Home , , , , � HEBOH..!!! Perang Mata Uang di KTT G-20 dan Rekaman pernyataan Sri Mulyani di Hotel Ritz Carlton

HEBOH..!!! Perang Mata Uang di KTT G-20 dan Rekaman pernyataan Sri Mulyani di Hotel Ritz Carlton

Bayang-Bayang Perang Mata Uang di KTT G-20

Bayang-Bayang Perang Mata Uang di KTT G-20

Sidang puncak ke-5 negara-negara kelompok G-20 yang digelar di Seoul, Korea Selatan, 11-12 November 2010 lalu akhirnya ditutup dengan mengeluarkan pernyataan bersama. Para pemimpin 20 negara yang berkontribusi besar terhadap perekonomian dunia itu sepakat untuk menerapkan aturan finansial dan moneter yang lebih ketat guna menghindari terulangnya kembali krisis ekonomi global.

Perlunya perubahan struktural di tubuh Dana Moneter Internasional (IMF) merupakan kesepakatan lain kelompok G-20. Berdasarkan perubahan itu, negara-negara kekuatan ekonomi baru seperti China dan Brazil akan memperoleh porsi peran yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan di IMF.

Meski forum G-20 di Seoul kali ini berhasil mencapai sejumlah kesepakatan umum, namun sejumlah isu strategis seperti kebijakan moneter dan ketimpangan di bidang perdagangan masih menyisakan perdebatan panjang. Kedua isu penting tersebut gagal disepakati dalam pernyataan bersama G-20 lantaran mendapat penentangan keras China terkait manipulasi penetapan nilai mata uang.

Kegagalan itu muncul lantaran bayang-bayang perang mata uang antara AS dan China masih begitu kuat menguasai agenda pembicaraan konferensi tingkat tinggi (KTT) G-20 Seoul. Bahkan harian The Guardian, terbitan London menyebut pertemuan puncak G-20 di Korea Selatan itu sebagai KTT G-20 yang paling lemah.

Sebagaimana prediksi sebelumnya, AS gagal memanfaatkan forum G-20 kali ini untuk menjaring dukungan negara-negara besar lain untuk menekan China mengangkat nilai mata uangnya. Meski kebijakan China yang berusaha mempertahankan nilai yuan tetap rendah juga tidak luput dari kritikan negara-negara G-20 lainnya, namun mereka menolak rancangan deklarasi akhir yang disodorkan AS.

Dalam usulannya itu, AS menghendaki pembatasan surplus dan defisit dalam transaksi berjalan menjadi 4% dari produk domestik bruto (PDB). Dengan kata lain, defisit perdagangan antar negara anggota tidak boleh lebih dari 4 persen dari PDB masing-masing. Usulan yang ditawarkan Paman Sam itu sejatinya merupakan upaya Washington untuk menghindari terus melonjaknya defisit perdagangan AS dengan China. Tentu saja, usulan tersebut ditolak mentah-mentah China dan negara-negara besar lain seperti Jerman dan Korea Selatan. Sebab bagi negara-negara yang ekonominya berbasiskan pada ekspor seperti ketiga negara tersebut, pembatasan semacam itu malah sangat merugikan. Pada dasarnya, bagi negara-negara yang berorientasi ekspor, dengan peningkatan arus ekspor dan berkurangnya impor justru akan memajukan perekonomian negaranya.

Perang mata uang China dan AS kali ini juga menyimpan sebuah cerita soal tudingan Washington terhadap Beijing. AS mengklaim China melakukan praktek manipulasi nilai mata uangnya untuk mempertahankan nilai yuan tetap rendah sehingga barang-barang produksi China bisa dijual tetap murah di pasar internasional. Ironisnya, tudingan AS itu justru kontradiktif dengan kebijakan akhir The Fed (Bank Sentral AS) sendiri yang berencana menggelontorkan dana 600 miliar USD dengan dalih untuk menggerakkan perekonomian. Tentu saja dengan membanjirnya dolar di pasaran akan membuat nilai dolar menjadi rendah.

Sebagaimana diketahui, Federal Reserve atau Bank Sentral AS berencana membeli surat utang AS senilai 600 miliar USD. Langkah semacam itu sama artinya dengan mencetak dolar sebanyak-banyaknya tanpa fundament bernilai sehingga nilai dolar makin lemah. Dengan begitu, volume ekspor AS akan terkatrol dengan kian murahnya harga komoditas Paman Sam di pasar global.

Namun di sisi lain, meluapnya dolar di pasar internasional akan mengurangi cadangan devisa negara-negara yang menyimpannya dalam bentuk dolar sehingga menimbulkan inflasi yang merusak. Dengan demikian, pada dasarnya AS juga melakukan aksi devaluasi dolar dan manipulasi nilai mata uang sebagaimana yang dituduhkannya terhadap China.

Tak ayal, langkah nakal Paman Sam itu mendapat kecaman keras negara-negara lain G-20. Tanpa basa-basi, kalangan negara-negara Eropa menyebut langkah AS itu sebagai "bom uang Amerika". Sementara itu, Menteri Keuangan Afrika Selatan Pravin Gordhan menyebut kebijakan The Fed itu telah memusnahkan semangat kerjasama negara-negara G-20 yang telah diperjuangkan para pemimpin kelompok ini dalam menghadapi krisis saat ini.

Tak kalah pedasnya, Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schaeuble menganggap kebijakan AS tersebut tidak memiliki unsur solutif sama sekali dan irrasional. Pasalnya, hal itu bukan hanya tidak akan bisa meringankan krisis ekonomi global tapi justru memunculkan hambatan baru bagi proses normalisasi perekonomian dunia.

Uniknya, meski selama ini Eropa kerap menentang kebijakan moneter China, namun dalam KTT G-20 di Seoul kali ini mereka menolak ajakan AS untuk menekan China. Dengan demikian bisa dikata Beijing terbilang sukses menciptakan friksi di kalangan negara-negara G-20 di KTT Seoul dan hal ini bisa dianggap sebagai kemenangan Negeri Tirai Bambu dalam ajang perang mata uangnya dengan Paman Sam.

Penolakan G-20 terhadap ajakan AS untuk menekan China juga memiliki arti lain yaitu menyusutnya pengaruh AS di kancah perekonomian global. Dalam konferensi pers di sela-sela sidang G-20 di Seoul beberapa waktu lalu, Obama menuturkan, "Terkadang sebagai ganti untuk menarget beberapa sasaran dengan sekali tembak, kita terpaksa harus merasa cukup hanya dengan satu sasaran. Namun meski hanya satu, itu pun sangat penting". Presiden AS itu bahkan mengklaim bahwa nilai tukar yuan saat ini bukan hanya merugikan AS tetapi juga sangat sensitif bagi para mitra dagang China lainnya.

Kekhawatiran akan munculnya kembali krisis keuangan di masa mendatang ternyata tak cukup memaksa para pemimpin G-20 untuk menetapkan langkah bersama dalam menangani krisis dunia. Karena itu tak heran jika hasil akhir KTT G-20 di Seoul kali ini hanya sebatas penekanan ulang bahwa saat ini di dunia tengah terjadi ketimpangan perdagangan. Sedemikian besarnya friksi kepentingan di kalangan negara-negara G-20 sampai-sampai tak mampu membuat mereka bersepakat untuk mencari solusi guna menyelesaikan sengketa yang ada.

Meski sudah lebih dari dua tahun berlalu semenjak munculnya krisis ekonomi global, namun hingga kini sebagian besar negara-negara di dunia terutama negara-negara Barat masih didera dampak krisis. Mayoritas negara-negara tersebut kini masih sibuk menghadapi gelombang kedua krisis ekonomi global. Imbas krisis itu tampak dalam kian meningkatnya defisit anggaran, menumpuknya utang negara dan melonjaknya pengangguran. Menghadapi krisis tersebut, tiap-tiap negara menerapkan solusinya sendiri. AS dengan menerapkan kebijakan pelonggaran moneter dengan cara menggelontorkan dolar sebanyak-banyaknya ke pasar modal dan menjadikan isu menghidupkan ulang perekonomian dan menurunkan angka pengangguran sebagai prioritas kebijakan ekonominya.

Sebaliknya negara-negara Eropa mengedepankan kebijakan pengetatan moneter untuk menekan defisit anggaran dan utang pemerintah. Tentu saja dengan diterapkannya kebijakan semacam itu, akan menurunkan permintaan ekonomi, sehingga tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali dengan cara meningkatkan volume ekspor ke negara-negara besar seperti AS dan China. Sayangnya, kebijakan moneter AS dan China selaku eksportir terbesar di dunia justru menyulitkan masuknya komoditas Eropa ke pasar mereka.

Terlepas dari perang kurs di antara negara-negara besar dunia, salah satu isu penting yang terlupakan dalam KTT ke-5 G-20 adalah kesulitan yang dialami negara-negara miskin dan sedang berkembang. Meski Sekjend PBB Ban Ki-moon turut hadir dalam sidang puncak G-20 di Seoul untuk mengingatkan komitmen negara-negara besar dalam membantu negara-negara miskin dan berkembang, namun desakan sekjen PBB itu terlibas oleh perdebatan perang kurs negara-negara besar.

Padahal hingga kini janji-janji negara-negara maju untuk membantu negara-negara miskin jauh belum banyak terealisasikan. Kalaupun dalam sidang puncak G-20 di Seoul kali ini diundang pula perwakilan dari negara-negara miskin, namun itupun tak lebih dari sekedar pertunjukan diplomatik dan sama sekali tidak membuahkan hasil praktis. Dampak negatif kebijakan moneter China dan AS sejatinya bukan hanya memukul negara-negara industri lain, tetapi justru memberikan imbas yang lebih parah bagi negara-negara berkembang. Kalangan negara-negara miskin dan berkembang tidak memiliki daya saing yang mumpuni untuk memasarkan produknya di pasar dunia.(irib/16/11/2010)

Aksi Demo Sambut Obama di Seoul

Presiden AS Barack Obama telah tiba di Korea Selatan untuk menghadiri KTT G-20 di Seoul di tengah protes sejumlah aktivis terhadap kebijakan Washington di seluruh dunia.

Sebelum kedatangannya di Seoul, ribuan aktivis perdamaian Korea Selatan dan anggota kelompok sipil turun ke jalan untuk memprotes kunjungan Obama. Mereka menyatakan bahwa Presiden AS tidak diterima di Korea Selatan.

Para aktivis berjanji akan melanjutkan demonstrasi mereka sampai puncak KTT G-20 pada hari Kamis (11/10). Para pengunjuk rasa juga menentang perjanjian perdagangan bebas antara Seoul dan Washington.

Korea Selatan merupakan negara Asia pertama yang menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin negara-negara maju dan berkembang ini. Perdebatan seputar nilai tukar mata uang asing dan perdagangan tidak seimbang di dunia diperkirakan akan mendominasi pembicaraan dalam pertemuan dua hari itu.

Obama diperkirakan juga akan menghadapi kritikan dari negara anggota G-20 yang keberatan dengan rencana Bank Centra AS untuk menyuntikkan dana minimal 600 miliar dolar hingga akhir Juni 2011. Langkah ini bertujuan menggairahkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi dampak krisis finansial.

Beijing mengecam keputusan tersebut dan Wakil Menteri Keuangan Cina, Zhu Guangyao mengatakan, Washington telah melalaikan tanggung jawabnya untuk mengembangkan perekonomian dunia.

"Keputusan Bank Sentral AS akan membawa fluktuasi yang lebih besar pada pasar dunia dan menyebabkan arus modal yang berlebihan ke pasar global," ujar Guangyao. Menurut Guangyao, AS belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak penyuntikan dana besar-besaran terhadap stabilitas pasar keuangan dunia.

Sementara itu dari Indonesia dilaporkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berangkat ke Seoul untuk menghadiri KTT G20. Turut serta dalam rombongan itu, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menteri Perindustrian MS Hidayat, dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Sedangkan Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sudah lebih dulu berada di Seoul.

Dalam pertemuan itu, Presiden Yudhoyono akan menjadi pembicara utama mewakili suara negara-negara berkembang.

Pada Jumat sore, Presiden akan menuju Yokohama, Jepang, untuk menghadiri KTT APEC pada 13 November dan sejumlah pertemuan bilateral dengan negara-negara anggota APEC. (IRIB/Press TVAntara/RM/AR/11/11/2010)

Perang Mata Uang itu Masih Berkobar

Isu perang mata uang kembali mengemuka. Kali ini isu tersebut diperbincangkan kembali dalam pertemuan ke-17 para menteri keuangan 21 negara anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Kyoto, Jepang yang digelar hari ini (Sabtu, 6/10). Sebagaimana dikutip kantor berita Xinhua, agenda utama pertemuan tersebut meliputi perluasan keamanan ekonomi, perbaikan kondisi keuangan negara-negara anggota, ekspansi kerjasama untuk menghadapi penurunan nilai mata uang, dan mekanisme penyediaan dana guna menggenjot pertumbuhan ekonomi negara anggota. Pertemuan ini digadang-gadang pula sebagai sidang pengantar menuju pertemuan puncak para pemimpin APEC yang sedianya digelar 14 November mendatang.

Sebagaimana yang telah banyak diramalkan sebelumnya, bayang-bayang kebijakan baru moneter dan finansial AS masih menguasai pertemuan para menteri keuangan APEC kali ini dan memunculkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Asia dan Amerika Latin. Pertengahan pekan lalu, Federal Reserve, Bank Sentral AS memborong surat utang negerinya sendiri senilai 600 miliar dolar dengan dalih untuk menghidupkan kembali perekonomian AS yang masih sakit-sakitan.

Tentu saja langkah pemerintah AS itu memicu kritikan luas banyak negara termasuk di kalangan internal APEC. Namun reaksi paling pedas justru terlontar dari China, sebagai salah satu pemegang terbesar surat utang AS. Seorang pejabat tinggi kementerian keuangan China, Jumat (5/10) menilai kebijakan baru Bank Sentral AS merupakan intervensi nyata terhadap nilai mata uang dolar dan mendesak pertanggungjawaban Washington atas langkahnya itu. Wakil Menteri Keuangan China dalam keterangan persnya menyatakan, selama pencetakan mata uang dunia seperti dolar dilakukan secara bebas, maka deraan krisis baru pun tidak akan bisa dihindari lagi.

Sementara itu, pemerintah Jepang juga mengancam akan melakukan intervensi terhadap pasar uang jika memang kebijakan moneter AS bisa mengerek nilai tukar yen terhadap dolar. Senada dengan Jepang, Korea Selatan juga tengah ancar-ancar mencari cara untuk menghalau masuknya modal tanpa fundamental dari Negeri Paman Sam. Tak ketinggalan, Brazil juga melontarkan protes keras. Negeri Samba itu menganggap suntikan dana 600 miliar dolar merupakan upaya Washington untuk melemahkan nilai dolar yang bertujuan memompa daya saing produk-produk AS di kancah global. Seraya menyebut langkah AS itu sebagai perang mata uang, Brazil meminta isu tersebut dibahas dalam pertemuan menteri keuangan APEC di Jepang.

Yang jelas, sidang APEC kali ini memang bukan hanya diramaikan dengan ketegangan politik di antara negara-negara anggotanya tetapi juga diwarnai oleh friksi ekonomi yang tidak mudah diselesaikan. Tak berlebihan jika banyak kalangan yang pesimis silang sengketa itu bisa diselesaikan hanya dalam dua atau tiga pertemuan. Namun pastinya, banyak pakar yang meyakini bahwa pertemuan puncak APEC di Jepang dan KTT G-20 di Korea Selatan masih terus dibayang-bayangi perang mata uang. (IRIB/LV/NA/6/11/2010)


Moral Story dari Sri Mulyani


Dua hari lalu Bapak menerima rekaman pernyataan Sri Mulyani di Hotel Ritz Carlton dan mendengarkan secara seksama ungkapan-ungkapan keprihatinan dan perjuangan dalam memperbaiki perekonomian nasional Indonesia. Berikut ini catatan dari Bapak:

Intelijen Indonesia termasuk minoritas elemen bangsa Indonesia tanpa kepentingan pribadi yang berusaha menjaga stabilitas ekonomi Indonesia melalui upaya-upaya mendorong dan memelihara proses reformasi sistem ekonomi nasional termasuk dalam masalah etika.

Sebagaimana sahabat Blog I-I perhatikan isi dari ratusan artikel Blog I-I umumnya adalah bagaimana intelijen sebagai salah satu unsur penting dari penyelenggaraan negara dapat memberikan masukan yang tepat bagi Presiden, termasuk ketika akhirnya Presiden terjepit dalam membela Sri Mulyani atau mengalah kepada tekanan pengusaha hitam dan politisi haus kekuasaan.

Dunia dalam sejarahnya bergerak dari sejumlah sebab dan menjadi akibat. Secara ideologi, Blog I-I menganjurkan posisi Indonesia yang pragmatis dan senantiasa fleksibel dalam melakukan adjustment dengan dinamika global, bukan terserap ke dalam arus ekonomi dunia sebagaimana dituduhkan sebagian kalangan yang sok-sokan mengaku pembela ekonomi rakyat namun tidak mengerti mekanisme dan sistem yang tepat. Apa yang dilakukan Sri Mulyani selama ini jauh dari tuduhan neolib karena Intelijen Indonesia tahu persis siapa-siapa yang dibayar untuk membunuh karakter Sri Mulyani dengan tuduhan Neolib, mudahnya perhatikan siapa-siapa yang teriak-teriak tentang Neolib…mereka semua bayaran bukan?

Namun Blog I-I tetap memperhatikan petingnya proteksi dalam pengertian kepedulian terhadap angka kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi di Indonesia, dimana perlu ada semacam program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program-program yang tepat termasuk dalam memperkuat industri kecil dan menengah. Namun hal itu seyogyanya bersih dari unsur kepentingan kelompok yang akan diuntungkan dari sebuah kebijakan publik, hal ini terkait dengan etika yang dikemukakan Sri Mulyani.

Kebenaran adalah kebenaran dan tidak dapat dipalsukan oleh propaganda murahan untuk menjadikan kebenaran itu sebagai sesuatu yang salah. Sehingga tidak perlu kita ambil pusing karena pada saat pihak-pihak yang senang memalsukan kebenaran bercerita tentang kebohongan, kita harus tetap teguh menceritakan tentang kebenaran dengan ketulusan. Walaupun sepintas waktu kita melihat bahwa Indonesia masih akan diliputi awan gelap angkara murka kepalsuan dan kepentingan individu dan kelompok, namun cahaya pencerahan Republik Indonesia yang kita cita-citakan masih ada di ujung lorong yang sedang kita lalui saat ini.

Pernyataan Sri Mulyani tentang kemenangan sangat dipahami dan sejalan dengan semangat Blog I-I. Ada hal menarik yang dapat sahabat Blog I-I renungkan dan jadikan pegangan dalam menjalankan tugas membela Republik Indonesia, sbb;

Pertama, tidak menghianati kebenaran. Hal ini merupakan jati diri reformasi Intelijen Indonesia untuk memperbaiki diri dengan berpegang teguh pada kebenaran. Walaupun banyak pihak menyatakan bahwa kebenaran bersifat relatif dan sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan keyakinan, namun dapat saya garis bawahi disini yaitu pada saat hati nurani kita berteriak ada yang salah maka hal itu sudah melanggar keyakinan kita pada kebenaran. Sampaikanlah kebenaran walaupun hal itu akan mengorbankan diri kita sebagai abdi negara. Sudah waktunya kita berdiri tegak demi kemajuan Republik Indonesia dan demi masa depan bangsa Indonesia.

Kedua, tidak mengingkari nurani diri sendiri. Menyambung pada poin nomor pertama diatas, nurani atau hati nurani adalah suara dalam diri kita sendiri yang akan segera berteriak ketika kita melangkah pada hal-hal yang tidak benar menurut cara pandang dan keyakinan kita. Manakala dilanggar kita telah mengiris hati nurani kita sendiri. Mudahnya demikian: pada suatu ketika seorang petugas akan dihadapi oleh kesempatan untuk mencuri uang negara, apapun alasannya ketika kita akan mencuri akan terdengar suara lirih di hati kita …..jangan ! Membunuh nurani kita sendiri rasanya akan sama dengan membunuh jiwa, sekali…dua kali…tiga kali, maka kita akan terbiasa dan akhirnya nurani kita bungkam terbungkus oleh pembenaran perilaku nafsu.

Ketiga, menjaga martabat dan harga diri. Hal ini identik dengan jati diri manusia dan bukan refleksi kesombongan karena berbangga-bangga dengan martabat. Jatuhnya martabat seseorang bukan disebabkan oleh apa yang disebutkan orang lain, kita boleh saja senang berpakaian sederhana, namun akan ada orang lain yang menilainya kampungan.

Sedangkan harga diri terkait dengan prinsip-prinsip dasar yang diyakini seseorang dan menjadi pegangan dalam perjalanan hidupnya. Pada saat prinsip tersebut dilanggar, maka harga dirinya lenyap, hancur atau menguap dan akhirnya menjadi olok-olok manusia yang berjiwa rendah karena sama-sama tidak memiliki apa yang disebut harga diri. Salah satu contoh sederhana manusia yang tidak memiliki harga diri adalah mereka yang melakukan segala cara dalam mencapai jabatan dan kekuasaan termasuk dengan menjual dirinya dan mengemis kesana kemari, bahkan mengeluarkan modal besar sebagai bentuk investasi untuk mempengaruhi proses dirinya menjadi pejabat tinggi.

Hanya satu catatan dalam melihat kemenangan yang didefinisikan Sri Mulyani, yaitu bahwa bangsa Indonesia kalah dalam semangat reformasi dan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Sri Mulyani boleh merasa menang karena dirinya tidak terkontaminasi kebusukan politik dan keserakahan sejumlah elit nasional serta dapat mempertahankan integritasnya, bahkan sesungguhnya saya juga tahu bahwa Sri Mulyani berani untuk membuka seluruh kebusukan kasus Bank Century demi kebenaran.

Tetapi karena kisah akhirnya adalah konspirasi politik, maka saya lebih melihatnya sebagai kekalahan telak kepada apa yang kita yakini sebagai etika, kebenaran, nurani, dan harga diri. Kepada siapa bangsa Indonesia mengharapkan proses perbaikan apabila satu persatu individu yang memiliki integritas di negeri ini melepaskan pengaruh dan kekuasaannya.

Catatan terakhir, Sri Mulyani harus melihat juga dari sisi di luar diri pribadinya, yaitu 260 juta penduduk Indonesia tertegun melihat drama Bank Century dalam kabut kebohongan publik dan konspirasi politik…bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi.

Bangsa Indonesia juga meraba-raba di dalam gua yang gelap terseok-seok dalam lorong yang becek, lembab dan berbau, dan bertanya mengapa cahaya di ujung lorong ini semakin redup. Sementara dalam pusing dan mual, bangsa Indonesia juga mendengar suara pesta hiruk-pikuk koalisi kepentingan serta rencana-rencana mengatur kue negara…Oh tidak ! seorang nenek yang sudah lemah berseru, pesta itu seperti di masa saya muda dan akibatnya saya menjadi menderita begini, bangsa Indonesia kehilangan harga diri dan jati dirinya.

Semoga catatan ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua dalam menilai diri kita masing-masing, serta dalam melihat dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya di negeri yang kita cintai Republik Indonesia.

Demikian penuturan Bapak Senopati Wirang.

Sekiranya sahabat Blog I-I ada yang memiliki akses kepada Sri Mulyani, alangkah baiknya catatan Bapak dapat disampaikan sebagai bacaan ringan ke Washington.

(sumber:http://konspirasizionis.wordpress.com/BlogIntelijenIndonesia: http://intelindonesia.blogspot.com/

0 comments to "HEBOH..!!! Perang Mata Uang di KTT G-20 dan Rekaman pernyataan Sri Mulyani di Hotel Ritz Carlton"

Leave a comment