnya. Gagasan North ini sebenarnya mengamini usulan Joseph Schumpeter mengenai urgensi perombakan ekonomi yang mengarah pada perbaikan sistem ekonomi.

Bagi Ahmadinejad, perangkat keras dan lunak sistem ekonomi global itulah yang harus diperbaiki saat ini. Ketiga sistem ekonomi yang pernah menguasai dunia harus diganti. Masa berlaku kapitalisme, Sosialisme dan Walfare State kadaluarsa.

Lalu, adakah sistem model keempat setelah kegagalan Walfare Statenya, yang pernah menyelamatkan AS dari depresi ekonomi 1930? Apabila kita tanyakan pada Ahmadinejad, tentu ia akan mengatakan ada, dan ekonomi Islam yang tengah diterapkan saat ini di Iran adalah gelombang keempat.

mungkinkah ide ini hanya isapan jempol belaka.Ternyata tidak, Iran menunjukkan kelajuan signifikan di berbagai sektor. Di bidang ekonomi, dana Moneter Internasional (IMF) memasukan Iran sebagai 18 negara ekonomi terkuat di Dunia. Di sektor sains dan teknologi, Iran melesat mengejar ketertinggalannya selama ini. Institute for Scientific Information (ISI) melaporkan, Iran menyabet peringkat pertama secara global dalam hal laju pertumbuhan output. ISI menegaskan, Iran meningkatkan hasil penerbitan akademis hampir sepuluh kali lipat dari 1996 hingga 2004.

Selain itu, perusahaan riset Kanada Science-Metrix baru-baru ini menempatkan Iran di peringkat teratas dunia dalam hal pertumbuhan dalam produktivitas ilmiah dengan indeks pertumbuhan 14,4. Di bawah tekanan sanksi, Ahmadinejad menyerukan kemandirian sebagai modal utama kemajuan suatu negara. Iran membuktikannya kepada dunia.(irib/18/5/2010)

0 comments to "Eropa bangkrut, Ekonomi Islam solusi dunia"

Leave a comment