Sudan adalah negara Islam terbesar di benua Afrika. Negara ini dalam beberapa hari terakhir dikejutkan dengan peristiwa penting yang bukan hanya menentukan nasib wilayah selatan, tapi juga masa depan negara ini. Tak diragukan lagi, pelaksanaan referendum untuk menentukan nasib selatan Sudan pada tanggal 9 Januari 2011 merupakan peristiwa bersejarah bagi negara ini. Hasil referendum itu akan mengubah konstalasi politik bagi negara-negara Afrika. Sebab, banyak negara Afrika yang dihadapkan pada kondisi senasib dengan Sudan, yakni kelompok milisi yang menghendaki independensi. Untuk itu, para pengamat politik berpendapat bahwa bila referendum ini dapat memisahkan wilayah selatan Sudan dari negara ini, ada kemungkinan bahwa sederet krisis akan dialami benua Afrika. Ini adalah krisis yang tentunya lebih menguntungkan Barat, khususnya AS dan Rezim Zionis Israel.
Pelaksanaan referendum untuk menentukan nasib selatan Sudan merupakan poin penting kesepakatan perdamaian antara Khartoum dan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM). Dengan penandatanganan kesepakatan itu, konflik antara SPLM dan Khartoum berakhir setelah 22 tahun. Setelah kesepakatan itu, permulaan daerah otonomi di selatan Sudan dan pembagian kekuasaan ke kelompok-kelompok gerilya yang kemudian menjadi mitra Omar Al-Bashir, telah melahirkan atmosfer baru bagi Sudan.
Dalam enam tahun terakhir ini, Salva Kiir, Pemimpin SPLM yang juga berkuasa di daerah otonomi Sudan Selatan ditunjuk menjadi Wakil Presiden Sudan, Omar al-Bashir. Namun pada dasarnya bukanlah kesepakatan antara pemerintah pusat Sudan dan SPLM. Sebab, banyak kalangan politisi yang meyakini bahwa kesepakatan perdamaian pada tahun 2005 antara Khartoum dan SPLM merupakan gerakan yang sudah diperhitungkan untuk memecah belah Sudan.
Rezim Zionis Israel dapat disebut sebagai pihak yang menyiapkan semua konspirasi busuk untuk memecah-belah Sudan. Bahkan rezim ini memberikan senjata ilegal kepada kelompok-kelompok milisi di Sudan Selatan. Dengan cara itu, kekuatan di Sudan Selatan kian kokoh dalam enam tahun terakhir ini.
Brigjen Moshe Faraji dalam bukunya yang berjudul "Mossad di Afrika" menulis, "Kehadiran Zionis Israel di 32 negara Afrika yang juga menggarap 67 proyek infrastruktur dan 28 proyek pertanian serta melakukan peran sebagai konsultan di negara ini, merupakan peluang besar Tel Aviv untuk menginfilterasi benua ini." Zionis Israel dalam beberapa dekade terakhir ini juga berupaya menginfilterasi Sudan melalui tiga negara tetangga seperti Republik Demokratik Congo, Ethiopia dan Uganda. Antek-antek Mossad beraktivitas di tiga negara ini yang kemudian melakukan kontak dengan para pemimpin gerakan milisi di Sudan Selatan. Melalui infiltrasi itu, Zionis Israel membangun kekuatan untuk melawan pemerintah pusat yang dipimpin oleh Omar al-Bashir.
Di samping Zionis Israel, AS juga disebut-sebut sebagai pemain utama dalam menginfiltrasi Sudan. Peran AS melengkapi permainan Rezim Zionis Israel yang berupaya mengobrak-abrik pemerintah Khartoum. Bahkan sejumlah pengamat politik meyakini bahwa penandatanganan nota kesepakatan perdamaian antara SPLM dan Khartoum tidak terlepas dari peran AS. Meski penandatanganan itu mengakhiri konflik antara kelompok milisi dan pemerintah Khartoum, namun langkah itu pada dasarnya merupakan bagian konspirasi AS dan Rezim Zionis Israel untuk menggapai ambisinya di Afrika.
Sejak tahun 1989 yang bersamaan dengan kepemimpinan Omar al-Bashir di Sudan, AS mengambil kebijakan radikal terhadap negara ini. Kebijakan radikal Washington bermula dari pernyataan Omar al-Bashir yang menjadikan Islam sebagai sumber hukum dan undang-undang di negara ini. Dalam dua dekade terakhir ini, AS selain menerapkan berbagai sanksi politik dan ekonomi terhadap Sudan melalui lembaga-lembaga internasional termasuk Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Gedung Putih berulangkali menghendaki Sudan supaya mematuhi keinginan AS. Jika tidak mengikuti kehendak Washington, Sudan terancam perpecahan yang tentunya dirancang oleh AS dan Zionis Israel. Di tengah kondisi seperti ini, AS memanfaatkan kelompok milisi Sudan Selatan untuk menekan pemerintah Khartoum.
Tak diragukan lagi, sumber kekayaan alam Sudan mengundang perhatian khusus AS dan Zionis Israel atas negara ini. Semenjak Sudan mengeksplorasi dan mengekspor minyak, AS tidak dapat menahan ketamakannya untuk mengeruk kekayaan negara ini. Karena inilah, AS dan Rezim Zionis Israel berdampingan mengganggu pemerintahan Omar al-Bash ir. Apalagi Presiden Sudan ini berani menyebut agama Islam sebagai sumber hukum dan undang-undang. Lebih dari itu, al-Bashir juga menunjukkan sikap tegas atas segala arogansi di dunia yang tentunya mengancam hegemoni AS di kawasan.
Menurut data yang ada, banyak sumber minyak di kawasan selatan Sudan. Bahkan disebutkan bahwa 85 persen cadangan minyak Sudan berada di wiilayah selatan negara ini. Sudan Selatan mempunyai luas 700 ribu kilometer persegi. Sudan disebut-sebut sebagai negara kaya minyak kedua di Afrika setelah Nigeria dan Angola.
Selain itu, Sudan yang juga berdampingan dengan Sungai Nil tentunya menjadi incaran Zionis Israel yang mengimpikan Israel Raya hingga Eufrat. Adapun AS tentunya ingin mengembangkan ekspansinya ke wilayah Afrika. Dengan cara itu, Negeri Paman Sam ingin bercokol di negara-negara yang berdekatan dengan perairan internasional Laut Merah. Setelah itu, AS bisa mengawasi perairan internasional ini dan memperkokoh posisi Gedung Putih di Tanduk dan Utara Afrika. Pada saat yang sama, AS juga mengincar minyak dan tambang uranium di Sudan. Faktor-faktor inilah yang membuat AS dan Zionis Israel kompak menginfilterasi Afrika, khususnya Sudan.
Dengan memperhatikan fenomena yang ada, tak dapat dipungkiri bahwa referendum menjadi alat Rezim Zionis Israel dan AS untuk mencapai ambisi-ambisi mereka. Yang lebih menarik lagi, AS juga mengerahkan bintang-bintang Hollywood untuk mempengaruhi proses referendum dalam menentukan nasib Sudan Selatan. George Clooney adalah di antara bintang Hollywood yang mendampingi Google dan PBB untuk memantau kondisi di Sudan.
Organisasi "Not On Our Watch" yang didirikan oleh aktor George Clooney mengklaim bekerjasama dengan mesin pencari di internet, Google, untuk mengawasi Sudan dari satelit guna memantau kemungkinan kejahatan perang sebelum referendum yang kemungkinan akan membagi dua negara itu. Program yang digarap Clooney bernamakan Satellite Sentinel Project, berfungsi memberikan peringatan dini terjadinya kekerasan menjelang referendum di Sudan pada tanggal 9 Januari. Ini semua menunjukkan bahwa para pejabat AS menaruh perhatian besar atas referendum di Sudan.
Mengingat banyaknya masyarakat Sudan yang tidak berpendidikan, referendum digelar selama seminggu. Menurut rencana, hasil referendum itu akan diumumkan pada pertengahan Januari. Terkait referendum, Omar al-Bashir menyatakan akan menerima apapun hasilnya.
Bagaimanakah nasib Sudan di tengah himpitan Zionis Israel dan AS? Semoga masyarakat Sudan menyadari konspirasi Zionis Israel dan AS di balik pelaksanaan referendum ini. Tak diragukan lagi, konspirasi Tel Aviv dan Washington berniat mengubah geografi negara-negara Arab dan Islam yang terletak di Timur Tengah dan Utara Afrika. (IRIB/AR/SL/15/1/2011)
0 comments to "Antara Referendum Sudan dan Konspirasi Zionis"