Home , , , � Dana Liar di Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia ..merambah ke Banjarmasin !!!?????!!!

Dana Liar di Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia ..merambah ke Banjarmasin !!!?????!!!

Badan Pemeriksa Keuangan memberikan warning kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Peringatan itu jelas bukan mengada-ada karena berdasarkan hasil audit BPK pada 2009, memang ada dana liar alias dana tidak jelas di kementerian itu yang jumlahnya mencengangkan, yakni Rp2,3 triliun.

Dana itu antara lain menyangkut pengadaan tanah untuk sekolah di Kinibalu, Sabah, Malaysia, serta pengadaan alat-alat kesehatan di Universitas Airlangga dan Universitas Mataram.

Celakanya, respons Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), seperti kebanyakan lembaga negara lainnya, cuma bersifat standar. Yaitu bakal menindaklanjuti temuan BPK.

Padahal, ini yang lebih celaka, yang ditindaklanjuti oleh Kemendiknas atas temuan BPK itu hingga sekarang baru mencapai 14%. Jelas, itu mencerminkan betapa rendahnya tingkat kepatuhan kementerian atas temuan BPK. Bahkan, tidak jarang kementerian atau lembaga negara membantah hasil temuan BPK.

Kontrol terhadap Kemendiknas memang pantas dan wajib hukumnya. Kementerian itu kini tergolong lembaga basah. Anggarannya amat berlimpah. Total alokasi anggaran pada tahun ini hampir mencapai Rp250 triliun dari sebelumnya Rp225 triliun pada 2009.

Salah satu yang sangat perlu diaudit adalah dana bantuan operasional (BOS) sebelum 2011. Itulah dana yang paling rawan kebocoran. Jangan sampai, hanya karena dana ini tidak lagi disalurkan lewat Kemendiknas--mulai 2011 dikucurkan langsung oleh Kementerian
Keuangan ke kabupaten dan kota--penyelewengan dana BOS tahun-tahun sebelumnya dibiarkan saja.

Yang juga perlu diaudit BPK tentu saja penyelenggaraan ujian nasional.

Untuk tahun ini saja, ujian nasional yang digelar April mendatang bakal menghabiskan dana Rp572 miliar. Anggaran itu jauh melonjak ketimbang 2009 yang cuma Rp483 miliar.

Kerisauan publik sebenarnya tidak sebatas ujian nasional hanya akan dijadikan proyek dan ladang korupsi baru. Faktanya ujian nasional sebagai baku mutu pendidikan nasional masih sangat jauh dari harapan.

Nah, daripada dana terbuang percuma, anggaran untuk ujian nasional lebih baik digunakan untuk membangun sekolah, terutama di daerah-daerah, yang kondisinya sangat memilukan.

Karena itu, warning BPK terhadap dana liar di Kemendiknas tidak boleh dianggap enteng dan sepele. Apalagi, kementerian ini tergolong buruk dalam laporan keuangannya karena kerap dicap disclaimer oleh BPK.

Kebiasaan buruk memelihara dana liar itulah yang ikut mendorong mengapa banyak warga masih serbakesulitan mengakses dunia pendidikan kendati anggarannya sudah sangat besar. (Media Indonesia/irib/16/1/2011)


Guru Bapintaan di banjarmasin...apalagi di Hulu Sungai???

banjarkuumaibungasnya.blogspot.com-
Ketika team banjarkuumaibungasnya.blogspot.com mengunjungi beberapa sekolahan yang ada di Banjarmasin, khususnya di daerah jalan Pekapuran dan jalan Antasan Besar Banjarmasin, ternyata para orang tua wali murid banyak mengeluh akan ketentuan sekolah atau yang lebih tepatnya trik dengan memakai nama Komite sekolah atau wali murid untuk melancarkan aksi '' bapintaan ''.
Sebut aja Ari warga jalan Pekapuran Banjarmasin, merasa aneh dengan prestasi anaknya yang tiba-tiba anjlok nilai dan rangkingnya disebabkan disekolahan tersebut masih mempertahankan buku yang lama, sedangkan soal-soal yang keluar adalah soal-soal buku baru yang belum sempat dibeli Ari buat anak nya, karena guru tidak menyampaikan buku yang mesti nya harus dibeli tapi malah tetap memakai buku lama yang soal-soalnya tidak dipakai lagi, demi ''bapintaan'' ( buku lama lebih murah harganya dan dapat komisi banyak ) para pengajar tidak memperhatikan mutu pendidikan.
Lain di jalan Pekapuran , lain lagi di Jalan Antasan Besar, mereka mengeluhkan akan
'' bapintaan '' yang terus ada disetiap bulannya. Apalagi ketika team banjarkuumaibungasnya.blogspot.com bertanya lebih lanjut keorang tua wali murid yang baru saja memasukkan anaknya disekolah tersebut sebut aja namanya Sidiyang, mereka dimintai uang perbaikan gedung walau pun tidak secara langsung dengan kata-kata yang manis guru-gurunya mengatakan " kalau mau seadanya, beginilah ruangan kelasnya, seadanya '' / '' dengan bahasa langsungnya bapintaan lawan wali murid '' Mulai dari kipas angin, karpet, sapu, bak sampah dan lainnya. Belum lagi jar Sidiyang beli buku paket yang akhirnya, buku paket tersebut jarang dipakai atau malah tidak dipakai dengan alasan bukunya belum datang dan lain sebagainya.
Memprihatinkan dan mesti dihukum kata Wartawan senior Bung Dharma yang juga merupakan wartawan SKM Suara kalimantan, apabila ada yang memberatkan siswa atau wali murid karena pemerintah telah membuat peraturan bahwa program belajar 9 tahun dari SD hingga SMP tidak dipungut biaya sedikitpun, karena para guru Negeri sudah digajih pemerintah langsung, sedangkan untuk pengadaan buku dan beasiswa sudah ada dana BOS sedangkan untuk prasarana sekolah sudah ada dana DAK dari pemerintah. Untuk tahun 2009 di kalimantan Selatan untuk Dana DAK dan BOS untuk SD sudah dianggarkan dana kurang lebih 250 juta pertahun untuk tiap sekolah Dasar Negeri, lalu dikemanakan dana tersebut ujarnya.
Kemudian ujar beliau lagi Komite Sekolah seharusnya menjadi Pengawas buat para wali murid dan bukan menjadi corong kepentingan sekolah yang akhirnya diperalat sekolah untuk kepentingan segelintir orang.
Lain dengan bung Dharma, Om Pandi ( Tokoh Sungai Tabuk ) yang merupakan bagian dari Komite Sekolah anaknya mengatakan, dulu pernah para guru khusunya guru perempuan mengajukan program wisata ke pantai untuk anak muridnya, namun beliau menentangnya dengan mengatakan, hiburan itu kalau tidak memberatkan ekonomi para wali murid dan tujuannya jelas membuat pintar murid its Okey, namun apabila memberatkan dan hanya program yang ditujukan untuk meguntungkan segelintir orang lebih baik tidak usah.
Lebih baik kata Om Pandi, uangnya dimanfaatkan dengan menggelar perlombaan disekolah, dengan menghadiahkan buku, pensil tau peralatan sekolah lainnya. Sehingga murid-murid binaannya dapat diketahui kepintarannya dan nantinya diharapkan mengharumkan nama sekolah tempat simurid tersebut menimba ilmu.-banjarkuumaibungasnya.blogspot.com

Menggugat Pembohongan Publik

Ada apa ketika para pemimpin dan tokoh lintas agama, Senin (10/1/) lalu, mengeluarkan pernyataan terbuka yang kemudian dikenal sebagai "kebohongan" [rezim] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Kenapa tiba-tiba mereka "turun gunung" secara bersama-sama dan kemudian keluar ke depan publik dengan sejumlah daftar "kebohongan" tersebut? Bagaimana kita memahami gejala yang cukup mengagetkan ini?

Para pemimpin dan tokoh lintas agama itu agaknya tidak secara resmi mewakili organisasi atau umat masing-masing. Namun, mereka cukup representatif mewakili umat lintas agama.

Ada Ahmad Syafii Maarif (mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Andreas Yewangoe (Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia/PGI), Din Syamsuddin (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia/MUI), Mgr Martinus D Situmorang (Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia/KWI), Biksu Sri Mahathera Pannyavaro (Mahanayakka Buddha Mahasangha Theravada Indonesia), KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng dan tokoh nasional asal Nahdlatul Ulama/NU), serta I Nyoman Udayana Sangging (Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI).

Jelas para tokoh lintas agama itu tidak gegabah mengeluarkan pernyataan terbuka yang keras itu. Mereka mengadakan pertemuan berkali-kali di tempat tokoh agama berbeda. Berkali-kali pula mereka menyusun draf yang kemudian menjadi pernyataan terbuka itu, yang mengungkapkan berbagai masalah serius yang tengah dihadapi negara-bangsa ini.

Kebohongan baru dan kebohongan lama

Dalam kesimpulan mereka, berbagai masalah itu bersumber dari sejumlah kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam semacam lampiran pernyataan terbuka itu dengan judul "Beberapa Kebohongan Rezim SBY", mereka mendaftar sembilan [di antaranya] kebohongan lama.

Hal itu yakni kegagalan pemerintah mengurangi kemiskinan dan swasembada serta ketahanan pangan; ketidakbenaran klaim SBY bahwa ia menjadi target terorisme dengan menunjukkan foto lama; kegagalan menuntaskan pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir; kegagalan meningkatkan kemajuan pendidikan; serta kegagalan melindungi kelestarian laut dan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport.

Kemudian, sembilan [di antaranya] kebohongan baru, mulai dari kegagalan mencegah kekerasan organisasi massa (ormas) tertentu atas nama agama dan juga kekerasan terhadap pers; kegagalan melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI); serta kegagalan mewujudkan transparansi dalam kasus pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Selain itu, kegagalan memberantas korupsi dan mengungkap rekening gendut perwira Polri; kegagalan mewujudkan politik yang bersih, santun, dan beretika dalam kasus anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Andi Nurpati; kegagalan memberantas kasus mafia hukum "Super Gayus"; dan kegagalan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilanggar Malaysia belum lama ini.

Tanggung jawab moral

Sebagian kalangan pemerintah dan parpol pendukungnya bisa saja mengatakan para pemimpin agama tersebut telah melangkah terlalu jauh atau menganggap mereka ikut bermain politik praktis.

Memang, sejauh ini belum ada pernyataan dari kalangan pemerintah, yang boleh jadi menganggap mereka "berkonspirasi" atau "didalangi" pihak tertentu yang memiliki agenda-agenda politik dan kekuasaan. Bahkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto terkesan sangat hati-hati berhadapan dengan para tokoh lintas agama tersebut. Sebaliknya, ia justru mengecam keras editorial sebuah koran nasional yang menurunkan opini tentang kebohongan rezim Yudhoyono tersebut.

Sepatutnya, pemerintah dan kalangan partai politik tidak mencurigai para pemimpin lintas agama tersebut karena apa yang mereka sampaikan adalah bagian dari apa yang hidup dalam pengalaman sehari-hari dan batin umat-rakyat.

Sesuai dengan posisi mereka sebagai pemimpin dan "bapak rohani" umatnya masing-masing, adalah tanggung jawab dan kewajiban moral mereka untuk menjadi penyambung lidah rakyat yang kini seolah sudah menjadi bisu.

Sebaliknya, integritas mereka masing-masing sebagai ulama, pastor, pendeta, biksu dan pedanda bisa memudar, begitu mereka juga membisu seribu bahasa melihat merajalelanya kerusakan dan kemungkaran di sekeliling mereka.

Lebih daripada itu, meminjam kerangka Imam al-Ghazali, pemimpin agama yang baik adalah mereka yang mampu memelihara diri dari cengkeraman penguasa. Sebaliknya mereka yang mendekat-dekatkan diri dengan penguasa menjadi pemimpin agama yang buruk (su'u al-ulama).

Karena dengan begitu, dia tidak hanya menjadi terkooptasi oleh penguasa, tetapi sekaligus juga semata-mata menjadi pemberi justifikasi keagamaan atas berbagai langkah penguasa, yang tidak selalu sesuai dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Bahkan, mereka dapat menjadi pembenar belaka dari kesenjangan di antara apa yang dinyatakan penguasa dengan realitas yang hidup dalam masyarakat; tutup mata dan telinga terhadap berbagai kesenjangan dan ketimpangan.

Karena itu, adalah kewajiban dan tugas keagamaan para pemimpin agama untuk menyampaikan pesan kebenaran kepada para penguasa, meski pahit sekalipun. Tugas ini merupakan bagian dari apa yang di dalam Islam disebut sebagai al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah daripada kemungkaran).

Karena jika kemungkaran (al-fasad) dalam berbagai bentuknya, seperti kemiskinan, korupsi, tidak tegaknya hukum dan manipulasi politik terus merajalela tanpa usaha serius mengatasinya, maka negara-bangsa ini terus tertimpa azab dan bencana, dan akhirnya kehancuran; jatuh ke dalam lubang tanpa dasar yang sangat gelap.

Menghapus kebohongan

Apa yang tercakup dalam pernyataan terbuka para tokoh lintas agama itu dan lampirannya sulit dibantah secara substantif karena sudah lama jadi bagian realitas pahit sehari-hari di masyarakat.

Terdapat kesenjangan-untuk tidak menyatakan "kebohongan"-antara apa yang diklaim pemerintahan rezim SBY dan kenyataan di lapangan. Juga di antara tugas dan kewajiban, seperti penegakan hukum, yang tidak serius dilaksanakan pemerintah dan aparatnya.

Misalnya saja, orang boleh berbeda mengenai tingkat dan jumlah penduduk miskin di negeri ini. Namun, poin substantifnya tetap saja adalah bahwa kemiskinan masih merajalela, meski pada saat yang sama juga terjadi pertumbuhan ekonomi makro yang selalu diklaim pemerintah sebagai keberhasilan.

Karena itu, pernyataan terbuka para pemimpin agama tersebut seyogianya disikapi Presiden Yudhoyono dan aparatnya dengan kepala dingin. Dan sebaliknya, mereka harus berterima kasih kepada para pemimpin agama karena telah jujur, terus terang, dan berani mengungkapkan masalah-masalah berat yang dihadapi negara-bangsa ini.

Pemerintahan SBY sepatutnya menjauhkan diri dari kegemaran mendengarkan "hal-hal baik" saja, semacam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan seterusnya.

Dalam konteks itu, pernyataan terbuka tokoh dan pimpinan lintas agama hendaknya dapat mendorong terciptanya momentum bagi penyelesaian masalah-masalah berat yang dihadapi bangsa. Bagi Presiden Yudhoyono sendiri, inilah "momen kebenaran" (moment of truth) untuk berbuat maksimal dalam waktu yang masih tersisa dalam masa pemerintahan kedua dan terakhirnya ini.

Jika Presiden Yudhoyono mau tercatat dengan tinta emas dalam sejarah negara-bangsa yang besar ini, hal itu tidak lain bisa diwujudkan hanya dengan ketegaran, ketegasan, konsistensi, dan bertungkuslumus menghapus segala yang disebut sebagai kebohongan itu. (IRIB/RM/Kompas/Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta/15/1/2011)

0 comments to "Dana Liar di Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia ..merambah ke Banjarmasin !!!?????!!!"

Leave a comment