Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton memulai safarinya ke kawasan Timur Tengah dengan mengunjungi negara-negara Arab. Clinton meminta para pemimpin negara-negara Arab di Timteng untuk ikut menerapkan embargo atas Iran. Dalam pernyataannya di Abu Dhabi, Menlu AS itu mengatakan, pesan AS kepada negara-negara sahabat di Teluk Persia adalah bahwa mereka harus bertindak aktif untuk mencegah Iran mencapai senjata nuklir.
Pernyataan Clinton itu sama dengan apa yang diucapkan mantan Direktur Dinas Intelijen Israel Mossad Meir Dagan beberapa hari lalu ketika menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir seraya mengatakan bahwa Iran akan mencapai senjata nuklir tahun 2015. Hal senada disampaikan oleh Moshe Yalon, Deputi Perdana Menteri Zionis.
Tuduhan dan umbaran kata-kata yang tak didukung fakta itu menunjukkan bahwa AS dan Israel sudah berbagi tugas untuk menciptakan iklim Iranphobia di kawasan dan menjatuhkan citra Iran sebagai negara berdaulat dengan sistem kenegaraan Republik Islam. Yang menarik disimak adalah gencarnya gerak langkah AS dalam menebar Iranphobia saat ini ketika Iran dan kelompok enam atau yang dikenal dengan sebutan kelompok 5+1 tengah bersiap-siap menggelar pertemuan di Istanbul Turki. Dalam kaitan ini, tak ada pilihan bagi AS kecuali menyertai negara lain di kelompok enam besar untuk berunding dengan Iran. Nampaknya dengan menebar tuduhan itu, AS berharap bisa menciptakan keretakan di tubuh 5+1 dan selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingannya. Hal itu dipandang perlu mengingat utusan Iran telah mendominasi pertemuan yang lalu dan tak menyisakan kesempatan kepada 5+1 untuk menekan Tehran. Iran dalam langkah inovatifnya mengajak para diplomat negara sahabat untuk mengunjungi situs-situs nuklirnya.
Clinton dan AS boleh melakukan dan berbicara apa saja. Namun yang jelas, negara-negara kawasan lebih mengenal Iran dan tahu darimanakah datangnya ancaman yang sebenarnya membahayakan mereka. Bagi negara-negara Arab, AS sudah terbukti memainkan kebijakan standar ganda dalam masalah nuklir. Hal itulah yang ditegaskan oleh para pemimpin Arab kawasan yang salah satunya adalah Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifah Aali Thani. Saat berada di Austria, Emir Qatar menyatakan dukungannya kepada program nuklir Iran yang disebutnya berstatus damai. Emir Qatar bahkan memperingatkan negara-negara lain supaya tidak memanfaatkan isu nuklir Iran untuk menangguk di air yang keruh.
Dalam kondisi seperti inilah Hillary Clinton memulai safarinya ke Timur Tengah dengan misi menebar Iranphobia di kawasan. Memang bukan kali pertama para petinggi AS mencoba mengesankan Iran sebagai ancaman bagi negara-negara Arab. Dan, kali inipun tak ada yang bisa diperoleh Clinton kecuali kesia-siaan. (IRIB/AHF/NA/10/1/2011)Aktor AS peraih Oscar, George Clooney dan rekan-rekan kerjanya di Hollywood, sejak dua bulan lalu berada di Sudan untuk menggelar berbagai program satelit dan kampanye demi merealisasikan diplomasi AS di negara itu. Setelah pengumuman pelaksanaan referendum untuk menentukan nasib Sudan Selatan, AS segera melancarkan operasi luas dan perang lunak untuk meraup keuntungan dari proses itu. Washington memanfaatkan pasukan Hollywood untuk menjalankan operasi lunak di negara tersebut.
Para pengamat politik menilai keberadaan aktor George Clooney di Sudan sebagai diplomasi Hollywood untuk mempengaruhi sebuah referendum di benua Afrika itu. Hingga kini AS telah memanfaatkan semua sarana yang mungkin untuk membagi wilayah Sudan. Skenario yang dilancarkan Washington mulai dari memberlakukan embargo atas Sudan dan kemungkinan mencabutnya jika referendum Sudan Selatan digelar, hingga mempersenjatai kelompok separatis dan memanfaatkan metode perang lunak karya Hollywood.
Pada tahun 2008, Clooney menggarap sebuah film dokumenter tentang Darfur dan pada Oktober 2009, ia dalam pidatonya di depan Barack Obama, meminta Presiden AS untuk mencegah meluasnya pelanggaran hak asasi manusia di Sudan. Sejumlah kelompok, terdiri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Universitas Harvard, Google Inc dan sebuah organisasi yang didirikan oleh aktor George Clooney, meluncurkan sebuah proyek yang memanfaatkan satelit untuk memantau kejahatan perang di Sudan sebelum pemungutan suara yang dapat membelah negara di Afrika itu menjadi dua.
Proyek bernama "Satellite Sentinel Project" bertujuan memberikan suatu "sistem peringatan dini" terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan keamanan sebelum referendum digelar, yang menentukan apakah Sudan akan terbagi menjadi utara dan selatan.
Proyek itu menerima pendanaan selama enam bulan dari "Not On Our Watch," organisasi yang didirikan Clooney dan rekan-rekannya sesama megabintang Hollywood seperti aktor Don Cheadle, Matt Damon, Brad Pitt, David Pressman dan produser Jerry Weintraub.
Sebelumnya, Clooney juga diberi tugas untuk melancarkan perang lunak AS di sejumlah negara lain. Perannya bersama Nicole Kidman sebagai "penjinak" bom nuklir yang diklaim terkait Iran dalam film The Peacemaker, termasuk bagian dari kerjasama Clooney dalam program perang lunak Gedung Putih. Ia juga aktif memprotes kebijakan Cina yang mendukung Sudan.
Doktor Yasser Saad dalam sebuah artikelnya di situs Islam Today, menulis, "Seni, politik, teknologi dan universitas-universitas Amerika bersatu untuk memecah sebuah negara Muslim di bawah panji hak asasi manusia. Mereka aktif memantau Sudan dari darat dan angkasa, namun mereka menutup mata atas kejahatan rezim Zionis Israel terhadap bangsa Palestina, pembantaian warga Afghanistan dan Irak, penjara Guantanamo dan penjara-penjara rahasia AS lainnya." Menurut saya, penyalahgunaan konsep HAM merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling buruk. (IRIB/RM/SL/9/1/2011)Republik Islam Iran menyatakan bahwa Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sangat menyadari tanggung jawabnya dan tidak perlu Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton untuk mengingatkan tugas itu.
Pernyataan itu muncul setelah Ashton menolak undangan tur ke fasilitas nuklir Iran Iran, termasuk fasilitas pengayaan uranium Natanz di Isfahan dan reaktor Air Berat di kota Arak. Ia juga mengatakan misi itu harus dilakukan oleh IAEA.
Pada awal Januari lalu, Iran mengundang para duta besar kelompok geografis dan politik di Wina untuk mengunjungi fasilitas pengayaan uranium Natanz dan reaktor Air Berat di kota Arak.
Selama kunjungan yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 15-16 Januari mendatang, kelompok tersebut akan melakukan pertemuan dengan para pejabat Iran.
"Kami menyambut fakta bahwa Iran ingin mengundang beberapa pihak berkunjung ke fasilitas nuklirnya, namun peran dan tanggung jawab itu terletak pada IAEA," kata Ashton.
Ketua Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran, Alaeddin Boroujerdi seraya meraksi penolakan Ashton atas undangan Iran, mengatakan bahwa tidak ada logika di balik keputusan Barat untuk menolak tawaran Tehran.
"Republik Islam Iran telah menunjukkan kesungguhan dengan mengundang perwakilan dan diplomat dari berbagai negara untuk mengunjungi situs nuklirnya," tegas Boroujerdi seperti dikutip IRNA kemarin (Ahad,9/1).
"Dalam kerangka Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT), IAEA telah melakukan pemeriksaan secara teratur dan juga mengaktifkan kamera," tambahnya.
Undangan itu dikeluarkan menjelang perundingan Iran dengan kelompok 5+1 di Istanbul, Turki.
Menurut Boroujerdi, apa yang dilakukan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat adalah hanya untuk mencari-cari alasan, karena negara-negara yang telah diundang akan akrab dengan situs-situs nuklir Iran.
Barat menuding Iran diam-diam mengembangkan program nuklir militer, namun Tehran menyatakan bahwa program nuklirnya benar-benar bertujuan damai dan dalam kerangka NPT. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam sejumlah laporannya menyatakan misi damai program nuklir Tehran. (IRIB/RM/SL/10/1/2011)Penjabat Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi menyatakan, undangan untuk meninjau instalasi nuklir Iran bertujuan untuk menunjukkan transparansi lebih luas dalam program nuklir Tehran.
Dalam pertemuannya dengan Wakil Menteri Luar Negeri Swiss, Peter Maurer, kemarin (10/1), Salehi menyarankan negara-negara Barat untuk menggunakan peluang yang tersedia itu.
Salehi menambahkan, "Barat harus tahu bahwa represi terhadap bangsa pemberani dan independen Iran, yang memiliki peradaban kaya berusia ribuan tahun itu, tidak akan efektif."
Pekan lalu, Iran mengundang utusan yang mewakili kelompok geografis dan politik di markas Badan Energi Atom Internasional yang berbasis di Wina, Austria untuk meninjau instalasi nuklir Iran.
Undangan Iran itu muncul menjelang perundingan multifaset dengan Kelompok 5 +1 (Inggris, Cina, Perancis, Rusia, dan AS ditambah Jerman) yang dijadwalkan berlangsung akhir Januari di Istanbul, Turki.
AS menuding Iran mengembangkan program nuklir bertujuan militer dan menggunakan alasan ini untuk menekan Dewan Keamanan PBB merilis sanksi tahap keempat terhadap Iran di sektor keuangan dan militer pada bulan Juni 2010.
Para pejabat Iran telah berulang kali membantah tuduhan tersebut dengan alasan bahwa sebagai penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Tehran berhak mendayagunakan teknologi nuklir untuk tujuan damai.(irib/11/1/2011)
0 comments to "Ada Apa Dengan Safari Clinton ke Timteng?"