Home , � Pro Kontra Obama di media online

Pro Kontra Obama di media online


Muslim Vs Barack Hussein

ADA paradoks dalam reaksi atas rencana kunjungan Presiden Obama ke Indonesia 9-10 November mendatang. Sebagian orang menolaknya karena menganggap Presiden Obama sebagai "pembunuh saudara-saudara muslim kita di Irak, Afganistan, dan Palestina". Sebagian yang lain menyambut baik event penting ini. Mereka secara pragmatis melihat hal ini sebagai kesempatan umat Islam di Indonesia menyampaikan aspirasi berkenaan dengan kepentingan nasional Indonesia sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, ataupun berkenaan dengan urusan umat Islam di berbagai belahan dunia. Reaksi campur-baur ini bukan hanya berkat kompleksnya permasalahan, melainkan terkait juga dengan figur Presiden Amerika Serikat yang akan berkunjung: seorang presiden bernama depan Barack Hussein.

Obama pernah empat tahun tinggal di Indonesia. Meski tak ada orang well-informed yang ragu bahwa dia seorang penganut Protestan, ayah kandungnya pastilah seorang muslim. Sejalan dengan itu, tak sedikit anggota keluarganya-khususnya yang berasal dan tinggal di Kenya, negara kelahiran sang ayah-orang muslim. Ayah angkatnya di Indonesia pun seorang muslim. Meski tiga dari empat tahun masa tinggalnya di Jakarta dihabiskannya dengan bersekolah di sebuah sekolah Katolik, dia dikabarkan dicatatkan sebagai seorang muslim dan, karena itu, ikut dalam pelajaran agama Islam. Bahkan ada catatan bahwa si ayah angkat terkadang mengajak anaknya salat di masjid.

Bukan cuma itu. Obama juga dicatat pernah memiliki teman-teman dan koneksi muslim. Ia dikabarkan mengenal beberapa aktivis muslim dan tokoh pendukung perjuangan rakyat Palestina. Sebagian malah menyebutnya "murid" Edward Said, seorang Palestina Kristen yang dikenal amat gigih dalam penentangannya terhadap penindasan Israel atas rakyat Palestina. Meski tak ada yang bilang bahwa Obama banyak tahu tentang Islam, mudah diduga pengetahuannya tentang Islam jauh lebih baik daripada Presiden Amerika mana pun. Dan tak tertutup kemungkinan bahwa pengetahuannya itu menjadikan Obama lebih terbuka dan lebih bersimpati kepada Islam.

Berbagai pernyataannya tentang Islam dan umat Islam-khususnya ketika kampanye dan di masa-masa awal kepresidenannya-menunjukkan keterbukaan dan rasa simpatinya ini. Saya sendiri cenderung melihat bahwa pernyataan-pernyataan Obama ini bersifat genuine, khususnya jika dilihat dengan latar belakang kesungguhan dan ketulusannya dalam mengambil kebijaksanaan yang prorakyat serta amat tegas terhadap kekuatan lobi-lobi dan korporasi besar negerinya. Kita tentu juga tak boleh lupa pada upayanya mengatasi persoalan penindasan hak asasi manusia para tawanan di Teluk Guantanamo sejak kampanye kepresidenannya. Belakangan, dia telah membuat sebagian warga Amerika marah besar karena dukungannya atas rencana pembangunan Islamic Center di wilayah yang dekat dengan Ground Zero tragedi 11 September.

Problem besar muncul ketika kita mulai membuka catatan-catatannya terkait dengan campur tangan Amerika di Afganistan, lebih-lebih dalam konflik Palestina-Israel, juga sikapnya terhadap program pengayaan nuklir Iran. Obama sudah bersikap sangat bijaksana dan menenangkan umat Islam ketika, di awal kepresidenannya, dia menyatakan akan secepatnya menarik pasukan Amerika dari Irak. Tapi kengototannya untuk menambah kekuatan di Afganistan seakan membaurkan motifnya terkait dengan Irak. Yang sama sekali tak bisa dipahami adalah sikapnya terhadap ulah Israel di tanah pendudukan Palestina. Obama, meski berupaya mengulur, tampak tak berdaya menghadapi kedegilan Israel untuk terus membangun permukiman baru di tanah pendudukan. Sikap diamnya, dan komentar amat lunak lagi terlambat, yang dikeluarkannya atas pembantaian orang-orang Palestina oleh Israel di Jalur Gaza serta penembakan oleh militer Israel terhadap kapal perdamaian Mavi Marmara sama sekali tak dapat dipahami.

Betapapun harus mendapatkan kredit bagi upayanya menyelesaikan masalah nuklir Iran secara damai serta program penghapusan senjata nuklir yang digagasnya, kengototannya untuk memaksa Iran menghentikan program pengayaan nuklir mereka secara sepihak amat sulit diterima. Kalaupun kita asumsikan bahwa Iran memang memiliki agenda tersembunyi untuk membuat senjata nuklir-suatu hal yang dengan keras dan terus-menerus dibantah oleh Iran-kenapa Amerika tak mengusik kenyataan yang tak terbantahkan bahwa Israel memiliki ratusan hulu ledak nuklir? Masih ada lagi. Sikap permusuhan Obama terhadap Hamas yang terbukti menang dalam pemilihan umum demokratis di Palestina dan Hizbullah yang secara sah ikut dalam proses politik demokratis di Libanon tak bisa dilihat lain kecuali sekadar menggemakan sikap Israel yang memang berseteru hebat dengan kedua kelompok ini.

Sampai saat ini, gagasan dan upayanya ke arah perwujudan solusi dua negara-sebuah solusi yang ditentang oleh sebagian warga Palestina sendiri karena dianggap tidak adil-pun tak sampai ke mana-mana. Ini semua tak dapat dimungkiri merupakan akibat ketidaktegasan sikapnya kepada Israel. Dalam hal-hal ini, hilang kesan keberanian dan visioner seorang Obama yang dengan gilang-gemilang berhasil meraih kedudukan tertinggi di negara paling adidaya di dunia, against all odds.

Sekarang, bagaimana sebaiknya kita bersikap?

Kita bisa saja berharap dan terus menuntut agar Amerika tidak turut campur dalam urusan internal negara-negara muslim, seperti Irak dan Afganistan. (Ini pun sesungguhnya suatu tuntutan yang cukup muskil. Betapapun kita boleh saja menolak gagasan globalisme yang lebih sering merupakan topeng bagi agenda hegemoni dan dominasi negara-negara besar-maju atas negara-negara miskin dan berkembang, globalisasi dan kesalingtergantungan negara-negara adalah suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan lagi.) Namun, akibat suasana dan pergulatan kekuatan-kekuatan politik di dalam negerinya, mengharap Amerika tidak ikut campur dalam urusan konflik Palestina-Israel saat ini adalah suatu hal yang tidak realistis.

Karena itu, ketimbang sama sekali mendevilisasi dan menolak Obama, apakah tidak lebih realistis jika kaum muslim yang merasa peduli pada nasib saudara-saudaranya yang tertindas di berbagai negeri memanfaatkan semua kesempatan yang ada-termasuk kunjungan Presiden Obama-untuk memperjuangkan misi ini? Apalagi, meski bukan tanpa "cacat" yang serius, Obama adalah seorang Presiden Amerika yang bukan tidak pernah menampilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang favorable bagi umat Islam, khususnya jika dibanding sebagian Presiden Amerika sebelumnya (masih ingat George W. Bush?), atau calon-calon Presiden Amerika yang telah lampau (McCain dan Sarah Palin, bahkan mungkin Hillary Clinton), ataupun orang-orang yang boleh jadi akan menjadi calon kuat presiden negeri ini di masa datang (bayangkan John Bolton, Jeb Bush, atau Newt Gingrich)? Ya, bayangkan jika yang menjadi Presiden Amerika adalah orang-orang jingoistik dan jauh lebih pro-Israel, seperti umumnya orang-orang dari Partai Republik, yang kebetulan baru saja memenangi mayoritas Kongres Amerika dalam midterm election yang baru lalu.

Bersikap kritis, bahkan sangat kritis, dengan menuntut agar Presiden Obama bersikap adil kepada negara-negara dan umat Islam boleh jadi adalah sikap yang lebih proporsional. Kita pun tentu dapat, bahkan perlu, dengan keras dan tanpa henti menyuarakan dan menuntut agar Amerika lebih mengedepankan prinsip keadilan ini dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel, dan bukannya justru habis-habisan mendukung Israel seperti selama ini.

Namun hidup kadang memang menyisakan hanya dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Antara yang pahit dan lebih pahit. Pada akhirnya kita tetap harus memilih. Apalagi, bukankah seperti kata sebuah kaidah, ushul-fiqh juga, ma laa yudraku kulluh, laa yutraku kulluh (apa-apa yang tak bisa kita dapatkan seluruhnya tak seharusnya ditinggalkan seluruhnya)? Apalagi jika mengharap semuanya sekaligus tidaklah cukup realistis. (Haidar Bagir, Tempo 8 November 2010) oleh Muhsin Labib pada 11 November 2010 jam 9:28



Jujur, meskipun ini fakta ganjil, SEORANG SAHABAT YANG KINI SANGAT INGIN DISAPA OLEH BARACK HUSEEIN OBAMA ADALAH MAHMUD AHMADINEJAD......

Anda berpikir, Obama bisa mengatasi semua sampah peninggalan Bush ? No, Sir !....baca buku Scott Mclel...land tentang hal ini....

jauh di lubuk hatinya, saya percaya bahwa Obama ingin memiliki mitra strategis dari Tehran... bukankah kini AS kedodoran dalam segala lini...

Di Asia Timur muncul raksasa bisnis dan militer para penerus Mao...
Di Asia Barat terbit Surya Persia
di Latino America muncul Aliansi ALBA
Di Eropa bergabung kekuatan Euro...
Di Afrika masih tampak peninggalan Black Hawk Down di Somalia...

di bidang finance, AS bahkan berutang ke RRC untuk memenuhi APBN nya.....

di Irak, AS gagal memainkan pion Wahabi Saudi untuk kontrol Baghdad.
di Afghanistan, Obama mengemis ke Dimitri Medvedev agar bersedia kirim pasukan serbu Kandahar dan Herat....

Jadi, siapa yang sangat mampu dan mengetahui USA Today ? hanya lelaki "dekil" dari Tehran, anak dari si tukang bikin karpet itu...

Jadi, ijinkan Obama bertegur sapa dengan Ahmadinejad....

DAN BUKANKAH SI NETANYAHU KEMARIN DATANG KE WASHINGTON, TIDAK UNTUK BERTEMU SI OBAMA ?
BUKANKAH SI "BIBI" INI JUSTRU MENEMUI JOE BIDDEN ?
oleh:
Deddy Prihambudi


  • Moh Musa
    Catatan bernada apologis; masih ada celah yg bs diharap dari Obama, sayang betul kalau celah itu diabaikan. Tp apalah artinya secercah figur Obama itu jika dibandingkan dengan realitas bhw dia adalah bagian remeh dari raksasa sistem yang td...k memungkinkan AS menjadi menara emas tanpa berubah wujud menjadi monster pemangsa bangsa-bangsa dunia dalam peragulan global.

    Saya pribadi tdk pernah peduli dgn siapa Obama, bahkan seandainya dia tiba-tiba mengenakan serban dan naik haji! Yg sy pedulikan adalah kenyataan bhw presiden AS bagaimanapun jg adalah bagian - sekali lg; remeh- dari sistem tadi, sistem yg menjadikan AS sbg srigala.

    Bagi saya, menyedihkan jika harus welcome kpd Obama hanya karena Obama masih bisa diharapkan bersedia mencari mangsa dua hari sekali saja, bukan tiap hari, dgn dalih bhw kita tdk mungkin bs berjuang secara frontal utk memaksa AS spy tdk setiap hari mencari mangsa! Memang, alasan ini mgkin realistis untuk konteks Indonesia dan kebanyakan negara Muslim yang rezimnya sekular atau selalu berpikir pragmatis. Tapi sampai kapan kita pasrah kepada realitas ini? Semua orang tahu bhw semua org sudah pasrah, KECUALI IRAN!!!!! Dan semua org jg selalu menilai Iran hanya karena KEBETULAN SAJA mampu bertahan eksis sekian dekade di depan Goliat dunia, bukan karena serangkaian hukum KAUSALITAS yang bernafaskan PERJUANGAN dengan pikiran, harta, darah dan air mata utk melawan TAKHAYYUL yang diberinama REALITAS itu!!!!!

    Sedih, kawan..........

  • Deddy Prihambudi
    Pemerintah AS tetap akan kutuk, kita lawan. namun, sekedar mengutuk dan melawan, tanpa mengenal betul siapa yang dilawan dan dikutuk, hanya akan mengantar kita terjerembab kepada jurang demagogi. Pemerintah AS tentu "diwakili" oleh seorang... Obama, namun mengenali Obama saja tidak lengkap, tanpa memperhitungkan berbagai faksi dan friksi di dalam tubuh Pemerintah AS sekarang, dan lebih jauh lagi, aktor aktor dominan yang "menguasai" policy di tubuh Demokrat dan Republik...

    Mengutuk lawan dan melawan musuh tidak kemudian meniadakan aksi aksi politis "oportunistik" dalam batas batas yang rasional yang wajar. Kita masih sangat ingat bagaimana "political games" yang dijalankan oleh Presiden Hujjatul Islam Wal Muslimun Syaikh Hasyimi Rafsanjani, yang mengadakan negosiasi "di balik tabir" dengan Presiden Reagan, yang kemudian mencuat sebagai skandal "Iran-Kontra"...

    Hal serupa bukan tidak mungkin akan terjadi pada masa Presiden Ahmadinejad kini. Benarkah Obama adalah SOSOK dominan dalam politik luar negeri AS saat ini ? ataukah ada "hegemonic power" lain yang justru mendominasi segala pilihan politik sang Presiden ?

    Membunuh karakter Obama, namun gagal menangkap sinyal berbahaya dari "diabolic power" lain di Washington DC, mustahil menjadikan kita sebagai lawan yang tangguh bagi US Government...

    Saya percaya, tanpa bermaksud berlebihan, Pemerintah Iran kini mungkin adalah "satu satu" nya Pemerintah di dunia kini yang tahu persis siapa memainkan apa dalam meja catur politik domestik dan luar negeri AS...

    Di atas semuanya, kita percaya, institusi Wilayatul Faqih pasti mendorong dan mengawal Pemerintah Iran untuk cerdas dalam melawan musuh....

    Indonesia ? entahlah.....

  • Muhammad Anis
    Tadi pagi dalam pidatonya di Balairung UI, Obama sempat mengawali dengan kelakar berbahasa Indonesia, “Pulang kampung nih.” Sontak disambut tepuk tangan dan gelak tawa meriah dari ribuan pengunjung. Obama memang sangat bagus dalam membangun... citranya belakangan ini. Berbeda dengan pendahulunya (Bush) yang doyan tampil arogan, Obama tampil dengan keramahannya yang memukau. Bahkan, hal itu ia (dan istrinya) perlihatkan melalui penampilan mereka saat mengunjungi Masjid Istiqlal.

    Terlepas dari dosa-dosanya di dunia Islam dalam masa pemerintahannya saat ini, Obama tampaknya lebih persuasif ketimbang pendahulunya yang benar-benar hawkish sejati. Saya cenderung pada pandangan Mas Deddy bahwa memang tidak mudah untuk membersihkan sampah Bush. Belum lagi kuatnya lobi Zionis di negeri itu, yang mustahil bagi Obama untuk secara frontal menentang Israel. Sehingga, nyaris mustahil untuk mengharapkan Obama bisa seperti Chavez misalnya, apalagi Ahmadinejad. Namun demikian, upaya Obama untuk mempersempit kekuatan lobi tersebut patut diapresiasi juga.

    Memang Obama adalah pilihan yang pahit, namun akan lebih pahit lagi bila bukan ia yang menjadi Presiden AS saat ini. Saya tidak bisa membayangkan bila Hillary Clinton yng menjadi presiden, atau Tom Tancreido yang pernah menyerukan serangan terhadap Mekah dan Madinah.

    Namun demikian, sikap kritis tetap mesti dilakukan. Karena, tak dapat dipungkiri bahwa Obama pada akhirnya juga mesti bertanggung jawab juga atas ketenggelamannya dalam pusaran arus yang dimunculkan oleh kekuatan di balik layar yang ada di AS. Tetapi, jangan dilupakan pula bahwa melawan musuh tidak selamanya mesti dilakukan dengan “perang”. Terkadang menjadikannya teman sama dengan telah menaklukkannya.

    Ada sebuah kisah menarik. Suatu hari seorang wanita mendengar Abraham Lincoln memuji musuh-musuhnya. Wanita itu pun bertanya dengan heran, “Mengapa Anda memuji musuh-musuh Anda, yang telah berupaya untuk menghancurkan Anda?” Ia menjawab, “Tidakkah aku sedang menghancurkan mereka, saat aku menjadikan mereka teman?” Sejarah juga memberitakan bahwa Rasulullah saw dan Aimmah as juga melakukannya, sehingga berhasil membuat musuh-musuh mereka menjadi pengikut mereka.

    Saya setuju bahwa orang seperti Bush mesti dihadapi dengan “perang”. Namun, untuk Obama tampaknya opsi kedua lebih baik. Saya juga yakin pemerintah Iran tahu betul percaturan politik di tubuh AS. Sehingga, tidak mengherankan bila Ahmadinejad tampaknya cenderung bersikap “merangkul” Obama, melalui ajakan dialog dan kiriman surat persuasif.

    Namun demikian, saya juga tidak menentang demonstrasi yang berlangsung sebagai reaksi kedatangan Obama ke Indonesia. Karena, ini merupakan konsekuensi yang mesti diterima dalam penegakan demokrasi, yang identik dengan kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, alangkah baiknya bila bukan dalam bentuk penolakan kehadirannya. Melainkan, dalam bentuk kritik terhadap beberapa kebijakannya (khususnya kebijakan luar negerinya), serta dorongan baginya untuk konsisten dalam mewujudkan slogan “perubahan”-nya.

    Wallahu a'lam. Boleh jadi saya keliru...

0 comments to "Pro Kontra Obama di media online"

Leave a comment