Snouck Hurgronje. Nama itu tak asing lagi dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya di masa penaklukan Aceh oleh kolonial Belanda. Berkat informasi yang dipasok orientalis yang menguasai budaya Aceh dan Islam itu, pasukan kolonial Belanda berhasil menguasai Aceh.
Rupanya, kiprah warga Belanda itu tak hanya tercatat di bumi Serambi Mekkah saja. Jejak kaki Hurgronje (1857-1936) juga sampai ke Makkah yang sesungguhnya di Arab Saudi. Demi mempelajari Islam, ritual haji, dan kehidupan masyarakat di Makkah, lulusan jurusan teologi di Universitas Lieden, ini pernah tinggal selama sekitar tujuh bulan di Kota Suci itu.
Pria yang lahir di Oosterhout, Belanda, pada 1857 dan memiliki nama lengkap Christiaan Snouck Hurgronje, ini bahkan dikabarkan sampai mengubah keyakinan agamanya alias menjadi mualaf demi bisa menetap di Kota Makkah. Semua itu dilakukannya agar bisa mempelajari Islam langsung di jantungnya.
Saat ini foto-foto karya Hurgronje saat menetap di Makkah sedang dipamerkan di Dubai Financial Center dengan diberi judul 'Makkah, Sebuah Petualangan Berbahaya'. ''Dia terpesona dengan berbagai macam agama, tetapi secaa khusus tertarik pada ajaran dan sistem kepercayaan Islam. Dia juga fasih berbahasa Arab,'' ujar Elie Domit, seorang kurator galeri.
Pada 1880, Hurgronje menulis tesis doktornya berjudul "Het Mekkansche Feest" (Pesta Makkah) yang menggambarkan ibadah haji dan adat istiadatnya. Pada waktu itu, pemerintah di negara-negara Eropa mulai melihat dukungan yang diberikan penduduk Muslim bagi upaya kemerdekaan bagi wilayah koloni Eropa dan Belanda. Makkah dipandang sebagai tempat berkumpulnya para pejuang Muslim fanatik.
Pada 1884, berkat didanai pemerintah Belanda, Hurgronje dikirim ke Jeddah untuk meneliti kehidupan Muslim fanatik di Makkah. Namun dia juga memiliki kepentingan pribadi untuk memasuki Tanah Suci. Karena bukan seorang Muslim, dia pertama kali berangkat ke Jeddah dengan maksud mendekati kalangan elit di sana.
Demi bisa memasuki Makkah dan mendapatkan kepercayaan dari warga serta pejabat pemerintah di sana, Hurgronje secara terbuka mengumumkan keputusannya untuk menjadi pemeluk Islam. Bahkan kemudian dia dikenal dengan sebutan Abd Al-Ghaffar. Berkat cara itu, dia akhirnya diizinkan untuk memasuki Makkah dan perjalannya diatur pada 21 Januari 1885.
Selama tujuh bulan, Hurgronje tinggal di Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati, mencatat, dan mempelajari kehidupan masyarakat lokal. ''Waktu itu, Makkah memiliki salah satu pasar budak terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan perlakukan manusiawi yang diberikan kepada budak karena budak-budak itu diperlakukan sebagai anggota keluarga,'' ujar Domit.
Hurgronje juga mengamati kehidupan wanita di Makkah. Persoalan status sosial, rasa mode, dan kebebasan yang diberikan kepada kalangan wanita ini dibandingkannya dengan wanita di kota-kota di Timur lainnya.
Minatnya yang begitu besar terhadap Makkah membuat curiga pemerintah negara Eropa yang lain. Setelah itu terungkap bahwa Hurgronje adalah seorang mata-mata, penipu, sekaligus sebagai sedikit dari kalangan orientalis kala itu. Tak lama usai menikahi wanita Ethiopia, dia dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan pemerintah Prancis yang menuduhnya telah mencuri batu Taima.
Akibatnya, Hurgronje harus segera meninggalkan Makkah. Dengan tergesa, dia mengumpulkan catatan dan foto-foto yang diperolehnya selama tinggal di Makkah. Namun peralatan kamera ditinggalnya dan dititipkan kepada temannya yang seorang mahasiswa fotografi, Al-Sayyid Abd Al-Ghaffar.
Hurgronje kemudian balik ke Belanda dan mulai menulis berbagai artikel mengenai Makkah. Dia tetap menjalin kontak dengan temannya, Al-Sayyid untuk bertukar informasi dan mendapatkan foto-foto terbaru mengenai Makkah, termasuk foto-foto mengenai jamaah haji.
Sekembalinya di tanah kelahirannya, tak diketahui kabar selanjutnya, apakah dia masih memegang agama Islamnya, atau kembali ke agama asalnya. Namun, banyak karya yang dibuatnya mengenai Islam dan budaya Makkah. Mungkin karena itu pula, hubungan dia dengan petinggi Arab Saudi bisa terjalin baik. Sebagai pertanda eratnya hubungan itu, Pangeran Saud dari Kerajaan Saudi sampai tiga kali mengunjungi Belanda selama kurun waktu 1926-1935. (IRIB/Republika/26/11/2010)
0 comments to "Pengkhianat Aceh Ternyata Berhubungan dengan Arab Saudi"